Kamis, 09 Juli 2009

YOGYAKARTA : DARI BABAD KE BABAT

Ditulis oleh Aant Subhansyah (untuk makalah Tim Etnofotografi pada acara Sarasehan & Pameran Etnofotografi: “... Yogyakarta: Restropeksi Etnofotografi”, di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta 27 September 1997)


Kota dengan banyak predikat, itulah Yogyakarta. Paling tidak, orang sudah sangat akrab dengan istilah Kota Budaya, Kota Pariwisata, dan Kota Pelajar untuk merujuk wilayah tersebut . Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta berpusat pada Kraton yang diyakini sarat akan nilai-nilai Budaya Jawa yang alus dan adiluhung. Konsep budaya dalam konteks ini cenderung diidentikkan dengan persoalan “jati diri” yang berupa ekspresi-ekspresi yang khas dan bersifat publik yang tercipta melalui mekanisme penyeleksian hal-hal tertentu dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kebudayaan dianggap sebagai suatu “barang” yang dapat dengan mudah dikemas secara kongkrit. Semangat pemanfaatan citra “jati diri” tersebut pula-lah yang kemudian mengantarkan Yogyakarta sebagai Kota Wisata dengan berbagai macam objek yang ditawarkan kepada para wisatawan.
Salah satu objek wisata yang dianggap paling memiliki daya tarik ialah kawasan Malioboro. Secara historis, Malioboro memang masih memiliki “kaitan” dengan Kraton, sehingga ada semacam “legitimasi budaya” dalam upaya pengemasannya sebagai objek wisata budaya. Dalam Babad (sejarah lokal Jawa) dikisahkan bahwa nama Malyabhara sudah ada bersamaan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta. Dikisahkan bahwa pembuatan jalan Malioboro dimaksudkan sebagai tempat bagi penguasa kraton untuk berlaku secara “semestinya” dalam menyambut para tamu atau pengunjung kota Yogyakarta. Secara spiritual Malioboro juga dipandang sebagai “lorong filosofis” dari poros imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi (simbol kesucian), Kraton (simbol dunia tengah yang netral) dan Laut Kidul (simbol kekotoran). Dalam kenyataannya, sampai saat ini Malioboro memang masih dianggap sebagai sesuatu yang legendaris. Orang belum merasa sampai di Yogyakarta apabila belum makan-makan di lesehan, membeli cinderamata atau sekedar berjalan-jalan di jalan dan trotoar yang hiruk-pikuk itu.
Hiruk-pikuk Yogyakarta ternyata bukan sekedar karena banyaknya para pelancong, tetapi juga karena bayaknya kaum muda yang datang untuk menuntut ilmu di kota ini. Sebagai kota pelajar, Yogyakarta memang kaya akan lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang dan beragam bidang yang ditawarkan kepada khalayak. Simbol yang paling mencolok dari keberadaan pendidikan itu ialah sebuah universitas negeri tertua (?) yang dianggap paling bergengsi: Universitas Gadjah Mada (UGM). Kampus yang pada awal berdirinya dahulu juga mendapat dukungan penuh dari pihak Kraton itu, sering kali dianggap memiliki “nilai” tersendiri yang berbeda dengan kampus-kampus lain.
Singkatnya, perbincangan tentang Yogyakarta hari ini selalu diidentikkan dengan Kraton, Malioboro, dan Uiversitas Gadjah Mada. Akan tetapi, benarkah Yogyakarta dapat dirumuskan sesederhana itu? Tulisan singkat ini akan mencoba menelusuri kembali wacana tersebut melalui pembacaan terhadap foto-foto yang berkaitan dengan tiga “pusat” Yogyakarta yang disebutkan di atas, ditambah dengan foto-foto sebuah kampung dan sebuah pasar tradisional sebagai pelengkap data.
****
Perjanjian Gyanti yang terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 telah memilah Nagari Mataram menjadi dua kerajaan baru, yakni Surakarta yang dipimpin oleh Sri Sunan Pakubuwana II, dan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikepalai Sri Sultan Hamangkubuwana I . Menurut Babad Gyanti, Kasultanan Yogyakarta pada awal berdirinya masih berpusat di wilayah Kedaton Ambarketawang (sekitar 5 km sebelah barat Kota Yogyakarta sekarang). Kemudian Sultan Hamengku Buwana I melakukan pembabatan alas Bringin, sebuah area hutan lebat dan penuh binatang buas yang terletak di sebelah barat bekas ibukota Mataram, Kota Gedhe. Hutan Bringin yang dikisahkan sebagai kawasan gawat keliwat-liwat, wingit kepati-pati itulah yang kemudian dijadikan kraton baru. Peristiwa berdirinya kraton itu juga dikisahkan dalam Babad Candrasengkala yang menggambarkan dua naga besar yang ekornya bertemu, yang menghiasi regol Kraton Yogyakarta sebelah selatan (daerah Magangan). Makna dari bertemunya dua ekor naga itu diartikan oleh babad tersebut sebagai angka tahun yang menandai berdirinya Kraton, yakni tahun 1682 dalam penanggalan Jawa, atau sama dengan tahun 1756 dalam penanggalan masehi.
Sejak awal, Kraton telah diyakini sebagai pusat perkembangan Budaya Jawa yang luhur dan adiluhung. Kraton merupakan pemilik dan penjaga otoritas tata krama dalam hubungan sosial yang hirarkis. Figur Sultan merupakan puncak dari hirarki sosial tersebut, posisi setelah itu ditempai kelompok kerabat sentono dalem, abdi dalem, dan terakhir wong cilik atau rakyat biasa yang hidup sebagai petani di pedesaan.
Perkembangan perkotaan Yogyakarta pada mulanya sangat dipengaruhi struktur dan pola pemerintahan kerajaan waktu itu. Tumbuhnya pemukiman penduduk berawal dari daerah jero beteng (bagian dalam benteng), dengan pusatnya kompleks kraton yang dikelilingi oleh pemukiman Ndalem (kompleks rumah kerabat raja). Pada lingkaran terluarnya (yang sebagian sudah berada di luar beteng) tumbuh pula pemukiman yang terkelompok berdasarkan jenis pekerjaan penghuninya. Dalam perkembangan selanjutnya, areal pemukiman penduduk semakin melebar, tidak hanya di sekitar beteng, namun juga ke area di antara Sungai Winongo dan Code. Desa-desa pun berubah menjadi kampung-kampung karena kepadatan sosial dan spasialnya meningkat. Pada masa Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia, tak pelak lagi, pemekaran perkotaan semakin pesat dan seolah melesat lepas dari lingkungan kraton.
Dewasa ini, rumah-rumah dan perkampungan di Yogya ternyata menunjukkan keadaan yang sangat beragam. Hal ini mengindikasikan sikap warga Yogya yang memang berbeda-beda dalam mereproduksi citra tentang kota mereka. Bagi beberapa keluarga priyayi, tampaknya tradisi “halus-halusan” budaya masih dipertahankan. Paling tidak hal itu terlihat dari adanya rumah-rumah joglo yang berdiri megah, dengan pagar bermotif teratai ala kraton.

(foto: rumah Joglo)


Keluarga-keluarga kelas menengah ini juga terkesan masih cukup ketat dalam mempraktekkan tatanan ke-jawa-an yang hirarkis. Foto acara makan sebuah keluarga priyayi dapat mengiringi kita dalam menelusuri fenomena tersebut.

(foto: acara makan)
Posisi kelima orang di sekeliling meja tersebut menunjukan adanya suatu tatanan yang hirarkis. Di sana, bapak, si ibu, dan semua anggota dalam keluarga ini diharapkan bertindak njawani sesuai pangkat dan peran masing-masing.
Sebaliknya di bagian lain Kota Yogyakarta, dengan mudah juga dapat dijumpai keluarga-keluarga yang keadaannya jauh dari kesan seperti disebutkan di atas. Rumah dan perkampungan mereka relatif sederhana, bahkan tidak sedikit yang tampak “kumuh”. dalam pergaulan sehari-hari, mereka tidak memusingkan persoalan alus-kasar, bahkan dengan sesama anggota keluarga mereka biasa menggunakan bahasa ngoko, yang apa adanya, tanpa basa-basi. Dengan menggunakan bahasa ini hidup dijalani seperlunya dan sekedar menjalani fungsi-fungsi sosial sebagai layaknya para pekerja.


(foto: kampung taman) (foto keluarga wong cilik)
Kampung Taman adalah contoh sebuah masyarakat Jawa seperti yang disebutkan terakhir. Kampung yang pada awalnya merupakan sebuah pesanggrahan bagi kerabat kraton itu dewasa ini telah disesaki dengan pemukiman penduduk yang tumbuh hampir tidak terkendali. Sejak Kraton memberikan semacam legalitas pada abdi dalem untuk menggunakan tanah Taman Sari sebagai tempat tinggal (1914), sekeliling bangunan bersejarah tersebut telah menjadi sasaran “kreativitas” warga setempat dalam memanfaatkan setiap jengkal ruang yang ada. Banyak dari bagian tembok itu telah disulap menjadi pintu gerbang atau tembok rumah, ada pula yang “merenovasinya” menjadi garasi mobil. Suasana yang cenderung anarkis akan semakin jelas apabila kita mampu mengamati interaksi antar individu di kampung tersebut. Foto di bawah ini memperlihatkan sebuah dinding kamar mandi yang oleh pemiliknya dibubuhkan kalimat “sorry...bukan WC umum, hanya untukku!”. Kalimat singkat itu menandakan bahwa pemilik WC itu tidak mau diganggu privasinya atas tempat tersebut, sehingga dia merasa perlu menuliskan peringatan kepada siapapun -entah tetangganya, atau orang luar yang kebetulan lewat, bahkan mungkin para turis dan guide- yang selama ini (mungkin) dengan seenaknya menggunakan hak milik pribadinya tersebut. Dari situ, paling tidak telah tampak adanya konflik dalam masyarakat kampung Taman, dan ini dengan jelas menunjukkan salah satu upaya pembabatan yang dilakukan warga kampung terhadap “nilai-nilai harmoni” yang selama ini selalu diingat-ingatkan pada mereka.

(foto: WC)

Apapun yang terjadi dalam perkembangan Kota Yogyakarta, ternyata tidak melunturkan citra Yogya sebagai kota Budaya yang sejak semula diyakini bersumber dari keberadaan Kraton itu. Bahkan citra tersebut semakin dihembus-hembuskan seiring dengan maraknya industri pariwisata dewasa ini. Setiap hari siang-malam, kita dapat menyaksikan kaum wisatawan baik domestik maupun mancanegara lalu-lalang di sepanjang jalan dan troroar Malioboro. Para wisatawan itu memang biasanya memilih penginapan yang terletak di sekitar Malioboro, seperti Kampung Sosrowijayan dan daerah Pasar Kembang. Dalam hal ini kepariwisatawan di Yogyakarta, dapat dikatakan Malioboro-lah primadonanya.
Seperti umumnya dunia kepariwisataan, maka Malioboro hampir selalu menjadi identik dengan aktivitas belanja. Segala macam “Jajan” dan “souvenir” yang berbau citra Jawa klasik tersedia di sana. Orang-orang Yogyakarta tampaknya cukup tanggap dengan kebutuhan para turis akan benda-benda yang bisa dijadikan barang bukti bahwa seseorang pelacong sudah sampai di suatu tempat. Munculnya fenomena “batik turis” secara jelas mengindikasikan hal tersebut. Batik turis merupakan jenis batik yang dibuat khusus untuk konsumsi para turis, dengan menampilkan pola dan warna-warna yang tidak konvesional. Model-model tersebut dikerjakan dengan tidak mengacu pada kehalusan dan ketepatan batik klasik yang rumit. Di sini, yang dipentingkan ialah segi komersialnya, sebab di mata para pedagang kaki lima, turis alias landa sudah pasti dudu wong jawa (bukan orang jawa) sehingga tidak begitu memahami --dan memang tidak perlu memahami-- persoalan alus-kasar. Fenomena memplesetkan batik tulis menjadi batik turis ini menunjukkan paling tidak telah terjadi dua macam pembabatan yang dilakukan orang Jawa. Pertama, mereka telah menyiasati pakem motof batik itu sendiri yang semula saklek dan njelimet diubah menjadi lebih luwes dan praktis; kedua, mereka telah mampu menaklukkan para turis landha dengan tanpa perlu dibebani perasaan bersalah.

(foto: batik turis)

Gejala menguras kocek para turis ternyata bukan hanya dilakukan oleh para pedagang kaki lima. Beberapa kerabat kraton juga tidak kurang akal dalam memanfaatkan citra Budaya Jawa sebagai sesuatu yang laku dijual. Kepada para turis, mereka menawarkan paket acara “Royal Dinner”, yakni semacam paket acara makan malam bersama keluarga istana. Para turis yang ikut dalam paket ini akan diterima sebagaimana layaknya tamu kehormatan kerajaan. Di halaman, mereka disambut dengan alunan gending, setelah itu sepasang tuan rumah menyalami mereka satu-persatu. Biasanya sebelum acara dimulai. guide sudah terlebih dahulu memberi petunjuk kepada mereka tentang tata-cara bersikap kepada kerabat kraton. Ini sangat ditekankan oleh pemandu wisata itu, sehingga terkesan mereka benar-benar tengah berhadapan dengan Bangsawan Jawa yang terkenal teguh memegang tata krama. Seringkali para turis itu benar-benar menunjukkan rasa hormatnya dengan membungkukkan badan sambil meletakkan tangan di bahu kiri. Ini merupakan tata cara menghormat raja-raja di Eropa. Hal ini menarik, dan mungkin tidak diketahui oleh para turis ialah bahwa banyak di antara tuan rumah yang menemani makan malam itu ternyata bukanlah kerabat kraton yang sesungguhnya, mereka hanyalah “orang upahan” yang berperan sebagai sang pangeran.
Uraian di atas menunjukkan bahwa persoalan babat-membabat yang dilakukan orang Yogya dapat terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Situasi itu bahkan juga terjadi- dengan sangat kentara- disebuah pasar tradisional yang dapat dikatan belum banyak mendapat pengaruh “asing”. Untuk mencermati hal tersebut, ada baiknya pejalanan kita lanjutkan ke (foto) sebuah pasar tradisional yang terletak lebih-kurang 16 km sebelah utara Kota Yogyakarta. Pasar ini bernama Pasar Jangkang.

(foto: Pasar Jangkang)

Seperti umumnya pasar tradisional, Pasar Jangkang masih mengikuti siklus hari pasran setiap lima hari sekali, dan jatuh pada hari Wage. Kendati begitu, hari Legi dan Pon aktivitas tetap berlangsung tapi terbatas pada perdagangan sayuran dan bahan makanan. Pada hari pasaran, Pasar Jangkang selalu ramai bahkan terkesan semrawut. Hal ini disebabkan penempatan pedagang tidak tertata rapi, tapi tidak ada pembagian blok secara khusus untuk tiap-tiap jenis dagangan. Sementara barang-barang yang diperdagangkan sangat beragam, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, hingga emas. Belakangan bahkan muncul juga pasar hewan, tukang jahit, dan perdagangan sepeda.
Di Pasar Jangkang, ada wilayah-wilayah yang (seolah-olah) terbagi berdasarkan jenis kelamin. Pasar sayuran, yang juga menjual pakaian dan alat-alat rumah tangga, juga emas, menjadi wilayah kaum perempuan. Baik penjual maupun pembeli hampir semua perempuan, dan kalaupun ada kaum pria yang terpaksa (?) terlibat perdagangan di sana maka si pria itu akan melakukannya dengan penuh (ke)ragu(an) karena dapat dianggap mengumbar (ke)malu(an).
Sementara itu, pasar hewan dan pasar sepeda merupakan wilayah kaum pria. Kalau kita memasuki wilayah ini maka kita akan menjumpai sebuah dunia yang penuh (in)trik dan ger(t)ak yang mengesankan sifat “jantan”. Keadaan ini selain karena perilaku transaksi memang kaum pria, juga dipengaruhi oleh komoditi yang dijual. Harga seekor sapi bisa mencapai jutaan rupiah, hingga transaksi di sini tidak main-main. “Nek arep tuku ya ndang tuku, aja mencla-mencle, kesuwen!”. (kalau mau beli yang cepat, jangan plin-plan, kelamaan), kata-kata itu diucapkan dengan ekspresi kemarahan.
Di pasar, segala kepentingan seolah-olah tertumpah begitu saja. Hal ini disebabkan orang terjebak pada rutinitas sehari-hari yang harus mereka lakukan demi mencari nafkah. Kepentingan tersebut seringkali membuat orang lupa dengan “tata krama”, sebab yang menjadi fokus hanyalah perbincangan soal uang dan angka ukuran timbangan. Perilaku ngoko tidak terhindarkan lagi, baik oleh pedagang, maupun pembeli. Pada foto di bawah ini tampak seorang pedagang jajanan sedang memberikan sesuatu kepada pembeli dengan menggunakan tangan kiri. Ini merupakan sesuatu yang kontras dengan perilaku ke-jawaan yang secara hirarkis menempatkan pembeli pada posisi yang lebih terhormat dari pedagang.


(foto: tangan kiri)
Perilaku-perilaku anarkis dalam bagian lain dapat juga kita lihat misalnya dari sikap kasar pedagang sapi, atau tukang obat yang berteriak-teriak demi menarik perhatian calon pembeli. Demikian pula dengan seorang pria yang memasuki “wilayah” perempuan karena “terpaksa” menjual perhiasan istrinya, atau bahkan pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi antara seorang pedagang dengan pembeli akibat kesal(ah-pahaman) dalam transaksi, kesemua itu menunjukkan bahwa ternyata ekonomi uang telah membuat mereka “mampu” lupa pada kaidah budaya yang selama ini dijadikan anutan .

(foto lelaki di wilayah perempuan)

****
Sekarang kita beralih pada citra Yogya sebagai kota pelajar. Jauh sebelum model pendidikan di dalam kelas diperkenalkan oleh bangsa Belanda, Kraton Yogya pada tahun 1848 telah memiliki sistem pendidikan seperti itu, yakni Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah ini bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga kraton dan keluarga penggawa tinggi. Topik utama pendidikan ini meliputi bahasa, kesenian, sejarah kraton, manajemen publik, hukum, Agama Islam, dan pelatihan tehnik, termasuk bela diri dan pertanian. Tahun 1867 pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah sejenis yang disebut sekolah Gubernemen, yang juga berlokasi di kraton. Selanjutnya masa antara tahun 1889 sampai 1893 banyak sekolah baru bermunculan, seperti Sekolah Srimanganti yang juga berlokasi di kraton, serta sederet sekolah partikelir yang tersebar di seluruh Yogyakarta, antara lain di Kalasan, Kejambon, Jejeran, Bantul, Kreteg, Sleman, Klegeung, dan Godean. Kesemua sekolah itu selain mendapat bantuan langsung dari kraton, juga mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, bermunculanlah sekolah-sekolah swasta yang sebagian besar dimotori oleh para penggerak Boedi Oetomo, Taman Siswa, dan Muhamadiyah. Setelah itu sekolah-sekolah partikelir terus bermunculan, dalam berbagai jenjang dan bidang. Pada masa-masa pergerakan kemerdekaan, citra kota pelajar itu semakin menguat dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada.
Kraton Yogyakarta jelas berperan penting bagai kelahiran dan pertumbuhan Universitas Gadjah Mada. Sri Sultan Hamengkubuwana IX secara khusus menyediakan tanah kraton untuk areal kampus tersebut. Bahkan beberapa ruangan milik kraton seperti Siti Hinggil, Wijilan, dan Ngasem, direlakan untuk disekat-sekat menjadi ruangan kuliah pada waktu itu. Konon, karena hubungannya dengan kraton itulah maka kampus UGM kemudian dikenal dengan julukan Kampus Biru, artinya kampus “para bangsawan” (darah biru). Dengan demikian jelaslah bahwa “budaya sekolah” dalam masyarakat Yogyakarta pada awalnya termasuk budaya alus, karena bermula dan berpusat pada kraton.

(foto: UGM)



Hal yang kemudian menarik dari riwayat pendidikan di Yogyakarta ialah adanya gejala terpisahnya antara Kraton sebagai “pusat budaya”, dengan institusi-institusi pendidikan yang muncul kemudian. Seiring dengan makin maraknya bisnis pendidikan, lembaga pendidikan menjadi semakin mandiri dalam berkiprah, tanpa perlu bersentuhan dengan Kraton. Pihak Kraton pun tampaknya sengaja melepas lembaga pendidikan yang dalam kenyataannya memang tidak pernah menjadi Jawa. Aktivitas lembaga pendidikan pada gilirannya lebih tercurah pada hal-hal yang bersifat “modern” dan berskala global, baik itu mengenai teknologi, ekonomi, maupun ilmu-ilmu sosial-budaya. Sangat sedikit dari mereka yang tertarik untuk bersentuhan langsung dengan dunia Jawa pada umumnya dan lingkup kraton pada khususnya. Singkatnya, pendidikan di Yogyakarta sudah berada di luar hirarki.
Keterpisahan lembaga pendidikan dengan ke-jawa-an juga dapat dilacak dari dinamika pondokan mahasiswa. Sebelum era tahun 1980-an, para pelajar dan mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru tanah air akan disambut oleh orang-orang Yogya sebagai keluarga sendiri. Mereka diterima dan ditempatkan dalam kamar yang menjadi satu dengan rumah si induk semang. Tidak jarang mereka dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota keluarga yang mereka tumpangi itu. Akan tetapi keadaan mulai berubah ketika usaha pondokan mulai dirasa benar-benar menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Para pemondok mulai “dikeluarkan” dari keluarga, dan mereka ditempatkan di kamar-kamar sendiri yang dibangun di luar rumah induk semang. Status mereka tidak lebih dari sekedar pengontrak kamar. Banyak tempat kos di Yogyakarta dewasa ini bahkan tidak pernah dikunjungi induk semangnya, selain untuk keperluan penarikan uang kos.

(foto tata tertib tamu kos-kosan)


Derasnya arus pendatang dari berbagai pelosok tanah air telah menjadikan Yogyakarta sebagai kampung multi etnik yang sarat akan masalah baru. Pemukiman menjadi semakin padat, jalan-jalan semakin semrawut, belum lagi masalah yang muncul akibat interaksi antar mahasiswa dan antara mahasiswa dengan rakyat sekitar pondokan. Masalah terpenting adalah sangat sulit jika mengharapkan sebuah prilaku njawani dari para pemudi-pemuda yang sangat beragam, dan nota bene memiliki “ideologi” tersendiri itu. Akan tetapi, di atas semua itu, citra kota pelajar terbukti memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dan itu dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh para pemilik modal untuk membuka usaha sekolah, usaha pondokan serta bentuk-bentuk usaha pelayangan jasa yang lain, seperti warung makan, fotokopi, kios telpon, rental komputer, warung internet, dll. Saat ini di jalan-jalan utama Kota Yogya dengan mudah kita akan menjumpai iklan sekolah atau lembaga pendidikan lain (iklan yang berupa spanduk atau baliho) yang bercampur baur dengan iklan sepatu, parfum, rokok, dan celana dalam.

(foto iklan sekolah)

***

Sampai di titik ini, citra budaya Jawa yang semula dibayangkan sebagai suatu yang halus dan sarat dengan tata krama yang hirarkis, ternyata lebih cenderung (hanya) menjadi sebuah komoditas (padahal bagi priyayi Jawa, berdagang adalah pekerjaan yang bernilai rendah). Selebihnya Yogya telah menjadi nostalgi dan barang koleksi yang antik dan tentu saja eksotik. Kondisi seperti ini terus berlanjut dikarenakan kota Yogyakarta ternyata memang hampir-hampir tidak memiliki sumber pemasukan lain selain menjual citra masa lalu. Sebagaimana layaknya sebuah pasar, maka Yogyakarta pada gilirannya juga tidak terlepas dari situasi persaingan, saling siasat dan penaklukan. Dari sekerat trotoar Malioboro saja dengan mudah dapat kita saksikan kenyataan Jawa hari ini. Para pedagang kakilima berebuat kapling, lalu mendesak pejalan kaki. Anak-anak Jalanan dan Kaum Gelandangan yang menjadikan trotoar sebagai “rumah”, tampak hampir selalu kucing-kucingan dengan petugas ketertiban kota. Demikian pula dengan para pengemis yang selalu siap “menteror” setiap orang yang lewat dengan mengeksloitasi belas kasihan.
Pertanyaan terakhir yang mungkin muncul dalam benak kita ialah “Apa sih Jawa itu? Pertanyaan itu memang tidak sederhana, tapi yang jelas foto-foto Yogyakarta dalam Pameran Etnofotografi ini telah menggiring kita pada berbagai perilaku (jawa) yang cenderung lepas dari hirarki dan penuh siasat. Sebuah wilayah --baik secara spasial maupun sosial-- sering dianggap kosong atau tidak bertuan, sehingga sah-sah saja untuk dimasuki, ditaklukkan dan dikuasai. Hal ini mengingatkan kita pada sejarah para penguasa Tanah Jawa, katakanlah mulai dari Ken Arok, Gajah Mada, Raden Wijaya, Panembahan Senopati, Amangkurat, dan lain-lain, yang memang cenderung mempraktekkan cara-cara pembabatan dalam mengawali dan menjalankan kekuasaannya.
Drama pembabatan --terutama terhadap hutan -- oleh raja-raja Jawa dalam Babad sering dikaitkan dengan mitos Babat Alas Wanamerta, yakni pembukaan hutan oleh para Pandawa ketika akan mendirikan kerajaan Amarta. Dikisahkan bahwa Alas Wanamerta dihuni oleh para butha (rasaksa) dan berbagai macam mahluk halus, akan tetapi para Pandawa yang sakti mandraguna tetap menganggap wilayah itu kosong atau tak bertuan, sehingga mahluk apapun yang ada di dalamnya sah untuk dikorbankan. Entah bagaimana hubungan antara cerita wayang dengan raja-raja Jawa, yang jelas historiografi babad sebagai sebuah sejarah lokal memang sering memuat analogi-analogi yang ditujukan untuk melegitimasi tindakan-tindakan para penguasa yang hendak dikisahkan. Lambang-lambang legitimasi itu dapat berupa cerita tentang “hubungan khusus” antara sang raja dengan “alam lain”, atau berupa hubungan kekerabatan yang bersifat mistis, di mana garis keturunan sang raja ditarik ke pusat sejarah yang terkemuka pada masa silam. Babad tidak terlalu mempersoalkan keakuratan tempat, waktu atau runutan logis sebuah peristiwa, yang lebih dipentingkan adalah tujuan dari cerita itu sendiri. Penyusun babad juga selalu memberi penekanan penting pada keberadaan wahyu atau pulung, ramalan, suara gaib, kesaktian, dan pusaka keramat dalam rangka melengkapi “kebenaran” segala tindakan sang tokoh. Melalui lambang-lambang seperti itulah sejarah disusun dan diceritakan secara turun-temurun dalam rangka mengkontruksikan sebuah kebudayaan.
Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa banyak hal dalam kebudayaan jawa (baca Yogyakarta) hari ini pun tidak terlepas dari kontruksi babad seperti yang disinggung di atas. Sedikit sekali orang yang mencoba menyadari bahwa citra kota budaya, kota wisata, kota pelajar, sesungguhnya sarat akan mitos. Cerita tentang citra itu cendrung dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan dari mana sumbernya, mirip “suara gaib” yang didengar oleh Ki Ageng Giring dari sebatang pohon kelapa . Dalam konteks seperti ini, semua orang bukan saja diajak untuk hanya percaya terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, akan tetapi lebih dari itu mereka justru digiring untuk hanya melihat dan mendengar apa yang dipercayainya.
Demikianlah, kita dihadapkan pada “realitas” bahwa selain persoalan tata krama, ternyata berbagai prilaku yang sifatnya hantam krama sebenarnya juga hadir dalam keseharian para pendukung budaya Jawa, hanya saja kehadirannya terkesan disembunyikan dari wacana. Akan tetapi, ketika “realitas budaya” itu “dihentikan” dalam sepersekian detik melalui kamera, maka dengan mudah kita dapat melihat bagaimana orang jawa --dari berbagai kalangan-- ternyata tidak hanya mampu mempersoalkan sesuatu berdasarkan bebet-bibit-bobot, akan tetapi lebih dari itu ternyata mereka juga mampu membabat habis citra kebudayaannya sendiri.


(Pogung1997-KarangGayam2000)



(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No.4/III/2000)




Daftar Bacaan

Abdurrachman Surjomiharjo (2000), Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1900, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta.
B. Ertanto Cahyo Dewo (1992), Ritus Untuk menjadi Jawa, skripsi S1 Antropologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Budi Susanto, SJ (1992), Yogya(kar)tamu Berbudi-bahasa Jawa Dikaji Ulang, dalam PELLBA-Bahasa Budaya, disunting oleh Bambang Kuswanti Purwo, Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta.
Joko Suryo (1992), Kisah Senopati-Ki Ageng mangir Dalam Historiografi Babad, dalam Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah kritis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
KPH MR. Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Nandy, Ashis (1995), Kebudayaan Sebagai Perlawanan, makalah tidak diterbitkan.
Thomas, Donald W (1982), Semiotic 3. Communication, Code dan Culture, Ginn Custom Publising, Lexington
Tim Etnofotografi (1994) , Dinamika Sosial Budaya Yogyakarta Akhir Abad XX, makalah Sarasehan pada Pameran Etnofotografi, Jakarta
Majalah Balairung (1999), No. 30/th.XIV/1999, edisi Membaca Ekspresi Yogya, BPPM-UGM, Yogyakarta
Yogyakarta Urban Development Project (1991), RDS Studi Kebutuhan Nyata, Yayasan Diandesa, Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar