Sabtu, 04 Juli 2009

JERit JERAT JERiT

Di tulis oleh Budi Susanto S.J.

Aksi (penerbitan) seperti dilakukan Jerat BUDAYA nampaknya menjadi bukti bahwa betapapun keramatnya (per)ingatan tentang “kraton,” “Malioboro,” dan “UGM” ketiga istilah itu menjadi floating signifiers – sebagaimana dikatakan Barthes (meninggal dunia tahun 1980) – tetap saja tiga hal itu mudah di”babat/d” oleh sebagian warga kota Jogja. Apalagi kalau (per)ingatan itu adalah yang sengaja atau tidak sengaja diabadikan oleh kamera. Dan, betul juga -seperti diperbincangkan “mbak Strassler – bahwa dalam arti tertentu foto dan bahasa tidaklah jauh berbeda. Khususnya kalau hal itu seperti bahasa yang dipergunakan dalam sebuah puisi. Penampakan (representasi) seperti itu menjadikan seni tidaklah semata-mata sebagai suatu romantisme yang menjadi monopoli keunggulan orang sekolahan, para penafsir khususnya. Maka, juga dalam fotografi, yang penting pada sebuah foto atau image lainnya bukanlah perbincangan tentang asli-usul atau otensitasnya; tetapi tujuannya!
Karena, perlu diwaspadai dengan jeli bahwa adalah gaya hidup tipikal kalangan borjuis yaitu bahwa “mereka suka percaya pada “kenyataan” (baca: pertanyataan) yang pernah mereka lihat. Itu sebabnya juga mereka lalu cepat dan mudah melihat apa yang biasanya (sudah) ada dalam kepercayaan mereka. Tidak mengherankan kalau bagi seorang pengamat yang jeli (dengan lima inderanya) akan mudah menemukan penampakan-penampakan gaya “malioboro” dan “keraton” sedang besabung-rasa dengan independensi atau altruisme yang selayaknya ada di sebuah universitas Gama itu. Tentu sebaliknya juga beberapa penampakan yang terjadi di kawasan Malioboro atau di pemukiman para kerabat ratu di Keraton-jogja.
Perbincangan yang ditawarkan oleh Jerat BUDAYA mengungkap bahwa di mata (atau:telinga? Benak?) orang Jogja, foto-foto yang dipamerkan tidak harus selalu membeku dan membakukan. Penampakan dari kenyataan (atau pernyataan) adalah sesuatu yang masih harus bergerak, berubah, berkembang, menyerah, atau apapun juga istilahnya. Menikmati penampakan sebuah karya seni-budaya, termasuk (etno)fotografi bukanlah seperti voyeurism, seperti seorang yang suka ngintip hal-hal yang “mengasyikkan” (lihat, Jean-michel Rabate, Writing the Image After Roland Barthes. Philadelphia: University Of Pennsylvania Press, 1997, h. 182)
Tak ada pilihan lain, kalau ingin “ingat untuk melupakan” Jogja-seperti pernyataan Jerat BUDAYA-perlulah untuk secara konsekwen SERING-SERING mengadakan pameran fotografi, penerbitan buku fotografi, kuliah dan lomba fotografi, dll. Di atas panggung seni (fotografis) itulah nafsu (in)trik politik, sifat-sifat mata duitan, hedonistik dari tubuh manusia, integritas moral, perselingkuhan, dll. dapat diperbincangkan dengan lancar…dan secara cakap juga.

(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No. 4/III/2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar