Sabtu, 04 Juli 2009

DUNIA (CITRA) KAKI LIMA MALIOBORO

Di tulis oleh: Transpiosa “Cuk” Riomandha


PROLOG
“Bunga-bunga kehidupan, tumbuh subur di trotoar, mekar liar di mana-mana. Langkah-langkah garang datang, hancurkan wanginya kembang, engkau diam tak berdaya. Menggelar aneka barang, menggelar mimpi yang panjang, kaki lima menggelar resah. Di emperan toko besar, koar mulutmu berkobar, kaki lima makin menjalar. Bagai jutaan serigala, menyerbu kota besar, tempat asal adalah neraka. Tolong beritahu aku bagaimana caranya, nasib tak pernah berpihak. Bungaku, bunga liar. Bungaku, bunga trotoar ...”

Lagu “Bunga Trotoar” milik kelompok SWAMI di atas menyiratkan sebuah dunia kaki lima yang penuh dinamika. Trotoar atau kaki lima yang dibangun untuk kepentingan para pejalan kaki menjadi semakin sesak dengan kehadiran pedagang kaki lima. Trotoar tidak lagi menjadi tempat melintas yang nyaman bagi pejalan kaki. Fungsi trotoar berubah ketika seringkali trotoar tampak begitu luas jika “hanya” diperuntukkan pejalan kaki saja. “Kekosongan” trotoar ini dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima untuk berjualan, pejalan kaki pun dipaksa berbagi ruang dengan mereka.
Fenomena kaki lima ini berkaitan dengan fenomena frontierisme, sebuah pandangan yang menganggap ada “ruang kosong” di hadapannya yang dapat ia duduki dan kuasai. Trotoar telah menjadi ruang kosong tersebut. Berbagai kepentingan yang berinteraksi di atas trotoar, memunculkan konflik perebutan ruang. Interaksi tersebut juga memunculkan negosiasi dan siasat bagi orang untuk menyatakan kepentingannya di atas trotoar. Yang menarik dari bentuk interaksi dan negosiasi ini adalah bagaimana orang kemudian membangun citra mengenai identitas dari sebuah trotoar. Malioboro dengan kehidupan kaki limanya terasa sangat mewakili untuk melukiskan interaksi, negosiasi dan dunia citra tentang trotoar.
Berangkat dengan dua konsep citra yang ditawarkan Boulding dan Sontag, tulisan ini mencoba untuk mendiskusikan citra tentang ruang “kaki lima” atau trotoar di Malioboro, Yogyakarta. Pembahasan ini meliputi bagaimana orang memandang trotoar Malioboro untuk kemudian berperilaku di sana, serta fenomena frontierisme yang terjadi di Malioboro. Selanjutnya adalah bagaimana citra “keruangan” Malioboro dan trotoarnya menjadi representasi dari Yogyakarta, identitas kota Yogyakarta. Tulisan ini juga mencoba mengungkapkan munculnya negosiasi citra dan siasat budaya yang muncul di Malioboro.

BAGIAN I
Dunia Citra: Antara Pengetahuan Subyektif dan Representasi
A. CITRA SEBAGAI PENGETAHUAN SUBYEKTIF
Kenneth Boulding (1972: 41-51) menyatakan citra sebagai sebuah bentuk pengetahuan subyektif. Dari sudut pandang individu citra merupakan gabungan informasi dari pribadi individu serta pengetahuan budaya dari masyarakat atau publik. Citra terbangun dari hasil pengalaman pemilik citra itu sendiri. Salah satu bagian dari citra adalah sejarah terbentuknya citra itu sendiri, sebuah proses munculnya kesadaran tentang citra. Struktur konstruksi citra tidak hanya citra tentang “fakta” tetapi juga citra tentang “nilai”. Citra ini pada gilirannya mempengaruhi perilaku seseorang, karena manusia tidak hanya mempunyai kemampuan membentuk citra saja tetapi juga berbicara mengenai citra dan bertingkah laku sesuai dengan citra itu sendiri.
Setiap masyarakat memiliki citra secara kolektif, sebuah pengetahuan budaya yang sama bagi sekelompok orang. Artinya, jika sekelompok orang berada dalam sebuah ruangan, maka mereka akan berpikir bahwa mereka berada di dalam ruangan yang sama. Hal ini menunjukkan terbaginya citra antara citra individu dengan citra kolektif. Pada gilirannya, ketika sekelompok manusia berbagi citra yang sama maka rangkaian pesan-pesan yang diterima dalam membangun citra adalah identik, sehingga sistem nilai dari semua individu harus dilihat secara identik (Boulding, 1972: 48).
Ketika manusia menempatkan dirinya di atas trotoar Malioboro maka ia akan mengidentifikasikan dirinya pada karakteristik ruang tersebut. Melalui citra trotoar Malioboro yang telah terbangun di dalam benaknya, manusia melakukan aktualisasi diri melalui negosiasi atas kenyataan yang terjadi di trotoar. Ketika penerimaan akan kenyataan tersebut dimiliki oleh para pengguna trotoar, maka perilaku yang muncul melalui rangkaian pesan menjadi identik, sebuah gaya hidup kolektif. Citra dan gaya hidup kolektif tersebut kemudian menjadi sebuah identitas bagi trotoar itu sendiri.

B. CITRA SEBAGAI REPRESENTASI
Roland Barthes (1977: 32-33) mengatakan bahwa citra merupakan representation, sebuah “kebangkitan” yang dipahami sebagai sebuah “pengalaman yang pernah hidup”. Demikian pula dengan Susan Sontag (1995: 7), Ia menegaskan lagi apa yang telah dikatakan oleh Feurbach, Sontag melihat citra sebagai sebuah ilusi atau bayangan, copy bukan asli, representation bukan reality. Citra di sini akan mempunyai jarak dengan realita yang sebenarnya.
Pada pengertian ini, Sontag lebih melihat bagaimana citra kolektif tersebut mengkonstruksikan citra dari individu. Citra individu, oleh Sontag dilihat dipaksa untuk tunduk pada citra kolektif. Ini dapat dilihat pada kasus bagaimana Malioboro dipilih untuk menjadi identitas dari Yogyakarta. Malioboro yang panjangnya kurang dari dua kilometer itu dianggap sebagai representasi dari kota Yogyakarta yang luasnya jauh lebih besar. Juga pada pelekatan identitas Malioboro yang dilihat dari satu sisi, seperti sebagai sebuah tempat yang eksotis atau sebagai tempat yang semrawut. Sontag menunjukkan citra sebagai representasi, yang memaksa citra individu untuk dikonstruksikan. Berkaitan dengan itu, terlihat bagaimana orang melakukan pemilihan dalam membangun sebuah identitas.
***
Kedua pengertian mengenai citra di atas digunakan dalam tulisan ini . Pemikiran Boulding digunakan untuk melihat bagaimana orang memandang trotoar Malioboro dengan pengetahuan budaya mereka. Juga bagaimana orang “menyiapkan” diri untuk berperilaku dan berinteraksi di atas trotoar Malioboro untuk kemudian membentuk identitas dari Malioboro itu sendiri.
Sementara pemikiran Sontag digunakan untuk melihat bagaimana orang membangun sebuah citra sebagai hasil representasi dari kenyataan. Penjelasan ini dapat dilihat ketika bagaimana Malioboro (termasuk trotoarnya) telah sebagai identitas dari kota Yogyakarta.

BAGIAN II
Dunia Kaki Lima Malioboro
A. FRONTIERISME DI ATAS TROTOAR MALIOBORO
Keunikan dari Malioboro adalah maraknya kehadiran pedagang kaki limanya. Mulai teteg stasiun tugu hingga perempatan Vredeburg, trotoar Malioboro berhiaskan pedagang kaki lima. Di mulai ketika walikota Soejono AJ (alm) pada sekitar 1970-an membuat kebijakan mengundurkan bangunan sekitar enam meter untuk pembangunan trotoar, maka sejak saat itu trotoar Malioboro digunakan pedagang kaki lima. Pada tahun 1987 muncul peraturan yang mengatur situasi Malioboro, SK Walikotamadya Yogyakarta No. 056/1987. Surat keputusan ini berisi antara lain melarang berjualan di ruas tertentu jalan Malioboro, pengaturan jam berjualan pada pedagang lesehan di malam hari, serta juga perijinan dan pembayaran retribusi.
Ketika secara sengaja trotoar Malioboro menyediakan dirinya untuk pedagang kaki lima, Malioboro pun dipenuhi pedagang kaki lima. Maraknya industri pariwisata membuat Malioboro semakin ramai, pusat bisnis dengan perputaran uang yang tinggi. Berbagai orang dengan berbagai kepentingannya pun hadir di Malioboro. Malioboro dan trotoarnya kemudian menjadi seperti “tanah harapan”, sebuah daerah “baru” yang menjanjikan, setiap orang dengan bebas menyatakan intensinya. Peristiwa semacam ini merupakan fenomena frontierisme.
Melbin (1978: 7) mengatakan bahwa sebuah tempat (settlement) dalam dimensi ruang dan waktu merupakan daerah yang dimasuki oleh manusia dan aktivitasnya. Frontier adalah seperti sebuah pola tinggal yang berserakan dalam area ruang atau waktu. Berada di antara sebuah tempat yang sangat padat tetapi secara praktiknya dilihat sebagai area kosong. Dengan masyarakat yang aktif dalam daerah yang padat, membuat daerah ruang dan waktu menjadi sebuah “belantara”. Di atas itu semua, jika melihat sebuah tempat dengan tingkat kepadatan yang lebih tinggi lagi, kehadiran orang-orang dalam beraktivitas itu saja akan membuat area tersebut sebagai daerah frontier.
Konsep frontier ini kemudian diadopsi menjadi sebuah paham atau ideologi. Orang membangun citra mengenai sebuah tempat sebagai daerah frontier, daerah tak bertuan yang dapat dimasuki, diduduki dan ditaklukkan. Hasrat untuk menduduki ruang kosong tersebut membangun ideologi frontierisme ini. Frontierisme kemudian terlihat sebagai sebuah konstruksi atau citra mengenai penembusan batas, penguasaan dan penaklukan atas ruang yang bersifat progresif dan ekspansif.
Pada perkembangan selanjutnya, ketika gagasan mengenai frontier ini diaktualisasikan, ekspansi yang progresif ini memunculkan sikap kompetitif dan siasat agar dapat memenangkan “pertempuran” di wilayah frontier tersebut. Di wilayah ini hukum dan aturan-aturan resmi dianggap tidak ada, sehingga interaksi yang terjadi kemudian menunjukkan kesemrawutan, ketidakteraturan serta juga munculnya kompromi untuk menerima keadaan apapun yang terjadi.
Trotoar Malioboro telah menjadi daerah frontier, sebuah wilayah yang dianggap kosong dan tak bertuan. Seperti layaknya ruang kosong, Malioboro didatangi oleh banyak orang dan kemudian mendudukinya. Layaknya sebuah pendudukan, tentu ada kelompok yang ditaklukkan. Dalam hal ini pejalan kaki telah ditaklukkan oleh para pedagang kaki lima.
“Aduh ... kalau jalan lihat-lihat mbak!”, hardik seorang pedagang kaki lima kepada serombongan perempuan muda. Barang dagangannya yang berupa miniatur gitar listrik patah karena jatuh tersenggol mereka. Yang dihardik pun hanya terdiam dan saling berpandangan satu sama lain dengan paras ketakutan. “Pokoknya, mbak-mbak ini harus mengganti!”, seru pedagang kaki lima tersebut kemudian. Perempuan-perempuan tadi kemudian saling berbisik untuk kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya. “Elu sih, becanda melulu, (Kamu sih, bercanda terus)”, seru salah seseorang di antara mereka sambil menyalahkan temannya.
Di atas trotoar depan pasar Bringharjo, tampak dua wanita pedagang kaki lima yang sedang petan atau mencari kutu rambut. Mereka berdua melakukannya sambil berbicara tentang keluarga masing-masing, sesekali terdengar mereka tertawa kecil. Di tempat lain sering tampak ada orang yang tidur begitu saja di atas trotoar, tanpa peduli dengan orang yang lalu lalang ia melepaskan lelah. Anak-anak jalanan bernyanyi dengan lantang diiringi gitar di depan “kantor” mereka. Beberapa di antara mereka bercanda dan bermain, berlarian di atas trotoar hingga kadang menyenggol para pejalan kaki yang sedang lewat atau barang dagangan pedagang kaki lima.
Trotoar Malioboro sebagai wilayah publik yang no-one’s space telah bergeser menjadi private/someone’s space. Orang melakukan pendakuan atas public space sebagai wilayah pribadinya, ia memposisikan dirinya untuk menjadi “tuan” di atas kaplingnya (Riomandha dan Widanto, 1996). Orang memperlakukan trotoar Malioboro layaknya “rumah”-nya sendiri, dengan bebas orang dapat tidur, bermain, belajar, momong, buang air, meludah dan sebagainya. Anak jalanan pun menyebut sebuah tempat di depan hotel Mutiara sebagai “kantor”. Kapling atau panggonan di atas trotoar yang berarti merupakan milik sebagai hak, kemudian berubah menjadi milik seperti layaknya harta benda pribadi .
Dengan melihat trotoar sebagai ruang yang dapat dianggap sebagai ruang pribadi, orang berusaha untuk menyatakan kepentingan-kepentingan pribadinya di atas kapling trotoar pribadinya. Ketika banyak orang melihat trotoar Malioboro sebagai ruang yang dapat memberikan ruang bagi pribadi-pribadi, maka semakin banyak pula orang yang berdatangan dan mengisi trotoar Malioboro. Banyaknya orang yang masuk ke ruang Malioboro, berarti sebanyak itu pula kepentingan yang muncul. Perebutan atas trotoar pun terjadi. Perebutan di sini lebih pada bagaimana orang menggunakan trotoar sebagai ruang yang dapat mengaktualisasikan kepentingan pribadi tiap-tiap individu. Setiap orang merasa berhak menyatakan kepentingannya, yang akibatnya seringkali kepentingan orang lain menjadi terabaikan.
Dari sekitar enam meter rata-rata lebar trotoar di Malioboro, hampir empat setengah meternya terisi oleh pedagang kaki lima, baik itu pedagang kaki lima yang membelakangi toko ataupun mereka yang berhadapan dengan toko. Satu meter lainnya diisi oleh mereka yang ingin membeli barang atau melihat-lihat saja, sehingga ruang yang tersisa untuk melintas tinggal setengah meter saja, dan ini pun menjadi semakin berkurang ketika musim liburan tiba. Pejalan kaki pun dipaksa untuk berjalan berdesak-desakan.
Ruang trotoar telah direbut dan dikuasai oleh para pedagang kaki lima, pejalan kaki hanya mendapatkan “sisa-sisa” ruang yang ada, bahkan mereka pun seringkali tersingkir hingga ke pinggir jalan. Pemerintah pun mau tidak mau dapat dianggap turut mendukung mengenai nasib pejalan kaki yang tergusur ini lewat pajak maupun iuran-iuran lainnya yang ditarik dari pedagang kaki lima. Pajak ini menjadi legitimasi sahnya kehadiran pedagang kaki lima di trotoar Malioboro. Tragisnya nasib pejalan kaki ini rasanya menjadi semakin buruk. Setelah trotoar tempatnya melintas diduduki pedagang kaki lima, pinggir jalan Malioboro pun telah diduduki oleh becak, gerobak dan sejenisnya, pejalan kaki menjadi semakin susah untuk berjalan di Malioboro.
Melihat apa yang terjadi di Malioboro kini dengan segala kesemrawutannya dan berbagai perebutan kepentingan, tak lepas dari nuansa bisnis. Dunia bisnis dengan motif ekonominya, membuat orang berusaha untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya dengan modal yang serendah-rendahnya. Bisnis yang marak di Malioboro adalah industri pariwisata. Malioboro dijadikan tujuan utama wisata kota Yogyakarta. Malioboro kemudian menjadi pusat di mana uang yang beredar di dalamnya begitu melimpah yang pasti menggiurkan bagi siapa saja. Orang pun kemudian berebut untuk masuk ke wilayah Malioboro dengan caranya masing-masing untuk mengais rejeki dari Malioboro. Mulai dari pedagang kaki lima yang sekarang semakin membuat sempit trotoar Malioboro, hingga pihak pemerintah daerah dengan berbagai kebijakannya, semuanya saling berlomba mendapatkan keuntungan di atas trotoar Malioboro. Hal ini kemudian seringkali menimbulkan benturan-benturan di antara pihak-pihak yang menyatakan kepentingannya tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, benturan-benturan ini selain memunculkan suasana perebutan di atas trotoar, di sisi lain juga memunculkan kompromi di atas trotoar Malioboro. Kompromi yang terjadi di sini bisa dikatakan sebagai bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap tindakan frontierisme. Persetujuan terhadap perilaku “pelaku frontier” tersebut menunjukkan bahwa frontierisme telah diterima sebagai budaya di atas trotoar. Pedagang kaki lima boleh menempati trotoar Malioboro dengan membayar retribusi terhadap pemerintah daerah. Pejalan kaki pun menerima pedagang kaki lima sebagai partner di atas trotoar, mereka berbagi ruang di atas trotoar dengan para pedagang kaki lima. Pedagang lesehan pun mendapat teguran dari pemerintah daerah agar memasang tarif yang wajar.
“Nuwun sewu, Pak, (Permisi, Pak) ” ucap seorang pejalan kaki sambil sedikit membungkukkan badan kepada seseorang pedagang kaki lima yang duduk dengan kaki sedikit menghalangi jalan. Pedagang kaki lima itu hanya menganggukkan kepalanya sambil menarik kakinya. Pejalan kaki tersebut lalu meneruskan langkahnya di atas trotoar Malioboro.
Sementara itu di sudut lain seorang pengemis datang dan langsung duduk di atas trotoar di depan sebuah toko yang terletak di jalan Ahmad Yani. Ia mengeluarkan sebuah sapu tangan dan kemudian diletakkan begitu saja di atas trotoar. Sapu tangan tersebut berfungsi sebagai tempat bagi orang untuk meletakkan uang yang diberikan kepadanya. Setiap ada orang yang meletakkan uang di sapu tangan, pengemis tersebut mengambilnya untuk kemudian ia masukkan ke dalam kantongnya. “Pak, mbok rada ngetan sithik, (Pak, tolong agak bergeser ke timur sedikit)” tegur pemilik toko yang sedang membuka pintu tokonya. Pengemis tersebut kemudian menggeser duduknya dengan menjitak kepalanya sendiri dan berkata, “ o nggih den, karo panggonane dewe kok isih lali wae (Oh ya tuan, dengan tempatnya sendiri kok masih lupa)”. Pemilik toko pun hanya tersenyum mendengar jawaban pengemis tersebut sambil terus membenahi tokonya. Ungkapan-ungkapan pengakuan ini merupakan salah satu bentuk kompromi di atas trotoar Malioboro.
Ada sebuah perbandingan yang menarik mengenai sikap kompromi ini. Yang pertama adalah kompromi yang muncul dahulu, ketika Malioboro belum seperti sekarang. Kedaulatan Rakyat, 5 Juni 1995, mengungkapkan Malioboro pada sekitar 70-an menjadi “surga” bagi para seniman, atau siapa saja yang tertarik masalah kebudayaan. Di Malioboro mereka berdiskusi tentang apa saja. Pada saat itu setiap orang saling mengerti posisi mereka masing-masing, setiap orang saling menghormati dalam “kehidupan bersama” di Malioboro. Singkatnya budaya kompromi yang terjadi saat itu lebih pada bagaimana orang mau menghormati hak-hak dan kepentingan orang lain dalam rangka “berjalan bersama-sama ” di Malioboro.
Ketika aroma bisnis mulai memasuki Malioboro terlihat bahwa Malioboro telah “kehilangan sukmanya”, Malioboro telah kehilangan kebersamaannya. Malioboro pun juga telah “kehilangan raganya”, bangunan fisik menjadi tak karuan lagi bentuknya. Malioboro sudah tidak nyaman lagi, mau menyeberang jalan susah karena pengendara motor yang “main terabas”. Pedagang pun sering mengeluarkan serapahnya pada konsumen. Pada gilirannya, kompromi yang terjadi sekarang lebih berbentuk pada “kewaspadaan”. Bagaimana kita dapat berjalan dan berhati-hati di Malioboro. Bagaimana kita menerima keadaan Malioboro itu apa adanya, dan mengantisipasi tindakan kita atas tindakan orang lain.
Terlepas dari dua bentuk kompromi yang terjadi di atas trotoar Malioboro, kompromi-kompromi yang terjadi tersebut mempunyai makna sebagai pernyataan dan kesepakatan tentang kebersamaan antara komponen terkait di sana untuk mengisi hari-hari di atas trotoar. Kalau dulu konflik yang muncul di sana diredam oleh sikap saling mengerti posisi masing-masing dengan saling menghormati, maka yang terjadi sekarang konflik yang terjadi diredam dengan siasat, “kewaspadaan”.

B. CITRA DAN IDENTITAS MALIOBORO
Pada sebuah diskusi yang diadakan oleh Urban Forum , salah seorang peserta mengatakan bahwa kini tak nyaman lagi untuk berjalan di Malioboro. Malioboro sekarang sudah semrawut. Sebagai seorang pengunjung atau pejalan kaki di Malioboro, ia merasakan bahwa trotoar sebagai tempat melintas sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (seperti yang diinginkannya).
Terlepas dari kehadirannya yang dianggap menimbulkan kesemrawutan, bagi Yogyakarta sendiri kehadiran pedagang kaki lima sangat dibutuhkan di Malioboro. Pedagang kaki lima memberi kontribusi yang besar bagi Pemda Kodya Yogya, seperti sewa kapling, pajak pembangunan, retribusi, pariwisata dengan wisatawannya yang datang ke Malioboro serta penjualan produk-produk dalam negeri.
Pengunjung Malioboro yang datang ke Malioboro dan berjalan di atas trotoarnya juga membutuhkan kehadiran pedagang kaki lima. Orang belum tentu mau datang ke Malioboro jika tidak ada pedagang kaki limanya yang padat tersebut. Kehadiran pedagang kaki lima sudah menjadi satu dengan citra Malioboro, dan citra ini juga telah terbangun dalam benak para pengunjung Malioboro.
Kesemrawutan Malioboro sendiri, sebenarnya tidak bisa lepas dari peran pengunjung Malioboro atau pejalan kaki itu sendiri. Bisa dikatakan bahwa mereka yang ingin menikmati Malioboro menjadi semakin bertambah. Juga dari perilaku pejalan kaki sendiri di Malioboro, dimana pejalan kaki berjalan lambat di atas trotoar. Kelambatan ini tercipta oleh sesaknya trotoar Malioboro oleh pedagang kaki lima dan pejalan kaki, sehingga mereka harus berjalan beriringan. Kelambatan ini juga sengaja dimunculkan oleh pejalan kaki. Mereka berjalan sambil melihat-lihat barang-barang yang dijual pedagang kaki lima, ketika kemudian mereka tertarik maka berhentilah ia di salah satu stand pedagang, pejalan kaki lain yang berada di belakangnya pun kemudian melewatinya sambil berkelit agak susah payah.
Melihat kenyataan di atas, dapat dikatakan Malioboro secara sengaja menyediakan trotoarnya tidak hanya untuk pejalan kaki saja tetapi juga sebagai tempat bagi pedagang kaki lima untuk berjualan. Malioboro pun kemudian dikenal sebagai tempat dengan kehadiran pedagang kaki limanya. Itulah identitas Malioboro. Identitas seperti inilah yang membedakan trotoar Malioboro dengan daerah lain.
Ketika seorang individu atau sekelompok individu menempatkan dirinya di dalam trotoar Malioboro, maka ia akan membangun citra (menyiapkan diri) terhadap trotoar Malioboro. Ia beradaptasi dengan kenyataan yang terjadi di atas trotoar tersebut. Berbagai perilaku dari individu ini kemudian membangun identitas dari Malioboro itu sendiri.
Identitas Malioboro dibangun oleh bagaimana orang memandang Malioboro dan kemudian berperilaku di Malioboro. Orang sadar ketika ia berjalan di atas trotoar Malioboro, ia akan bertemu dengan pedagang kaki lima dengan barang-barang dagangannya yang khas. Ketika malam ia berjalan di Malioboro pada waktu malam hari, orang pun akan bertemu dengan pedagang lesehannya yang berhiaskan suara-suara dari pemusik jalanan. Suasana yang khas dari Malioboro tersebut, kemudian menjadi sebuah identitas Malioboro sendiri. Sebuah suasana yang menjadi magnet untuk menarik orang datang ke Malioboro. Sebuah suasana yang membuat Malioboro selalu ramai oleh pengunjung yang datang silih berganti.
Di lain pihak, Malioboro juga dikenal sebagai tempat yang semrawut dan tidak nyaman. Suasana perebutan ruang, mafia kapling, kemacetan dan kesemrawutan hampir selalu mengisi keseharian Malioboro. Di Malioboro orang sering merasa cemas jika akan menyeberang jalan, orang sering ditipu oleh pedagang, suasana kenikmatan berjalan di trotoarnya menjadi terusik dengan semakin ramainya trotoar Malioboro.
Orang pun sadar bahwa ketika ia berjalan di Malioboro, besar kemungkinan ia akan berjalan berdesak-desakan di atas trotoarnya. Apalagi jika ia melakukannya di malam minggu, keramaian Malioboro mencapai puncaknya pada hari ini. Kemacetan dan sesaknya trotoar Malioboro pasti akan ditemui pada hari ini. Orang pun kemudian dituntut untuk menyiapkan diri dengan apa yang akan ditemui di Malioboro, serta juga membiasakan diri. Seperti yang dikatakan oleh Mas Pri, seorang penjual kaset kaki lima di Malioboro, “Terima saja apa adanya, Malioboro ruwet dan sumpek itu sudah biasa, tinggal bagaimana kita melihatnya, apalagi keadaan seperti itu membuat dagangan saya laku lebih banyak”.
Citra Malioboro yang terbangun pada benak individu kemudian tergantung dari hasil adaptasi individu dengan Malioboro itu sendiri. Identitas Malioboro kemudian terlihat mempunyai multi wajah, mulai yang khas romantis hingga semrawut. Dengan pedagang kaki limanya yang berjalan aneka macam barang yang khas, sebagai sebuah oleh-oleh dari Yogya, orang ramai berkunjung ke Malioboro. Akan tetapi ramainya pedagang kaki lima dan ramainya orang yang berkunjung ke Malioboro membuat Malioboro akhirnya menjadi terlihat sumpek dan semrawut, yang kadang membuat orang enggan untuk berkunjung ke Malioboro. Artinya, identitas Malioboro ini juga dipengaruhi oleh bagaimana orang memandang dan berperilaku di Malioboro. Di sini, citra individu memegang peranan dalam pembentukan identitas Malioboro.

BAGIAN III
Malioboro Sebagai Identitas Yogyakarta
A. POLITIK CITRA DALAM PEMBENTUKAN IDENTITAS MALIOBORO
Ken Plumer (1994: 271) mengungkapkan bahwa identitas merupakan proses penamaan atau penempatan diri di dalam suatu kategori atau konstruksi sosial tertentu. Identitas sendiri juga merupakan sebuah konstruksi sosial, dalam arti kita mengekspresikan diri kita yang bisa diterima oleh orang “lain” dalam menilai identitas diri kita sendiri . Konsep identitas ini muncul ketika sesuatu hal berhadapan dengan sesuatu hal yang lain. Identitas kemudian merupakan sebuah batasan dalam rangka membedakan diri dengan yang lain.
Eriksen (1993: 117-118) mengatakan bahwa identitas dibangun dari seleksi dengan batasan yang bersifat semena-mena, hanya dari satu bentuk budaya yang dianggap sangat penting dan dapat mewakili secara keseluruhan. Melihat hal itu, dapat dilihat bahwa bagaimanapun juga, citra kolektif pun dibentuk oleh sekelompok orang. Citra kolektif tergantung pada subyektifitas. Eriksen juga mengatakan bahwa identitas selalu dibangun berdasarkan legitimasi sebuah bentuk lembaga yang berkepentingan.
Pada kasus Malioboro, lembaga ini dapat berarti pemerintah dengan kebijakan industri pariwisatanya atau pihak-pihak yang mempunyai kekuatan untuk melegitimasi masyarakat seperti para ulama atau kalangan akademisi. Lembaga ini “memaksa” individu-individu dalam masyarakat untuk tunduk pada citra kolektif yang mereka bangun.
Dalam dunia pariwisata, hampir semua industri memilih untuk mengidentifikasikan produknya sebagai sesuatu yang eksotis. Eksotisme yang ditawarkan pada intinya menggiring orang ke dalam suatu bentuk petualangan atau pengalaman baru. Melalui rekayasa citra, eksostisme sebuah daerah tujuan turisme seringkali ditampilkan sebagai sesuatu yang masih asli dan membuat orang yang bersangkutan bertambah harga dirinya. Citra seperti inilah yang memancing orang untuk datang (Spillane, 1994: 14-16).
Industri pariwisata mencoba untuk mengkonstruksikan citra dengan kepentingan untuk menarik minat wisatawan berkunjung. Secara semena-mena industri pariwisata melakukan pemilihan dengan hanya merepresentasikan sebagian potret dari kenyataan sebenarnya. Pedagang kaki lima, pedagang lesehan, lampu-lampu jalan, musisi jalanan dipilih untuk menampilkan citra Malioboro sebagai tempat yang eksotik.
Sementara itu dari kacamata yang berbeda, para akademisi mencoba untuk mengkonstruksikan identitas Malioboro sebagai sebuah tempat yang memiliki citra yang lain: semrawut. Pengaturan terhadap pedagang kaki lima, arus kendaraan dan sebagainya, telah menjadi bahan pembicaraan kalangan akademis tentang Malioboro. Citra ini disosialisasikan dengan cara menulis di surat-surat kabar, mengadakan diskusi terbuka, hingga pada tingkat mempertemukan pihak-pihak yang terkait di Malioboro, seperti pemerintah, investor, pedagang kaki lima. Ini berarti, para akademisi memaksa tiap inividu dalam masyarakat (Yogyakarta), untuk memiliki citra yang sama dengan citra kolektif yang mereka bangun. Masyarakat “dipaksa” untuk secara bersama-sama membenahi kesemrawutan yang muncul di Malioboro.
Citra kolektif yang dibangun oleh kalangan akademis tentang Malioboro ini kemudian ditanggapi oleh pemerintah melalui Kampanye Nasional Sadar Wisata, karena bagaimanapun juga hilangnya “kenyamanan” di Malioboro dapat berarti semakin berkurangnya wisatawan yang datang ke Malioboro, dan ini berarti juga pemasukan kas daerah menjadi menyusut. Program ini dimaksudkan untuk mengajak setiap orang agar mewujudkan pemikiran, sikap dan tingkah laku yang mendukung pengembangan pariwisata, atau menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan. Spillane (1997: 21-23) melihat program ini sebagai upaya pendisiplinan dan penyeragaman dalam melihat sesuatu, dalam hal ini pariwisata. Pariwisata, kemudian dilihat sebagai sebuah keharusan pembangunan negara.
Penyeragaman dan pendisiplinan ini diwujudkan dalam bentuk seperti operasi tertib, pajak dan iuran bagi pedagang, lomba kebersihan kota dengan piala Adipuranya. Kesemuanya ini dimaksudkan untuk menunjang sektor pariwisata pada khususnya dan pembangunan nasional pada umumnya, karena pemasukan dari sektor pariwisata digunakan untuk membantu pembangunan nasional. Mensukseskan pariwisata juga berarti mensukseskan pembangunan nasional.
Usaha yang dilakukan oleh pemerintah itu dapat dikatakan sebagai cara untuk mempertahankan identitas Malioboro sebagai tempat yang eksotik. Keeksotikan sebagai identitas Malioboro dianggap terancam. Bhabha (1994: 34) mengatakan bahwa identitas kebudayaan menjadi problem ketika ia kehilangan arti dalam kehidupan sehari-hari. Eriksen (1993: 68) menambahkan bahwa persoalan identitas menjadi penting ketika terancam, dan ancaman ini selalu dikaitkan dengan perubahan yang sedang dialami.
Di samping itu, industri pariwisata juga mencoba merekayasa identitas Malioboro dengan mempertemukan citra eksotik dan citra semrawut tadi. Eriksen (1993: 32-34) mengungkapkan bahwa identitas sebagai sebuah citra kolektif, tidak dapat dimanupulasi secara semena-mena. Malioboro tidak dapat dikatakan nyaman jika pada kenyataannya semrawut.
Pariwisata tidak akan hidup pernah hidup tanpa adanya sebuah eksotisme yang ditawarkan. Persoalannya kemudian bukan mencari apa yang eksotis sehingga bisa dijual sebagai produk, tetapi bagaimana menciptakan eksotisme yang bisa layak dijual sebagai produk (Spillane, 1994: 16). Melalui industri pariwisata, kesemrawutan yang muncul di Malioboro, ditransformasikan sebagai sesuatu yang memiliki citra eksotis. Citra ini direproduksi secara berkesinambungan yang akhirnya membuat citra tersebut melekat sebagai identitas Malioboro. Rekayasa citra ini dilakukan agar orang tetap datang ke Malioboro, serta dalam kaitannya agar tetap dapat bersaing dengan daerah lain sebagai daerah tujuan wisata, mengingat trotoar Malioboro yang menjadi pusat “oleh-oleh dari Yogyakarta” yang secara finansial memberikan keuntungan yang tinggi bagi kas daerah dan intansi terkait lainnya.
Bagaimana kesemrawutan disiasati menjadi sebuah produk eksotisme dunia industri pariwisata, dapat dilihat pada produk-produk yang dikeluarkan oleh DAGADU. Secara kreatif kesemrawutan tersebut direka-reka dalam bentuk barang seperti kartu pos, kaos atau gantungan kunci, dengan menggunakan permainan kata-kata dan gambar yang cukup mewakili. “Yogya Makin Sesak, Malioboro, alamaaak ini djokdja masss ....!” merupakan salah satu bentuknya. Dapat juga dilihat bagaimana “bau pesing” telah menjadi sebuah citra eksotis dari Malioboro yang sampai ke telinga orang-orang di luar negeri.
Pada gilirannya, identitas Malioboro sebagai tempat yang romantis menjadi bertambah sebagai tempat yang semrawut, tetapi keduanya dilihat sebagai sesuatu yang eksotis. Identitas Malioboro pun sebenarnya sudah berubah sejak masuknya industri pariwisata di sana. Sebagaimana diungkapkan oleh Susanto (1993: 38-39), Malioboro bukan lagi jalan yang menjadi tempat orang Yogya untuk melihat tamu-tamu “negara” yang berkunjung resmi ke penguasa setempat, Sultan Hamengku Buwana di keraton. Sekarang rakyat Yogya dengan segala perilaku dan hasil karyanya menjadi tontonan bagi wisatawan modern baik dari dalam negeri ataupun mancanegara.
Pada gilirannya, industri pariwisata dapat dillihat telah mengubah Malioboro menjadi sebuah “barang dagangan”. Industri pariwisata telah memoles Malioboro sedemikian rupa agar uang terus mengalir. Para pedagang, pejalan kaki, anak jalanan dan pemerintah pun kemudian juga saling bersiasat untuk mendapatkan keuntungan di Malioboro. Malioboro akhirnya tak lebih dari sebuah pasar, sebagai sebuah tempat jual beli yang penuh siasat. Hal ini kemudian menunjukkan bahwa pembentukan identitas Malioboro itu sendiri dan pembentukan Malioboro sebagai identitas kota Yogyakarta, adalah untuk mendapatkan “uang” .

B. MALIOBORO SEBAGAI IDENTITAS YOGYAKARTA
Melalui politik citra yang telah dilakukan oleh industri pariwisata seperti tersebut di atas, telah pula membentuk Malioboro sebagai identitas Yogyakarta. Sebuah jalan yang menjadi pusat perhatian di Yogyakarta. Simbol-simbol seperti andong, lampu jalan dan nasi gudeg, yang hadir di Malioboro, atau keramahan khas Yogyakarta dengan sapaan para pedagang terhadap para wisatawan, pada gilirannya telah “dijual” untuk menggiring orang agar mengidentikkan Malioboro dengan Yogyakarta. Seperti yang sering diabadikan pada foto-foto dan brosur-brosur pariwisata.
Ada dua brosur yang unik yang pernah saya temukan . Salah satu brosur tersebut berisi tempat-tempat wisata di Yogyakarta, bahkan hingga ke Borobudur. Malioboro sendiri tidak mendapatkan ruang secara khusus di brosur ini untuk dibahas sebagai tempat wisata di Yogyakarta seperti yang dilakukan untuk tempat lainnya, Parangtritis misalnya. Uniknya, brosur tersebut didominasi oleh foto-foto yang diambil dari suasana yang terjadi di Malioboro. Dari 18 foto yang ditampilkan 6 di antaranya atau sepertiganya, adalah foto-foto tentang Malioboro. Terlihat bagaimana orang membangun citra Malioboro sebagai identitas Yogyakarta, tanpa harus banyak bercerita tentang Malioboro itu sendiri.
Sedangkan brosur kedua merupakan brosur yang secara khusus bercerita tentang Malioboro. “Indonesia, Yogyakarta, Malioboro” demikian judul brosur tersebut. Secara eksplisit brosur tersebut juga mengatakan bahwa Malioboro adalah jantung kota sekaligus wajah Yogyakarta. Dari judul dan pernyataan tersebut menunjukkan bagaimana Malioboro dibangun menjadi identitas dari Yogyakarta (bahkan Indonesia). Brosur ini juga mengajak pada semua pihak khususnya bagi penghuni dan pengguna kawasan Malioboro untuk tetap menjaga kawasan Malioboro sebagai tempat yang dibanggakan masyarakat Yogyakarta.
Malioboro kemudian bukan lagi sekedar jalan, Malioboro adalah sebuah “plaza” yang perlu dipertontonkan kepada orang luar Yogya, karena itu berarti aset Pembangunan setempat. Jalan Malioboro dengan segala kegiatannya sekarang menjadi ajang di mana para wisatawan dapat mencari oleh-oleh, souvenir, nostalgia, pengalaman dan sebagainya, untuk kemudian dibawa pulang ke tempat asalnya, selesai mereka berkunjung ke sana. Jalan Malioboro menjadi orang untuk berinteraksi dengan keramah-tamahan gaya Yogyakarta.
Di Malioboro pula orang-orang dapat membeli segala sesuatu yang “khas asli Yogya”, mulai dari makanan dan minuman, aksesori dan hasil kerajinan, serta berbagai bentuk cinderamata lainnya. Di Malioboro orang dapat menemukan kerajinan perak Kota Gede, gerabah Kasongan, nasi Gudeg Yogya, Batik, Wayang Kulit, dan sebagainya. Di Malioboro orang merasakan suasana romantis yang khas Yogyakarta, lampu jalan yang antik, pedagang kaki lima yang berderet di trotoarnya, kusir andong yang siap mengantar ke mana orang akan pergi berwisata.
Malioboro telah menjadi sebuah jalan yang menjadi pusat perhatian di kota Yogyakarta, menjadi semacam tetenger atau simbol dari kota Yogyakarta. Sebuah jalan kota yang dianggap memiliki peran sebagai katalisator yang sangat kuat dalam kehidupan sosio-budaya urban.
Sementara itu, kalangan akademisi atau pihak-pihak yang menyampaikan sorotan-sorotan tentang kesemrawutan dan perubahan wajah yang terjadi di Malioboro, turut pula membangun Malioboro sebagai identitas Yogyakarta. Sorotan ini menunjukkan bagaimana Malioboro terus-menerus direproduksi sebagai jalan yang harus selalu diperhatikan. Sebagai tempat yang menjadi pusat perhatian di Yogyakarta, Malioboro kemudian menjadi simbol dari Yogyakarta. Ketika orang melihat Yogyakarta maka ia harus melihat Malioboro.
Sorotan-sorotan tersebut juga menunjukkan bahwa orang pun menjadi khawatir citra Malioboro menjadi pudar oleh aroma bisnis belaka, dengan menanggalkan warna khas yang ada di sana. Orang pun rasanya tak rela melihat Malioboro berubah menjadi jalan “biasa” yang tak berbeda dengan jalan-jalan lain yang ada di Yogyakarta. Banyak orang pun tak rela melihat Malioboro tak lagi menjadi simbol kota seperti yang telah terjadi pada Jalan Braga di Bandung atau Jalan Pasar Baru di Jakarta (Danisworo, 1997).
Danisworo (1997) kemudian membandingkan Malioboro dengan jalan-jalan di luar negeri yang juga mampu bertahan sebagai ruang yang berperan sebagai katalisator kehidupan sosial-budaya urban selama bertahun-tahun bahkan dalam hitungan abad. Avenue des Champs Elysess di Paris, Prancis, yang membentang sepanjang dua kilometer dari Place de la Concorde ke Place de‘lEtoile dengan Arc de Triomphe-nya, sebuah jalan “budaya” yang sering dijadikan contoh kota-kota lain di dunia. Ramblas di Barcelona, Spanyol, yang membentang sepanjang satu kilometer dari patung Columbus sampai Place de Catalunya. Via del Corso, jalan sepanjang 1,6 kilometer di Roma, Italia, yang hidup penuh dengan berbagai kegiatan sosial-budaya. Juga beberapa jalan di belahan bumi lain seperti Ginza di Tokyo, Jepang; Market Street di San Fransisco, Amerika Serikat; Oxford Street di London, Inggris; Orchard Road di Singapura atau juga The Grand Canal di Venesia, Italia.
Jalan Malioboro sendiri telah memiliki peran penting sejak Kraton Yogyakarta berdiri tahun 1756. Jalan ini menjadi lorong filosofis dari poros imajiner yang menghubungkan Merapi-Keraton-Laut Selatan. Jalan ini digunakan pula untuk kegiatan kenegaraan seperti menyambut tamu. Kata Malioboro (Malyabhara) sendiri, memiliki arti sebagai untaian persembahan adiluhung . Kehidupan yang khas dari kota Yogyakarta dengan berbagai interaksinya, secara semena-mena bisa dikatakan dapat dilihat melalui jalan Malioboro.
Maraknya industri pariwisata membuat Malioboro menjadi tempat tujuan wisata yang utama di kota Yogyakarta. Orang merasa “wajib” mendatangi Malioboro ketika ia berkunjung ke Yogyakarta, mereka mendapatkan pengalaman untuk “bertatap muka” dengan suasana Yogyakarta. Bagi penduduk Yogyakarta sendiri, jalan ini dapat memberikan pengelaman dalam berinteraksi dengan orang lain. Jalan ini menjadi ruang bagi masyarakat Yogyakarta maupun para pendatang untuk saling berinteraksi. Tak peduli apakah semrawut atau nyaman, jalan ini tetap menjadi pusat perhatian di kota Yogyakarta. Jalan ini telah menjadi representasi dari kota Yogyakarta, sebuah tetenger.

EPILOG: NEGOSIASI CITRA YANG MUNCUL DI MALIOBORO
Boulding telah menggambarkan bagaimana individu mempunyai kebebasan untuk membangun sebuah citra yang kolektif. Akan tetapi, Boulding tidak melihat bahwa pada kenyataannya, citra kolektif mampu memaksa citra individu untuk tunduk, citra kolektif meniadakan kebebasan tiap individu untuk mengkonstruksikan citra pribadinya.
Berlawanan dengan Boulding, Sontag lebih melihat bagaimana citra kolektif tersebut mengkonstruksikan citra dari individu. Citra individu, oleh Sontag dilihat dipaksa untuk tunduk pada citra kolektif. Namun demikian, Sontag melupakan apa yang menjadi perhatian Boulding. Sontag menganggap bahwa individu akan tunduk sepenuhnya oleh sebuah struktur citra kolektif. Sontag, melupakan bahwa bagaimanapun juga citra kolektif tidak dapat dipilih begitu saja. Citra kolektif tidak dapat mempunyai jarak yang terlalu jauh dengan realita.
Dua pengertian citra yang saling berbeda tersebut, kemudian dipertemukan dalam bentuk sebuah negosiasi. Sebuah negosiasi antara citra kolektif dengan citra individu. Sebuah bentuk siasat citra individu dalam merespon citra kolektif yang diterima. Negosiasi pada bagaimana orang bersiasat dalam membangun citra individunya di dalam sebuah struktur citra kolektif yang melingkupinya.
Kedaulatan Rakyat (5 Juni 1995) pernah mengatakan bahwa Malioboro hanyalah benda mati. Dia tak pernah takut oleh perkembangan maupun perubahan jaman. Dia tak minta pula agar suasananya dikembalikan seperti jaman tahun 70-an. Dia juga tak akan pernah cemas, apakah masih akan terus ramai atau malah menjadi semakin sepi, apakah nyaman atau semrawut. Malioboro dikenal karena ada manusia yang berkoar mengenalkannya. Manusialah yang membuat kawasan Malioboro ini menjadi seperti A, B, C, atau Z.
Namun demikian melihat kenyataan yang ada, Malioboro bukanlah sekedar benda mati yang dapat dibentuk seperti tanah liat sesuai hasrat masing-masing manusia yang berkepentingan di dalamnya. Pada kenyataannya, orang tak pernah mampu membentuk Malioboro sesuai dengan apa yang diinginkan dan dicita-citakannya. Di Malioboro orang hanya mampu untuk bersiasat dan berkompromi dalam wacana citra yang dikonstruksikan kepadanya.
Jejak-jejak yang ada di Malioboro menunjukkan bagaimana orang bersiasat dalam menerima citra yang dikonstruksikan kepadanya. Ini dapat dilihat dari tetap ramainya jalan ini oleh orang yang lalu-lalang di trotoar Malioboro untuk menikmati apa yang ditawarkan di sana. Sementara itu, tak henti-hentinya kalangan akademisi dan media massa mengatakan bahwa Malioboro adalah sebuah kawasan yang semrawut dan pengunjung tak akan memperoleh kenikmatan atau kenyamanan di sana. Artinya, jalan ini tetap diminati oleh banyak orang, meskipun banyak juga orang yang membencinya.
Berkaitan dengan hal itu, kita dapat mengamati bagaimana orang (para pengunjung Malioboro) bersiasat dalam merespon citra kolektif yang terjadi di Malioboro dan disosialisasikan kepadanya. Siasat dan negosiasi citra yang terjadi adalah orang menerima citra yang disosialisasikan padanya dengan memberikan makna yang berbeda.
Dapat dilihat bagaimana orang-orang yang menyukai keadaan Malioboro yang semrawut. Semrawut bukan sesuatu yang mengganggu dan harus dihilangkan seperti yang dianjurkan oleh kalangan akademis. Artinya, citra kolektif tentang Malioboro yang disosialisasikan oleh kalangan akademis pada masyarakat luas, diterima oleh individu dalam makna yang berbeda. Ini dapat dilihat sebagai ungkapan seseorang dalam memaknai kesemrawutan. Seperti yang diungkapkan oleh Tomo, salah seorang pengunjung Malioboro:
“Malioboro ya seperti itu, ruwet dan penuh sesak, dan ini juga yang membedakan suasana trotoar Malioboro dengan trotoar di jalan Solo misalnya, dan saya pun menerima apa adanya keadaan Malioboro seperti ini. Bahkan jujur saja saya katakan kalau saya lebih suka jalan-jalan di Malioboro daripada jalan Solo ... entah kenapa, ... pokoknya rasanya beda, dan saya suka itu”

Tomo terlihat dapat menikmati kesemrawutan yang ada di Malioboro, meskipun ia sendiri tak dapat menjelaskan mengapa ia suka. Tetapi dapat diamati bagaimana bahwa ia tetap setuju dengan citra kolektif yang mengatakan bahwa Malioboro adalah tempat yang semrawut, akan tetapi ia juga bisa menikmati kesemrawutan tersebut dengan citra individunya yang berbeda dengan citra kolektif. Dalam hal ini, Tomo menerima kesemrawutan di Malioboro tersebut dengan makna yang berbeda dari yang dikonstruksikan oleh citra kolektif
Demikian pula halnya yang terjadi dengan Wahyu, dengan alasan-alasan yang dikemukakannya ternyata ia begitu menyukai keadaan Malioboro yang penuh sesak dan macet. Ia menceritakan pengalamannya ketika menikmati malam Minggu di Malioboro:
“Hampir setiap malam Minggu saya menyempatkan diri untuk mengunjungi Malioboro. Saya sadar bahwa pada malam ini Malioboro trotoarnya akan penuh sesak dan jalannya macet. Tetapi, bisa dikatakan itu yang saya cari. Biasanya, secara sengaja saya melambatkan kendaraan saya di depan Mal. Di tempat ini saya bisa menyaksikan ramainya Mal dengan pengunjungnya yang warna-warni dan wangi-wangi. Kemudian saya biasa memarkirkan kendaraan saya di trotoar seberang toko Ramai berada. Dari tempat tersebut, saya kemudian masuk berjalan di atas trotoar dan ikut berdesakan di dalamnya. Yang paling saya suka adalah saya dapat bersenggolan dengan cewek-cewek yang cantik, ya namanya juga laki-laki. Bahkan dari senggolan tersebut saya bisa berkenalan, siapa tahu jodoh kan bisa dipacari, ya nggak? Alasan lainnya adalah, biasanya pada hari ini saya tak lupa juga untuk berburu kaset bekas di trotoar depan Tempat Penitipan Anak di sebelah selatan pasar Bringharjo. Tempat ini biasa saya sebut Bring On The Night. Pada malam ini biasanya banyak orang yang menjual kasetnya, karena para pedagang biasanya mau membeli dengan harga yang lebih tinggi dari biasanya. Saya sendiri juga sering jualan, he ... he ... “

Dengan melihat dua kasus ini, maka dapat dilihat bagaimana citra kolektif yang disosialisasikan tak mampu untuk menundukkan citra yang dikembangkan oleh individu, sementara citra kolektif bukan pula citra yang dikonstruksikan oleh individu. Pada titik ini, bisa dikatakan bahwa orang tetap merespon citra kolektif yang disosialisasikan kepadanya, akan tetapi ia membangun citra individu dengan memaknai citra kolektif secara berbeda.
Siasat ini menjadi sebuah bentuk negosiasi bertemunya konsep citra milik Boulding dengan konsep citra yang ditawarkan oleh Sontag. Negosiasi inilah sebenarnya yang menjadi landasan pembentuk citra dan identitas Malioboro. Sehingga dapat dikatakan bahwa Malioboro dan trotoarnya bukanlah sekedar tempat atau ruang fisik. Ia adalah sebuah wacana yang terus bergulir ketika orang berinteraksi dengannya, sebuah dunia yang penuh makna. Orang dipaksa untuk ikut mengalir dalam wacana mengenai Malioboro.
Malioboro telah menjadi salah satu rujukan bagi hadirnya fenomena frontierisme, sebuah gagasan mengenai penguasaan ruang yang seakan selalu hadir di atas trotoar. Malioboro dianggap sebagai sebuah representasi dari sebuah “dunia kaki lima”. Sebuah dunia yang riuh rendah, sebuah ruang yang sarat akan gagasan, interaksi, konflik serta juga memberi kesempatan akan hadirnya negosiasi dan kompromi.
(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jerat Budaya edisi No: 2/VII/1999)


BACAAN

Barthes, Roland
1977 “Rhetoric of The Image”, dalam Image - Music - Text, terjemahan oleh Stephen Heath. New York: Hill and Wang.

Bhabha, Homi K.
1994 The Location of Culture. London-New York: Routledge.

Boulding, Kenneth E.
1972 “The Image”, dalam James P. Spradley (ed.), Culture and Cognition. San Fransisco: Chandler Publishing Company.

Bruner, Edward M.
1986 “Experience and Its Expressions”, dalam Victor W. Turner & Edward M. Bruner (ed.), Anthropology of Experience. Chicago: University of Illinois Press.

Carey, P.B.R.
1984 “Jalan Maliabara (‘Garland Bearing Street’): The Etymology and Historical Origins of a Much Misunderstood Yogyakarta Street Name”. Archipel, vol.27, hlm. 51-62.

Danisworo, Mohammad
1997 “Memanusiakan Pejalan Kaki”. kolom D & R, 18 Oktober 1997, hlm. 82-83.

Davidson, Basil
1982 “Ideology and Identity: An Approach from History”, dalam Hamza Alavi dan Theodor Shanin (ed), Introduction of Developing Societies. London: Macmillan Education LTD.

de Certeau, Michel
1993 “Walking in The City”, dalam Simon During (ed.), The Cultural Studies Reader. London-New York: Routledge.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
1990 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dewo, B.E. Cahyo
1992 Ritus Untuk Menjadi Jawa: Analisis 12 Gambar Foto Malioboro, Skripsi S1 Fakultas Sastra. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Eriksen, Thomas Hylland
1993 Ethnicity & Nationalism: Anthropological Perspectives. London: Pluto Press.

Geertz, Clifford
1992 Tafsir Kebudayaan, terjemahan oleh Fransisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.

Habermas, Jürgen
1994 “The Emergence of the Public Sphere”, dalam The Polity Reader in Cultural Theory. Cambridge: Polity Press.

Kedaulatan Rakyat
1995
Malioboro: Dulu, Kini Dan Masa Mendatang (1): Azwar AN: “Kawasan Itu Telah Kehilangan Sukma...”. 5 Juni.

1997 Pedagang Musiman di Malioboro Ditertibkan. 18 Februari.

Melbin, Murray
1978 “Night as Frontier”, American Sociological Review 43, 1 (Feb.1978), hal: 3-22.

Plummer, Ken
1994 “Identity”, dalam William Outhwaite & Tom Bottomore (eds.), The Blackwell Dictionary of Twentieth Century Social Thought. Oxford: Blackwell Publishers.

Riomandha, Transpiosa
1998 Malioboro dan Frontieriesme: Sebuah Dunia Kaki Lima. Skripsi S1 Fakultas Sastra, Yogyakarta: Universitas Gadjah mada

Riomandha, Transpiosa dan F. Asisi S. Widanto
1996 “Citra Kota Sebagai Medan Pertempuran (Trotoar: Sepotong Potret Fenomena Frontierisme di Perkotaan)”, makalah sarasehan Pameran Etnofotografi “Frontierisme di Perkotaan: Fenomena Sosial Budaya di Yogyakarta”, Kemant UGM, 23 Desember 1996 di Purna Budaya Yogyakarta.

Schenkein, James N. dan A. Lincoln Ryave
1974 “Notes on the Art of Walking”, dalam Roy Turner (ed.), Ethnomethodology. Penguin Modern Sociology Reading.

Schoch, Lilli N.
1985 Kaki Lima und Strassenhandel in Indonesien, terjemahan oleh B. Napitupulu. Jakarta: PT. Indira.

Simatupang, G.R. Lono Lastoro
1996 “Umum, Pribadi dan Frontierisme: sebuah catatan tambahan”, makalah sarasehan Pameran Etnofotografi “Frontierisme di Perkotaan: Fenomena Sosial Budaya di Yogyakarta”, Kemant UGM, 23 Desember 1996 di Purna Budaya Yogyakarta.

Sontag, Susan
1995 “Dunia Citra”, terjemahan oleh Landung Simatupang. Citra Yogya No 8/Th. VIII/Juli - Sep 1995. Yogyakarta, hlm: 7-26.

Spillane, James J.
1994 Pariwisata Indonesia, Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino-Penerbit Kanisius.

Susanto, Budi
1993 Peristiwa Yogyakarta 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino-Penerbit Kanisius.

Tim Etnofotografi
1997 “Yogyakarta: arena pem-babaD/T-an Jawa”, makalah sarasehan Pameran Etnofotografi “... Yogyakarta: Retrospeksi Etnofotografi” , Tim Etnofotografi jurusan Antropologi UGM di Galeri Jurnalistik Antara Jakarta, 27 September 1997.

Williams, Raymond
1983 Keywords: A Vocabulary of Culture and Society. London: Fontana Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar