Sabtu, 04 Juli 2009

BILA(-KAH) ANTROPOLOGI DAN SASTRA BERTEMU

Ditulis oleh: Kris Budiman


… interdiciplinary work is not peaceful operation;
it begins effectively when the solidarity of the old disciplines
breaks down.

Roland Barthes (1979)


“Apa khabar antropologi di Indonesia?” bertanya seorang teman lama dari Jakarta, seorang penyair kurus dan botak yang pernah menulis sajak “Antropologi dari Kaleng-kaleng Coca-cola”.
“Apabila Anda ingin tahu berita terkini tentang keadaan antropologi di Indonesia,” jawab saya bagaikan seorang penyiar berita di televisi, “saksikanlah Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia, buku suntingan Masinambow.”
“Kok gitu?”
“Lha iya. Di samping masih terbilang lumayan baru –- terbit 1997, dua tahun lalu --, di dalamnya juga terkumpul dua puluh lebih nama ahli antropologi berbangsa Indonesia, kecuali James Fox. Kamu bisa lihat sendiri, pentolan-pentolan antropologi di Indonesia kumpul bareng di situ. Kalau boleh saya menyebut beberapa nama besar: Parsudi Suparlan, James Danandjaja, T.O. Ihromi, Amri Marzali, P.M. Laksono, Sjafri Sairin, Heddy Shri Ahimsa Putra … Representatif deh,” saya berusaha meyakinkannya, meskipun saya sendiri agak ragu.
“Pokoknya, kalau cuma kepingin tahu kondisi terkini antropologi di Indonesia, buku ini sanggup memberikan gambaran yang tidak begitu meleset.“ Saya mengeluarkan buku dari dalam tas. “Coba periksa daftar isinya saja. Kira-kira separuhnya mengangkat persoalan pembangunan dan tetek-bengek di sekitar itu: IDT, PHT, peranan wanita … Soal-soal lain – taruhlah yang lebih filosofis semacam landasan epistemologis antropologi – cuma diangkat oleh satu-dua orang saja. Kalau kita pinjam bahasa sloganisme ala Orde Baru, barangkali sebagian besar dari isi buku ini cocok diberi tema: ’Dengan Mengenang Jasa-jasa Koentjaraningrat, Kita Tingkatkan Peranan Antropolog Indonesia dalam Pembangunan Nasional’ atau” ….”
“Nah kan mulai muncul sinisnya.”
“Tunggu, jangan menyela. Aku sekarang mau mengajak kamu menghitung-hitung ada berapa karangan yang membicarakan kesenian.”
“Adakah dia yang menimbang susastra?.”
Dari pertanyaan terakhir tampak sekali bahwa teman saya memang tipikal seorang penyair, setidak-tidaknya seorang yang peduli terhadap sastra.
“Sabar sedikit dong,” sahut saya yang mulai kehilangan sabar. “Di buku setebal 389 halaman ini cuma ada tiga orang yang menulis tentang seni: Rahayu Supanggah, I Gusti Ngurah Bagus, dan James Fox. Ingat, yang terakhir ini guru besar antropologi dari Australia. Bukan orang kita.”
“Kalau P.M. Laksono ini nulis apa?”
“Lho, kamu kenal toh sama Pak Laksono? Pak Laksono sebenarnya juga menyentil kesenian wayang wong dan pentas dangdut di Purawisata. Jadi, oke-lah, semuanya ada empat orang: tiga antropolog Indonesia, plus satu Australia. Rahayu Supanggah membicarakan perkembangan studi etnomusikologi Indonesia; I Gusti Ngurah Bagus soal visi kreativitas Sanggar Dewata Indonesia. Satu-satunya yang mengangkat topik sastra justru James Fox. Dia membicarakan syair nyanyian penduduk Pulau Rote.”
“Sastra Indonesia modern?”
“Wah, untuk yang satu ini sih jangan terlalu berharap.”
“Padahal, setahuku, Koentjaraningrat itu juga seniman lho!”
“Bukan cuma itu.” Saya segera menimpali, sambil bernafsu pamer kemampuan menghafal nama-nama, “Levi-Strauss itu, selain tulisannya nyastra sekali, seorang musisi yang sangat berbakat. Lono Simatupang juga pemusik yang gemar bikin musikalisasi puisi. Terus masih ada lagi sederet antropolog yang penyair, misalnya Dell Hymes, Ruth Benedict, Edward Sapir, Paul Friedrich, Stanley Diamond, Dennis Tedlock, …”
“Kata Faruk, Kris Budiman juga sastrawan, sastrawan gagal …”
“Sialan!”
* * *
Baiklah, untuk selanjutnya makalah ini akan mencoba menelusuri titik-titik pertemuan antara antropologi dan sastra. Penelusuran itu akan dilakukan melalui dua jalur. Pertama, penelusuran akan menuju kepada persentuhan antara antropologi kontemporer dan teori-teori sastra: bagaimana wacana antropologi kontemporer itu kerasukan pendekatan-pendakatan literer. Jalur ini pun dapat dibedakan lebih lanjut menjadi dua cabang: (1) pendekatan-pendekatan antropologi yang mengadopsi teori-teori sastra; dan (2) pendekatan literer terhadap teks-teks antropologi. Kedua, penelusuran akan mengarah kepada beberapa kemungkinan kajian antropologis terhadap sastra: sesuatu yang barangkali -–kalau mengikuti analogi dengan sosiologi sastra, psikologi sastra, dst. – dapat kita beri nama sebagai antropologi sastra.
1
Sebagaimana pernah diungkap oleh Clifford Geertz , di dalam wacana-wacana ilmu sosial mutakhir telah terjadi gejala percampuran genre yang dahsyat. Destabilisasi genre ini, antara lain, semakin merebak berkat munculnya analogi-analogi baru di dalam retorika analitis, kiasan-kiasan dan citraan-citraan eksplanasi (imageries of explanation) di dalam ilmu-ilmu sosial. Telah dimaklumi bahwa teori-teori sosial dapat berkembang, antara lain, karena cara berpikir analogis, sebuah “seeing-as” comprehension, dan analogi-analogi yang bersumber dari humaniora pun semakin mengemuka belakangan ini: kehidupan sosial kini semakin cenderung dianalogikan sebagai sebuah permainan, drama, atau teks; kebudayaan dipandang sebagai gramatika, teater, teks ….
Gelagat yang diesbut Geertz sebagai “refigurasi pemikiran sosial” ini sesungguhnya sudah mulai menggeliat sejak tahun 1950-an dan 1960-an, yakni ketika teori-teori general di dalam antropologi dicoba dirumuskan dengan meminjam model lingusitik, yang pada waktu itu masih dianggap mampu atau dapat menjanjikan sebuah kerangka deskripsi formal dan ketat (rigorous). Periode yang, antara lain, telah menghasilkan strukuturalisme dan etnosains di dalam antropologi ini kemudian dikenal sebagai “linguistic turn” di dalam ilmu-ilmu sosial. Akan tetapi, pada dasawarsa 1970-an dan 1980-an muncullah berbagai reaksi ketidak-puasan terhadap model linguistik sehingga upaya-upaya untuk mengkonseptualisasikan berbagai pendekatan alternatif pun terasa semakin mendesak . Maka, pada dasawarsa inilah apa yang kemudian disebut sebagai “interpretive turn” mencuat ke permukaan arus ilmu-ilmu sosial. Munculnya pendekatan interpretif atau hermeneutik di dalam ilmu-ilmu sosial ini telah berhasil mengubah fokus perhatian dan pemahaman kita akan kehidupan sosial: masyarakat tidak lagi diumpamakan sebagai organisme – atau kadang-kadang mesin --, melainkan sebagai sesuatu yang tersusun atas simbol-simbol yang keberagaman maknanya mesti kita rengkuh apabila ingin memahaminya . Dengan itu pula semakin terbuka pintu masuk bagi perkembangan teoretis di bidang kritik sastra dan interpretasi, yang menggantikan posisi linguistik, sebagai sumber gagasan baru bagi teori dan metode antropologi. Ahli-ahli antropologi pun akhirnya berbondong mengadopsi orientasi kritik sastra terhadap “teks”.
Merebaknya kecenderungan ini, menurut penjelasan Marcus dan Fischer , dilatar-belakangi oleh dua hal. Pertama, adanya trend intelektual yang lebih luas di luar antropologi yang memalingkan diri dari teori-teori sosial general ke dalam diskusi-diskusi tentang masalah interpretasi dan pemerian realitas sosial berinspirasi kritik sastra. Kedua, tumbuhnya kesadaran bahwa etnografi, yakni produk penelitian-penelitian antropologi, tidak lain adalah teks yang bersifat (semi-)literer. Begitulah, akhirnya tiba juga giliran bagi antropologi untuk menyadari bahwa fenomena kultural perlu lebih dipahami sebagai sistem dan praktik pemaknaan, walaupun pada waktu-waktu yang lalu kesadaran semacam ini masih berupa sesuatu yang samar, bahkan segala sesuatu yang berbau sastra di pandang alergis.
Kini saatnya bagi “literary turn” atau “tekstual turn” di dalam antropologi. Misalnya saja, penulis-penulis yang berpengaruh seperti Clifford Geertz, Victor Turner, mary Douglas, C. Levi-Strauss, dan Edmund Leach, untuk menyebut beberapa nama, telah menunjukkan perhatian yang besar terhadap teori-teori sastra, bahkan dengan caranya masing-masing mereka telah mengaburkan batas-batas yang memisahkan antara wacana ilmiah dan sastra melalui praktik-praktik penulisan etnografi yang diwarnai dengan kesadaran literer tinggi . Dengan caranya masing-masing mereka telah ikut membantah anggapan bahwa teks-teks antropologis yang “baik dan benar” adalah teks-teks yang datar (plain), harfiah, tanpa pretensi; teks-teks etnografi seakan-akan tidak memerlukan apresiasi, apalagi close reading, sebagaimana layaknya teks-teks sastra. Bagi mereka, dimensi-dimensi retoris dan naratif dari wacana antropologi justru tampak lebih dekat dengan wacana sastra daripada wacana saintifik. “Etnografi cenderung lebih mirip dengan roman daripada laporan-laporan laboratorium,“ kata Geertz.
Kesadaran literer ini, pada sisi yang lain, ikut membuahkan dampak signifikan terhadap begaimana ahli-ahli antropologi memandang aktivitasnya sendiri, yakni menulis karya-karya etnografi. Maka, tampil jugalah ke permukaan apa yang bisa dinamakan sebagai metaetnografi (metaethnography), yakni sebuah pendekatan kritis-literer terhadap teks-teks etnografi, sebagaimana halnya kritik sastra terhadap teks-teks sastra . Nama-nama seperti dan kerangka pemikiran dari Northorp Frye, Kenneth Burke, Hayden White, Roland Barthes, Raymond Williams, Jacques Derrida, Michel Foucault, dsb., pun kemudian banyak dijadikan sebagai sumber acuan alternatif untuk mempersoalkan teks-teks etnografi itu sendiri, memepertanyakan tekstualitasnya sendiri. Dengan adanya kecenderungan terakhir ini, antropologi pun mendapatkan posisinya sebagai sebuah ilmu kritis (critical science) dalam pengertian seperti yang diajukan oleh Barthes , yakni sebagai sebuah ilmu yang sanggup mempertanyakan wacananya sendiri.
Berikut ini akan dikemukakan beberapa contoh karangan metaetnografi dengan anotasi alakadarnya. (Pengurutan pustaka dilakukan dengan berpedoman pada angka tahun terbit).

1. Clifford, James & George E. Marcus (ed.) Writing Culture: The Poetics and Politics of Ethnography. Berkeley: University of California Press, 1986.

Buku ini merupakan kumpulan esai yang membicarakan petika dan politik teks etnografi dalam konteks sensibilitas pasca-modern. Di dalam buku yang menjadi pionir bagi kajian metaetnografi ini dimuat tulisan-tulisan Mary Louis Pratt, Vincent Crapanzano, Stephen Tyler, renato Rosaldo, dsb.

2. Bruner, Edward M. “Ethnography as Narrative,” dalam Victor W. Turner & Edward M. Bruner (ed.), The Anthropology of Experience. Urbana & Chicago: University of Illinois Press, 1986. Hal. 139-155.

Di dalam esainya ini Bruner menganalisis teks-teks antropologis tentang suku-suku Indian Amerika dengan menerapkan sebuah kerangka analisis naratif. Tesisnya adalah bahwa etnografi dituntun oleh suatu struktur naratif yang implisit, sebuah cerita yang dikisahkan tentang orang-oranag lain.

3. Marcus, George E. & Dick Cushman. “Ethnography as Texts,” Annual Review of Anthropolohy, vol. 11, 1982. Hal. 25-69.

Di sini Marcus dan Cushman membicarakan topik-topik, antara lain, tentang realisme etnografis sebagai sebuah konvensi genre dan reaksi terhadapnya, dimensi-dimensi retoris dan naratif teks etnografi, serta kecenderungan eksperimental di dalam penulisan etnografi mutakhir. Topik yang terakhir ini sebelumnya telah didiskusikan lebih panjang-lebar di dalam Marcus & Fischer (1986).

4. Clifford, James. Predicament of Culture: Twentieth Century Ethnography, Literature, and Art. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 1988

Clifford memfokuskan kritiknya pada strategi-strategi penulisan dan representasi autoritas etnografis serta berupaya untuk menunjukkan bahwa teks-teks etnografi merupakan orkestrasi dari pertukaran multivokal yang lahir di tengah situasi-situasi politis.

5. Geertz, Clifford. Works and Lives: The Anthropology as Author. Stanford, California: Stanford University Press, 1988.

Di dalam buku ini Geertz mencoba melihat secara kritis teks-teks Levi-Strauss, Evans-Pritchard, Malinowski, dan Ruth Benedict. Sebagai titik berangkatnya Geertz merumuskan dua buah pertanyaan yang diilhami oleh Barthes dan Foucault: (1) Bagaimanakah “fungsi-pengarang” muncul di dalam teks? (2) Apakah yang dikarang oleh pengarang? Pertanyaan pertama berkisar tentang konstruksi identitas kepengarangan; pertanyaan kedua tentang wacana yang terkait dengan identitas kepengarangan tersebut.

6. Manganaro, Marc (ed.). Modernist Anthropology: From Fieldwork to Text. Princeton New Jersey: Princeton University Press, 1990.

Tujuan utama buku ini adalah untuk memahami dimensi-dimensi diskursif dan politis teks-teks antropologis modernis yang dimulai kira-kira semenjak 1920 (Malinowski) dan berakhir pada tahun 1975 (dengan munculnya antropologi pasca-modern). Batas-batas angka tahun ini separuhnya bertumpang-tindih dengan konsensus tradisional tentang periode modernisme di dalam sastra Eropa (1900-1945)



2
Salah satu sebab terjadinya perubahan dan perluasan di dalam teori-teori sastra mutakhir, menurut Cohen , adalah berkat pengaruh dari disiplin-disiplin di luar sastra. Teori-teori sastra beserta segenap komponennya tidak hanya telah mempengaruhi dan memebri alternatif bagi konsepsi-konsepsi disiplin-disiplin lain seperti psikoanalisis, sejarah, sosiologi, dan antropologi, melainkan juga sebaliknya. Sebagai sebuah disiplin yang selama ini suntuk menongkrongi kebudayaan, adalah masuk akal apabila antropologi turut berpengaruh terhadap atau ikut nimbrung melakukan studi-studi sastra. Kita tahu bahwa dalam konsep abstrak yang disebut sebagai “kebudayaan” itu – apapun definisi yang dipaksakan orang kepadanya – adalah sebuah payung besar yang bisa merangkum apa saja, merengkuh segala sesuatu, sepanjang ia bermakna atau bisa diberi makna oleh manusia. Kiranya tak ada seorang pun yang ragu bahwa “sastra” juga berada di bawah payung besar itu. Kajian antropologis terhadap sastra – atau, singkatnya, antropologi sastra – di Indonesia memang tidak sepopuler sosiologi sastra yang sudah merupakan mata kuliah tersendiri di fakultas-fakultas sastra. Antropologi sastra pun sejauh ini nyaris tidak pernah dilirik baik oleh para ahli antropologi maupun, terlebih lagi, pakar-pakar ilmu sastra di Indonesia. Padahal, lewat penelusuran atas dimensi-dimensi dan implikasi-implikasi antropologis teks-teks sastra atau, singkatnya, dengan mengembangkan antropologi sastra sebagai paradigma penelitian, mungkin kita tak cuma bisa menemukan model-model interpretasi tertentu, melainkan juga dapat memperoleh kemungkinan jawaban atas pertanyaan, misalnya, mengapa kita (masih) memerlukan fiksi.
Memang, di dalam disiplin antropologi, pengkajian atas sumber-sumber literer seperti mitos-mitos, dongeng-dongeng, riwayat hidup, dan jenis-jenis sastra lisan lainnya merupakan suatu praktik yang sudah secara umum berterima (acceptable). Adalah suatu hal yang lumrah pula apabila, dalam kasus masyarakat-masyarakat yang telah melek-huruf, ahli-ahli antropologi beralih kepada sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra. Tak heran kalau novel-novel pun diperlakukan pula sebagai sumber data antropologis; teks-teks sastra diperlakukan, tak lebih, sebagai dokumen kultural. Kajian-kajian antropologis semacam ini selalu mengasumsikan bahwa persepsi-persepsi pengarang terhadap dunia – terhadap alam, terhadap relasi-relasi sosial – telah terbentuk oleh lingkungan budayanya.
Di samping kajian antropologis konevensional ini, dikenal pula bidang studi yang disbeut oleh Marcus dan Fischer sebagai poetika etnografis (ethnography poetics). Bidang studi ini berupaya untuk menemukan cara-cara yang khas secara kultural untuk membaca cerita-cerita lisan warga setempat (indigenous peoples) sebagai sebentuk karya sastra. Beberapa kajian poetika etnografis mengembangkan cara pembacaan formalis terhadap cerita-cerita lisan dengan memanfaatkan sistem notasi tertentu untuk mencatat dimensi-dimensi afektif, kinestetik, dan aspek-aspek performatifnya yang lain. Beberapa kajian yang lain mencoba membuat interpretasi atas cerita-cerita lisan itu dengan kerangka hermeneutik atau semiotik. Semuanya sama-sama menghasilkan terjemahan-terjemahan teks lisan yang sesungguhnya sangat terikat pada konteks performatifnya, di samping dibayang-bayangi pula oleh persoalan ketepatan pengalih-bahasaan dari yang lisan ke tulisan. Sekedar contoh yang relatif mudah diakses oleh kita adalah karya Clifford Geertz, berjudul “Art as a Cultural System,” yang mengulas posisi syair berbahasa Arab di dalam amsyarakat tradisional di Maroko. Dengan ulasannya ini Geertz sekaligus hendak mempertahankan argumennya, yaitu bahwa hubungan antara seni dan kehidupan kolektif berada di dalam lapisan semiotis (semiotic plane). Bisa dibaca pula tulisan James J. Fox yang sudah sempat disinggung di muka. Dia secara lebih konvensional menguraikan sebagian isi dari teks-teks syair (nyanyian) epik yang dikumpulkannya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, dalam upayanya untuk menjelajahi “imajinasi puitis.” Selain sastra lisan milik warga yang diperoleh di lapangan, terdapat pula se-abreg karya sastra kontemporer dari berbagai masyarakat melek-huruf di muka bumi yang juga menarik bagi studi petika etnografis untuk dijadikan objek analisis yang mengkombinasikan metode etnografi dan kritik sastra. Teks-teks sastra tertulis ini tdak hanya mengungkapkan berbagai pengalaman warga setempat yang tidak tersedia di dalam sarana-sarana ekspresi lain, melainkan juga membentuk komentar-komentar indigenous sebagai semacam autoetnografi yang secara khusus bersangkutan dengan representasi pengalaman mereka.
Walaupun mungkin antropologi sastra di Indonesia bukanlah sosok yang jelas jejak-jejaknya, itu pun kalau diandaikan bahwa ia pernah melangkahkan kakinya, berikut ini akan didaftarkan seadanya beberapa karangan yang sedikit-banyak telah berupaya mengkaji sastra, khususnya sastra Indonesia “modern” dan sastra “Barat”, dengan perspektif antropologis. (Sekali lagi, pengurutan pustaka dilakukan dengan mengikuti angka tahun terbit).

1. Levi-Strauss, Claude. “From Cyclical Structure in Myth to Serial Romance in Modern Fiction,” dalam Elizabeth & Tom Burns (ed.), Sociology of Literature and Drama. Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books, 1973. Hal 207-213.

Tulisan ini merupakan sempalan dari buku Levi-Strauss, The Origin of Table Manners, volume ketiga dari seri Mithologiques. Di sini Levi-Strauss mencoba menemukan kesejajaran konstruksi plot di antara mitos-mitos Indian Amerika dan novel-novel serial di dalam masyarakat industrial.

2. Mulder, Niels. Jawa-Thailand: Beberapa Perbandingan Sosial Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1983. Hal. 78-107.

Di dalam Bab VI buku ini Mulder membuat studi perbandingan, “latihan dalam ilmu hermeneutika” (hal. 81), mengenai makna hubungan antara individu dan masyarakat sebagaimana terungkapkan lewat karya-karya pengarang Thailand dan Jawa. Pengarang-pengarang Indonesia-Jawa yang karyanya diulas secara cukup panjang adalah Pramoedya Ananta Toer, Kuntowijoyo, dan Umar Kayam.

3. Bohannan, Laura. “Shakespeare di Pedalaman Afrika,” dalam Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta: Rajawali Pers, 1984. Hal. 187-208.

Karya terjemahan ini membuktikan bahwa teks sastra tidak hanya memiliki satu kemungkinan interpretasi. Dengan cara membacakan Hamlet di hadapan sekelompok sukubangsa yang hidup di pedalaman Afrika, Bohhanan bukan saja membantah anggapan bahwa karya Shakespeare itu mengandung nilai-nilai yang universal, melainkan sekaligus meragukan universalitas kebudayaan manusia pada umumnya.

4. Gorfain, Phyllis. “Play and the Problem of Knowing in Hamlet : An Excursion onto Interpretive Anthropology,” dalam Victor W. Turner & Edward M. Bruner (ed.), The Anthropology of Experience. Urbana & Chicago: University of Illinois Press, 1986. Hal. 207-238

Di dalam tulisan ini Gorfain sekaligus hendak menunjukkan bagaimana teori antropologi dapat memecahkan beberapa “teka-teki” yang muncul dalam penafsiran atas Hamlet serta relevansi teks fiksional ini bagi persoalan refleksivitas dan interpretasi di dalam antropologi.

5. Postel-Coster, Els. “The Image of Women in Minangkabau Fiction,” dalam Elsbeth Lochler-Scholten & Anke Niehof (ed.), Indonesian Women in Focus. Dordrecht: Foris Publications, 1987. Hal. 225-239.

Postel-Coster mencoba merunut beberapa kategori kultural yang diasosiasikan dengan perempuan dan lelaki di dalam struktur sosial Minangkabau. Sumber datanya yang utama adalah novel-novel sebelum perang yang berfokus pada kehidupan keluarga, antara lain karya Hamka, Noer Soetan Iskandar, Abdul Moeis, Marah Roesli, dan Selasih

6. Fox, Robin. “The Virgin and the Godfather: Kinship versus the State in Greek Tragedy and After,” dalam paul Benson (ed.) Anthropology and Literature. Urbana & Chicago: University of Illinois Press, 1993. Hal. 107-150.

Di dalam esai ini Fox menempatkan teks Antigone karya Sophocles, sebuah tragedi klasik Yunani dari abad ke-5 (dikarang pertama kali pada tahun 440 SM), di dalam konteks tematik yang lebih luas, yakni di sekitar transisi evolusioner dari tribalisme ke arah formasi negara, konflik di antara kelompok-kelompok kekerabatan dan negara.

7. Budiman, Kris. Wacana Sastra dan Ideologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994.

Sebagian dari isi buku ini menganalisis puisi naratif Rendra yang berjudul “Nyanyian Angsa” dengan memanfaatkan pendekatan struktural Levi-Strauss dan pendekatan simbolik Victor Turner. Di bagian-bagian lain dari buku ini juga dipinjam beberapa gagasan Geertz untuk menerangi cerpen Umar Kayam, “Sri Sumarah.”

8. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. “Levi-Strauss, Orang-orang PKI, Nalar Jawa, dan Sosok Umar Kayam – Telaah Struktural-Hermeneutik Dongeng Etnografis dari Umar Kayam,” dalam Aprinus Salam (ed.), Umar Kayam dan Jaring Semiotik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Hal. 40-92.

Di dalam tulisan ini Ahimsa-Putra menganalisis secara panjang-lebar sosok dan posisi kultural Umar Kayam serta karya-karyanya, terutama “Sri Sumarah,” “Bawuk,” dan Para Priyayi, melalui kaca mata strukturalisme Levi-Strauss dan simbolisme ritual Victor Turner, serta “diilhami” pula oleh pendekatan hermeneutik Geertz.


(Tulisan ini pernat dimuat di JurnalJerat Budaya edisi No.3/III/2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar