Sabtu, 04 Juli 2009

DIALOG vs MONOLOG

Di tulis oleh: G. R. Lono Lastoro Simatupang

Sebuah surat dilayangkan dari meja redaksi Jerat Budaya kepada saya, akhir Agustus yang lalu, berisi permintaan komentar balik atas “pembacaan” Emmanuel Subangun terhadap sejumlah tulisan dalam dua nomor pertama majalah ini. Terlampir pada surat tersebut tulisan Subangun sebelum diedit dan versi setelah diedit (disisipi kutipan) oleh redaksi. Tulisan ini merupa-kan pemenuhan permintaan itu.
Komentar tak pernah bisa ditulis tanpa didahului pembacaan. Pembacaan selalu melibatkan interpretasi, dialog. Untuk tetap bersikap transparan dalam proses interpretasi, tulisan ini berusaha memperlihatkan proses dialog yang terjadi dengan mengutip sejumlah kalimat tulisan Subangun, memberi tafsir atasnya, sebelum memberi komentar berdasarkan tafsir tersebut (walaupun tidak selalu tersusun dalam urutan seperti itu).
****
Mengawali tulisan, Subangun menyatakan pesimis akan kemungkinan terjadinya dialog lintas ilmu: “apakah komunikasi di antara berbagai disiplin ilmu itu mungkin?” Ia menunjuk tiga alasan mengapa pesimisme itu “tidak mengada-ada”: adanya resiko dirinya akan diletakkan sebagai informan atau malah obyek kajian, keraguannya akan letak “suara awam” dalam wacana ilmiah yang sudah sarat dengan istilah dan teori masing-masing, dan adanya resiko etis: “apakah tafsir jati diri itu tidak dianggap seba-gai tindakan tak tahu diri, sejenis kekurangajaran.” Tulisan yang sedang anda baca ini tidak secara khusus dibuat untuk menang-gapi balik pesimisme di atas (walaupun di dalamnya mungkin ada beberapa pemikiran yang bisa digunakan untuk itu), karena toh ternyata pertanyaan itu kemudian dijawab sendiri oleh Subangun dengan menawarkan sebuah model pemahaman tentang dialog.
Lalu untuk apa pesimisme itu dikatakan? Subangun menyatakan kegamangan itu sebagai “uluk-salam pembuka” komunikasi lintas ilmu. Uluk-salam yang dinyatakan secara pesimis memang bukan praktek yang lumrah, tapi tidak berarti harus selalu ditanggapi secara negatif. Untuk itu, saya membaca salam pembuka itu tidak sekedar sebagai sekedar gaya retorika atau poetic ala Subangun, melainkan sebagai pesan untuk bersikap reflexive, mawas-diri terhadap setiap pelaku disiplin keilmuan. Saya se-penuhnya sependapat dengan pesan macam itu, dan berharap hal serupa dipraktekkan oleh setiap pelaku dialog. Apalah manfaat sebuah dialog bila darinya orang tak bisa menemukan diri dalam kebersamaannya dengan orang lain, serta kemudian menggunakan sinergi itu bagi perkembangan kedua belah pihak secara berkesinambungan?
****
Sekedar untuk menjaga kerunutan tulisan, saya lewati dulu bagian yang diberinya sub-judul ‘Masalah Pembagian Kerja,’ dan kembali pada bentuk dialog yang ditawarkannya. Mari kita baca lagi anjurannya:
“Maka saya (siapa saya?) hendak menyarankan, untuk bisa keluar dari lingkaran tak bertepi itu, untuk meletakkan dialog yang dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidang masing-masing itu tidak seperti yang dimaksudkan seperti pembagian kerja secara sosial, dalam pengertian setiap unsur akan menyumbang bagi keutuhan seluruh sistem, tetapi semata meletakkan dialog itu seperti pertautan dalam tanda yang selalu terbelah dalam penanda dan petanda, seperti kaitan struktural antara parole dan langue, tetapi parole bukan tindak individual, tetapi juga selalu sosial atau kemasyarakatan.” 1)

Pemahaman saya atas kalimat di atas ialah: bagi Subangun dialog bukanlah semacam kegiatan tempel-menempel se-perti yang terjadi dalam kolase: misalnya, mereka yang menganggap dirinya kompeten di bidang feminisme bicara tentang masalah gender di Jawa (saja), ahli ekonomi melulu bicara tentang sistem produksi, konsumsi dan distribusi barang di Jawa (saja), antropolog hanya bicara soal ‘sistem nilai’ orang Jawa (saja), dan filsuf sibuk membahas logika, etika, estetika, metafisika orang Jawa (saja); untuk kemudian dijumlahkan (seperti dalam matematika) sehingga memperoleh hasil: Kebudayaan Jawa. Kita tahu bahwa, memakai contoh orang Jawa di atas, masalah gender, sistem produksi/konsumsi/distribusi, sistem nilai, dan filsafat Jawa saling kait-mengkait satu sama lain. Singkat kata: menutup mata terhadap ‘kebenaran’ lain mungkin bisa memperjelas sasaran --seperti orang membidik, tetapi pada saat yang sama tindakan itu menutup bagian panorama pandangan yang lain.
Kata kuncinya ialah “saling terkait,” atau memakai kata-kata Subangun: sebagai pertautan antara penanda dan petanda, serta parole dan langue dengan catatan bahwa ”parole bukan tindak individual, tetapi juga selalu sosial atau kemasyarakatan.” Ijinkan saya sejenak mencerna kiasan Subangun ini.
Pertama, tentang penanda dan petanda, pasangan padan kata untuk signifier dan signified. Yang disebut lebih dulu menunjuk pada fenomena (material maupun imaterial), sedangkan yang berikutnya pada konsep yang dilekatkan padanya. Dalam tradisi Saussurian kaitan antara keduanya dipahami sebagai hubungan kesemenaan (arbitrary) antara konsep dan fenomena yang ditunjuknya. Dengan lain kata, keduanya memiliki logika yang berlainan. Ambillah sebagai contoh: kata ‘kasur’ dan ‘rusak.’ Kedua kata itu memiliki unsur bunyi (konsonan dan vokal) yang persis sama, hanya saja urutannya berbeda. Perbedaan urutan bunyi itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbedaan konsep 'kasur' dan 'rusak.' Itu berarti: menyadari keterbelahan tanda dalam penanda dan petanda, juga adalah menerima adanya kesemenaan yang terkandung dalam konsep.2)
Lalu, apa arti pemahaman tentang hubungan kesemenaan semacam itu bagi pemahaman tentang dialog? Apakah dengan kiasan “pertautan dalam tanda yang selalu terbelah antara penanda dan petanda” hendak dianjurkan sikap reflexive dalam berdialog: pendapat seseorang adalah petanda yang secara semena-mena di-berikan pada fenomena yang dikomentarinya? Ataukah, dengannya hendak dianjurkan untuk meletakkan dialog pada tataran fenomena, bukannya pada tataran konsep yang arbitrer? Tidak jelas betul bagi saya. Sayang, Subangun, yang meletakkan diri sebagai awam, menganggap setiap pembaca cukup “lihay” untuk bisa menafsir kiasannya, sehingga merasa tidak perlu menjelaskan lebih lanjut. Anggapan itu ternyata tidak berlaku pada saya, dan itu tidak mengada-ada.
Berikutnya ialah soal parole dan langue. Kedua istilah linguistik ini, yang awal mengacu pada praktek bahasa dalam kehidupan sehari-hari sebagaimana tampil dalam (terutama) percakapan maupun tulisan, sementara yang belakangan menunjuk pada bahasa sebagaimana hadir dalam bentuk kaidah. Sebagai praksis, bahasa selalu terbingkai dalam konteks: diucapkan/ditulis oleh seseorang, kepada orang tertentu, dengan cara tertentu, di tempat tertentu, pada waktu tertentu, dalam relasi sosial/ekonomi/politik/spiritual tertentu. Karena sangat eratnya konteks dalam praksis bahasa maka parole sering diartikan sebagai gejala kekhususan, partikular, individual. Lain halnya dengan langue: ia adalah kaidah, sebuah kesemenaan abstrak yang ‘disepakati bersama,’ yang berlaku universal (walau kehadirannya tak selalu disadari oleh pelaku bahasa) dan (diharapkan) mampu menjelaskan pola-pola teratur (tatabahasa) yang muncul dalam bahasa. Perlu dicatat bahwa semiotik yang dibangun oleh de Saussure tidak memasukkan parole sebagai obyek kajiannya. Singkat kata: langue merupakan sistem yang mengarah pada gejala universalitas.
Bagaimana issue partikular-universal ini berkait dengan masalah dialog lintas ilmu? Subangun memberi ‘sasmita’ dengan menyatakan: “parole bukan tindak individual, tetapi selalu juga sosial dan kemasyarakatan.” ‘Embel-embel' itu saya pahami sebagai salah satu bentuk kritik pada strukturalis ala Saussurian dengan mengajukan penolakan terhadap ‘kebenaran’ obyektif yang dibangun dari abstraksi tentang universalitas, dan juga menolak tuduhan yang partikular adalah subyektif. Kalau ‘kebenaran’ obyektif-universal ditolak, begitu pula ‘kebenaran’ subyektif-partikular disanggah, lalu di mana dicari kebenaran? Walaupun tidak dikatakan oleh Subangun, saya menafsirkan sasmita itu sebagai penawaran ‘kebenaran’ intersubyektif.’3) Dengan intersubyektif hendak dirujuk, antara lain, keadaan berikut: bahwa hal-hal yang khusus (subyektif, individual, partikular, lokal) memberi kondisi bagi keberadaan yang umum (obyektif, sosial, general), dan sebaliknya; yang umum memberi kondisi bagi eksistensi yang khusus.4) Menerima intersubyektivitas, saya pahami, berarti mengakui adanya persamaan dan sekaligus perbedaan masing-masing subyek Dari titik pandang ini model dialog yang ditawarkan Subangun tampak lebih jelas (itupun kalau saya tidak salah baca): dialog hanya mungkin terjadi bila berlandaskan intersubyektivitas, interelasi, interseksi. Maka, saya memahami dialog yang dianjurkannya sebagai aktivitas menemukan, menggunakan titik singgung maupun titik tolak antar disiplin ilmu, untuk kemudian menggunakannya sebagai landasan kritik diri. Dialog semacam ini tentu saja berbeda dengan model ‘pembagian kerja’ yang sebenarnya bukan dialog, melainkan sejumlah monolog (masing-masing ngomong sendiri). Itulah tafsir saya atas bentuk dialog yang ditawarkan oleh Subangun.
****
Sampai pada titik itu, pembacaan saya atas tulisan Subangun bisa dikatakan lancar-lancar saja. Namun ketika pemaham-an itu saya terapkan pada substansi dialog yang ia praktekkan, saya menemukan “benang bundhet.” Keruwetan itu antara lain ber-sumber dari ketidakjelasan: apa yang ‘dibaca’ dan dikomentari Subangun? Apakah ia membaca fenomena berupa majalah Jerat Budaya yang “sudah dua terbitan,” fenomena berupa empat buah artikel (Ramaniya, Ahimsa-Putra, Simatupang, dan Laksono), ataukah keduanya? Atau: disipin ilmu antropologi? Tak terlalu jelas bagi saya, baik pada naskah asli maupun sesudah disisipi oleh kutipan oleh redaksi. Terkesan Subangun mondar-mandir pada terminal-terminal itu silih berganti tanpa petunjuk yang jelas.
Mari kita lihat bagian kedua tulisan tersebut, diberi sub-judul ‘Masalah Pembagian Kerja.’ Bagian ini memuat pembacaan Subangun atas empat artikel tersebut. Begini bunyinya:
“Anggaplah, untuk sementara bahwa soal subyek/obyek (Ramaniya), tanda/makna (Laksono) atau tradisionalisme/kritis (Ahimsa) dan “being there” [yang] dipahami secara spasial dan bukan Heidegerian, yakni “Da-sein”, adalah bacaan saya atas naskah yang disampaikan dalam dua terbitan itu.”
Namun anda akan kecele bila berharap menemukan komentarnya atas topik permasalahan yang tertuang di masing-masing artikel, karena, hampir secara harafiah, pembacaan itu hanya terangkum dalam satu kalimat di atas. Hampir betul-betul hanya itu. Memang, pada tempat lain ada juga kata, kalimat, alinea lain yang menyinggung artikel yang dibacanya; tetapi tidak lebih jauh dari itu.
Anggaplah bahwa memang itu adalah pembacaan Subangun untuk sementara. Lalu, apa yang bisa ditanggapi balik dari itu? Ijinkan saya memakai pembacaan Subangun atas tulisan saya sebagai contoh. Baginya, artikel itu melulu bicara tentang “be-ing there” yang dipahami secara spasial (bukan Heideggerian), dan yang (secara keliru) disamakannya dengan “going native.” Itu saja.5) Tidak digubris olehnya masalah perbedaan dan persamaan, self dan other, serta perlunya keterbukaan/transparansi dalam ilmu; yang menurut saya jauh lebih penting dan dalam artikel menempati porsi pembahasan lebih besar daripada ilustrasi spasial tentang Monash dan tim ekspedisi Kalimantan Timur. Penyisipan kutipan (oleh redaksi) pada versi setelah diedit hanya memper-tegas kesenjangan yang saya maksud. Terlalu naif untuk sekedar menganggap hal itu sebagai keteledoran seseorang berkapa-sitas seperti Subangun. Jadi, sebelum berkomentar, saya pikir, sebaiknya diketahui dulu kepada siapa tulisannya ditujukan?
Ada tanda samar-samar yang mengarahkan saya pada dugaan bahwa Subangun memberi komentar atas Jerat Budaya sebagai sebuah media komunikasi, bukan keempat artikel. Ia tidak membahas ide masing-masing artikel, tetapi lebih tertarik un-tuk mempertanyakan: “Untuk tujuan apa tafsir dan komentar semacam itu [keempat artikel], kalaupun ditulis?” Maka dimulailah pe-ngembaraan anggapannya dengan menduga bahwa keempat penulis artikel itu menulis untuk berkomunikasi. Tapi komunikasi untuk apa? Lalu, dilanjutkan perjalanan ‘dialog imajiner’ itu dengan melantunkan beberapa potong melodi interpretasi dalam tangga nada minor, sebelum akhirnya sampai pada kesimpulan dalam tangga nada mayor: “ujung dari komunikasi itu juga tidak men-dapatkan titik pijaknya.” Karena tak dilihatnya ujung pangkal komunikasi antar penulis di kedua edisi Jerat Budaya -- yang diibarat-kannya sebagai komunikasi model pembagian kerja, maka disarankanlah oleh Subangun sebuah model pemahaman dialog se-bagai pertautan tanda, seperti dibicarakan di atas.
Ditafsirkan seperti ini, maka komentar Subangun bisa ditempatkan sebagai kritik atas majalah Jerat Budaya. Dugaan ini semakin kuat ketika di bagian ketiga (‘Sudah dua terbitan “Jerat” budaya’), diulangnya kesimpulan itu secara fortissimo:

“Artinya anda sedang membangun dunia tautologis, dan dalam pengertian sehari- hari, anda sedang membangun sebuah abnormalitas, sebuah kegilaan, yang tidak akan dimengerti oleh nalar utama dalam masyarakat kita atau manapun juga.”
Bagaimana Subangun sampai pada kesimpulan macam itu? Pertanyaan ini akan diulas pada bagian berikut.
****
Di bagian akhir, Subangun menyuarakan pemikiran setelah memantulkan fenomena (majalah atau artikel?) di rongga pikir dan rasanya. Dengan kata lain, di bagian ini bisa dijumpai gagasan yang melatarbelakangi opininya. Di sini Subangun menyodorkan adanya “kenyataan paradoksal” antara wacana humanis dan wacana teknokratis, dan adanya “lompatan kualititip” dari individu ke masyarakat. Karena menurutnya kedua hal itu tidak terpantul dalam keempat artikel yang dibacanya, maka ia pun berpendapat; “menulis, berpikir dan mengembangkan antropologi [adalah] sebuah dinamik yang sepenuhnya kosong makna,” dan, begitu pula, terbitan macam Jerat Budaya hanya akan bisa “menemukan tenaga dalamnya” pada sebuah keyakinan akan watak dasar majemuk dari kenyataan. Sebagai penutup diajukanlah tiga ikon kemungkinan “bukaan” dialog: “tenaga dalam, tanah air dan wacana humanis.”
Komentar balik berikut ini hanya akan membatasi pembahasan pada masalah ‘tenaga dalam’ dan wacana humanis, tetapi hal itu akan dilakukan sambil meninjau ulang premis tentang paradoks antara wacana humanis dan teknokratis, serta lompatan kualitiatip dari individu ke masyarakat. Pembahasan akan saya lakukan dengan kembali mengacu pada model kaitan antara parole dan langue. Dengan demikian, ia juga membuka peluang untuk membahas tentang praktek dialog itu sendiri.
Pertama, saya sependapat bahwa ‘tenaga dalam’ majalah ini terletak pada pemahaman bahwa “kenyataan itu watak da-sarnya majemuk dan tidak ada warna tunggalnya (entah humanis atau teknokratik atau lainnya).” Sejak dicetuskannya paham rela-tivisme budaya dalam disiplin antropologi, sejak itu pula telah tertanam benih paham kemajemukan ‘kenyataan,’ atau lebih tepatnya: kemajemukan 'interpretasi atas kenyataan,' yang dipengaruhi oleh faktor-faktor historis, sosial, kultural dan material. Hanya saja, waktu itu pemahaman ini cenderung berhenti pada menerima ‘yang lain sebagai yang berbeda, yang hanya bisa dipahami dari dalam.’ Singkatnya, jurang pemisah antara ‘kita’ dan ‘mereka’ masih tidak terjembatani. Belakangan, benih macam ini memperoleh air dan pupuknya dari kehadiran pos-strukturalisme atau pos-modernisme: ‘kita pun ternyata berbeda-beda (majemuk).’ Di antropologi, gaung ini antara lain keras terdengar dalam bentuk kritik terhadap ‘kebenaran etnografi’ dan praktek penulisan etnografi: bagaimana etnografer ‘mendefinisikan’ dan menuliskan subyek yang ditelitinya. Jadi, cenderung lebih bersifat reflexive, menuju pada masalah interpretasi individual (mungkin karena sebelumnya mereka sudah bisa mengakui keterbelahan masyarakat).
Kenyataan keterpecahaan diri ini sangat menyakitkan karena menggugat masalah moral, etika keilmuan, dan praktek kekuasaan ekonomi maupun politik. Berbagai upaya dilakukan untuk ‘menebus dosa’ tersebut, antara lain dengan mengungkap kembali “after the fact” (Geertz, 1996). Sebagian mereka yang ‘belum terlanjur’ menuliskan “the fact” memilih untuk mengungkap-kan posisinya ‘before the fact.’ “Etnografi merupakan representasi yang bisa dipertanyakan [keberadaannya] kecuali ia memperli-hatkan penciptaannya,” kata Fabian. Baginya, “etnografi pada hakekatnya komunikatif atau dialogis, sehingga semestinya yang menjadi kata kunci bagi pemahaman produksi pengetahuan etnografis ialah percakapan, bukan pengamatan.” Bahkan lebih jauh lagi, peran peneliti dapat dipandang sebagai penyedia (provider) peristiwa komunikasi, seperti layaknya seorang produser pen-tas teater (Fabian, 1990:xiv,4-7).6)
Dengan menelusuri pemahaman antropologis akan kemajemukan/keterpecahan di atas saya bermaksud memperlihatkan kaitan antara etnografi, artikel, dialog, serta pertautan parole dan lingua. Jelasnya: saya pikir masing-masing penulis artikel (paling tidak saya) menyadari posisinya sebagai subyek yang berbeda dengan subyek lain, tetapi tidak berpretensi bahwa hanya dirinyalah yang benar. Barangkali pertanyaannya kemudian: kalau masing-masing individu berbeda, bagaimana keadaan yang ma-jemuk itu mengada dalam sebuah kebersamaan (entah itu yang namanya majalah, jurusan, antropologi, masyarakat, negara). Apakah hal itu berarti tak ada kebenaran? Menyimpulkan dari keadaan semacam itu sebagai tiadanya kebenaran (hampa makna) adalah sama konyolnya dengan menyatakan bahwa hanya dirinya yang benar. Menurut hemat saya, tepat di titik ini kualitas inter-subyektif manusia tampil ke depan. Seperti argumen di depan, intersubyektifitas mensyaratkan adanya interseksi, sesuatu yang “disetujui” bersama oleh subyek-subyek -- seberapa pun kecil/besar, dangkal/dalam, cair/kental, dan sementara/langgengnya “persetujuan” itu. Tanpa adanya tumpang tindih, pertautan macam parole dan langue ini, tak akan pernah ada komunikasi, keber-samaan, apalagi yang namanya kesatuan dan persatuan (kalau pun kita masih berusaha percaya pada adanya koherensi sistem).
Di mana posisi Subangun terhadap masalah kebersamaan yang majemuk ini? Bagi saya posisi itu tercermin dari pandangannya yang dikotomis antara wacana humanis dan wacana teknokratik. Mari kita baca lagi tulisannya. Beranjak dari hubungan paradoksal antara wacana humanis dan teknokratis, Subangun sampai pada pendapat tentang keterbelahan yang tak tersambungkan:
“Jadi mau kritis, feminis atau strukturalis? Ya silahkan. Anda sibuk berdiskusi dan kita harus terus menerus mengurusi kekuasaan. Artinya bahwa modalitas kekuasaan itu buta pada keributan makna, sepenuhnya adalah wajar dan tak bisa ditolak.”
Tersirat di dalamnya pendapat bahwa kebersamaan dalam keterpecahan itu hanya dimungkinkan karena adanya tindak kesemenaan yang harus dilihat sebagai relasi kekuatan (power relations) yang mengatasnamakan praktek pada ‘kewajaran,’ ‘tak bisa di-tolak’ (menurut siapa?), atau kepentingan umum (siapakah ‘umum’ itu?). Pendekatan ini memahami kebersamaan seperti pene-rapan sistem pertahanan dan keamanan masa Orde Baru: perbedaan dianggap sebagai kegilaan.
Orde (tatanan) macam ini bukannya tak bisa diubah. Sejarah bangsa-negara ini mencatat terjadinya berbagai perubahan macam itu, dan yang terakhir baru saja kita alami. Kita juga melihat bahwa perombakan (untuk tidak mengatakan revolusi) macam itu sangat menyakitkan. Saya pikir, salah satu pelajaran terpenting yang bisa dipetik dari perombakan atas pendekatan kesewenangan ialah: kewajaran, kepentingan umum, atau generalisasi macam apa pun tak bisa sekedar diasumsikan. Kewajaran, kepentingan umum, atau singkatnya: kebersamaan dalam keterpecahan (perbedaan), seyogyanya dicapai dalam negosiasi, kompromi, dialog, pertautan, yang setiap saat diperbarui. Dari sudut pandang macam ini, generalisasi pada dasarnya merupakan syarat komunikasi, dialog, kehidupan bersama. Ia adalah lingua franca, bukannya kerangka yang mengungkung setiap detail interaksi antar manusia.
Kembali ke soal dikotomi wacana teknokratik dan humanis: sikap menutup diri terbukti bukan merupakan satu-satunya jalan keluar (penjelasan) terbaik, apalagi bila sikap itu muncul dalam sebuah konteks dialog yang menghendaki adanya pertautan - bukannya multi monolog seperti sistem pembagian kerja.
Berikutnya soal individu - masyarakat. Hal ini sangat jelas berkaitan dengan hubungan parole yang partikular dan langue yang universal. Kalau dugaan saya benar, yaitu bahwa Subangun melihat pertautan antara lingua dan parole (yang juga selalu ber-arti sosial) sebagai hubungan saling menstruktur (mengkondisi) antara yang khusus dan yang umum, maka pernyataannya berikut bisa dipertimbangkan lagi:
“Kita hanya akan tertipu jika mengira bahwa masyarakat itu terdiri dari individu atau mahluk manusia yang bermoral, bertakwa atau berpengetahuan. Masyarakat adalah sebuah fakta, tak lebih dari sebuah sistem, tanpa nurani, tanpa kesadaran, tanpa nilai. Artinya, masyarakat bukan lah kumpulan individual, atau secara lebih tegas: ada lompatan kualitatip dari individu ke bentuk masyarakat itu.”
Saya serujuk dengan pendapat tentang adanya lompatan kualitatip itu, tetapi tidak melihat hal itu sebagai kesenjangan antara individu (yang bermoral, bertakwa, berpengetahuan) dan masyarakat (yang tanpa nurani, tanpa kesadaran tanpa nilai). Saya mema-hami lompatan itu lebih sebagai lompatan dari fenomena ke abstraksi. Masyarakat adalah sebuah konsep generalisasi yang diberikan oleh seseorang atau sekelompok orang pada sejumlah individu yang lain. Ia bukan pula sebuah fakta dalam arti kenya-taan (apalagi sebuah sistem), melainkan fakta dalam pengertian sebuah tafsir - seperti 'fact' yang dimaksudkan Geertz dalam ungkapan ‘after the fact.’ Jadi, saya pikir pendapat bahwa masyarakat itu tanpa nurani, tanpa kesadaran, tanpa nilai, sebaiknya dimengerti bukan karena memang itulah sifatnya, melainkan karena pengenaan atribut kualititip macam itu tidak cocok dilakukan pada satuan imajiner. Bukan masyarakat yang berperilaku, melainkan individu-individu (yang bisa saja mengatasnamakan diri se-bagai wakil individu, membenarkan tindakannya dengan dalih sejumlah besar individu lain, dan sebagainya). Kalaupun, melalui berbagai dalih, atribut kualitatip macam itu dikenakan juga pada satuan imajiner, bisa dipastikan akan dijumpai adanya distorsi pa-da tataran fenomena.
Jadi, bagi saya, implikasi dari adanya lompatan kualitatip dari individu ke masyarakat bagi ilmu kemasyarakatan ialah desakan untuk menerima ilmu sebagai abstraksi atas realitas (apa itu realitas?), yang tidak akan pernah sepenuhnya sama dengan, tetapi juga tidak sepenuhnya berbeda dari, realitas manusia itu sendiri (apakah ada realitas obyektif?). Kesadaran macam saya nilai lebih diperlukan daripada gugatan Subangun atas keberpihakan penulis dengan mengatakan;
“ketika feminisme ditulis dengan merajut sejumlah gagasan dari sebuah disiplin tertentu, seperti juga ke jalanan dikomentari dari sebuah titik pandang tertentu, dan sejarah ilmu dilihat dari keinginan mencari bentuk lain, maka usaha itu tidak bakal merujuk pada hal apapun juga di luar kegiatan menulis itu sendiri. Tidak ke fakultas, tidak ke departemen, tidak ke sistem pengajaran dan tidak juga ke kekejaman jalanan, tetapi merujuk pada bentuk simbolik wacana itu sendiri.”
Hal yang perlu segera ditambahkan pada kritik Subangun di atas ialah kemustahilan tiadanya keberpihakan dalam wacana apapun, termasuk juga tulisan yang anda sedang baca ini. Maka, sesungguhnya keberpihakan itu sendiri merupakan referensi atau rujukan yang berada di luar kegiatan menulis itu sendiri, entah itu yang namanya konsep, teori, paradigma, humanisme, dan sebagainya.
Saya tidak menolak pendapat bahwa merefer pada hal-hal yang demikian bisa diartikan merujuk pada bentuk simbolik wacana itu sendiri; tetapi saya pertanyakan: apakah dengannya kemudian kegiatan tulis menulis sepenuhnya kosong makna? Apakah tulisan yang merujuk pada departemen, fakultas, sistem pengajaran lebih berisi (bermakna) daripada yang merujuk pada bentuk simbolik sebuah wacana? Mengapa yang awal dianggap bermakna, sementara yang belakangan hampa makna? Bukan-kah manusia tidak sekedar hidup dari nasi, tapi juga dari simbol yang ia tempelkan pada nasi? Kalaupun simbol adalah sebuah dunia kemungkinan yang tak bertepi, apakah karenanya kemudian tak perlu dibicarakan dan menyerah pada bentuk simbolik yang sudah mapan, dominan, tanpa mengganggu-gugatnya lagi? Ataukah; justru karena adanya kesadaran akan kemajemukan dan kebenaran intersubyektif, maka, sudah sepantasnya lah bila setiap orang berperan-serta dalam proses negosiasi makna?
****
Menutup tulisan ini (yang semula direncanakan pendek, tapi ternyata jadi lebih panjang), saya ulang lagi sebuah perta-nyaan Subangun yang menurut saya sangat bijak dan reflexive: “apakah dengan begitu maka berilmu kembali pada ajaran lama ilmu saka lan kanthi laku?” Dalam ajaran lama itu teori tak dibedakan benar dari praktek. Teori dan praktek bagaikan curiga manjing warangka, warangka manjing curiga atau kodhok ngemuli leng, leng ngemuli kodhok. Bagi saya, dalam konteks tulisan ini, nasihat lama tersebut muncul kembali dalam bentuk pertanyaan: apakah tindakan saya sudah mencerminkan pendapat yang saya sampaikan? Apakah pemahaman dialog yang saya bayangkan juga saya terapkan dalam tulisan? Apakah saya sudah berusaha kuat untuk berbicara tentang humanisme tanpa terjebak menjadi anti-humanis? Bagaimana dengan pembaca?

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jerat Budaya edisi No. 3/III/2000)


Daftar Pustaka

Bruner, Edward M.
1986 'Experience and Its Expression.' in The Anthropology of
Experience. Victor W. Turner and Edward M. Bruner (Eds.). Urbana and Chicago: University of Illinois Press.
Daniel, E. Valentine
1984 Fluid Signs, Being a Person the Tamil Way. Berkeley, Los
Angeles, London: University of California Press.
Fabian, Johannes
1990 Power and Performance. Ethnographic Explorations through
Proverbial Wisdom and Theater in Shaba, Zaire. Wisconsin:
University of Wisconsin Press.
Geertz, Clifford
1995 After the Fact. Cambridge: Harvard University Press.
Jackson, Michael (Ed.)
1996 Things as They Are: New Directions in Phenomenological
Anthropology. Bloomington and Indianapolis: Indiana University
Press.
Simatupang, G.R. Lono Lastoro
1997 ‘Menuju Antropologi Yang Transparan’ dalam Jerat Budaya. No.1/I/(41-54).
Turino, Thomas
1990 ‘Structure, Context, and Strategy in Musical Ethnography’ dalam Ethnomusicology, Fall 1990 (399-412).

Catatan kaki
1) Garis bawah dari saya, garis miring sesuai naskah Subangun.
2) Sebuah pendekatan lain, yang dikembangkan oleh Charles S. Peirce, melihat simbol semata-mata merupakan salah satu jenis tanda (sign), di samping ikon (icon) dan indeks (index). Berbeda dari de Saussure, Peirce tidak memahami proses pemaknaan (signification) sebagai hubungan dyadic antara signifier dan signified. Baginya, signifikasi merupakan hubungan triadic yang kompleks antara kualitas (potensi) - misalnya 'hijau', dengan obyek - misalnya 'daun', dan interpretant - misalnya 'bagi saya daun itu berwarna hijau.' Pemahaman saya atas semeiotic nya Peirce berasal dari E. Valentine Daniel (1984).
3) Pendekatan fenomenologis Peirce atas gejala kebahasaan ini, seperti tokoh pemikir fenomenologis lainnya (seperti: Husserl, Merleu-Ponty, Heidegger, dan Dewey) merupakan kritik atas empirisisme dan idealisme. Aplikasi pendekatan fenomenologis dalam antropologi bisa dilihat pada Jackson (1996).
4) Dalam konteks yang berbeda, ungkapan serupa juga disampaikan oleh Bruner (1986:6), yang saya kutip dalam SImatupang (1997:47f.): "The relationship [between experience and its expression] is clearly dialogic and dialectical, for experience structures expressions [...] But expressions also structure experience." Dalam konteks musik Turino mengatakan, "music is not just socially structured, but in addition [...] society is partially musically structured" (1990:401).
5) Saya mengabaikan pendapat Subangun bahwa dengan tulisan itu saya "mengenang Monash, sebuah universitas." Saya menyikapi kalimat itu sebagai gaya bahasa Subangun, dan bukan hal yang penting untuk ditanggapi balik.
6) "Ethnographies are questionable unless they show their own genesis." "Ethnography is essentially, not incidentally, communicative or dialogical; conversation, not observation, should be the key to conceptualising ethnographic knowledge production." "The ethnographer's role, then, is no longer that of a questioner; he or she is but a provider of occasions, a catalyst in the weakest sense, and a producer (in analogy to a theatrical producer) in the strongest."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar