Sabtu, 04 Juli 2009

PERTEMUAN DUA NILAI: PEMIKIRAN AWAL MENGENAI KEKERASAN SIMBOLIK DAN DIALOG

Ditulis oleh: KIRIK ERTANTO


Tahun yang lalu, tahun 1999, Didid menuliskan sebuah makalah dengan judul yang cukup menantang untuk diperbincangkan: Anak Jalanan dan "Saya" Pertemuan Dua Nilai. Dari judulnya sendiri, secara sangat gamblang bisa ditangkap maksud dari penulisan naskah itu sendiri: mempertautkan dua nilai atau bisa juga dikatakan sebagai upaya melakukan dialog. Sebagaimana kita kenali sekarang, dialog sedang dijadikan salah satu titik pusat perbincangan di berbagai kalangan di Indonesia. Tulisan ini dalam arti tertentu juga tidak bisa melepaskan diri untuk larut dalam perbincangan tersebut yang dipicu oleh naskah yang dituliskan Didid, di satu sisi, sekaligus sebagai salah satu upaya untuk menerapkan dialog dengannya, di sisi lain. Tujuan utama dari tulisan ini masih sekedar menyentuh bagian tepinya dan belum untuk menunjukkan jawabnya.
Tulisan ini bermula dari pembacaan atas naskah Anak Jalanan dan Saya Pertemuan Dua Nilai yang kemudian menjadi titik tolak penulisan ini. Karena tulisan ini tidak banyak dibaca oleh orang lain, maka saya akan mengutip secara langsung bagian-bagian yang saya anggap penting, lalu ditafsir ulang dan kemudian akan saya komentari dengan masuk pada pokok permasalahannya yaitu pengertian tentang pertemuan dua nilai.
Naskah itu berisi tiga bagian pokok, yaitu pembukaan yang berisi posisi diri, pembacaan atas sejumlah pengalaman dan yang terakhir adalah sikap yang dipilih. Posisi diri penulisannya ditunjukkan dengan:
Tulisan ini lebih merupakan aktivitas berbagai pengalaman ketimbang sebuah presentasi makalah ilmiah. Isinya tentang bertemunya nilai seorang saya dengan nilai mereka, anak jalanan. Bagian pertama adalah paparan pengalaman mengagetkan karena jauh dari nilai "seharusnya" seorang saya. Kumpulan pengalaman di posisikan sebagai teks yang berbicara. Bagian ke dua merupakan upaya memaknai suatu teks pengalaman. Aktivitas pemaknaan tersebut melibatkan seperangkat teks pengalaman yang sudah lebih dulu hadir. Diandaikan bagian kedua ini adalah refleksi maka bagian ketiga merupakan sikap. Sebagai sebuah sikap ia konkrit, praksis. Selanjutnya sebagai aktivitas praksis, ia bakal menjadi pengalaman baru (baca: teks baru) yang potensial menggugurkan pemaknaan sebelumnya atau justru memperkuatnya. Demikian seterusnya.

Entah disadari, entah tidak, naskah diatas setidaknya menunjukkan cara bekerjanya teori linguitik yang meneropong makna dalam kerangka triadik signifier (kata/kalimat), signified (konsep) dan referentnya (objek realnya). Pengalaman (objek real) kemudian ditampilkan dalam bentukan-bentukan formalnya (signifiernya) lantas dicari isi konseptualnya yang kemudian akan jadi pengalaman baru. Saya duga, Didid cukup akrab dengan cara berpikir semacam ini. Pengalamannya duduk di bangku sekolah jurusan Sastra Indonesia UGM mau tidak mau mengharuskannya bersinggungan dengan nalar lingusitik ini.
Sudut pandang yang dipilih dalam naskah tersebut cukup jelas mengatakan bahwa bahasa tidak semata-mata dipahami untuk memahami realitas objektifnya tetapi ia terkait erat dengan subjek yang menggunakannya atau subjek yang mengatakannya. Peran subjek sungguh ditempatkan dalam posisi yang sangat sentral dalam perbincangan dan dalam relasi-relasi sosial yang dilakukannya. Lebih jauh lagi, subjek memiliki kontrol kuat dalam melontarkan maksud-maksud tertentu dalam percakapan, termasuk yang tersembunyi. Setiap tuturan, dengan demikian, merupakan tindakan penciptaan makna yaitu pembentukan diri sekaligus pengungkapan jati diri si pembicara.
Pertautan antara bahasa dan tindakan sosial adalah intersubjektivitas, karena melalui relasi inilah penciptaan makna serta konstruksi kenyataan secara sosial dilangsungkan secara terus menerus oleh setiap manusia (sebagai warga masyarakat). Tak pelak lagi, naskah itu menunjukan subjektivitas dan agen menjadi sangat penting. Bahasa tidak akan diterima sebagaimana apa adanya tetapi ditaruh serta ditanggapi sebagai perantara bagi pengungkapan maksud tertentu atau makna.
Penafsiran adalah langkah utama untuk pengungkapan makna yang tersedia dalam perbincangan atau perilaku sosial serta untuk mengenali subjektivitas dan intersubjektivitasnya. Dengan lain perkataan, untuk mengenali secara lebih baik tindakan manusia maka wajib untuk memahami motif dasarnya dengan cara meletakkan diri pada posisi si pembicara. Lewat penafsiran-penafsiran itulah maka relasi simbolik antara pembicara dan pendengarnya bisa menempati posisi sentral untuk mengungkapkan makna yang tersembunyi.
Transaksi komunikasi merupakan titik temu dan pertukaran saling pengertian antar pesertanya. Oleh karena keberhasilan sebuah pertemuan dua nilai perlu beberapa syarat: terpahami secara kognitif, kebenaran pernyataan, kejujuran antara pembicara dan pendengarnya serta memiliki kesesuaian basis normatifnya (hal.1, bagian pengantarnya).
Secara substansial, naskah tersebut mempertunjukkan bahwa titik temu tersebut terletak dalam perpaduan antara berbicara dengan anak dan berbicara tentang anak. Pada lapis yang pertama dipaparkan proses komunikasi yang terjalin bersama anak.
"Kasihan om, minta uang buat makan om" demikian kalimat itu selalu menyerobot muncul sebelum saya sempat membuka mulut. Ketika kalimat itu saya respon dengan kalimat yang muncul adalah kebisuan. Tak secuil pun muncul bunyi dari mulutnya. Kalau pun akhirnya mulut itu berbunyi maka yang muncul adalah "kasihan om, minta uang buat makan om". Aneh! Kepada kawan mbak Yah, mak Ndut, pak gofar dan anak buahnya, ia bisa lancar berbahasa. Kepada saya ia hanya memakai uang sebagai bahasa
Rasa penasaran agar bisa membangun percakapan dalam rangka berkenalan dengan anak jalanan memaksa saya untuk mendaftarkan diri sebagai bagian dari masyarakatnya mbak yah, mak Ndut, pak Gofar. Setelah melalui berbagai inisiasi, jadilah saya masyarakat jalanan sebagai pemulung. Di sinilah saya bisa berbicara dengan mereka. Dari sini pula akhirnya bisa berbicara tentang mereka dalam tataran sebagai pengalaman dan bukan sekedar pengetahuan.

Dalam naskah, mbak Yah hanyalah nama dari sebuah kelompok yang biasa direndahkan dengan sebutan wanita tuna susial, mak Ndut adalah wakil dari sekelompok manusia yang sehari-hari menjadi pedagang kaki lima dan pak Gofar adalah bagian dari gentho atau preman. Mereka semua adalah sekelompok manusia yang biasa dikategorikan sebagai penghuni jalan, komunitas jalan raya. Berbagai pengalaman saya pribadi di jalan menunjukkan bahwa pengemis selalu menduduki ujung terbawah dari lapisan hirarki sosial. Salah satu penunjuknya adalah kebutuhan untuk melakukan percakapan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari pertukaran itu selalu dimediasi dengan uang. Uang yang diberikan kepadanya juga selalu uang receh. Oleh karenanya memberikan uang kepadanya sesungguhnya juga sama dengan tidak merasa memberikan apa pun. Sementara itu, pengemis melakukan pertukaran dengan memberikan tekanan secara halus misalnya "buat makan". Bagi pemberinya uang yang dikasihkan kepada pengemis sesungguhnya sebuah tanda untuk melepaskan diri dari tekanan pengemis. Apa yang ingin saya katakan adalah tidak banyak orang sudi melakukan pertukaran kata-kata atau melakukan percakapan dengan pengemis. Secara gamblang pertukaran kata-kata sesungguhnya juga merupakan satu permainan untuk menduduki posisi sosial dalam tatanan hirarki sosialnya. Anak jalanan dengan stempel gelandangannya, bila dilihat dari kebutuhan berbicara dengannya, berada pada ujung terjauh hirarki sosial, antara ada dan tidak ada.
Kutipan naskah Anak Jalanan dan Saya Pertemuan Dua Nilai di atas juga menunjukkan pengertian yang sama. Untuk mempertemukan dua nilai terdapat garis tegas yang menjadi pembatasnya. Dan ia adalah bahasa dan posisi sosial yang dilekatkan. Karena itu tidak ada jalan lain, seperti yang ditunjukkan oleh naskah itu, komunikasi akan berjalan dengan baik bila mampu mencicipi sebagai penghuni jalan. Jadi ucapan tidaklah hanya dalam pengertian untuk mengatakan, tetapi juga untuk melakukan sesuatu.
Dengan demikian dalam naskah itu secara samar bahasa sesungguhnya juga merupakan representasi kognitif, wujud dari peta kognisinya tetapi sekaligus juga mewadahi untuk subjek, intersubjektivitas dan struktur makna. Dalam kata lain bahasa merupakan medium antara subjek dan objeknya.
Dengan langkah semacam itu bukanlah satu hal yang mengherankan bila dari aktivitas berbicara dengan anak kemudian diperluas ke arah berbicara tentang anak. Artinya ia merupakan perluasan untuk menyelamatkan makna yang terkandung dalam "pertemuan dua nilai". Secara substansial, bila berbicara dengan anak lebih pada tataran mikro, maka berbicara tentang anak ditaruh dalam tataran makronya.
Menggelandang di jalanan sendirian di uasia yang teramat dini (15 tahun ke bawah) bukanlah satu keadaan yang diidealkan. Di saat mereka seharusnya mengalami keadaan seperti yang dijaminkan dalam UN CRC (Konvensi Hak Anak), gelandangan anak-anak ini justru mendapatkan pengalaman khas jalanan yang potensial mengingkari dunia kanak-kanak mereka. Tidak mengherankan bila mereka sungguh akrab dengan kekerasan, nyetrit, nggulo, mobilitas tinggi, thithikan, niyang berikut akibatnya: es-pe-el, nyagepi atau kancing.
Pengalaman menunjukkan bahwa problem utama mereka adalah tertutupnya kesempatan untuk mendapatkan kembali institusi-institusi yang secara konvensional dianggap mampu menghadirkan keadaan ideal bagi kanak-kanak. Institusi tersebut adalah institusi sekolah, keluarga, kampung, masyarakat, bahkan negara. Sejauh ini kami meyakini bahwa penyebabnya adalah perlakuan
diskriminatif baik itu secara legal formal maupun sosio kultural yang secara sistematis hadir memojokkan mereka.

Kembali lagi, dalam berbicara tentang anak, kita menemukan tema utama yang dipersoalkan dalam naskah yakni ketiadaan komunikasi baik secara personal maupun secara kelembagaan antara anak jalanan dengan pihak-pihak lainnya. Bila hal ini terus dipertahankan maka pada gilirannya ia akan makan korban. Korban yang paling menderita: anak jalanan. Secara fisik ia hadir tapi tidak bermakna sama sekali.
Tidaklah mengherankan bila dibagian penutup naskah dilakukan satu kritik diri:
Paparan pengalaman tersebut mengatakan bahwa persoalan anak jalanan sebenarnya terletak pada saya (kita) bukannya pada anak jalanan itu sendiri. Selama saya (kita) tetap asyik dengan kemanjaan kesempurnaan kelompok berkuasa, selama hirarki sosial terus direproduksi, maka produksi anak jalanan (dan semacamnya) akan terus terjaga. Seberapaun LPA didirikan, seseksi apapun issue anak jalanan digulirkan, seberapa pun dana dikucurkan, tidak akan meringankan beban anak jalanan (dan semacamnya) kalau kemanjaan kita sebagai kaum berkuasa terus bercokol dalam benak saya (kita).

Demikianlah naskah itu secara tajam menunjukkan bahwa sesungguhnya, bagi naskah tersebut, makna anak jalanan selalu dikonstruksikan dari pihak "saya" (kita). Oleh karenanya tanpa kesadaran penuh untuk bisa membaca relasi semacam ini maka dengan sendirinya pertemuan dua nilai akan sepenuhnya tertutup. Tetapi di sisi lain, pernyataan itu bisa juga dibaca bahwa dengan sikap kritis terhadap posisi diri maka "janji terjadinya komunikasi yang setara" akan bisa dilangsungkan. Dengan menenggelamkan diri dalam masyarakat penghuni jalan (yang juga sekaligus objeknya) maka bisa dikenali bahwa anak jalanan juga manusia yang bisa memaknai peritiwa yang terjadi atas dirinya. Pertemuan dua nilai dalam naskah menunjuk pada adanya toleransi bahwa setiap manusia mampu mengkonstruksikan dunianya. Dalam kata lain berusaha menyelamatkan makna kemanusiaan itu sendiri.
Lewat pembacaan, pengutipan dan tafsir ulang atas naskah tersebut saya ingin memberikan beberapa komentar terhadap pertemuan dua nilai. Saya ingin memulainya dengan dengan penggalan kalimat: bahwa persoalan anak jalanan terletak sebenarnya terletak pada saya (kita) bukan pada anak jalanan itu sendiri. Kalimat ini cukup menggelitik untuk dikaji ulang. Saya sependapat dengan maksud dari kalimat itu untuk secara kritis melihat diri dalam jaringan masyarakatnya. Diri sesungguhnya tidaklah berada di luar masyarakat, tetapi juga terbenam di dalamnya. Namun demikian: siapakah saya, siapakah kita ? Lantas kalau kita sudah sadar dengan hirarki sosial yang memang dari sononya selalu timpang, apakah diri memang memiliki kekuatan yang cukup ampuh untuk merubahnya? Dalam hal ini tentu saja, saya tidak memiliki keyakinan sebesar yang dilontarkan dalam naskah tersebut. Ketidakyakinan setidaknya memiliki alasan meski saya setuju bahwa manusia merupakan makhluk yang secara aktif bisa menafsirkan peristiwa yang dialami dan yang berlangsung di sekitarnya, tetapi saya juga meyakini bahwa tafsiran itu tetap saja di dalam kerangka sistem sosial yang membentuknya. Manusia tidaklah sekuat seperti yang dia bayangkan sendiri. Ia masih terpuruk dalam sistem yang menjadi kerangkeng besinya. Dan saya kira, yang disebut terakhir terabaikan dalam naskah tersebut.
Untuk itu, komentar akan saya mulai dengan kembali ke masalah pembedaan signifier dan signified. Seperti kita kenali, yang disebut lebih awal adalah menunjuk pada gejalanya sedangkan yang ke dua berisi konsep mengenainya. Dalam strukturalisme Saussurian relasi antara keduanya berdarakan hubungan arbitrer, sewenang-wenang atau waton. Artinya tidak ada hubungan alamiah antara keduanya. Dengan demikian kita juga tidak bisa tidak harus mengakui adanya kesewenang-wenangan konsep-konsep terhadap sesuatu yang ditandai.
Dari persoalan tanda-tanda ini kita kemudian bisa melihat bahwa dalam naskah itu kemudian tersebar berbagai kata seperti thithikan (bermain judi dengan cara membanting uang receh lantas ditebak apakah yang muncul gambar atau angka), niyang (pekerja seks perempuan), nyagepi (minuman anggur ketan hitam yang mengandung kadar alkohol tinggi), se-pe-el (penyakit kelamin sipilis) dan semacamnya di satu sisi dan inisiasi, Konvensi Hak Anak, teks dan semacamnya di sisi lainnya.
Berbagai tanda itulah yang kemudian digunakan dalam praktik sehari-hari. Ketika ia digunakan maka terpaksa kita juga untuk melirik konsep bahasa lain, yaitu pembagian antara parole dan langue. Yang pertama merujuk pada praktik bahasa sehari-hari. Sebagai praktik bahasa selalu berada dalam situasi sosialnya, ia tidaklah dalam situasi yang vakum. Sementara itu langue diartikan sebagai sebuah hukum yang diandaikan bersama dan berlaku secara universal. Ia merupakan tata bahasa yang walaupun tidak disadari kehadirannya tetapi mampu memaksa pengguna bahasa untuk tunduk dalam keteraturannya. Dalam kajian Strukturalisme de Saussure yang dijadikan objek materialnya adalah bahasa yang abstrak ini.
Pada titik inilah sesungguhnya saya ingin "mempertautkan dua nilai" dari naskah Didid dengan komentar saya. Sebagaimana yang terpaparkan di bagian atas, naskah itu menyarankan pada posisi manusia yang dituntut selalu sadar terhadap tindakannya. Saya setuju dengannya, manusia bukanlah manusia yang pasif menjalankan struktur dan tidak bisa memaknai tindakannya. Namun demikian, adanya pandangan mengenai tata bahasa yang mengatur tindakan kita juga perlu diberi tempat yang layak, bukannya diabaikan begitu saja. Bukankah dalam naskah itu secara samar juga menunjukkan hal yang sama:
Agar bisa membangun percakapan dalam rangka perkenalan dengan kelompok anak tersebut telah memaksa saya mendaftarkan diri sebagai bagian dari masyarakatnya…

Dalam arti tertentu bisa ditafsirkan bahwa ada sebuah fakta sosial yang memaksanya untuk tunduk dan tidak disadari secara sepenuhnya. Dengan demikian saya tidak akan menempatkan pemilahan parole (yang disadari) dan langue (yang tidak disadari tapi mengekang dan mengatur) sebagai dualisme melainkan dualitas. Artinya hubungan antara keduanya saling mengkondisikan. Bukannya yang satu akan menentukan yang lain.
Dengan berpijak pada pedoman awal itu maka kita kembali lagi ke dalam naskahnya. Dalam kondisi apa naskah ini bisa diproduksi? Dari paparan atau ciri-ciri kalimat yang ada maka setidaknya naskah itu terproduksi karena dua lingkungan naskah yang membentuknya: lingkungan komunitas penghuni jalan dan lingkungan pendidikan. Seperti yang tersurat dalam naskah, pendaftarannya sebagai penghuni jalan juga melewati inisiasi. Dalam catatan kaki dituliskan: saya dan beberapa kawan di lembaga mengalami dihoyeni (diberi makanan sisa). Peristiwa semacam ini menunjukkan adanya sosialisasi, penanaman nilai atau serangkaian tindakan sosial. Dan untuk bisa diterima dalam kelompok tidak cukup dengan kemauan pribadi saja tetapi harus memiliki pengetahuan tertentu yang konkritnya bahasa (ini bisa disebut modal budaya), relasi-relasi dengan orang-orang yang dianggap penting (ini modal sosial) selain modal ekonomi (untuk dimintai uang). Akumulasi tiga modal inilah yang nantinya akan menentukan posisinya di kelompok, gengsinya (atau ini bisa disebut modal simbolik). Meski tidak bisa dilacak secara jelas, tetapi secara samar-samar tampak bahwa relasi atau modal sosial yang cukup penting untuk memasuki kelompok anak jalanan. Bukanlah mereka biasa mengisolasi atau diisolasikan.
Pada sisi lain, naskah itu mencirikan praktik berbahasa yang tidak mungkin didapatkan diperoleh di jalanan. Kata-kata seperti teks, refleksi, konkrit, praksis bukanlah kata sehari-hari di jalan. Sepanjang yang saya ketahui, kata semacam ini tumbuh subur dikalangan mereka yang terpelajar, tepatnya tersekolah, di wilayah pendidikan. Di lingkungan ini pengetahuan, ketrampilan atau kualifikasi pendidikan menjadi nilai utama untuk mengukurnya. Di wilayah ini pula nanti akan ditemukan mana ucapan yang mencerminkan pengetahuan, mana yang tidak. Biasanya, bahasa penghuni jalan hanyalah untuk landasan atau bukti untuk memperkuat argumen ilmiahnya.
Dengan membuka lingkungan naskahnya, meski dengan cara yang masih ceroboh dan sembrono, kita bisa mengenali lebih baik judul naskah itu yaitu pemilahan:
Anak (jalanan) : (saya) bukan anak
(anak) jalanan : sekolahan
Berbicara dengan : berbicara tentang

Dalam kehidupan sosial klasifikasi semacam ini memainkan peran yang sangat sentral dalam mengkonstruksikan dunia. Prinsip klasifikasi memiliki kemampuan untuk menghasilkan alat-alat pembeda atau pembentukan identitas. Seperti yang kita ketahui bersama, melalui klasifikasi inilah ditentukan satu titik yang menjadi pusat tatanan dan titik lain dalam posisi yang bertentangan dengannya. Untuk melihat mana yang pusat dan mana yang pinggir mutlak dilihat sebagai relasi kekuatan.
Sebagai sebuah istilah, anak jalanan baru dikenal di Indonesia di penghujung tahun 1980an atau malahan di awal tahun 1990 an. Kehadirannya tidak terlepas dari keberadaan PBB yang melantunkan pendekatan hak. Prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak dijadikan satu kerangka acuan untuk memaknai kehidupan seorang anak di seluruh muka bumi. Dengan demikian, hasilnya adalah ada anak yang terjamin haknya dan ada yang terampas haknya. Bila saja Konvensi Hak Anak itu dijalankan secara baik, maka semua anak akan terjamin haknya. Itulah janji yang ditawarkan.
Pada gilirannya, tatanan internasional itu (KHA) kemudian menggulirkan proyek-proyek raksasa. Di tingkat internasional, Unicef dan ILO memainkan peran sentral untuk proyek penjaminan hak ini, belakangan World Bank juga ikut melekatkan issue sensitif anak dalam berbagai proyek yang dibiayainya. Sementara itu lembaga donor baik tingkat internasional maupun regional juga tidak ketinggalan ikut membiayai program pemulihan hak. Serentak dengan itu, dunia pendidikan juga larut di dalamnya dengan berbagai hasil riset atau mendirikan pusat kajiannya. Mereka terlibat penuh untuk memainkan peran memilah mana anak yang terjamin haknya dan mana yang terampas haknya.
Pada akhirnya berbicara mengenai anak jalanan akan selalu juga dalam bingkai medan kekuasaan. Percakapan di dalamnya ditentukan berdasar patokan "nilai" hak anak. Dalam hal ini cukup jelas bila nilai anak jalanan diciptakan berdasar ukuran KHA. Sementara itu KHA bisa memiliki kekuatan justru bukan karena isinya sendiri, kalimat-kalimatnya di dalamnya (yang tidak memiliki kekuatan apapun), tetapi karena berbagai proyek raksasa dengan seluruh modal yang melekat padanya.
Saya kira disinilah letak keterbelahan posisi naskah Didid. Di satu sisi ia menempatkan manusia sebagai mahluk memiliki daya untuk menafsir, implikasinya akan mengakui kemajemukan. Pada sisi lain, ia merujuk pada KHA sebagai nilai universal, sebuah ketunggalan. Dan dalam naskah tersebut tampak kecenderungan melihat perbincangan dengan anak justru untuk membenarkan nilai univesalnya.
Kembali pada persoalan "pertemuan dua nilai". Seperti yang telah sedikit saya singgung di bagian atas, keyakinan naskah Didid mengenai subjektivitas membuat posisinya terpelanting sebagi agen pendekatan hak. Pengalamannya bersama anak jalanan hanyalah menjadi sebuah pengalaman penguat betapa pentingnya pendekatan hak. Implikasi yang lebih jauh adalah memindahkan berbagai persoalan yang sudah ditentukan oleh PBB untuk memaknai tindakan anak jalanan. Dalam hal ini tentu saja posisi anak jalanan selalu ditempatkan pada anak yang tidak mengetahui haknya, berarti tidak mengetahui peristiwa yang dialami dirinya. Ia adalah mahluk yang belum sadar mengenai haknya.
Dengan kondisi semacam itu maka dimasukkanlah kerangka hak ke dalam otak anak-anak jalanan, sehingga akan menjadi manusia seragam di seluruh dunia. Akibatnya, kerangka pemaknaan sebuah kelompok tertentu (mereka yang merancangnya melalui PBB) dijadikan kerangka acuan untuk memaknai kelompok lain. Di sinilah terjadi kekerasan simbolik. Ketimpangan akan dilangengkan karena yang berhak menetukan anak terjamin atau terampas haknya adalah PBB dengan seluruh agennya. Sebuah penguasaan dengan cara yang sangat halus. Kerangka acuan yang dianggap paling benar dan baik itu sesungguhnya adalah wajah lain akal budi yang imperialistis. Kalau pengandaian dasarnya seperti ini bagaimana sebuah dialog mungkin untuk dijalankan?
Pertemuan dua nilai memang tidak selalu dalam arti dialog yaitu menempatkan kedudukan para pesertanya dalam situasi setara. Yang lebih sering terjadi adalah menghadirkan tindak kekerasan. Dalam kesempatan ini untuk bisa melakukan dialog dengan naskah Didid, saya akan memulai dengan mencari sisi persamaannya terlebih dahulu. Paling tidak saya adalah bukan anak, tersekolahkan dan juga berbicara tentang anak. Dalam posisi ini maka seluruh selubung yang menjadikan posisi ini sebagai agen KHA bisa mulai disingkap. Pengalaman dalam berbicara dengan anak, kualifikasi pengetahuan serta dipercaya untuk bekerja di lembaga yang mengurusi anak jalanan adalah keuntungan-keuntungan yang bisa didapatkan. Dengan penyingkapan semacam ini maka KHA bisa ditaruh langsung dalam situasi sosialnya yaitu dalam hubungannya ketika berbicara bersama anak. Maka pertaruhan dalam situasi sosialnya akan menjadi lebih transparan, meletakkan KHA sebagai kerangka acuan pemaknaan atau menempatkan KHA sebagai alat untuk mengenali akal budi dari dunia lain dengan seluruh modal yang melekat didalamnya. Di sanalah terbentang jarak antara kekerasan simbolik dan dialog.
Melalui bentangan pilihan itulah dimungkinkan terjadinya ruang tawar menawar di dalam proyek pengembalian hak anak. Kita mulai bisa mengenali secara baik seluruh modal yang membuatnya menjadi sebuah issue penting di abad pergantian abad 20 dan 21 ini. Dengan demikian bisa tersingkap pula seluruh kekuasaan dibaliknya. Namun demikian perlu juga menyimak ucapan banyak orang yang belakangan ini mengatakan semakin modern semakin canggih kekuasaan menopengi wajah kekerasan. Sehingga kita hanya mampu mengenali topeng manisnya tanpa mampu melihat wajahnya. Dalam mempercakapkan pertemuan dua nilai bisa diibaratkan meniti benang rapuh di atas kekerasan simbolik dan dialog. Nafsunya berdialog tetapi terpenating menjalankan tindak kekerasan simbolik. Dan tulisan ini ada di dalamnya.

(Tulisan ini pernah di muat dijurnal Jerat Budaya edisi No. 3/III/2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar