Sabtu, 04 Juli 2009

SELAMAT JALAN DI

Ditulis oleh: Pujo Semedi Yuwono

Ketika ditanya tentang apa yang sedang saya kerjakan sekarang, jawaban yang sepertinya otomatis keluar dari mulut saya adalah; "Sedang mempelajari kehidupan nelayan Kirdowono berkaitan dengan ....". Demikian berulang-ulang, dan selama itu pula saya merasa bahwa saya sudah memberikan jawaban yang "benar" dalam arti menyatakan dengan pas apa yang sebenarnya saya kerjakan. Namun keyakinan tersebut menjadi pudar ketika saya berhadapan dengan tiga etnografi tentang jalan raya yang disodorkan oleh tiga teman dekat saya, dan sama sekali runtuh ketika saya mendapat kabar tragis tentang kepergian seorang teman dekat yang lain, Yadi Antro 89, akibat kecelakaan di jalan raya. Kerja etnografis ternyata bukanlah semata-mata aktifitas mempelajari dalam rangka untuk bisa menerangkan kebudayaan. Lebih dari itu, kerja etnografi adalah aktifitas belajar dari suatu kebudayaan.
Bisa saja memang, jalan raya atau gejala apapun dalam kehidupan kita dipandang sebagai suatu gejala obyektif yang bisa kita amati, kita ukur, kita hitung, kita rumuskan, kita pelajari, sehingga centang perentangnya bisa kita terangkan. Cuma di sini ada satu masalah. Kita memang bukan jalan raya, dan jalan raya ya juga bukan kita. Namun kita dan jalan raya bukanlah dua entitas yang terpisah. Jalan raya adalah elemen dari kultur kita, kita juga elemen dari kultur jalan raya. Dalam posisi seperti itu, adalah rugi kalau kemudian kita melakukan studi tentang jalan raya dengan ideologi hanya untuk bisa menerangkan apa yang terjadi di sana; dan tidak untuk belajar dari apa yang terjadi di sana. Bercermin dari tembang Durmo yang dipasang oleh Gunawan, kerja etnografi adalah kerja mencari tahu yang kemudian kita gunakan untuk menentukan sikap kita berikutnya; bahwa kalau di jalan banyak yang tewas .... apa kita ya mau ikut-ikutan konyol dengan menambah panjang daftar korbannya dengan nama kita.
Mempelajari kebudayaan dalam tujuan untuk bisa menerangkan dan mempelajari dalam tujuan untuk belajar adalah dua hal yang berbeda. Dalam mempelajari untuk menerangkan muncul dikotomi sosial subyek obyek antara orang yang mempelajari dan "pemilik" kebudayaan yang dipelajari. Dalam relasi ini, disadari atau tidak, sering muncul suatu ilusi bahwa "obyek" yang kita pelajari adalah suatu gejala misterius yang jawabannya tersimpan dalam suatu ruang rahasia yang harus dibuka melalui lapis demi lapis pembongkaran, melalui penelusuran lorong-lorong gelap yang hanya diketahui oleh apa yang sering kita sebut sebagai informan kunci. Terbuai oleh ilusi ini informan kunci jadi sama maknanya dengan juru kunci yang kita anggap tahu segala jalur gaib yang kita bayangkan tersembunyi di dalam lobang gua angker atau pula sebuah kuburan tua. Kita silap bahwa ternyata mereka juga tidak lebih dari manusia biasa, yang mungkin saja terpaksa mengarang dongeng karena kedudukan sosialnya, bisa berbohong dan juga mengada-ada. Terbuai oleh ilusi ini pula, pada ujungnya seorang etnografer sering sudah merasa selesai kerjanya dan puas hanya dengan mereproduksi dongeng yang ia tangkap dari para informannya.
Sebaliknya dalam belajar dari suatu kebudayaan hubungan subyek obyek antara peneliti dan "pemilik" kebudayaan adalah tidak ada, tergantikan oleh hubungan antar subyek yang ada pada posisi setara orang yang sama-sama belajar. Seorang etnografer yang ingin menulis etnografi tentang jalan raya dan orang yang lalu lalang di jalan raya ada pada posisi yang sama; yakni sama-sama manusia yang mencoba menangkap pengertian dari peristiwa-peristiwa yang berlangsung di jalan raya. Kalaupun ada perbedaan, hal itu hanya menyangkut dua hal. Pertama, hasil belajar seorang etnografer diniatkan akan dimunculkan dalam bentuk etnografi sedang hasil belajar seorang pemilik kebudayaan lebih sering akan dimunculkan dalam bentuk pembicaraan dan ingatan sehari-hari, atau mungkin juga ditulis dalam buku harian, atau mungkin juga ditulis ke surat pembaca atau bahkan opini di koran. Juga sangat mungkin bila si "pemilik" kebudayaan ini kebetulan seorang seniman hasil belajar dari peristiwa di jalan ini akan dimuncukan dalam bentuk karya seni, entah drama, entah tarian, entah lagu, entah pahatan, entah lukisan, prosa atu puisi. Masih ingat kan seorang pelukis cilik Jogja ... saya lupa namanya ... yang membuat lukisan berjudul "Sapi Yang Ikut Kampanye" baru-baru ini? Bagaimana kalau si "pemilik" kebudayaan ini kebetulan sekali adalah anggota DPR yang cerdas dan penuh inisiatif? Ya bukan tidak mungkin pengalamannya dari jalan raya itu akan melahirkan undang-undang baru yang mengantar kita untuk semakin menjadi manusia di jalan raya. Manifestasi hasil belajar dari pemilik kebudayaan ini sangatlah beragam, setidaknya sebanding dengan ragam profesi dan ketrampilan mengungkap pengalaman pada para "pemilik" kebudayaan yang bersangkutan; dan tentu saja semua orang ini punya metode masing-masing dalam mencari dan mengungkap pengalamannya.
Perbedaan ke dua berkaitan dengan intensitas pergaulan budaya antara etnografer dibanding dengan para "pemilik" kebudayaan. Seorang pengemudi bis mini Jogja - Kaliurang, sebagai misal, bagaimanapun juga memiliki intensitas pergaulan yang jauh lebih tinggi dengan "relasi sosial dan sistem budaya jalan Kaliurang" dibandingkan dengan seorang etnografer yang berniat untuk belajar dari "relasi sosial dan sistem budaya jalan Kaliurang". Perbedaan di sini adalah, meminjam pandangan Geertz, antara "pengalaman dekat" dan "pengalaman jauh"; atau kalau kita meminjam kosa gagasan kaum etnosains, antara "emik" dan "etik". Berhadapan dengan hal ini mau tidak mau seorang etnografer memang harus belajar dari pengalaman dekat, pengetahuan emik, para pemilik kebudayaan antara lain dalam misi untuk mendapat informasi mengenai hal-hal yang tidak dapat ia tangkap melalui observasi partisipasi--karena hal-hal tersebut tersimpan dalam peristiwa yang terjadi jauh sebelum si etnografer datang atau terjadi di tempat yang tidak ia hadiri. Mengungkap pengalaman dekat, menelusuri pengetahuan emik, bukanlah pekerjaan gampang tetapi juga bukan target pokok dari etnografi. Sekali lagi misi kerja etnografi bukanlah cuma untuk mereproduksi suatu pengalaman dekat atau pula suatu pengetahuan emic dan kemudian berakhir dengan suatu teks dengan judul "Kebudayaan X ..." atau pula "Kebudayaan Z ...". Lebih dari itu, kerja etnografi adalah proses belajar untuk mencoba mengerti mengapa sampai ada pengalaman dekat, pengetahuan emik, seperti itu; Apa konsekuensi logis yang akan muncul darinya; Dan apa yang mesti disampaikan, dikerjakan, agar kerja belajar kebudayaan ini bisa mengantar kita semua untuk menjadi manusia yang semakin berbudaya; Manusia yang praktek jalan rayanya tidak diatur oleh kerasnya deretan batu beton dan lintangan polisi tidur tetapi oleh rambu-rambu kehidupan bersama yang sejahtera, oleh polisi yang tidak tidur, santun dan melindungi masyarakat dengan wibawa hukumnya; Manusia yang menyandarkan cita-citanya tidak di jalanan karena di rumah tidak ada lagi yang bisa dipercaya.
Selamat jalan Di. Semoga kamulah korban terakhir dari sumpegnya kehidupan sosial kita, kehidupan sosial yang telah sukses menyulap jalan raya jadi meja rolet Rusia dan RNR, RGR, DT, TS, GL, Colt, Katana, Cakra, Timor, Nanggala ... sebagai revolvernya.

---000---
(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya Edisi No: 2/VII/1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar