Sabtu, 04 Juli 2009

JALAN RAYA SEBAGAI AJANG KAMPANYE PEMILU

Ditulis oleh: Nugroho Trisnu Brata

Kajian peristiwa kampanye Pemilu 1997 di Indonesia telah banyak dilakukan dengan sudut pandang ilmu politik, ilmu ekonomi, hukum, sosiologi, dan psikologi, sedangkan kajian kampanye dengan sudut pandang antropologi relatif jarang dilakukan oleh masyarakat (BERNAS, Mei-Juni 1997). Kajian kampanye dengan sudut pandang antropologi yang bersifat kultural sangat perlu dilakukan untuk melengkapi pemahaman masyarakat tentang makna kampanye beserta implikasi yang menyertai peristiwa kampanye.
Konvoi atau arak-arakan peserta kampanye, khususnya konvoi peserta kampanye PPP 1997 di Kota Yogyakarta diikuti oleh peserta yang jumlahnya sangat besar sehingga sering atau bahkan selalu memacetkan jalan-jalan raya di dalam kota. Respon masyarakat di pinggir-pinggir jalan sebagai penonton juga sangat besar. Suasana jalan raya tempat berlangsungnya konvoi kampanye bisa mengganggu rutinitas hidup sehari-hari warga masyarakat luas terutama pada segi transportasi, ekonomi, dan keamanan.
Dengan memperhatikan fenomena kampanye di jalan raya, maka tulisan ini berusaha membahas suasana jalan raya di Kota Yogyakarta yang selama masa kampanye Pemilu 1997 (27 April 1997 sampai 23 Mei 1997) menjadi ajang kampanye.

A. YOGYAKARTA SELAYANG PANDANG
Kota Yogyakarta merupakan Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Secara administratif Kota Madya Yogyakarta terdiri dari 14 Kecamatan. Kraton Yogyakarta sebagai pusat kota menghadap ke arah utara, di depan kraton membentang Alun-alun utara yang sering digunakan sebagai arena kampanye oleh PPP dan GOLKAR pada masa kampanye 1997, sedangkan PDI jarang (tidak pernah) berkampanye akibat konflik internal yang begitu hebat. Di sebelah selatan kraton juga terdapat alun-alun yang dinamakan Alun-alun Selatan.
Kraton Yogyakarta menjadi ujung tombak pemelihara nilai-nilai masyarakat Jawa yang berupa prinsip hormat, rukun, dan isin (malu) (Magnis Suseno, 1993). Prinsip hormat mengandung pengertian bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawakan diri harus selalu menunjukkan sikap hormat pada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat bersandar pada anggapan bahwa semua hubungan di dalam masyarakat teratur secara hierarkis. Rukun mengandung pengertian bahwa hubungan sosial dalam keadaan yang selaras, tanpa perselisihan, tanpa ketegangan, tenang, dan tentram. Isin mempunyai makna bahwa orang akan merasa malu jika melakukan perbuatan yang tidak semestinya, tidak pada tempatnya, atau tidak pada waktu yang tepat.
Nilai-nilai masyarakat Jawa di atas pada saat tertentu merupakan sebuah kodisi yang nyata/riil yang diwujudkan dalam sikap hidup sehari-hari masyarakat. Akan tetapi pada saat yang lain nilai-nilai tersebut hanyalah konsep abstrak yang dicita-citakan yang ternyata berbeda dengan realitas masyarakat.
Soemardjan (1991) mengatakan, bahwa dari 1946 hingga 1950 Kota Yogyakarta menjadi Ibukota RI. Dengan demikian Yogyakarta menjadi pusat revolusi yang mempelopori perubahan-perubahan politik dan sosial yang menjalar ke seluruh Indonesia. Kota Yogyakarta juga sering menjadi daerah percobaan berbagai macam perubahan politik dan pembaharuan.
Sejarah Kota Yogyakarta sampai berakhirnya kekuasaan Kolonial Belanda pada tahun 1942 dan kekuasaan Kolonial Jepang tahun 1942-1945, merupakan daerah yang menganut sistem feodal dengan Sultan sebagai pemegang kekuasaan. Tetapi ternyata Kota Yogyakarta pada awal kemerdekaan kemudian menjadi daerah yang menganut sistem demokrasi yang dekat dengan Barat--dibanding daerah-daerah lainnya di Indonesia pada jaman yang sama. Perubahan dari sistem feodal ke arah demokrasi tidak lepas dari figur Sri Sultan yang menjadi motor penggerak perubahan tersebut. Pendidikan di Negara Belanda yang ditempuh oleh Gusti Dorojatun (nama kecil Sri Sultan HB IX) telah mempengaruhi pola pikir Sultan HB IX di dalam menentukan arah kerajaannya.
Dalam bidang pendidikan, Sultan menyediakan sebagian bangunan kraton untuk menjadi tempat belajar mahasiswa Universitas Gadjah Mada, universitas negeri tertua di Indonesia. Tanah kraton di sebelah utara Kota Yogyakarta kemudian diserahkan kepada negara untuk keperluan Universitas Gadjah Mada (UGM), dan kini menjadi komplek kampus UGM yang bernama Bulaksumur dan Sekip.
Dari uraian ini, yang memaparkan Kota Yogyakarta baik dalam kondisi kekinian maupun secara historis dapat saya tarik sebuah benang merah. Kota Yogyakarta dengan latar belakang sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa yang sekaligus juga sebagai lingkungan yang bertradisi intelektual/pendidikan yang berbeda dengan tempat-tempat lain di Indonesia tentu saja dalam mensikapi kondisi kampanye juga berbeda dengan tempat-tempat lain di Indonesia (seperti di Surakarta, Pekalongan, Pasuruan, Madura, Jakarta, dan di Banjarmasin).
Kota Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa --dengan Kraton Yogyakarta sebagai simbolnya-- identik dengan kebudayaan yang adiluhung, halus, klasik, hirarkis, dan aristokratis/kepriyayian. Sebagai lingkungan yang bertradisi intelektual --dengan UGM sebagai ujung tombaknya-- maka Kota Yogyakarta juga menjadi pelopor sistem demokrasi dan sistem idiologi pembebasan. Akan tetapi melalui berbagai kebijaksanaan/policy yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono IX pada awal berdirinya Republik Indonesia, maka Kraton Yogyakarta juga menyumbangkan peran yang besar bagi tumbuh dan berkembangnya dunia pendidikan serta sistem demokrasi di Kota Yogyakarta khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Kraton dan dunia pendidikan telah melahirkan sebuah gaya khas Jogja yang memiliki harga diri, sederhana namun modis, dan sarat kritik/ejekan secara simbolik serta jenaka namun bermakna. Bagi Kota Yogyakarta citra sebagai pusat kebudayaan Jawa dan citra sebagai lingkungan bertradisi intelektual melahirkan citra kampanye khas gaya Jogja. Perwujudan kampanye khas gaya Jogja akan saya paparkan dan saya analisis secara tajam pada bagian selanjutnya.

B. KAMPANYE BRUTAL
Pemahaman tentang kampanye bisa dilihat dari tiga aspek yaitu; aspek formal, aspek bahasa, dan aspek istilah. Dari aspek formal, dalam konteks Pemilu di Indonesia, kampanye merupakan forum pidato monologis atau pidato dialogis oleh para juru kampanye/jurkam OPP (Organisasi Peserta Pemilu yang terdiri dari PPP, GOLKAR, dan PDI) yang di tujukan kepada para peserta kampanye. Forum kampanye ini biasanya berlangsung di tempat-tempat lapang seperti di alun-alun, lapangan sepak bola, atau di dalam gedung pertemuan yang sangat luas dan biasanya dihadiri oleh banyak massa. Dari aspek bahasa kata kampanye berasal dari bahasa Inggris yaitu to campaign yang berarti serangkaian aktifitas yang direncanakan atau suatu operasi militer (Kamus Oxford Learners Pocket, Evison, 1983).
Akan tetapi dari aspek istilah, masyarakat mempunyai citra/image tentang kampanye bahwa kampanye itu suatu istilah yang identik dengan arak-arakan/konvoi massa yang jumlahnya cukup banyak dan adanya suara knalpot kendaraan bermotor (sepeda motor dan mobil) yang sangat keras, bergemuruh, mbeker-mbeker, dan memekakkan telinga. Jika suatu kampanye OPP tidak disertai oleh adanya konvoi massa dan suara knalpot yang bergemuruh, maka masyarakat awam atau masyarakat umum beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh OPP tersebut bukanlah suatu kampanye. Jadi jika kampanye tidak diwarnai oleh arak-arakan massa dan suara knalpot yang bergemuruh maka itu berarti bukan kampanye. Kadang-kadang kampanye juga diidentikkan dengan perilaku kekerasan yang cenderung brutal dan perilaku anarki yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan kampanye yaitu; peserta kampanye, penonton kampanye, dan aparat keamanan. Brutal mempunyai persamaan dengan kata kurang ajar, atau kejam (Badudu, 1984, dan Salim, 1991). Anarki berasal dari bahasa Inggris yaitu an-archy. An = tidak, sedangkan archy = tatanan, jadi anarki merupakan kondisi tidak adanya tatanan atau aturan (Evison, 1983).
Bagian yang ber-subjudul Kampanye Brutal ini mengandung pengertian bahwa di sini yang akan saya paparkan dan saya analisis adalah identifikasi kampanye terhadap konvoi massa, suara knalpot yang bergemuruh, dan perilaku kekerasan cenderung brutal yang selama ini secara umum oleh masyarakat dipahami sebagai kampanye. Masyarakat memiliki image seperti itu karena berdasar pengalaman kampanye di Indonesia yang dilaksanakan selama lima tahun sekali memang menghadirkan fenomena adanya konvoi massa peserta kampanye, suara knalpot yang bergemuruh, dan aksi kekerasan, agresi, serta anarki.
Pemahaman kekerasan kampanye dapat dipilah menjadi tiga yaitu, kekerasan kata-kata (memaki, menghardik, membentak, misuh), kekerasan sikap (melotot ketika melihat, berkecak pinggang, mengacungkan tinju), dan kekerasan fisik (pemukulan, pelemparan batu, pembacokan, penembakan, perusakan, pembakaran, perkelahian).
Isu yang beredar dan berita di media massa telah membentuk opini publik bahwa Kota Yogyakarta berada dalam suasana tegang dan mencekam akibat adanya perusakan oleh massa kampanye GOLKAR terhadap Kantor DPC PPP Kota Yogya yang kemudian membawa berbagai implikasi di dalam masyarakat. PPP Kota Yogyakarta tidak akan menyelenggarakan kampanye lagi atau memboikot kampanye sebelum pelaku perusakan kantor ditindak tegas oleh aparat keamanan. Implikasi lain berupa pemblokiran jalan raya oleh masyarakat dengan ban-ban yang dibakar, batu-batu besar, pecahan pot bunga, dahan pohon, bambu, besi rongsokan, dan pecahan kaca yang di taruh di tengah jalan raya.
Seorang anggota kelompok Intifada warga Kotagede bernama Dicki yang masih berstatus sebagai pelajar SMA, bercerita kepada saya;
"Mereka para pelaku sekedar meluapkan emosinya karena ketidakadilan. Ya mereka menuntut jujur dan adil. Tidak adilnya, aparat itu terlalu memihak salah satu OPP. Gimana ya, mereka itu nggak merusak milik masyarakat soalnya sini kan basis PPP. Mereka merusak miliknya pemerintah sperti pot-pot bunga yang ada di pinggir jalan, dan rambu-rambu lalu lintas. Aparat itu kan pemerintah sehingga pikiran kita ke pemerintah". Sedangkan oleh GOLKAR kalau kami dirugikan secara besar itu sih nggak, tapi itu lho perilakunya massa GOLKAR yang pakai gali mbacok-mbacokin itu banyak yang kena sini".

Jadi perusakan benda-benda di sepanjang Jalan Kemasan dan Mondorakan di daerah Kotagede tidak menimpa milik penduduk setempat tetapi benda-benda milik penerintah daerah karena aksi pemblokiran jalan tersebut memang ditujukan kepada pemerintah.
Pada saat ujung Jalan Tamansiswa --simpang tiga di sebelah utara LP Wirogunan-- di blokir oleh aparat keamanan sehingga tidak boleh dilalui oleh pelewat jalan, kemudian saya bertanya pada diri sendiri mungkinkah telah terjadi masalah terhadap peserta konvoi kampanye GOLKAR yang beberapa saat yang lalu mengikuti kampanye di Stadion Kridosono? Pikiran saya tadi segera terjawab setelah beberapa saat kemudian muncul truk pengangkut aparat keamanan.
Sepeda motor saya pacu kencang mengikuti mobil truk aparat keamanan yang melaju kencang dengan bunyi sirine meraung-raung. Tiba-tiba saya lihat tepat di sebelah utara kampus Fakultas Hukum UII Jalan Tamansiswa aparat keamanan berloncatan turun sambil berteriak-teriak dan disusul dengan melontarkan tongkat-tongkatnya ke arah massa yang berkerumun di tengah jalan di depan Kampus Fakultas Hukum UII. Setelah turun dari motor saya dengan berlari-lari mengikuti di belakang aparat. Massa yang ada ditengah jalan bubar dan masuk ke dalam pagar kampus begitu tongkat-tongkat beterbangan yang disertai teriakan-teriakan serbuan dari aparat. Kemudian muncul peristiwa debat antara aparat keamanan yang baru saja datang dengan beberapa orang massa yang ternyata para mahasiswa UII yang sedang berada di kampusnya. Saya lihat juga seorang aparat keamanan dengan penuh ekspresi emosi menendang-nendang bangku dipinggir jalan. "Polisi gila ...", gumam saya dalam hati tanpa sengaja saat saya menyaksikan peristiwa langka tersebut.
Kebetulan ada seorang mahasiswa UII yang saya kenal di tempat tersebut, saya bertanya pada dia tentang apa yang terajadi di kampus itu. Mahasiswa UII tadi bercerita bahwa;
"Tadi sekitar jam 15.30 WIB konvoi kampanye GOLKAR yang baru saja mengikuti kampanye di Stadion Kridosono melewati Jalan Tamansiswa dari arah utara. Tepat di depan Kampus Fakultas Hukum UII peserta konvoi mengacung-acungkan jari dua simbol GOLKAR kepada para mahasiswa yang ada di dalam kampus, tetapi para mahasiswa tidak membalas acungan jari tersebut". Massa kampanye marah kemudian Satgas dan massa kampanye GOLKAR tersebut menyerbu mahasiswa ke dalam kampus, dan pecah perkelahian fisik antara massa penyerbu melawan mahasiswa. Satgas dan massa GOLKAR ada yang membawa pedang dan pentungan. Satu mobil kijang yang masih baru di rusak oleh para penyerbu. Tidak terdapat korban jiwa".

Sebagai ungkapan rasa marah atau kecewa terhadap penyerbuan yang baru saja terjadi kemudian para mahasiswa UII mengadakan mimbar bebas di jalan raya depan kampus. Bangku-bangku panjang diletakkan ditengah jalan dan massa berkerumun. Pada saat itulah muncul aparat keamanan menghalau peserta mimbar bebas.
Kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan juga menimpa peserta kampanye GOLKAR yang baru saja mengikuti kampanye GOLKAR di Lapangan Mancasan, Wirobrajan. Di jalan raya sebelah selatan perempatan Wirobrajan, konvoi kampanye GOLKAR yang mengendarai sepeda motor turun dari sepeda motornya sambil menari-nari dan meraung-raungkan knalpotnya --hampir mirip kampanye PPP-- tetapi ada tiga orang aparat keamanan yang segera menyerbu dan memukuli para peserta kampanye dengan tongkat. Peserta konvoi kampanye tidak melawan.
Kekerasan fisik yang dilakukan penonton terhadap peserta kampanye yang sempat saya lihat terjadi di daerah Sorowajan. Pada tanggal 20 Mei, konvoi kampanye PPP yang terdiri dari sekitar 10 sepeda motor memisahkan diri dari konvoi yang lain di dekat Hotel Ambarukmo Jalan Adisucipto. Konvoi kecil tersebut berbelok ke selatan dan melalui jalan di daerah Sorowajan. Saya yang berada sekitar 20 meter di belakang konvoi menyaksikan para penonton melempari peserta kampanye dengan pot-pot bunga, batu, dan tungku. Peserta konvoi tidak berhenti malah memacu dan melarikan kendaraannya.
Kekerasan fisik yang dilakukan oleh peserta kampanye PPP terjadi pada hari terakhir pelaksanaan kampanye (tanggal 23 Mei) yang kebetulan adalah jadwal untuk PPP. Ada beberapa kasus kekerasan fisik yang terjadi pada kampanye terakhir tersebut yang terjadi: di Jalan Sisingamangaraja, Jalan Tungkak, Jalan Lempuyangan, Jalan Kusumanegara, dan Jalan Sultan Agung (Bernas, 24 Mei 1997).
Kampanye bisa menjadi sesuatu yang luar biasa di mata masyarakat karena tidak bisa dipisahkan dengan adanya mitos yang dibangun oleh pemerintah orde baru, bahwa kampanye merupakan pesta demokrasi. Mitos tersebut sebenarnya tidak begitu benar, karena perilaku peserta, panitia pengawas pelaksanaan, dan pihak pembuat peraturan kampanye sering mengabaikan nilai-nilai demokrasi (toleran, adil, menerima perbedaan pendapat, argumentatif, suka rela). Di dalam peristiwa kampanye yang terjadi sebenarnya bukan pesta demokrasi, melainkan proses politik.
Kekerasan kampanye, anarki, hura-hura dan huru hara, atraksi jalan raya, serta pidato-pidato emosional dalam kampanye dapat ditinjau dari perspektif proses budaya. Sebagaimana dikatakan Geertz (1973) , bahwa;
"... culture is the fabric of meaning in terms of which human being interprete their experience and guide their social action".
(...kebudayaan adalah jalinan makna di mana manusia menginterpretasikan pengalamannya dan selanjutnya hal itu akan menuntun tingkah lakunya)
Konvoi peserta kampanye pada dasarnya adalah pertunjukan jalanan yang melibatkan para peserta konvoi (sebagai pemain) dan massa yang ada di pinggir jalan (sebagai penonton) dalam pentas budaya, pentas "pertukaran" makna. Setiap orang yang berada di dalam konvoi kampanye tingkah lakunya tidak bisa lepas dari bayangan/citra kampanye yang dipahaminya, dia tidak bisa melepaskan diri untuk tampil beda/harus sama dengan peserta konvoi lainnya dan kampanye-kampanye sebelumnya. Sebab dengan mengikuti konvoi kampanye, seseorang telah terjebak (menjebakkan diri) ke dalam citra kampanye yang telah dan akan digelar. Mengapa dia tidak bisa keluar dari budaya kampanye? Sebab kebudayaan punya kekuatan menuntun, mengarahkan, dan memaksa perilaku manusia--dalam hal ini adalah perilaku peserta kampanye. Seorang anak kecil yang sering diajak menyaksikan konvoi peserta kampanye, suatu saat setelah dia besar mungkin saja dia juga mengikuti konvoi kampanye dan berperilaku seperti perilaku yang dulu pernah dia saksikan. Jadi anak kecil itu mempunyai citra tentang kampanye seperti pengalaman yang pernah dia saksikan.
Seseorang yang berada di dalam kerumunan massa maka dia akan berperilaku dan berbudaya seperti perilaku massa. Sangat mungkin perilaku massa tersebut berbeda dengan perilaku sehari-hari seseorang. Kekerasan yang dilakukan oleh massa kampanye bisa mendorong orang lain yang berada di dalam konvoi kampanye untuk melakukan kekerasan seperti yang dilakukan oleh massa kampanye. Kekerasan yang pada awalnya hanya dilakukan oleh satu atau dua orang di dalam konvoi kampanye, bisa saja berkembang dan berubah menjadi kekerasan massal.
Peserta konvoi kampanye biasanya mengacungkan jari tangan yang menyimbolkan nomor urut OPP (jari satu untuk PPP, jari dua untuk GOLKAR, jari tiga untuk PDI), kemudian penonton biasanya menyambut acungan jari sesuai acungan jari yang dilakukan peserta konvoi. Jika penonton tidak menyambut acungan jari biasanya peserta konvoi akan tersinggung. Sedangkan kadar ketersinggungan ada yang bisa diredam di dalam hati dan ada juga yang tidak bisa diredam kemudian dilampiaskan dengan sikap anarki yaitu dengan menyerang/agresi terhadap penonton. Akibat dari penyerangan terhadap penonton kemudian terjadi pertengkaran antar individu atau bentrok fisik masal. Orang kemudian berkomentar, "Cuma acungan jari kenapa bisa menimbulkan perkelahian, penusukan, pembacokan, dan huru-hara yang berujung pada melayangnya harta benda dan nyawa". Komentar tersebut sebenarnya adalah kesimpulan yang tergesa-gesa dalam melihat permasalahan sosial. Kalau kita bicara tentang simbol, jangan berkata cuma ! Sebab di balik simbol tersimpan makna yang begitu mendalam.
Jika simbol diekspresikan secara fisik tanpa kata seperti mengacungkan jari sesuai nomor urut OPP, maka implikasi-implikasi dan solusi-solusi yang mengikutinya juga bersifat fisik. Ia bagian dari bahasa fisik jika peserta kampanye meminta/memaksa penonton untuk membalas acungan jari sesuai yang dilakukan peserta, tetapi penonton menolak untuk membalas acungan jari sesuai yang diacungkan peserta maka bisa berakibat benturan fisik antara penonton dan peserta. Secara mudah dapat dikatakan bahwa seseorang yang mengekspresikan gagasan/pikirannya dalam bentuk fisik mengandung pengertian bahwa orang tersebut sudah tidak mempunyai kata-kata yang bisa dijadikan media untuk berkomunikasi dan berinteraksi. Jika kata-kata masih dijadikan media komunikasi dan interaksi maka implikasinya tidak akan bersifat fisik atau paling tidak mereduksi implikasi yang bersifat fisik, di mana penonton bisa berdalih atau berargumen seandainya dia tidak mau menuruti kemauan peserta kampanye, dan peserta kampanye bisa memberi alasan mengapa ia menyuruh penonton untuk menuruti kemauannya sehingga bisa terjadi dialog dan bukannya benturan fisik
Penonton biasanya senang menyaksikan konvoi kampanye di jalan-jalan. Akan tetapi, benarkah semua penonton merasa senang? Belum tentu. Penonton kadang-kadang ada juga yang merasa takut terhadap agresi dari peserta konvoi kampanye yang berpenampilan garang dengan berbagai atribut yang berupa seragam konvoi, pentungan, wajah ditutup, bahkan senjata tajam. Agresi dari peserta konvoi sering berakibat fatal bagi penonton jika penonton tidak mau menuruti kemauan (paksaan) peserta konvoi.
Mungkin individu yang berada di dalam kelompok massa akan merasa identitas dirinya telah kabur sehingga bisa menimbulkan keberanian bahkan keberingasan. Tetapi lihatlah penampilan peserta kampanye. Mereka umumnya menutup sebagian wajah dengan kain atau dengan lumuran cat, juga menutup atau melepas plat nomor kendaraan di mana hal itu adalah ekspresi rasa takut. Takut diketahui identitasnya walau mereka telah berada di dalam kelompok peserta kampanye.
Masih ada lagi pihak yang juga dihinggapi rasa takut, yaitu aparat keamanan. Anggota aparat keamanan yang berseragam tidak pernah sendirian, mereka selalu berkelompok baik dalam kelompok kecil maupun besar. Mereka juga dilengkapi dengan berbagai senjata untuk mempertahankan diri atau untuk menyerang peserta konvoi maupun penonton (sebab pertahanan diri yang paling baik adalah menyerang?). Dalam berbagai kerusuhan dan kebrutalan kampanye aparat keamanan juga sering (selalu) datang terlambat, mereka masih tetap takut terhadap keselamatan jiwanya dari agresi pihak-pihak yang sedang melakukan kekerasan fisik.

C. KAMPANYE MOGOK GAYA JOGJA
Kampanye Mogok yang akan saya uraikan pada bagian ini mengandung pengertian bahwa stressing, titik tekan kampanye atau yang dikampanyekan adalah sikap mogok. Mogok adalah sikap tidak peduli sama sekali, mandeg, dan tidak mau tahu. Secara formal PPP Kodya Yogyakarta mengadakan mogok/boikot kampanye tetapi secara realita ternyata dia tidak pernah mogok kampanye, sebab mereka masih melakukan protes terhadap kekerasan dan ketidakadilan dalam bentuk "pesta keranda" dan aksi massa. Jadi PPP Kota Jogja tidak pernah mogok berkampanye, dia tetap melakukan kampanye yaitu kampanye mogok.
Alasan utama PPP seluruh DIY tidak mengadakan kampanye/mogok kampanye (secara formal) adalah tuntutan kepada aparat keamanan untuk mengusut dan menindak tegas pelaku perusakan kantor. Ternyata sampai tanggal 11 Mei yaitu saat PPP Kodya Yogya menghentikan boikot kampanye dan mulai lagi mengadakan kampanye, aparat keamanan belum bisa menuntaskan tugasnya untuk menindak tegas pelaku perusakan kantor.

C.1. Keranda Demokrasi
Menyusul peristiwa perusakan Kantor DPC PPP Kodya Yogyakarta oleh SATGAS GOLKAR dan Pasukan CAKRA pada kampanye hari ke-4, pada malam harinya semua atribut PPP yang berupa bendera, spanduk, dan baliho diturunkan dari tempatnya oleh massa PPP. DPC PPP Kodya Yogyakarta dan massa PPP melakukan boikot/mogok kampanye (secara formal) mulai Rabu malam tanggal 1 Mei 1997 sampai dengan tanggal 10 Mei 1997. Aksi ini merupakan protes warga PPP Kota Yogya atas dirusaknya Kantor DPC PPP Kodya Yogya oleh massa GOLKAR. Boikot kampanye ini juga didukung oleh empat DPC PPP di dalam lingkup DPW (Dewan Pimpinan Wilayah) PPP Propinsi DIY, jadi secara serentak di wilayah Propinsi DIY terjadi boikot/mogok kampanye (secara formal) oleh PPP. Selain mencopot atribut kampanye PPP juga tidak mengadakan kampanye maupun konvoi kampanye serta menuntut aparat keamanan menindak tegas pelaku perusakan Kantor DPC PPP.
Kampanye PPP di dalam Kota Yogyakarta pertama dan terakhir saat itu adalah Hari Selasa tanggal 29 April, setelah itu PPP seluruh DIY mengadakan boikot kampanye sebagai protes atas perusakan Kantor PPP Kodya Yogya.
Pada tanggal 8 Mei, empat DPC PPP di empat kabupaten seluruh DIY (kecuali DPC Kodya Yogyakarta)mulai lagi mengadakan kampanye. Kampanye PPP Kabupaten Sleman tanggal 8 Mei berlangsung di Lapangan Tegaltirto Berbah yang berbatasan dengan Kodaya Yogyakarta, sebagian massa kampanye PPP bisa menyusup ke sebagian kota Yogya sehingga sebagian kota Yogya kembali marak dengan suara konser knalpot. Secara resmi boikot kampanye (mogok kampanye) oleh DPC PPP Kodya Yogyakarta berlangsung selama 10 hari, mulai tanggal 1 Mei 1997 sampai dengan 10 Mei 1997.
Mungkin suasana sepekan (tepatnya 10 hari) tanpa konvoi—pada masa kampanye tahun 1997—dengan suara knalpot yang mbeker-mbeker ini dianggap tenang karena tidak ada suasana bisisng dan jalan-jalan tidak macet, tetapi yang terjadi sebenarnya adalah suasana mencekam. Di berbagai persimpangan jalan banyak terdapat kelompok-kelompok aparat keamanan dari berbagai unsur dengan senjata lengkap (senapan, pentungan, rompu dan bazoka pelontar gas air mata) sehingga seperti dalam situasi perang. Seperti yang saya lihat aparat keamanan ini selain dari satuan-satuan Polisi juga terdiri dari Pasukan Khas Angkatan Udara (PASKHAS AU), Batalyon Arteleri Medan (Yon Armed), dan Batalyon 403 Korem 072 Pamungkas.
Diberbagai ruas jalan di dalam kota Yogyakarta juga terjadi suasana mencekam. Arus lalu-lintas di Jalan Kemasan dan Jalan Mondorakan Kotagede, Kamis tanggal 1 Mei mecet total, karena jalan-jalan tesebut dipenuhi pecahan pot bunga, batu berserakan berbagai ukuran, bambu dan ban dibakar (BERNAS, 2 Mei 1997). Suasana jalan raya yang mencekam juga terjadi di Jalan Sisingamangaraja dan Jalan Menukan yang keduanya terletak di daerah Karangkajen serta jalan raya di dekat Kampung Kauman. Pada jumat pagi tanggal 2 Mei, jalan raya di dekat Kampung Nitikan, Umbulharjo juga diblokir dengan batu-batu besar, dahan pohon, ban-ban terbakar yang masih menyala, kaca hancur, bambu-bambu panjang dan besi-besi rongsokan.
Sebagian orang beranggapan bahwa pemblokiran jalan raya di daerah Kotagede, juga terjadi di daerah Nitikan dan Karangkajen Yogyakarta merupakan sikap anarki yang mengiringi “ritual” kampanye menjelang pemilu 1997.
Kota Yogyakarta juga mengalami peristiwa unik yaitu munculnya keranda dan peti mati yang diletakkan di pinggir jalan. Keranda (Jw. Banhoso) dan peti mati yang merupakan simbol kematian manusia menambah suasana Kota Yogya menjadi semakin mencekam. Dalam suasana mencekam tersebut betul-betul ada manusia yang mati antara lain seorang anggota SATGAS GOLKAR Yogyakarta bernama Abu yang dibunuh oleh gerombolan orang di siang hari bolong.
Simbol-simbol kematian yang mulai bermunculan sejak adanya boikot kampanye oleh PPP di Yogyakarta (mulai tanggal 1 Mei sampai 10 Mei) ini bisa kita jumpai di barat laut Alun-alun Utara, di Jalan Ronodigdayan daerah Lempuyangan, Jalan HOS Cokroaminoto, Jalan Menukan, dan di daerah Kotagede.

C.2. Untalen Kabeh Negarane
Di Jalan HOS Cokroaminoto di daerah Kuncen, saya menyaksikan adanya peti mati yang di atasnya diletakan tiruan pocongan, dan di atasnya lagi terdapat spanduk yang bertuliskan untalen kabeh negarane (makan semua negeri ini). Untalen kabeh negarane merupakan kalimat imperatif dalam bahasa Jawa Ngoko yang bernada kemarahan dan kasar, tetapi mungkin tulisan pada spanduk itu bermaksud nglulu agar GOLKAR menjadi penguasa tunggal Negara Indonesia.
Nglulu merupakan tindakan memancing atau mendorong pihak lain untuk melakukan suatu tindakan, tetapi pada dasarnya adalah suatu bentuk sindiran atau ejekan terhadap tindakan pihak yang dipancing unruk bertindak sesuatu. Sikap nglulu biasanya muncul jika berada pada posisi resistensi atau perlawanan.
"Untalen kabeh negarane" (makan semua negeri ini) juga bisa menjadi simbol bahwa kemarahan warga PPP Yogya sudah mencapai puncaknya. Untal, merupakan sebuah kata dalam bahasa Jawa ngoko yang berkonotasi kasar sedangkan dalam bahasa ngoko biasa untal sinonim dengan mangan, dalam bahasa kromo madya adalah nedha, sedangkan dalam bahasa kromo inggil adalah dhahar. Seseorang tidak akan menyuruh orang lain nguntal (memakan) jika tidak sedang marah.
Jika berbicara masalah anarki yang berupa pemblokiran jalan raya sehingga pemakai jalan menjadi terganggu, peristiwa tersebut sebenarnya adalah implikasi dari agresi pihak lain--dalam hal ini adalah perusakan kantor DPC PPP Kodya Yogyakarta oleh OPP (Organisasi Peserta Pemilu) lain. Yang terjadi sebenarnya bukanlah anarki, melainkan proses komunikasi dan interaksi warga setempat dengan pihak lain, bahwa mereka sebagai anggota/simpatisan PPP merasa sakit hati dan marah karena salah satu dari simbol-simbol PPP telah dirusak.
Secara materi mungkin warga atau simpatisan PPP tidak terlalu dirugikan karena bangunan di daerah Warungboto tersebut milik pemerintah daerah, tetapi secara psikologis kantor tersebut merupakan salah satu simbol eksistensi PPP beserta massanya di Kota Yogyakarta. Simbol bisa berkaitan dengan bermacam-macam makna; kesucian, kekuatan, persamaan, persatuan, harga diri, kejayaan, kematian, dan lain-lain. Simbol bersifat konotatif. Sesuatu bisa dianggap sebagai simbol oleh sebuah masyarakat, namun oleh masyarakat yang lain bisa jadi sesuatu tersebut tidak dianggap sebagai simbol, karena latar belakang kebudayaan yang berbeda. Simbol bisa dimaknai secara logika tetapi bisa juga dimaknai dengan keyakinan. Secara simbolik perusakan Kantor DPC PPP bisa bermakna balas dendam, penghinaan, tantangan, atau persekongkolan yang berakibat kemarahan massa PPP.
Kekerasan fisik dalam bentuk perusakan Kantor DPC PPP Kodya Yogyakarta di dalam peristiwa kampanye 1997 di Kota Yogyakarta kemudian memicu terjadinya protes oleh warga dan simpatisan PPP Kota Yogya. Protes-protes yang muncul ke permukaan dengan model simbolik bahwa demokrasi dan keadilan telah mati. Kematian demokrasi dan kematian keadilan disimbolkan dengan membuat tiruan keranda, peti mati, serta nisan yang diletakkan diberbagai pinggir jalan raya di dalam Kota Yogya. Perusakan Kantor DPC PPP Kodya Yogya dianggap anarkis atau anti demokrasi, karena nilai-nilai demokrasi seperti musyawarah, dan toleran menerima perbedaan pendapat sudah dikesampingkan oleh para pelaku perusakan. Sikap aparat keamanan yang tidak mau atau tidak mampu mencegah terjadinya perusakan oleh massa GOLKAR, padahal sekelompok aparat juga berada di lokasi perusakan, dianggap sebuah wujud ketidakadilan aparat keamanan terhadap semua OPP. Begitu juga sikap aparat yang tidak segera menindak tegas pelaku perusakan juga cermin kematian keadilan. Jadi sebenarnya protes warga PPP mempunyai dua sasaran bidik, yaitu terhadap GOLKAR dan terhadap aparat keamanan.
Protes simbolik dengan benda-benda simbol kematian seperti keranda, peti mati, dan nisan bisa juga ditafsirkan sebagai ancaman kematian bagi para pelaku perusakan kantor DPC PPP. Kematian Abu --anggota CAKRA-- yang dibunuh oleh orang-orang tak dikenal beberapa hari setelah terjadinya perusakan kantor DPC PPP, juga dikaitkan dengan panasnya suhu kampanye di Kota Yogya. Abu dianggap salah satu pelaku perusakan kantor DPC PPP, sedangkan pelaku pembunuhan juga tidak pernah terungkap.
Boleh jadi kampanye mogok oleh PPP ini merupakan wujud protes atas kekerasan yang dilakukan oleh massa GOLKAR dan ketidakadilan dari aparat keamanan, tetapi bisa saja kampanye mogok ini merupakan salah satu strategi DPC PPP untuk mendapat simpati sekaligus dukungan rakyat sehingga bisa mengumpulkan suara yang banyak pada Pemilu yang berlangsung tanggal 29 Mei 1997.



D. KAMPANYE SIMPATIK GAYA JOGJA
Kampanye Simpatik Gaya Jogja merupakan perwujudan siasat peserta kampanye PPP Kota Jogja untuk memperoleh simpati dan dukungan rakyat penonton kampanye supaya PPP bisa mengumpulkan suara rakyat pada saat hari-H penyerahan suara/coblosan pada tanggal 29 Mei 1997. Kampanye simpatik merupakan pemaknaan ulang atau redefinisi oleh para peserta kampanye PPP dari makna kampanye yang dipahamai secara umum oleh masyarakat luas. Perwujudan dari kampanye simpatik ini adalah; 1) Tidak merusak supaya penonton senang melihat aksi peserta kampanye, 2) Melepaskan diri dari citra kampanye yang brutal dan ngawur, 3) Mencari dukungan massa penonton, 4) Menerima unsur mega-bintang beserta simbol-simbolnya dengan tangan terbuka, 5) Tertib, sehingga mendapat sambutan hangat dari penonton, dan 6) Memilih PPP dalam penyerahan suara pada tanggal 29 Mei 1997.
Konvoi peserta kampanye OPP (Organisasi Peserta Pemilu) merupakan suatu perwujudan kebudayaan sebuah "komunitas". Komunitas mempunyai ikatan wilayah serta memiliki kepribadian/identitas kelompok. Komunitas bukan sekedar identitas, komunitas juga berproses lewat wacana/komunikasi. Komunitas kampanye dapat dilihat sebagai suatu bagian dari wacana tentang model kampanye yang ideal bagi suatu sistem politik demokrasi, yang berhadapan dengan kenyataan pelaksanaan kampanye di Indonesia pada tahun 1997 ini. Dengan kalimat lain bahwa di dalam masyarakat terjadi wacana/discourse tentang realita kampanye dan idealita kampanye di Indonesia.
Pada masa kampanye 1997 ini Kota Yogyakarta mencatat adanya berbagai perilaku peserta kampanye atau perilaku masyarakat yang sifatnya unik yaitu; munculnya kelompok-kelompok khusus dalam kampanye PPP, kampanye simpatik, konser musik knalpot, tarian kampanye, serta minuman dan makanan gratis di pingir-pinggir jalan dari penonton. Peristiwa ini jarang terjadi di tempat lain dan tidak terjadi pada saat kampanye tahun-tahun sebelumnya.

D.1. DARWIS, BUKAN BERMAKNA MODAR YO UWIS
Darwis merupakan salah satu kelompok khusus peserta kampanye PPP 1997 di Kota Jogja. Kata darwis sebenarnya berasal dari bahasa tasawuf yang bercitra Islam. Secara istilah darwis mengandung pengertian niat untuk beribadah (kepada Allah). Tujuan saat didirikannya kelompok Darwis adalah juga untuk beribadah di dalam suasana kampanye. Perwujudan ibadah di dalam suasana kampanye adalah dengan menghibur penonton kampanye melalui kampanye simpatik sehingga penonton merasa senang dan bahagia. Membuat orang lain bahagia adalah salah satu bentuk ibadah kepada Tuhan. Akan tetapi ketika muncul kelompok Passus Cakra (Pasukan Khusus Cakra) --dengan citra garang dan angker yang dituduh telah merusak kantor DPC PPP Kodya Jogja-- di dalam kampanye GOLKAR, kemudian sebagian kecil anggota kelompok Darwis memplesetkan makna Darwis dengan membuat pengertian baru. Darwis dimaknai sebagai singkatan dari modar yo uwis (mati ya sudah). Citra garang ini merupakan bagian dari kekerasan kampanye 1997. Bahkan di depan nama Darwis juga di tambah dengan kata Brigade dan kata Passus. Akan tetapi makna Darwis yang sesungguhnya tetap niat untuk beribadah. Isnaen, seorang mahasiswa yang kebetulan menjadi Komandan Brigade Darwis bercerita tentang kelompoknya;
"Darwis dibentuk atas kesepakatan rekan-rekan dari Warungboto, dengan ijin dari DPC (PPP, dari Pak Sukri Fadholi sendiri). Dari pengertiannya Darwis berasal dari bahasa tasawuf yaitu "niat untuk beribadah", beribadah kepada Allah. Dan kalau dalam masyarakat ada pengertian kalau Darwis adalah "Modar Yo Uwis ya..., itu terserah kepada masyarakat tapi arti sebenarnya adalah niat untuk beribadah.

Selain kelompok Darwis, pada konvoi kampanye PPP di Kota Yogyakarta selalu diwarnai oleh kelompok-kelompok eksklusif dengan ciri-ciri khusus. Menurut catatan saya kelompok-kelompok tersebut adalah: Intifada, Mujahidin, EL Qosam, Fisabilillah Kotagede, Fisabilillah Nitikan, Khalid bin Walid, Hamas, Laskar Diponegoro, Hizbullah Jogokaryan, Lombok Ijo, dan lain-lain.
Kelompok-kelompok khusus di dalam kampanye PPP ini kebanyakan menamakan kelompoknya dengan nama-nama asing (Bhs. Arab). Para peserta kampanye PPP mempunyai pemikiran bahwa walaupun secara konstitusi partai PPP bukan partai Islam tetapi secara historis PPP merupakan fusi/peleburan dari empat partai beridiologi Islam (NU, PARMUSI, PSII, dan PERTI) pada tahun 1973. Realita politik juga menunjukkan bahwa para jurkam PPP dan cara kampanye PPP banyak menggunakan simbol-simbol Islam. Bahasa Arab adalah salah satu simbol-simbol Islam yang digunakan di dalam kampanye 1997.
Munculnya jemaah (kelompok) anak muda PPP pada masa kampanye Pemilu 1997 ini menjadi fenomena menarik. Pada masa kampanye Pemilu lima tahun yang lalu kelompok-kelompok peserta kampanye seperti ini tidak ada, tapi sekarang kelompok tersebut bermunculan dengan penampilan khas masing-masing. Yang lebih menarik lagi, kelompok semacam ini tidak ditemukan di daerah lain, apalagi di OPP lain. Yang ada hanya di Jogja. Jumlah kelompok ini selalu bertambah jika PPP mengadakan konvoi kampanye. Pada masa awal kampanye hanya terdengar nama Intifada yang terdiri dari para anak muda PPP dari Kotagede, Passus Darwis dari Warungboto, dan laskar Fisabilillah (Kedaulatan Rakyat, 15 Mei 1997. Hal; 1).
Seorang anggota kelompok Intifada warga Kotagede bernama Dicki bercerita kepada saya;
"Kelompok saya itu namanya Intifada, berasalnya dari Kotagede. Poskonya di belakang SMA Muhamadiyah 4. Itu dulu kan cuma inspirasi anak-anak, dulu bingung namanya apa terus ada dilihat Intifada yang artinya kebangkitan, itu pasukan Palestina, terus ada gambarnya langsung dijadikan simbol. Anggotanya sekitar 200 orang tapi persisnya saya tidak tahu. Cirinya terutama dari atributnya yang putih-putih. Desainnya meniru pasukan Intifada di Israel. Kostumnya biaya sendiri Mas, swadaya".

Kelompok anak muda dan remaja di daerah Kecamatan Kotagede mengidentifikasikan diri dengan apa yang ada di Palestina dengan pemahaman bahwa ada sebagian persamaan di antara di Kotagede dengan di Palestina. Dari aspek generasi baik anggota Intifada Kotagede maupun pelaku Intifada (kebangkitan perlawanan dengan bersenjata batu) di Palestina sama-sama dari kalangan pemuda dan remaja. Dari aspek kondisi, kedua "Intifada" sama-sama merasa sebagai bagian dari pihak yang dipinggirkan dan dikalahkan oleh "pihak lain" di dalam konteks politik.

D.2. KONSER MUSIK KNALPOT MIRIP DRUM BAND
Di Kota Yogya kebanyakan peserta konvoi kampanye mengendarai sepeda motor. Ada juga yang mengendarai mobil dan becak hias, tetapi jumlahnya relatif sedikit sekali.
Pada setiap peristiwa konvoi kampanye PPP dengan sepeda motor juga selalu diwarnai "konser musik knalpot". Suara knalpot digeber keras sekali tetapi diatur dengan irama tertentu dan ada harmoni. Ada suara knalpot bariton yang berasal dari mesin sepeda motor 4 tak dan ada suara knalpot tenor yang berasal dari mesin motor 2 tak. Knalpot sepeda motor peserta konvoi kampanye biasanya sudah dimodifikasi sedemikian rupa misalnya saringan knalpot dibuka (diblombong), atau bodi knalpot dipotong lalu disambung dengan kaleng biskuit atau kaleng minyak pelumas. Tentang konser musik knalpot ini Dicki bercerita;
"Ya sing dirasakke yo seneng Mas. Terus itu kan tujuannya menarik perhatian, menarik simpati, jadi yo nggak cari yang rusuh-rusuh gitu. Jadi kita itu mencari alternatif yang bisa menarik simpati masyarakat, ya salah satunya konser knalpot kaya itu tadi. Pokoknya siapa yang mau memimpin ya memimpin saja, pokoknya kita asal tet...tet...tet yang lainnya rhung...rhung. Pokoknya siapa yang mau memimpin yang lainnya ngikuti. Jadi nggak ada yang namanya pimpinan atau apa, semuanya sama".

Banyaknya pengendara sepeda motor yang mengikuti konvoi kampanye di Kota Yogya juga dibenarkan oleh Hari. Raungan suara knalpot sepeda motor peserta konvoi kampanye PPP yang jumlahnya sangat banyak, bagaikan suara musik drum band yang membahana sehingga enak didengarkan. Peserta konvoi sepeda motor ini paling banyak dari usia pelajar SMA yang masih muda-muda. Pendapat seperti ini disampaikan oleh Hari dan Waty.
Hari, seorang penduduk Kampung Warungboto yang telah mengikuti kampanye sejak tahun 1982, 1987, 1992, dan 1997 menceritakan pengalamannya ketika mengikuti kampanye kepada saya;
“Pengalaman saya yaitu, dari alun-alun sampai Warungboto jalan (kaki) terus, jadi ya tertib sekali. Sipatisanya itu bikin menarik penonton, sipatisan atau peserta kampanye itu jalan kaki berjalan kaki sama istilahnya konser knalpot yang iramanya itu bikin penonton senang. Jadi yang nonton itu buanyak banget karena ada konser yang kalau didengarkan itu seperti drum band itu lho suaranya,. Karena ada yang mimpin maka rapi dan suaranya bagus banget. Saya nggak ikut menari berhubung saya nuntun motor sebab kalau dinaiki nggak bisa lha wong semua dituntun. Jadi menari-nari ya nggak, ya.., cuma ikut senang-senang. Pokoknya senang sekali lah, berhubung penontonnya juga banyak ya saya cuma acung-acung jari saja”.


D. 3. Tarian Kampanye Di Jalan Raya
Di jalan raya yang dilalui lampu sepeda motor peserta konvoi kampanye PPP selalu dinyalakan, peserta kampanye menutup wajah dan bunyi knalpot digeber keras-keras tetapi diatur dengan irama tertentu dan ada harmoni sehingga seperti sebuah konser musik. Konvoi kampanye memnuhi lebar jalan raya dan pelewat jalan yang lain dipaksa berhenti. Jalan-jalan raya di dalam kota macet dipenuhi oleh peserta kampanye PPP. Ketika sepeda motor berjalan lambat maka para pembonceng turun dari sepeda motor kemudian berjalan kaki. Dengan diiringi atau mengikuti irama “konser musik knalpot” para peserta kampanye menari dengan berlenggak-lenggok sambil jari tangannya membentuk angka satu (simbol PPP) atau jari tiga kosong (simbol mega bintang).
Di antara peserta konvoi dan penonton mereka saling mengacungkan jari tiga kosong, bahkan ada juga penonton yang berbaur dengan peserta kampanye dan ikut menari-nari di tengah jalan. Pare penonton di pinggir-pinggir jalan yang saya lihat terdiri dari anak-anak, remaja dan orang tua. Salah satu pimpinan kelompik Darwis bernama Subhan juga bercerita tentang kampanye simpatik :

"Sebisa mungkin kita itu bersikap simpatik terhadap penonton karena apa, apa yang dilakukan penonton adalah sambutan massa. Kayaknya jika tidak ada sambutan penonton kampanye kita itu janggal. Dan kalau kita nggak bisa bersikap simpatik nanti kita nyari massa dan menarik dukungan itu dari mana? Kita melihat massa (penonton) kalau massa itu banyak kita senang, tapi kalau massa dan sambutannya itu sedikit kita itu sedih".

Kampanye simpatik dari kelompok kampanye PPP juga di sambut positif oleh Yosua dan kelompok Laskar Diponegoro yang semua anggotanya adalah pendukung PDI Megawati atau mega-bintang, seperti yang Yosua ungkapkan;

"Terus terang saya merasa enjoy dalam artian saya dengan rekan-rekan bisa memunculkan aspirasi kami secara enak dan tidak ada gangguan sama sekali. Yang kedua kami enjoy karena merasa diterima oleh warga PPP dan kami nggak sungkan-sungkan mengacungkan tanda tiga jari Mega di antara mereka karena mereka juga saling mengerti dan memahami bahkan menerima kami".

Pada saat magrib/senja di Jalan Kemasan sebelah utara Pasar Kotagede, empat kelompok kampanye PPP dari Kotagede yaitu intifada, El Qosam, Fisabillilah dan Mujahidin datang dari arah utara, keempat kelompok kampanye tersebut disambut oleh para penonton bagai pahlawan yang sedang pulang dari medan perang. Para penonton bertepuk tangan, mengacung-acungkan jari satu dan ada juga yang berteriak-teriak histeris. Keempat kelompok tersebut mengenakan seragam yang berbeda dan bendera yang berbeda, tetapi gambar bintang mendominasi atribut yang diapakai keempat kelompok tersebut. Kebanyakan anggota kelompok berusia muda. Masing-masing kelompok bergerak rapi dan atraktif, mereka berjalan kaki membentuk barisan dengan bergandengan tangan dan menari-nari. Di belakang barisan penari tersebut menyusul barisan sepeda motor yang memperdengarkan suara konser musik knalpot mengiringi gerakan barisan penari.
Peserta kampanye dari daerah Kotagede mayoritas terdiri dari anak-anak seusia SMA sampai usia hampir tiga puluh tahun. Kelompok usia peserta kampanye tersebut juga dipaparkan oleh seorang informan bernama Hari di bagian depan. Tentang kelompok-kelompok kampanye di daerah Kotagede jelas lagi bila kita menyimak komentar seorang simpatisan PPP dan sering mengikuti konvoi kampanye PPP yang kebetulan seorang warga daerah Kotagede dan berstatus sebagai Mahasiswi. Simpatisan PPP ini bernama Waty, dia berkomentar:

“Di Kotagede ada empat yaitu Intifada, El Qosam, Fisabilillah dan Mujahidin. Intifada itu tempatnya di Prenggan. Sementara El Qosam itu singkatan : Kotaged, Samalo, dan Muntilan. Kotagede itu ya kecamatan Kotagede, Samalo dan Muntilan sebenarnya sudah termasuk wilayah Bantul tapi karena perbatasan maka menggabung jadi satu. Mujahiddin itu anak-anak yang suka ngumpul di suatu dirental komputer di jalan Kemasan dan membentuk sendiri namanya Mujahidin. Terus Fisabilillah itu dari Mbodon. Kotagede itu nama salah satu kecamatan di Kodya Yogya yang berbatasan dengan Kbupaten Bantul. Kebanyakan yang ikut itu anak muda dari usia SMA sampai anak-anak dua puluhan-tigapuluhan itu masih ikut. Terus yang tua-tua itu mendukung. Misalnya mengkoordinir, pemesanan seragamnya terus mencari dana itu biasanya para orang tua mereka”.

Di beberapa tempat para penonton menyediakan air minum gratis kepada para peserta konvoi kampanye PPP. Air minum yang dibungkus plastik itu berupa air teh, air sirup warna hijau, dan air mineral dalam botol. Pemberian air minum gratis tersebut saya saksikan di sebelah utara Stadion Mandala Krida. Di sebelah timur jembatan Sayidan Jalan Sultan Agung, di sebalah selatan Hotel Garuda, sekitar seratus meter sebelah timur Hotel Melia Purosani, di dekat pasar Lempuyangan, di Depan Kampur IAIN Sunan Kalijaga, dan di kampung Kauman.
Salah seorang anggota kelompok laskar Diponegoro bernama Yosua bahkan diberi nasi pecel gratis oleh simbok penjual nasi pencel gendong. Bagi Yosua peristiwa tersebut merupakan pengalaman paling mengesankan selama mengikuti Konvoi kampanye PPP, berikut ceritanya:

Pada waktu itu kami dijamu oleh seorang Mbok-mbok pedagang nasi pecel, Mbok itu dengan suka rela mencegat kami; Mas…, silahkan makan ini pecel kami buatkan untuk mas-masnya. Kamipun diberi nasi pecel sama the panas”.

Kampanye simpatiik yang digelar oleh simpatisan PPP pada pemilu 1997 ini dalam pandangan saya merupakan perpaduan antara seni suara dengan seni tari. Keinginan simpatisan PPP untuk mendapatkan dukungan dari massa penonton dikomunikasikan dengan seni. “…gerak tari yang merupakan ekspresi emosi manusia ialah tari odern. Di dalam tari modern tidak terikat oleh bentuk-bentuk gerak yang standart (Soedarsono, 1972). Jadi gerak tari kampanye dengan gerak-gerik tertentu dan mengikuti ritme suara knalpot sepeda motor bisa dimasukkan ke dalam kategori tari modern.
Para peserta konvoi kampanye bersikap simpatik kepada penonton sehingga para penonton juga bersikap simpatik kepada peserta konvoi kampanye PPP misalnya dengan memberikan sambutan hangat, ikut menari bersama,sama, memberikan makanan dan minuman gratis di pinggir-pinggir jalan.
Kampanye simoatik gaya PPP Kota Yogyakarta nerupakan sesuatu yang baru karena pada sejarah Pemilu di Indonesia belum pernah ada.

E. PENUTUP
Jalan raya telah dijadikan arena atau ajang untuk melakukan atraksi kampanye yang sarat dengan nuansa kekerasan. Kekerasan kampanye terbungkus dalam tiga bentuk yaitu kampanye brutal, kampanye mogok, dan kampanye simpatik. Ketiga bentuk kampanye tersebut merupakan kampanye khas gaya Yogya dan semuanya mengandung unsur kekerasan walau dalam kadar atau wujud yang berbeda. Hadirnya nilai-nilai kebudayaan Jawa yang berupa hormat, dan isin serta lingkungan yang bertradisi intelektual juga mempengaruhi bentuk kampanye di jalan raya. Jalan raya telah menjadi "panggung budaya” dalam pentas politik di kota Yogyakarta dimana para pemain (peserta kampenye) berinteraksi dengan para penonton di pinggir jalan.

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jerat Budaya edisi No. 2/VII/1999)


Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik
1980 "Di Sekitar Komunikasi Ilmu Dan Seni" Analisis Kebudayaan, I (2) hal: 8-12. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.
---------------------
1994 "Pengantar: Pemuda dan Perubahan Sosial" dalam Pemuda Dan Perubahan Sosial, Taufik Abdullah, (ed). Hal: 1-10. Jakarta: LP3ES Alfian
1982 Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Balandier, George
1967 Antropologi Politik. Jakarta: Rajawali.
Barthes, Roland
1972 Mytologies, Selected and Translated from The French by Annete Lavers.
London: Random House.
Benedict, Ruth
1962 Pola-pola Kebudajaan. Djakarta: Pustaka Rakjat.
Berger, Peter L.
1982 Piramida Pengorbanan Manusia, Satu Jawaban Di Antara Sosialisme Dan Kapitalisme. Bandung: IQRA'.
Berger, Peter L. dan Hansfried Kellner
1985 Sosiologi Ditafsirkan Kembali. Jakarta: LP3ES.
Claessen, HJM
1987 Antropologi Politik, Suatu Orientasi. Jakarta: Erlangga.
Geertz, Clifford
1989 Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Pustaka Jaya.
---------------------
1992 Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
--------------------
1992 Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
---------------------
1992 Politik Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius
Haris, Syamsudin
1991 PPP dan Politik Orde Baru. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Hoffer, Eric
1993 Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Karim, M Rusli
1992 Nuansa Gerak Politik Era 1980-an Di Indonesia. Yogyakarta: Media Widya Mandala.
Kedaulatan Rakyat
1997 PPP DIY Surplus Kelompok Konvoi dan Mega-Bintang Muncul Dari Solo. Yogyakarta: harian Kedaulatan Rakyat tgl. 15 Mei 1997.
Koentjaraningrat
1977 Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Jambatan.

Laksono, P.M.
1985 Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sanit, Arbi
1997 Partai, Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Singarimbun, Masri
1992 Renungan Dari Yogya. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono
1972 Djawa dan Bali, Dua Pusat Perkembangan Drama Tari Tradisional di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soemardjan, Selo
1991 Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soetrisno, Loekman
1995 Menuju Masyarakat Partisipatif. Yogyakarta: Kanisius.
Spradley, James P.
1997 The Etnographic Interview Yogyakarta: Tiara Wacana.
Susanto, Budi, SJ
1993 Peristiwa Yogya 1992, Siasat Politik Massa Rakyat Kota. Yogyakarta: Kanisius.
Suseno, Franz Magnis
1993 Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Suwarno, PJ
1994 Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, Sebuah Tinjauan Historis. Yogyakarta: Kanisius.
Trisnu B, Nugroho
1997 "Kliping Berita Kampanye dan Pemilu dalam Harian BERNAS". (Tidak diterbitkan).
1997 Kekerasan Kampanye di Kota Jogja, Studi Etnofotorafi Peristiwa Kampanye PPP 1997. Yoyakarta: Skripsi S-1.

Winangun, Y.W. Wartaya
1990 Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner. Yogyakarta: Kanisius

Tidak ada komentar:

Posting Komentar