Kamis, 09 Juli 2009

YOGYAKARTA : DARI BABAD KE BABAT

Ditulis oleh Aant Subhansyah (untuk makalah Tim Etnofotografi pada acara Sarasehan & Pameran Etnofotografi: “... Yogyakarta: Restropeksi Etnofotografi”, di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta 27 September 1997)


Kota dengan banyak predikat, itulah Yogyakarta. Paling tidak, orang sudah sangat akrab dengan istilah Kota Budaya, Kota Pariwisata, dan Kota Pelajar untuk merujuk wilayah tersebut . Sebagai Kota Budaya, Yogyakarta berpusat pada Kraton yang diyakini sarat akan nilai-nilai Budaya Jawa yang alus dan adiluhung. Konsep budaya dalam konteks ini cenderung diidentikkan dengan persoalan “jati diri” yang berupa ekspresi-ekspresi yang khas dan bersifat publik yang tercipta melalui mekanisme penyeleksian hal-hal tertentu dari kehidupan sehari-hari. Dengan demikian kebudayaan dianggap sebagai suatu “barang” yang dapat dengan mudah dikemas secara kongkrit. Semangat pemanfaatan citra “jati diri” tersebut pula-lah yang kemudian mengantarkan Yogyakarta sebagai Kota Wisata dengan berbagai macam objek yang ditawarkan kepada para wisatawan.
Salah satu objek wisata yang dianggap paling memiliki daya tarik ialah kawasan Malioboro. Secara historis, Malioboro memang masih memiliki “kaitan” dengan Kraton, sehingga ada semacam “legitimasi budaya” dalam upaya pengemasannya sebagai objek wisata budaya. Dalam Babad (sejarah lokal Jawa) dikisahkan bahwa nama Malyabhara sudah ada bersamaan dengan berdirinya Kraton Yogyakarta. Dikisahkan bahwa pembuatan jalan Malioboro dimaksudkan sebagai tempat bagi penguasa kraton untuk berlaku secara “semestinya” dalam menyambut para tamu atau pengunjung kota Yogyakarta. Secara spiritual Malioboro juga dipandang sebagai “lorong filosofis” dari poros imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi (simbol kesucian), Kraton (simbol dunia tengah yang netral) dan Laut Kidul (simbol kekotoran). Dalam kenyataannya, sampai saat ini Malioboro memang masih dianggap sebagai sesuatu yang legendaris. Orang belum merasa sampai di Yogyakarta apabila belum makan-makan di lesehan, membeli cinderamata atau sekedar berjalan-jalan di jalan dan trotoar yang hiruk-pikuk itu.
Hiruk-pikuk Yogyakarta ternyata bukan sekedar karena banyaknya para pelancong, tetapi juga karena bayaknya kaum muda yang datang untuk menuntut ilmu di kota ini. Sebagai kota pelajar, Yogyakarta memang kaya akan lembaga pendidikan dengan berbagai jenjang dan beragam bidang yang ditawarkan kepada khalayak. Simbol yang paling mencolok dari keberadaan pendidikan itu ialah sebuah universitas negeri tertua (?) yang dianggap paling bergengsi: Universitas Gadjah Mada (UGM). Kampus yang pada awal berdirinya dahulu juga mendapat dukungan penuh dari pihak Kraton itu, sering kali dianggap memiliki “nilai” tersendiri yang berbeda dengan kampus-kampus lain.
Singkatnya, perbincangan tentang Yogyakarta hari ini selalu diidentikkan dengan Kraton, Malioboro, dan Uiversitas Gadjah Mada. Akan tetapi, benarkah Yogyakarta dapat dirumuskan sesederhana itu? Tulisan singkat ini akan mencoba menelusuri kembali wacana tersebut melalui pembacaan terhadap foto-foto yang berkaitan dengan tiga “pusat” Yogyakarta yang disebutkan di atas, ditambah dengan foto-foto sebuah kampung dan sebuah pasar tradisional sebagai pelengkap data.
****
Perjanjian Gyanti yang terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 telah memilah Nagari Mataram menjadi dua kerajaan baru, yakni Surakarta yang dipimpin oleh Sri Sunan Pakubuwana II, dan Ngayogyakarta Hadiningrat yang dikepalai Sri Sultan Hamangkubuwana I . Menurut Babad Gyanti, Kasultanan Yogyakarta pada awal berdirinya masih berpusat di wilayah Kedaton Ambarketawang (sekitar 5 km sebelah barat Kota Yogyakarta sekarang). Kemudian Sultan Hamengku Buwana I melakukan pembabatan alas Bringin, sebuah area hutan lebat dan penuh binatang buas yang terletak di sebelah barat bekas ibukota Mataram, Kota Gedhe. Hutan Bringin yang dikisahkan sebagai kawasan gawat keliwat-liwat, wingit kepati-pati itulah yang kemudian dijadikan kraton baru. Peristiwa berdirinya kraton itu juga dikisahkan dalam Babad Candrasengkala yang menggambarkan dua naga besar yang ekornya bertemu, yang menghiasi regol Kraton Yogyakarta sebelah selatan (daerah Magangan). Makna dari bertemunya dua ekor naga itu diartikan oleh babad tersebut sebagai angka tahun yang menandai berdirinya Kraton, yakni tahun 1682 dalam penanggalan Jawa, atau sama dengan tahun 1756 dalam penanggalan masehi.
Sejak awal, Kraton telah diyakini sebagai pusat perkembangan Budaya Jawa yang luhur dan adiluhung. Kraton merupakan pemilik dan penjaga otoritas tata krama dalam hubungan sosial yang hirarkis. Figur Sultan merupakan puncak dari hirarki sosial tersebut, posisi setelah itu ditempai kelompok kerabat sentono dalem, abdi dalem, dan terakhir wong cilik atau rakyat biasa yang hidup sebagai petani di pedesaan.
Perkembangan perkotaan Yogyakarta pada mulanya sangat dipengaruhi struktur dan pola pemerintahan kerajaan waktu itu. Tumbuhnya pemukiman penduduk berawal dari daerah jero beteng (bagian dalam benteng), dengan pusatnya kompleks kraton yang dikelilingi oleh pemukiman Ndalem (kompleks rumah kerabat raja). Pada lingkaran terluarnya (yang sebagian sudah berada di luar beteng) tumbuh pula pemukiman yang terkelompok berdasarkan jenis pekerjaan penghuninya. Dalam perkembangan selanjutnya, areal pemukiman penduduk semakin melebar, tidak hanya di sekitar beteng, namun juga ke area di antara Sungai Winongo dan Code. Desa-desa pun berubah menjadi kampung-kampung karena kepadatan sosial dan spasialnya meningkat. Pada masa Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia, tak pelak lagi, pemekaran perkotaan semakin pesat dan seolah melesat lepas dari lingkungan kraton.
Dewasa ini, rumah-rumah dan perkampungan di Yogya ternyata menunjukkan keadaan yang sangat beragam. Hal ini mengindikasikan sikap warga Yogya yang memang berbeda-beda dalam mereproduksi citra tentang kota mereka. Bagi beberapa keluarga priyayi, tampaknya tradisi “halus-halusan” budaya masih dipertahankan. Paling tidak hal itu terlihat dari adanya rumah-rumah joglo yang berdiri megah, dengan pagar bermotif teratai ala kraton.

(foto: rumah Joglo)


Keluarga-keluarga kelas menengah ini juga terkesan masih cukup ketat dalam mempraktekkan tatanan ke-jawa-an yang hirarkis. Foto acara makan sebuah keluarga priyayi dapat mengiringi kita dalam menelusuri fenomena tersebut.

(foto: acara makan)
Posisi kelima orang di sekeliling meja tersebut menunjukan adanya suatu tatanan yang hirarkis. Di sana, bapak, si ibu, dan semua anggota dalam keluarga ini diharapkan bertindak njawani sesuai pangkat dan peran masing-masing.
Sebaliknya di bagian lain Kota Yogyakarta, dengan mudah juga dapat dijumpai keluarga-keluarga yang keadaannya jauh dari kesan seperti disebutkan di atas. Rumah dan perkampungan mereka relatif sederhana, bahkan tidak sedikit yang tampak “kumuh”. dalam pergaulan sehari-hari, mereka tidak memusingkan persoalan alus-kasar, bahkan dengan sesama anggota keluarga mereka biasa menggunakan bahasa ngoko, yang apa adanya, tanpa basa-basi. Dengan menggunakan bahasa ini hidup dijalani seperlunya dan sekedar menjalani fungsi-fungsi sosial sebagai layaknya para pekerja.


(foto: kampung taman) (foto keluarga wong cilik)
Kampung Taman adalah contoh sebuah masyarakat Jawa seperti yang disebutkan terakhir. Kampung yang pada awalnya merupakan sebuah pesanggrahan bagi kerabat kraton itu dewasa ini telah disesaki dengan pemukiman penduduk yang tumbuh hampir tidak terkendali. Sejak Kraton memberikan semacam legalitas pada abdi dalem untuk menggunakan tanah Taman Sari sebagai tempat tinggal (1914), sekeliling bangunan bersejarah tersebut telah menjadi sasaran “kreativitas” warga setempat dalam memanfaatkan setiap jengkal ruang yang ada. Banyak dari bagian tembok itu telah disulap menjadi pintu gerbang atau tembok rumah, ada pula yang “merenovasinya” menjadi garasi mobil. Suasana yang cenderung anarkis akan semakin jelas apabila kita mampu mengamati interaksi antar individu di kampung tersebut. Foto di bawah ini memperlihatkan sebuah dinding kamar mandi yang oleh pemiliknya dibubuhkan kalimat “sorry...bukan WC umum, hanya untukku!”. Kalimat singkat itu menandakan bahwa pemilik WC itu tidak mau diganggu privasinya atas tempat tersebut, sehingga dia merasa perlu menuliskan peringatan kepada siapapun -entah tetangganya, atau orang luar yang kebetulan lewat, bahkan mungkin para turis dan guide- yang selama ini (mungkin) dengan seenaknya menggunakan hak milik pribadinya tersebut. Dari situ, paling tidak telah tampak adanya konflik dalam masyarakat kampung Taman, dan ini dengan jelas menunjukkan salah satu upaya pembabatan yang dilakukan warga kampung terhadap “nilai-nilai harmoni” yang selama ini selalu diingat-ingatkan pada mereka.

(foto: WC)

Apapun yang terjadi dalam perkembangan Kota Yogyakarta, ternyata tidak melunturkan citra Yogya sebagai kota Budaya yang sejak semula diyakini bersumber dari keberadaan Kraton itu. Bahkan citra tersebut semakin dihembus-hembuskan seiring dengan maraknya industri pariwisata dewasa ini. Setiap hari siang-malam, kita dapat menyaksikan kaum wisatawan baik domestik maupun mancanegara lalu-lalang di sepanjang jalan dan troroar Malioboro. Para wisatawan itu memang biasanya memilih penginapan yang terletak di sekitar Malioboro, seperti Kampung Sosrowijayan dan daerah Pasar Kembang. Dalam hal ini kepariwisatawan di Yogyakarta, dapat dikatakan Malioboro-lah primadonanya.
Seperti umumnya dunia kepariwisataan, maka Malioboro hampir selalu menjadi identik dengan aktivitas belanja. Segala macam “Jajan” dan “souvenir” yang berbau citra Jawa klasik tersedia di sana. Orang-orang Yogyakarta tampaknya cukup tanggap dengan kebutuhan para turis akan benda-benda yang bisa dijadikan barang bukti bahwa seseorang pelacong sudah sampai di suatu tempat. Munculnya fenomena “batik turis” secara jelas mengindikasikan hal tersebut. Batik turis merupakan jenis batik yang dibuat khusus untuk konsumsi para turis, dengan menampilkan pola dan warna-warna yang tidak konvesional. Model-model tersebut dikerjakan dengan tidak mengacu pada kehalusan dan ketepatan batik klasik yang rumit. Di sini, yang dipentingkan ialah segi komersialnya, sebab di mata para pedagang kaki lima, turis alias landa sudah pasti dudu wong jawa (bukan orang jawa) sehingga tidak begitu memahami --dan memang tidak perlu memahami-- persoalan alus-kasar. Fenomena memplesetkan batik tulis menjadi batik turis ini menunjukkan paling tidak telah terjadi dua macam pembabatan yang dilakukan orang Jawa. Pertama, mereka telah menyiasati pakem motof batik itu sendiri yang semula saklek dan njelimet diubah menjadi lebih luwes dan praktis; kedua, mereka telah mampu menaklukkan para turis landha dengan tanpa perlu dibebani perasaan bersalah.

(foto: batik turis)

Gejala menguras kocek para turis ternyata bukan hanya dilakukan oleh para pedagang kaki lima. Beberapa kerabat kraton juga tidak kurang akal dalam memanfaatkan citra Budaya Jawa sebagai sesuatu yang laku dijual. Kepada para turis, mereka menawarkan paket acara “Royal Dinner”, yakni semacam paket acara makan malam bersama keluarga istana. Para turis yang ikut dalam paket ini akan diterima sebagaimana layaknya tamu kehormatan kerajaan. Di halaman, mereka disambut dengan alunan gending, setelah itu sepasang tuan rumah menyalami mereka satu-persatu. Biasanya sebelum acara dimulai. guide sudah terlebih dahulu memberi petunjuk kepada mereka tentang tata-cara bersikap kepada kerabat kraton. Ini sangat ditekankan oleh pemandu wisata itu, sehingga terkesan mereka benar-benar tengah berhadapan dengan Bangsawan Jawa yang terkenal teguh memegang tata krama. Seringkali para turis itu benar-benar menunjukkan rasa hormatnya dengan membungkukkan badan sambil meletakkan tangan di bahu kiri. Ini merupakan tata cara menghormat raja-raja di Eropa. Hal ini menarik, dan mungkin tidak diketahui oleh para turis ialah bahwa banyak di antara tuan rumah yang menemani makan malam itu ternyata bukanlah kerabat kraton yang sesungguhnya, mereka hanyalah “orang upahan” yang berperan sebagai sang pangeran.
Uraian di atas menunjukkan bahwa persoalan babat-membabat yang dilakukan orang Yogya dapat terjadi di berbagai tempat dan kesempatan. Situasi itu bahkan juga terjadi- dengan sangat kentara- disebuah pasar tradisional yang dapat dikatan belum banyak mendapat pengaruh “asing”. Untuk mencermati hal tersebut, ada baiknya pejalanan kita lanjutkan ke (foto) sebuah pasar tradisional yang terletak lebih-kurang 16 km sebelah utara Kota Yogyakarta. Pasar ini bernama Pasar Jangkang.

(foto: Pasar Jangkang)

Seperti umumnya pasar tradisional, Pasar Jangkang masih mengikuti siklus hari pasran setiap lima hari sekali, dan jatuh pada hari Wage. Kendati begitu, hari Legi dan Pon aktivitas tetap berlangsung tapi terbatas pada perdagangan sayuran dan bahan makanan. Pada hari pasaran, Pasar Jangkang selalu ramai bahkan terkesan semrawut. Hal ini disebabkan penempatan pedagang tidak tertata rapi, tapi tidak ada pembagian blok secara khusus untuk tiap-tiap jenis dagangan. Sementara barang-barang yang diperdagangkan sangat beragam, mulai dari kebutuhan pangan, sandang, hingga emas. Belakangan bahkan muncul juga pasar hewan, tukang jahit, dan perdagangan sepeda.
Di Pasar Jangkang, ada wilayah-wilayah yang (seolah-olah) terbagi berdasarkan jenis kelamin. Pasar sayuran, yang juga menjual pakaian dan alat-alat rumah tangga, juga emas, menjadi wilayah kaum perempuan. Baik penjual maupun pembeli hampir semua perempuan, dan kalaupun ada kaum pria yang terpaksa (?) terlibat perdagangan di sana maka si pria itu akan melakukannya dengan penuh (ke)ragu(an) karena dapat dianggap mengumbar (ke)malu(an).
Sementara itu, pasar hewan dan pasar sepeda merupakan wilayah kaum pria. Kalau kita memasuki wilayah ini maka kita akan menjumpai sebuah dunia yang penuh (in)trik dan ger(t)ak yang mengesankan sifat “jantan”. Keadaan ini selain karena perilaku transaksi memang kaum pria, juga dipengaruhi oleh komoditi yang dijual. Harga seekor sapi bisa mencapai jutaan rupiah, hingga transaksi di sini tidak main-main. “Nek arep tuku ya ndang tuku, aja mencla-mencle, kesuwen!”. (kalau mau beli yang cepat, jangan plin-plan, kelamaan), kata-kata itu diucapkan dengan ekspresi kemarahan.
Di pasar, segala kepentingan seolah-olah tertumpah begitu saja. Hal ini disebabkan orang terjebak pada rutinitas sehari-hari yang harus mereka lakukan demi mencari nafkah. Kepentingan tersebut seringkali membuat orang lupa dengan “tata krama”, sebab yang menjadi fokus hanyalah perbincangan soal uang dan angka ukuran timbangan. Perilaku ngoko tidak terhindarkan lagi, baik oleh pedagang, maupun pembeli. Pada foto di bawah ini tampak seorang pedagang jajanan sedang memberikan sesuatu kepada pembeli dengan menggunakan tangan kiri. Ini merupakan sesuatu yang kontras dengan perilaku ke-jawaan yang secara hirarkis menempatkan pembeli pada posisi yang lebih terhormat dari pedagang.


(foto: tangan kiri)
Perilaku-perilaku anarkis dalam bagian lain dapat juga kita lihat misalnya dari sikap kasar pedagang sapi, atau tukang obat yang berteriak-teriak demi menarik perhatian calon pembeli. Demikian pula dengan seorang pria yang memasuki “wilayah” perempuan karena “terpaksa” menjual perhiasan istrinya, atau bahkan pertengkaran-pertengkaran yang sering terjadi antara seorang pedagang dengan pembeli akibat kesal(ah-pahaman) dalam transaksi, kesemua itu menunjukkan bahwa ternyata ekonomi uang telah membuat mereka “mampu” lupa pada kaidah budaya yang selama ini dijadikan anutan .

(foto lelaki di wilayah perempuan)

****
Sekarang kita beralih pada citra Yogya sebagai kota pelajar. Jauh sebelum model pendidikan di dalam kelas diperkenalkan oleh bangsa Belanda, Kraton Yogya pada tahun 1848 telah memiliki sistem pendidikan seperti itu, yakni Sekolah Tamanan dan Sekolah Madya. Kedua sekolah ini bertujuan memberikan pendidikan bagi keluarga kraton dan keluarga penggawa tinggi. Topik utama pendidikan ini meliputi bahasa, kesenian, sejarah kraton, manajemen publik, hukum, Agama Islam, dan pelatihan tehnik, termasuk bela diri dan pertanian. Tahun 1867 pemerintah Belanda mendirikan sekolah-sekolah sejenis yang disebut sekolah Gubernemen, yang juga berlokasi di kraton. Selanjutnya masa antara tahun 1889 sampai 1893 banyak sekolah baru bermunculan, seperti Sekolah Srimanganti yang juga berlokasi di kraton, serta sederet sekolah partikelir yang tersebar di seluruh Yogyakarta, antara lain di Kalasan, Kejambon, Jejeran, Bantul, Kreteg, Sleman, Klegeung, dan Godean. Kesemua sekolah itu selain mendapat bantuan langsung dari kraton, juga mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, bermunculanlah sekolah-sekolah swasta yang sebagian besar dimotori oleh para penggerak Boedi Oetomo, Taman Siswa, dan Muhamadiyah. Setelah itu sekolah-sekolah partikelir terus bermunculan, dalam berbagai jenjang dan bidang. Pada masa-masa pergerakan kemerdekaan, citra kota pelajar itu semakin menguat dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada.
Kraton Yogyakarta jelas berperan penting bagai kelahiran dan pertumbuhan Universitas Gadjah Mada. Sri Sultan Hamengkubuwana IX secara khusus menyediakan tanah kraton untuk areal kampus tersebut. Bahkan beberapa ruangan milik kraton seperti Siti Hinggil, Wijilan, dan Ngasem, direlakan untuk disekat-sekat menjadi ruangan kuliah pada waktu itu. Konon, karena hubungannya dengan kraton itulah maka kampus UGM kemudian dikenal dengan julukan Kampus Biru, artinya kampus “para bangsawan” (darah biru). Dengan demikian jelaslah bahwa “budaya sekolah” dalam masyarakat Yogyakarta pada awalnya termasuk budaya alus, karena bermula dan berpusat pada kraton.

(foto: UGM)



Hal yang kemudian menarik dari riwayat pendidikan di Yogyakarta ialah adanya gejala terpisahnya antara Kraton sebagai “pusat budaya”, dengan institusi-institusi pendidikan yang muncul kemudian. Seiring dengan makin maraknya bisnis pendidikan, lembaga pendidikan menjadi semakin mandiri dalam berkiprah, tanpa perlu bersentuhan dengan Kraton. Pihak Kraton pun tampaknya sengaja melepas lembaga pendidikan yang dalam kenyataannya memang tidak pernah menjadi Jawa. Aktivitas lembaga pendidikan pada gilirannya lebih tercurah pada hal-hal yang bersifat “modern” dan berskala global, baik itu mengenai teknologi, ekonomi, maupun ilmu-ilmu sosial-budaya. Sangat sedikit dari mereka yang tertarik untuk bersentuhan langsung dengan dunia Jawa pada umumnya dan lingkup kraton pada khususnya. Singkatnya, pendidikan di Yogyakarta sudah berada di luar hirarki.
Keterpisahan lembaga pendidikan dengan ke-jawa-an juga dapat dilacak dari dinamika pondokan mahasiswa. Sebelum era tahun 1980-an, para pelajar dan mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru tanah air akan disambut oleh orang-orang Yogya sebagai keluarga sendiri. Mereka diterima dan ditempatkan dalam kamar yang menjadi satu dengan rumah si induk semang. Tidak jarang mereka dianggap memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anggota keluarga yang mereka tumpangi itu. Akan tetapi keadaan mulai berubah ketika usaha pondokan mulai dirasa benar-benar menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Para pemondok mulai “dikeluarkan” dari keluarga, dan mereka ditempatkan di kamar-kamar sendiri yang dibangun di luar rumah induk semang. Status mereka tidak lebih dari sekedar pengontrak kamar. Banyak tempat kos di Yogyakarta dewasa ini bahkan tidak pernah dikunjungi induk semangnya, selain untuk keperluan penarikan uang kos.

(foto tata tertib tamu kos-kosan)


Derasnya arus pendatang dari berbagai pelosok tanah air telah menjadikan Yogyakarta sebagai kampung multi etnik yang sarat akan masalah baru. Pemukiman menjadi semakin padat, jalan-jalan semakin semrawut, belum lagi masalah yang muncul akibat interaksi antar mahasiswa dan antara mahasiswa dengan rakyat sekitar pondokan. Masalah terpenting adalah sangat sulit jika mengharapkan sebuah prilaku njawani dari para pemudi-pemuda yang sangat beragam, dan nota bene memiliki “ideologi” tersendiri itu. Akan tetapi, di atas semua itu, citra kota pelajar terbukti memiliki nilai ekonomi yang tinggi, dan itu dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh para pemilik modal untuk membuka usaha sekolah, usaha pondokan serta bentuk-bentuk usaha pelayangan jasa yang lain, seperti warung makan, fotokopi, kios telpon, rental komputer, warung internet, dll. Saat ini di jalan-jalan utama Kota Yogya dengan mudah kita akan menjumpai iklan sekolah atau lembaga pendidikan lain (iklan yang berupa spanduk atau baliho) yang bercampur baur dengan iklan sepatu, parfum, rokok, dan celana dalam.

(foto iklan sekolah)

***

Sampai di titik ini, citra budaya Jawa yang semula dibayangkan sebagai suatu yang halus dan sarat dengan tata krama yang hirarkis, ternyata lebih cenderung (hanya) menjadi sebuah komoditas (padahal bagi priyayi Jawa, berdagang adalah pekerjaan yang bernilai rendah). Selebihnya Yogya telah menjadi nostalgi dan barang koleksi yang antik dan tentu saja eksotik. Kondisi seperti ini terus berlanjut dikarenakan kota Yogyakarta ternyata memang hampir-hampir tidak memiliki sumber pemasukan lain selain menjual citra masa lalu. Sebagaimana layaknya sebuah pasar, maka Yogyakarta pada gilirannya juga tidak terlepas dari situasi persaingan, saling siasat dan penaklukan. Dari sekerat trotoar Malioboro saja dengan mudah dapat kita saksikan kenyataan Jawa hari ini. Para pedagang kakilima berebuat kapling, lalu mendesak pejalan kaki. Anak-anak Jalanan dan Kaum Gelandangan yang menjadikan trotoar sebagai “rumah”, tampak hampir selalu kucing-kucingan dengan petugas ketertiban kota. Demikian pula dengan para pengemis yang selalu siap “menteror” setiap orang yang lewat dengan mengeksloitasi belas kasihan.
Pertanyaan terakhir yang mungkin muncul dalam benak kita ialah “Apa sih Jawa itu? Pertanyaan itu memang tidak sederhana, tapi yang jelas foto-foto Yogyakarta dalam Pameran Etnofotografi ini telah menggiring kita pada berbagai perilaku (jawa) yang cenderung lepas dari hirarki dan penuh siasat. Sebuah wilayah --baik secara spasial maupun sosial-- sering dianggap kosong atau tidak bertuan, sehingga sah-sah saja untuk dimasuki, ditaklukkan dan dikuasai. Hal ini mengingatkan kita pada sejarah para penguasa Tanah Jawa, katakanlah mulai dari Ken Arok, Gajah Mada, Raden Wijaya, Panembahan Senopati, Amangkurat, dan lain-lain, yang memang cenderung mempraktekkan cara-cara pembabatan dalam mengawali dan menjalankan kekuasaannya.
Drama pembabatan --terutama terhadap hutan -- oleh raja-raja Jawa dalam Babad sering dikaitkan dengan mitos Babat Alas Wanamerta, yakni pembukaan hutan oleh para Pandawa ketika akan mendirikan kerajaan Amarta. Dikisahkan bahwa Alas Wanamerta dihuni oleh para butha (rasaksa) dan berbagai macam mahluk halus, akan tetapi para Pandawa yang sakti mandraguna tetap menganggap wilayah itu kosong atau tak bertuan, sehingga mahluk apapun yang ada di dalamnya sah untuk dikorbankan. Entah bagaimana hubungan antara cerita wayang dengan raja-raja Jawa, yang jelas historiografi babad sebagai sebuah sejarah lokal memang sering memuat analogi-analogi yang ditujukan untuk melegitimasi tindakan-tindakan para penguasa yang hendak dikisahkan. Lambang-lambang legitimasi itu dapat berupa cerita tentang “hubungan khusus” antara sang raja dengan “alam lain”, atau berupa hubungan kekerabatan yang bersifat mistis, di mana garis keturunan sang raja ditarik ke pusat sejarah yang terkemuka pada masa silam. Babad tidak terlalu mempersoalkan keakuratan tempat, waktu atau runutan logis sebuah peristiwa, yang lebih dipentingkan adalah tujuan dari cerita itu sendiri. Penyusun babad juga selalu memberi penekanan penting pada keberadaan wahyu atau pulung, ramalan, suara gaib, kesaktian, dan pusaka keramat dalam rangka melengkapi “kebenaran” segala tindakan sang tokoh. Melalui lambang-lambang seperti itulah sejarah disusun dan diceritakan secara turun-temurun dalam rangka mengkontruksikan sebuah kebudayaan.
Mungkin tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa banyak hal dalam kebudayaan jawa (baca Yogyakarta) hari ini pun tidak terlepas dari kontruksi babad seperti yang disinggung di atas. Sedikit sekali orang yang mencoba menyadari bahwa citra kota budaya, kota wisata, kota pelajar, sesungguhnya sarat akan mitos. Cerita tentang citra itu cendrung dianggap sebagai kebenaran mutlak sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan dari mana sumbernya, mirip “suara gaib” yang didengar oleh Ki Ageng Giring dari sebatang pohon kelapa . Dalam konteks seperti ini, semua orang bukan saja diajak untuk hanya percaya terhadap apa yang dilihat dan didengarnya, akan tetapi lebih dari itu mereka justru digiring untuk hanya melihat dan mendengar apa yang dipercayainya.
Demikianlah, kita dihadapkan pada “realitas” bahwa selain persoalan tata krama, ternyata berbagai prilaku yang sifatnya hantam krama sebenarnya juga hadir dalam keseharian para pendukung budaya Jawa, hanya saja kehadirannya terkesan disembunyikan dari wacana. Akan tetapi, ketika “realitas budaya” itu “dihentikan” dalam sepersekian detik melalui kamera, maka dengan mudah kita dapat melihat bagaimana orang jawa --dari berbagai kalangan-- ternyata tidak hanya mampu mempersoalkan sesuatu berdasarkan bebet-bibit-bobot, akan tetapi lebih dari itu ternyata mereka juga mampu membabat habis citra kebudayaannya sendiri.


(Pogung1997-KarangGayam2000)



(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No.4/III/2000)




Daftar Bacaan

Abdurrachman Surjomiharjo (2000), Sejarah Perkembangan Sosial Kota Yogyakarta 1880-1900, Yayasan Untuk Indonesia, Yogyakarta.
B. Ertanto Cahyo Dewo (1992), Ritus Untuk menjadi Jawa, skripsi S1 Antropologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Budi Susanto, SJ (1992), Yogya(kar)tamu Berbudi-bahasa Jawa Dikaji Ulang, dalam PELLBA-Bahasa Budaya, disunting oleh Bambang Kuswanti Purwo, Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta.
Joko Suryo (1992), Kisah Senopati-Ki Ageng mangir Dalam Historiografi Babad, dalam Dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah kritis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
KPH MR. Soedarisman Poerwokoesoemo (1984), Daerah Istimewa Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Nandy, Ashis (1995), Kebudayaan Sebagai Perlawanan, makalah tidak diterbitkan.
Thomas, Donald W (1982), Semiotic 3. Communication, Code dan Culture, Ginn Custom Publising, Lexington
Tim Etnofotografi (1994) , Dinamika Sosial Budaya Yogyakarta Akhir Abad XX, makalah Sarasehan pada Pameran Etnofotografi, Jakarta
Majalah Balairung (1999), No. 30/th.XIV/1999, edisi Membaca Ekspresi Yogya, BPPM-UGM, Yogyakarta
Yogyakarta Urban Development Project (1991), RDS Studi Kebutuhan Nyata, Yayasan Diandesa, Yogyakarta

Sabtu, 04 Juli 2009

MEMBACA FOTO MEMBACA Sebuah Refleksi Metodologis

Ditulis oleh: Muhammad Zamzam F.

"... Foto? Apakah "minat baca"bisa difoto? ltu kan abstrak ... kayak idelogi. Apa (kah) ideologi bisa difoto? … wah angel (susah) eeee …. “ Kata (teman-teman) Etnoreflika.

“Apalagi ini….suruh baca Foto?” Kata seorang (tua) pengunjung pameran

“Bikin berfantasi” Iis dari Pondok Labu

“Foto-foto yang cerdas melihatkan hal-hal yang ‘biasa’ menjadi ‘tidak biasa’ “ Dessi K.Dewi

“Kesan Ilustrasinya bagus. Anglenya cukup’ngomik’ dan komunikatif. Tapi kurang cahaya..sekali-kali monokrom donk, biar lebih dramatis!” Dewi Hadin (FSRD. Trisakti)

“Foto-fotonya kurang komunikatif” Sopomo

“Untuk Foto Cukup informatif” WS. Koentjoro

“Fotonya Yogya Banget…komentarnya juga” Sodik…

“Mana yang lebih dulu, caption atau fotonya? Apakah ketika sang fotografer mengambil gambar sudah dalam konsep tertentu” Anto (Komunitas Visual Antropologi-UI)

“Foto dan komnetarnya lucu-lucu” No name.

KONTEKS : PERTEMUAN

Pada pertengahan bulan Agustus sampai bulan Oktober 2000, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Yayasan “Etnoreflika” mengadakan penelitian “Minat Baca” bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, salah satu anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Penelitian yang kami lakukan bukan sebuah penelitian seperti “biasanya”, karena kami menggunakan foto sebagai “alat” penelitian, disamping Focus Group Discussion (FGD), Wawancara mendalam, dan studi literatur. Posisi foto dalam penelitian ini menjadi penting, karena laporan utama penelitian ini adalah berupa pameran foto dan seminar tentang “Minat Baca” pada acara “Book Fair” yang diselenggarakan di Jakarta Conventions Center (17-22 Oktober 2000), dalam rangka ulang tahun IKAPI yang ke-50. Misi (pesan sponsor) yang dibebankan pada penelitian dan pemeran foto kali ini, adalah memberikan masukan mengenai “Strategi Meningkatkan Minat Baca”.
Pertanyaan-pertanyaan pertama yang saya kutip diawal tulisan muncul ketika saya dan teman-teman mulai mempersiapkan penelitian tentang "Minat Baca" ini. Sementara, komentar-komentar dan pertanyaan dibawahnya berasal dari para pengunjung dan penonton pameran.
Pertanyaan pertama kurang lebih mempertanyakan “mengapa foto?” bukan laporan tertulis saja yang digunakan untuk “menggambarkan” minat baca masyarakat. Bagi kami (Etnoreflika) yang menyandang nama "Visual Ethnography" dan percaya bahwa segala bentuk dan praktik kebudayaan bisa "didongengkan" lewat penampakan visual, termasuk lewat foto, pertanyaan-pertanyaan tersebut nyaris muncul dalam konteks "bercanda" atau sekedar "mengolok-ngolok" apa yang kita percayai.
Pertanyaan dan komentar selanjutnya yang berasal dari penonton pameran, kurang lebih menunjukan keragaman pendapat atau “penafsiran” terhadap foto-foto yang kami sajikan. Sebagian bernada memuji, sebagian memberikan komentar teknis fotografis, sebagian lagi mengkritik, bahkan sebagian ada yang tertarik untuk membeli salah satu foto. Apa yang sebenarya terjadi ketika foto yang kami buat dengan “pesan-pesan” tertentu itu bertemu dengan penontonnya? Kejelasan? Kekaburan? Keragaman penafsiran?…
Namun, lebih jauh dari sekedar "candaan" atau "olok-olokan" dari kami, dan “pesan dan kesan” dari penonton pertanyaan-pertanyaan dan komentar itu kami anggap sebagai sesuatu yang serius, yang sengaja (atau tidak sengaja) kami gulirkan dan tangkap, sehingga kami bisa selalu merefleksikan apa yang tengah dan telah kami kerjakan. Pertanyaan yang memicu untuk "mempertanggungjawabkan” metode yang kami gunakan dalam penelitian "Minat Baca" tersebut.
Tapi bukan berarti kami hendak melarikan diri dari kontradiksi-kontradiksi dan persolan-persoalan yang muncul dalam pekerjaan kami, mungkin sebagian persoalan bisa kami atasi, namun persoalan yang lain masih tersisa dan tak pernah selesai. Tulisan ini mengambil posisi untuk memacu diri agar tidak pernah puas dan lalu mandeg.

FRAME I
(MASIH) SEPUTAR ‘OBJEKTIFITAS’ DAN ‘SUBJEKTIFITAS’
Apakah foto itu “objektif” atau “subjektif” ?
Adalah Roland Barthes, ahli semiotik dari Perancis dalam bukunya "Camera Lucida" (1981), kurang-lebih mempertanyakan hal serupa tentang sebuah foto. Apakah sebuah foto bisa berbicara tentang sesuatu "yang lain", sesuatu yang berada diluar dirinya (apa yang ditampakannya)? Pertanyaan itu langsung dijawab pada halaman pertama buku itu dengan ketidakyakinan. Barthes tidak yakin bahwa keberadaan sebuah foto mempunyai "kemampuan" dalam dirinya sendiri (1981:1). Sebuah foto memang bisa mengulangi sebuah peristiwa secara mekanikal, suatu yang tidak akan pernah bisa diulangi secara eksisitensial. Namun demikian, peristiwa yang tercetak dalam sebuah foto tidak akan pernah melampaui atas nama sesuatu yang lain. Kita hanya bisa seperti seorang anak kecil yang menunjuk pada sebuah foto: "lihat itu ... lihat ini … lihat itu ibu saya … lihat ini saya waktu kecil!". Barthes menyebut “peristiwa” sebuah foto sebagai “That The thing has been there” (ibid: 76). Bahwa peritiwa yang terekam dalam foto telah terjadi di masa lalu (past) itu tidak pernah bisa dibantah, dan itu hanya hadir sekali, tanpa pernah bisa terulang lagi. Foto yang hadir sekarang (present) adalah sesuatu yang berbeda.
Apabila demikian apakah sebuah foto mampu menunjuk pada ”kenyataan" secara alamiah dan transparan (obyektif) ? Dengan tegas kami menjawab: Foto tidak bisa menunjuk pada kenyataan secara alamiah, murni, transparan atau objektif. Secara mekanis atau kimiawi, foto memang mampu merekam sebuah kejadian (event) secara persis. Pada pengertian ini foto bisa dikatakan sebagai bentuk dokumentasi yang objektif dan bukti kehadiran sang pemotret pada saat peristiwa yang tercetak diatas selembar foto itu terjadi. "Saya sudah pernah ada di sana", dan selembar foto jadi buktinya. Namun dibalik yang nampak (visible) dari sebuah foto, kita perlu menyadari bahwa secara bersamaan ada yang tak nampak (invisible) disana. Yang tak nampak dan tak terlihat itulah yang sebenarnya membuat sesuatu jadi terlihat (Merleu-Ponty, 1968 via Lono Simatupang, 2000:1). Ketika kita mengarahkan kamera kepada sebuah objek, maka objek yang pantulan cahayanya jatuh tepat pada film maka akan nampak tajam ketika dicetak, sebaliknya objek lain yang pantulannya tidak tepat jatuh ke film akan terlihat kabur (Ibid.). Selain itu, ketika kita memotret sesuatu objek, kita mengenal sudut pengambilan (angle). Pada saat kita memotret dengan "low angle” misalnya maka panorama yang nampak akan berbeda dengan ketika memakai "high angle”. Setiap sudut pengambilan mempunyai kemampuan untuk menampakkan sesuatu, sekaligus mengaburkan yang lain. Lebih sederhana, dari sekedar sudut pengambilan, bahwa lubang tempat kita mengintip sesuatu lewat kamera, bagaimanapun juga adalah sebuah lubang yang terbatas. Ada yang bisa masuk ke dalam frame ada yang tidak, meskipun kita dapat menggonta-ganti lensa, keterbatasan tetap akan ada. Pilihan-pilhan atas keterbatasan-keterbatasan itu tentu tidak bisa dihindari, tapi bukan berarti kita abaikan. Setidaknya, kami berbicara jujur bahwa foto (juga bahasa) bukanlah sebuah "copy" dari kenyataan secara persis, alamiah, dan stabil. Namun, dalam foto (juga bahasa) penuh dengan rekayasa, kontruksi, kecenderungan-kecenderungan, dan intensi. Suatu hal yang tidak bisa dihindari namun harus disadari. Apabila uraian sebelumnya,saya ringkas kedalam fase-fase, maka pada fase ketika “objek” belum dipotret, “objektifitas” adalah sesuatu yang mungkin. Lalu pada fase pemotretan, walaupun pada proses pembakaran perakhalida didalam kamera adalah sebuah proses yang “objektif”, namun intensi si fotograper mulai berperan serta (dalam memilih, menonjolkan, dan mengaburkan objek). Maka pada fase pertemuan foto dengan penikmatnya (baik lewat pameran atau pun diluar pameran), foto tidak lagi “objektif” dan tidak pula “subjektif” melainkan “intersubjektif”. Proses pembacaan, pemahaman, dan perdebatan yang melibatkan berbagai macam tafsiran.

FRAME 2
DATA LAPANGAN DAN PEMOTRETAN
Untuk mendapatkan gambaran mengenai peta persoalan "Minat Baca" masyarakat dan riwayat hidup (biografi) membaca dari subjek tertentu, kami mengadakan Focus Group Discussions (FGD) dan Depth Interview (wawancara mendalam) dengan berbagai lapisan masyarakat di tiga kota, Yogyakarta, Jakarta dan Magelang. Dari hasil FGD dan wawancara tersebut kami menemukan persoalan-persoalan seputar citra buku di masyarakat, pandangan terhadap buku dan jenis bacaan yang lain, praktek membaca diantara praktek kebudayaan yang lain (menonton, mendengar), relasi buku dengan media massa lain (Internet, TV, Playstation, dll), dan pandangan masyarakat seputar informasi. Selain itu, untuk mendapatkan gambaran tentang konteks sosial, potitik, dan historis seputar persoalan "Minat Baca" kami melakukan studi literatur. Konteks itu meliputi sejarah permbangan bacaan dan media massa di Indonesia, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal perijinan dan pelarangan buku, program-program pemerintah yang berkaiatan dengan pengelolaan informasi dan pendidikan, dan yang paling aktual adalah penghapusan Departemen Penerangan, yang selama ini mengotrol laju informasi lewat media massa atau bacaan.
Setiap perkataan yang keluar dari mulut peserta FGD dan informan kami rekam. Dari kata-kata yang kami dengar dan rekam ini, kami mencoba meraba kebiasan-kebiasaan atau praktik-praktik membaca yang bisa direkam secara visual. Apa yang harus kami foto? Bagaimana posisi foto dengan data yang berupa kata-kata dan gagasan dari hasil FGD dan wawancara?
Lalu kami mencoba memahami bahwa setiap gagasan atau kata-kata perlu dicari bentuk materialnya dalam tingkah laku. Dalam hal ini "minat" (juga "selera") bagaimanapun selalu muncul dan dimunculkan dalam aktivitas yang dapat dipertunjukan (performative activity). Maka "minat" atau "selera" atau “kebudayaan” akan muncul dalam kecenderungan-kecenderungan (disposisi) dan praktik-praktik yang berhubungan dengan tubuh (bodily hexis) (Bourdieu 1977; Scieffien 1998: 195), posisi tubuh ketika dia membaca, cara duduk, buku yang dibaca, pakaian, di ruang-ruang apa dia membaca, dan lain-lain. Praktik-praktik membaca tersebut tentu mempunyai "logika praktiknya" sendiri. Semuanya terangkum dalam, apa yang disebut oleh Bourdieu (1977) sebagai “habitus”. Dalam pengertian yang sangat disederhanakan berarti meliputi kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepenuhnya disadari oleh subjek, sebagai hasil dari sosialisasi.
Berangkat dari pemahaman seperti itu dan dari data (FGD, Wawancara, dan Studi Uteratur) maka pertama kami menempatkan kata Minat Baca pada posisi dengan tanda petik. Karena tidak seperti kata "minat" dalam nalar pasar yang menganggap "minat" hanya berhubungan rating penjualan buku, atau dengan kata lain, sebuah proses linear (pasif) dimana "subjek" berdasarkan kesadarannya berhubungan dengan "objek", dalam hal ini "pembaca" dan "bacaannya", kami memahami "Minat Baca" sebagai hasil dari proses pertemuan antara subjek dengan struktur diluar diri mereka. Atau, seperti yang telah diungkapkan diatas, minat baca ditanamkan lewat proses sosialisasi.
Maka objek yang kami potret yaitu: pertama, adalah gerak-gerik tubuh, mimik muka (gesture) dalam praktik-praktik membaca, dan bahan bacaan yang dibaca di ruang-ruang tertentu. Kedua, adalah “lembaga-lembaga" (aparratus), seperti perpustakaan, sekolah, toko-buku, pusat persebaran buku dan lingkungan sosial dimana "minat" itu dibentuk dan terbentuk untuk kepentingan tertentu. Dan yang ketiga, adalah iklan-iklan buku, kampanye-kampanye minat baca, slogan-slogan, atau propanga lainnya, sebagai salah satu alat sosialisasi dan penanaman ‘minat baca’ kepada masyarakat.
Pemahaman yang berimplikasi pada pemilihan objek foto tersebut tentu tidak seutuh dan serapi seperti ketika dituliskan diatas makalah ini. Pada saat itu, yang kami lakukan adalah perdebatan-perdebatan yang kadang melebar, mengkerut, melabrak kesana-kemari, debat dengan kusir atau tanpa kusir, kadang-kadang bersama-sama kadang-kadang perseorangan, dan disela-sela perbicangan dan perdebatan itu, pemotretan terus berjalan. Hasil FGD, wawancara, dan studi literatur (yang sebagian belum selesai atau tertata rapi) bisa dikatakan lebih bersifat "tentatif", penuntun, atau pengarah saja, bagi sang fotografer yang juga mempunyai pemikiran sendiri. Kondisi yang sedemikian rupa, tanpa alur dan skenario yang tidak terlalu ketat, justru memberi peluang untuk memperoleh apa yang luput kami perhatian.
Berhubungan dengan proses pemotretan tersebut, pada saat pameran muncul pertanyaan dari salah seorang penonton pameran, terutama ketika melihat foto seorang laki-laki gondrong membaca buku sambil tiduran dengan nikmat (sisipkan fotonya!), adalah :“foto ini rekayasa apa bukan, mas?” . Kemudian saya mencoba menegaskan apa yang dia maksudkan dengan kata “rekayasa” karena menurut saya, seluruh foto ini adalah hasil rekayasa mekanis dan kimiawi. Ternyata si penonton itu mempertanyakan, apakah foto itu dibuat dengan cara “mencuri-curi” atau si Gondrong di suruh untuk ber”pose” sedemikian rupa. Kalau itu yang dia maksudkan, maka saya mengatakan bahwa foto itu diambil dengan cara “mencuri-curi”, si objek tidak tahu kalau dirinya difoto. Namun kemudian saya menunjukan foto yang lain, foto seorang laki-laki tengah duduk selonjor diatas sebuah bangku dan membaca buku “Aksi Massa”-nya Tan Malaka dan memakai T-Shirt dengan gambar yang sama dengan buku yang dia baca (“Aksi massa” Tan Malaka) (sisipkan fotonya). Saya katakan bahwa foto itu adalah hasil “rekayasa”, dalam pengertian dia adalah seorang model yang kita minta untuk berpose. Namun, “pose” yang saya maksudkan adalah bukanlah pose yang “pasif” dalam pengertian tingkah laku dari sebuah target pemotretan, atau teknik tertentu dari si operator, melainkan sebuah “inntensi” atau “kehendak” dari sebuah “pembacaan” : melihat pada sebuah foto (Barthes,1981:78). Pada kasus foto pembaca “Aksi Massa” ini, kami ingin memancing “pembacaan” bahwa praktek membaca adalah proses “konsumsi” seperti halnya mengenakan T-shirt dengan gambar serupa. penafsiran (pembacaan) bahwa membaca adalah sebuah kegiatan ‘”konsumtif” ini kami peroleh dari data lapangan, lalu kami mencoba mencari atau membuat “pose” yang sedemikian rupa.
Maka dalam pengertian “pose” ini permasalahan mengenai foto yang “baik” adalah foto yang “alami”, “mencuri-curi”, atau sebuah “snaps shots”, dan foto yang “jelek” adalah hasil “rekayasa” dengan menggunakan model, menjadi tidak lagi relevan. Karena keberhasilan foto bukan pada bagaimana foto itu bisa meniru realitas , tapi bagaimana foto itu berperan dalam realitas, lewat proses “pembacaan”.

FRAME 3
PEMILIHAN FOTO (JUGA) TENTANG STUDIUM DAN PUNCTUM
Setelah berbagai perpustakaan, toko buku, padagang kaki lima, berbagai pose orang yang tengah membaca, berbagai macam iklan dan slogan minat baca, berbagai jenis bacaan dan obyek-obyek lainnya kami foto dan menghasilkan ratusan lembar foto, pertanyaannya kemudian "Mau kami apakah foto-foto itu?" jawabannya sederhana : "kami pilih!"
Untuk lebih memudahkan, kami klasifikasikan foto-foto tersebut berdasarkan "tema" fotonya, setidaknya kami bisa membuat klasifikasi demikian Pertama, foto-foto dengan tema "akses terhadap buku", meliputi foto-foto perpustakaan, toko buku, Taman Bacaan, dan pedagang buku kaki lima. Klasifikasi kedua, kami beri nama: "aktivitas membaca" meliputi berbagai praktek membaca di berbagai ruang dan waktu. Ketiga, "jenis-jenis bacaan", dan yang keempat "bacaan-bacaan alternatif", berupa foto-foto internet, praktek pemfotokopian buku, dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir kami beri tema "ideologi", yang terdiri dari foto-foto yang merepresentasikan bentuk-bentuk otoritas dari lembaga-lembaga tertentu (negara dan pasar) dalam mengkontruksi, mengontrol, dan mempengaruhi, minat baca dan bacaan. Foto-fotonya sendiri terdiri dari peta persebaran buku, slogan-slogan dan kampanye minat baca, iklan di toko buku, peraturan-peraturan di perpustakaan dan lain-lain.
Tentu tidak semua foto yang jumlahnya ratusan itu masuk ke dalam kategori dan klasifikasi itu, dan sekali lagi kami harus memilih. Lalu apa yang menjadi dasar pemilihan, pertama tentu "tema" seperti yang telah dipaparkan diatas, selanjutnya tentu kami tidak hanya memilih berdasarkan "suka-tidak suka" atau "indah-tidak indah" ataupun berdasarkan teknik yang "baik" dan “benar", apalagi berdasarkan kategori-kategori yang biasanya diterapkan pada sebuah foto: "profesionaL", "scientific", "seni", "reportase", bla..bla..bla... Namun berdasarkan dualitas yang terdapat dalam sebuah foto, apa yang disebut Barthes (1981:25) sebagai: "studium" dan "punctum".


Sebuah foto tumpukan buku yang terlihat tua dan tak terurus didalam sebuah ruang dengan ram atau teralis besi, dan nampak sebuah gembok mengunci buku-buku itu disana (lihat gambar). Apabila kita amati foto tersebut, maka dia menginformasikan sesuatu yang "umum", ada tumpukan buku didalam ruang yang berteralis besi, dan ada gembok. Informasi yang "umum" itu disebut oleh Barthes sebagai "Studium". Suatu kata dari bahasa latin yang kurang lebih berarti "... sesuatu, selera bagi seseorang, sesuatu yang bersifat urnum, memliki antusias tertentu, tapi tanpa ketajaman yang spesial" (lbid:26).
Namun apabila kita amati dengan lebih teliti dengan melihat detail dari foto, nuansa temaram, tekstur kayu yang kuat dan (terutama) gembok, membuat kami termenung. Pandangan kami seolah keluar dari frame dan membayangkan sebuah "penjara" . Sesuatu yang menyengat, membuat terpaku, sebuah titik kecil dalam foto yang seolah menyengat si pengamat. ltulah yang oleh Barthes, disebut "punctum" (ibid:27). Punctum seringkali seolah keluar begitu saja dari sebuah foto tanpa kita sadari yang membawa bayangan kita keluar dari frame foto itu sendiri, membawa kita pada perasaan dan bayangan ''kengerian", "kesedihan" atau 'hasrat" tertentu . Punctum adalah sesuatu yang kita tambahkan pada foto. Sesuatu yang tidak ada di sana.
Konsekuensi dari pemahaman seperti ini, bahwa setiap orang menemukan punctum yang berbeda-beda dari sebuah foto, sangat tergantung pada pengalaman dan ukuran masing-masing orang yeng menyaksikannya. Atau, tidak setiap foto bagi seseorang mempunyai punctum. Foto bisa hadir hanya sebagai sebuah informasi, tanpa membuat orang tertegun, membayangkan sesuatu, perasaan tertentu.
Seperti kejadian pada saat foto tentang sebuah bangku penuh corat-coret di perpustakaan yang kosong (sisipkan fotonya) di perlihatkan dalam seminar, yang merupakan rangkaian dari acara pemeran buku IKAPI tersebut, seorang peserta seminar mengomentari foto itu, bahwa disana terlihat bahwa “perpustakaan selalu sepi pengunjung”, bagi dia “punctum”nya adalah deretan bangku-bangku yang kosong itu. Sementara bagi kami, justru adalah meja yang penuh dengan corat-coret itu. Kami membayangkan perpustakaan itu sering dikunjungi orang, namun aktifitas yang mereka lakukan bukanlah membaca, tapi mencorat-coret meja dan ngobrol, bahkan pacaran.
Kejadian seperti itu bukanlah sesuatu yang perlu kita “permasalahkan’, karena dualitas “Studium” dan “Punctum’” lebih menyangkut permasalahan “perasaan”, “pengalaman” dan “ukuran” dari orang-orang yang tentu saja berbeda-beda. Justru dualitas “studium-punctum” akan menghadirkan apa yang tidak bisa dihadirkan oleh si operator atau pembuat foto. Maka ketajaman dan keragaman pengalaman akan membuat foto-foto tidak sekedar jadi “informasi” , penghias brosur, majalah atau selesai di ruang pameran. Foto itu sendiri (bukan pemotret atau penonton) kemudian ikut menentukan perbincangan . Dalam hal ini tentang “Minat Baca”.

FRAME 4
FOTO DAN RANGKAIAN FOTO
Pada pembahasan diatas, saya masih berbicara foto tentang “minat baca” dalam konteks foto “tunggal”. Sementara dalam pameran foto yang kami kerjakan, foto-foto yang kami buat, kami rangkai dengan urutan tertentu. Maka saya akan berebiacara dalam kontkes foto “jamak”.
Kami susun foto-foto berdasarkan jalan cerita tertentu. Untuk keperluan menyusun "skenario' cerita tersebut, kami mencoba kembali mendiskusikan dan menginterpretasi data-data dari lapangan, lalu mencoba membuat rangkaian foto yang sesuai dengan interpretasi tersebut.
Kami rangkaikan foto berdasarkan proses “seleksi” dan “kombinasi”. Pada proses “kombinasi “ kami mencoba mengurutkan foto secara horisontal, atau proses ketersambungan antara foto yang satu dengan foto yang berikutnya atau sebelumnya (sintagmatik). Sedangkan pada proses “seleksi” kami mencoba memilih foto yang bisa saling menggantikan. Dalam proses ini foto yang satu dengan foto yang lain ditempatkan secara vertikal, lewat hubungan asosiatif atau keserupaan (paradigmatik). Berdasarkan hubungan ini foto yang tidak ditempatkan dalam (in absentia) dalam urutan, bisa menggantikan posisi foto yang ada dalam urutan, karena hubungan asosiatif tertentu. Maka perlu pemilihan foto mana yang paling dianggap cocok untuk menempati posisi itu.
Pada proses kombinasi, atau sintagmatik, hubungan antara satu foto dengan foto lain biasanya berupa hubungan sebab-akibat, atau sebagian-keseluruhan, sementara moda yang bekerja disebut “metonimik”. Istilah ini mengacu pada dimensi dimana sebuah foto hanyalah menunjukan sebagian untuk keseluruhan, misalkan sebuah foto ingin menunjukan sebuah perpustakaan maka dia cukup memperlihatkan bagian dari perpustakaan itu, misalkan rak-rak buku yang berjajar. Sedangkan pada dimensi paradigmatik, moda yang berjalan adalah “metaforik” atau hubungan-hubungan yang bersifat perumpamaan (tamsil). Misalkan. Seperti pada foto buku yang disimpan dalam kotak kayu besar dengan teralis besi dan gembok. Kotak itu bisa diumpamakan sebagai “penjara”, yang memasung kekebasan buku-buku tersebut untuk di baca.
Rangkaian cerita dalam pameran foto “Minat Baca” ini, secara sederhana demikian : penerbitan dan penerbitan bacaan itu telah dimulai sejak zaman kolonial, dengan didirikannya Balai Pustaka, maka foto pertama adalah foto yang menunjukan sebuah mobil (semacam perpustakaan keliling) yang digunakan oleh Balai Pustaka pada masa itu. Selanjutnya adalah foto di perpustakaan nasional, yang menunjukan peta perseberan buku di Indonesia yang berpusat dari Jakarta, dan sebuah patung seorang anak tengah membaca. Foto ini menunjukan pada zaman setelah kolonial, bacaan (masih) diatur oleh pusat yang bernama Jakarta. Foto-foto berikutnya menunjukan lembaga-lembaga yang mengatur bacaan dan praktek membaca, dari mulai perpustakaan dengan aturan-aturannya yang kadang berlebihan, lalu toko buku, dan bentuk-bentuk pengkomodifikasian bacaan yang lainnya. Foto-foto selanjutnya menceritakan keragaman aktivitas membaca, perlakuan terhadap bacaan dan jenis bacaan di masyarakat. Setelah itu disambung dengan foto-foto yang menunjukan media-media lain diluar buku dan media massa cetak yang menjadi alternatif bacaan atau menggantikan posisi bacaan.
Namun pada saat pameran berlangsung, saya tidak begitu yakin apakah semua skenario, atau jalan cerita itu bisa ditangkap oleh para penonton. Mengingat terbatasnya ruang pameran, sehingga kita tidak lagi mengurutkan foto satu-satu ke arah samping dengan jarak yang cukup enak untuk dinikmati . Akan tetapi, kami harus menempatkan foto-foto tersebut dengan urutan dari atas ke bawah, lalu dimulai urutan baru disampingnya dengan urutan yang sama (dari atas ke bawah) dan dengan jarak yang relatif berdempetan, sehingga tidak nyaman untuk dilihat. Bahkan kita harus merelakan beberapa foto tidak kami pasang.
Para pengunjung cenderung melihat foto sebagian saja, atau meloncat-loncat dari satu foto ke foto yang lain. Pada titik ini kemungkinan besar, pengunjung, masih melihat foto-foto tersebut sebagai foto “tunggal” yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lain, kecuali bahwa semua foto menunjukan hal-hal yang berhubungan dengan masalah “bacaan” (praktek, jenis, peraturan,minat, dll).
Selain itu, dalam hal ini kami juga harus menyadari bahwa merangkaikan beberapa foto bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana, karena antara satu foto dengan foto yang lain bisa saling berlawanan, atau terjadi pengulangan. Seperti yang dilontarkan oleh beberapa pengunjung.

FRAME 5
FOTO , PESAN, DAN CAPTION
Apa bedanya sebuah foto dengan sebuah tulisan (teks) ketika digunakan untuk menyampaikan sebuah “pesan” atau kenyataan. Ketika sebuah peristiwa , kejadian, pesan atau “kenyataan” mencoba disampaikan lewat tulisan, maka “kenyataan” itu kemudian dirubah pada bentuk atau units yang berbeda dengan “objek” yang hendak dikomunikasikan, unit ini disebut tanda. Pada tulisan maka dikenal huruf-huruf, kata-kata, kalimat, atau kode-kode tertentu. Maka pada foto, meskipun “image” yang ditampilkan oleh foto tersebut jelas bukanlah “kenyataan” itu sendiri, akan tetapi setidaknya bersifat analogis (untuk tidak dibilang persis). Oleh karena itu, berbeda dengan bahasa, image sebuah foto adalah : “pesan tanpa kode”. Atau, “pesan yang bersifat kontinyu” (continuous massage) (Barthes,1977 :17).
Pada bentuk representasi kenyataan yang bersifat analogis dan imitatif seperti dalam kasus foto ini, maka muncullah “paradoks”. Maka kita kembali pada pembahasan di “Frame 1”, bahwa secara mekanis dan kimiawi foto seolah mampu merepresentasikan secara persis dan objektif , pada titik ini pesan-pesan yang muncul dalam sebuah foto disebut pesan-pesan yang bersifat “denotaif”. Namun ketika kita meneliti kembali tingkat-tingkat produksi foto, dari mulai pemilihan objek, pencahayaan, pembingkaian dan lain-lain, maka pesan-pesan yang denotatif dan objektif itu mendapatkan “perlawanan” dari pesan-pesan yang bersifat “konotatif” dan subjektif . Apalagi ketika foto telah masuk pada proses “pembacaan” dan “tekstualitas” dimana sangat tergantung pada konteks kultural, historis, ideologis, juga politis, maka muncullah pesan-pesan yang bersifat konotatif itu. Pesan konotatif ini akan ditangkap atau dimaknai secara berbeda-beda oleh setiap penonton foto (subjektif) .
Jika demikian, bagaimana kami bisa menyampaikan “pesan” (yang bersifat konotatif) kami bahwa : minat baca bukanlah sebuah proses pasif dan linear, atau masalah tinggi-rendah, dan rating penjualan buku, akan tetapi melibatkan kekuasaan, seperti negara, pasar, institusi pendidikan, dan siasat masyarakat, yang bertempur dalam sebuah medan.
Pada titik ini-lah kami mengunakan bantuan “teks” dalam bentuk caption. Hasil penafsiran kami terhadap foto-foto “minat baca’ yang kami buat, kami “hidupkan” lewat caption tersebut.
Maka, bukan lagi sebagai illustrasi atau realisasi dari kata-kata (data lapangan), tapi sekarang kata-kata yang menjadi parasit terhadap foto. Caption lebih menjadi upaya untuk “menghaluskan” atau merasionalisasikan foto. Konsekuensinya, lebih dekat teks terhadap image foto, maka semakin sulit untuk “mengkonotasikan” image foto itu, alias hanya terjebak pada pesan yang bersifat ikonografik (Barthes, 1977:78).
Namun, apakah pertukaran antara image foto dan teks bisa selancar itu? Lalu bisa ditangkap oleh penonton secara lancar pula?
Pada saat pameran berlangsung, dua orang pengunjung memperhatikan sebuah foto tentang sebuah toko buku yang cukup megah dan baru di Yogyakarta, bernama “Social Agency”. Di depan toko tersebut terpampang sebuah spanduk yang bertuliskan “Pusat Buku Murah”, “Diskon 20-30%”. Kami memberikan caption demikian pada foto ini : “Buku Murah Siapa Yang Untung?”. Dengan caption itu kami ingin membuka pembacaan, bahwa meskipun buku itu di diskon sampai 30% keuntungan tetap masih ditangan toko-buku dan distributor. Selain itu masalah “diskon-mendiskon” harus dimengerti dalam konteks persaingan bisnis dan startegi mencari untung pula. Jadi diskon bukan berarti buku itu benar-benar murah dan dapat dijangkau masyarakat secara luas. Namun bagi dua orang pengunjung tersebut, foto itu kurang lebih hanya memberikan “informasi”, menunjuk pada ketepatan lokasi atau peristiwa (denotatif), salah satu pengunjung berkata : “Di Yogya buku memang murah-murah!” (Sisipkan fotonya)
Atau, kasus foto yang lain…
Sebuah foto yang memperlihatkan jajaran buku pada sebuah rak di toko buku, foto itu terfokus pada buku “Pemikiran Karl-Marx” karya Frans-Magnis Suseno. Buku itu sudah terlihat begitu lecek dan “ikal”, bila dibandingkan buku-buku yang lain. Kami memasang caption demikian : “Laris Manis Gaya Marxis”. Pembuatan caption itu kurang lebih ingin mengundang pembacaan bahwa buku-buku yang selama ini diangggap “kiri” dan “menyesatkan” lalu tiba-tiba menjadi “laris- manis” sebagai bahan dagangan. Buku yang dianggap akan menerbitkan pemberontakan terhadap negara dan kapitalisme, tiba-tiba jadi bagian dari mekanisme kapitalisme tersebut. (sisipkan fotonya)
Seorang pengunjung yang mengaku aktif di FORKOT, salah satu gerakan mahasiswa yang dianggap radikal, berkomentar bahwa dia senang dengan foto itu, dan kalau bisa ingin memilikinya. “Saya jadi inget…sering baca di Gramedia sambil berdiri!” katanya.
Dari kedua kejadian tersebut, maka bisa dikatakan caption yang kita buat tidak selalu mampu menjadi semacam “pelabuhan” (anchorage) tempat menampatkan satu “petanda” (signified) dari lautan “petanda-petanda” yang mungkin dipilih oleh seorang pembaca dari sebuah “penanda” yang dalam hal ini sebuah foto.
Dengan demikian, sekali lagi, hubungan antara image foto dan teks akan lebih baik apabila difahami bukan dalam kerangka "struktural" ,"tingkatan”, "hirarki", atau pertukaran yang lancar dan mulus, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Barthes kemudian, dalam bentuk-bentuk "pengingkaran". Namun bukan berarti pertukaran antara kata-kata (bahasa) dan foto menjadi suatu yang mustahil, akan tetapi kita harus memahami bahwa untuk membuat foto sebagai "bahasa yang lain" atau tambahan dan lampiran bagi bahasa, akan tidak masuk akal tanpa memahami pengingkaran-pengingkaran yang hendak mereka atasi. (Mitchell,1994: 285).
Maka hubungan antara foto dan caption ini, kami rancang bukan untuk menutup pembacaan lain terhadap foto. Namun, lebih untuk memancing pembacaan yang lebih luas atau lebih dalam. Hingga teks-teks di caption kami rancang sedemikian rupa untuk menjadi sebuah teks "terbuka", atau malah menjadi semacam "labirin" atau "pintalan benang”. Caption yang kami tulis bukan untuk menguasai foto, akan tetapi untuk menyerahkan diri sebagai pengamat yang tertawan (Ibid:307).

FRAME 6
VISUAL ETHNOGRAPHY; KETAJAMAN DAN KERAGAMAN
Mengapa foto? Tidak laporan tertulis saja (etnografi)?
Kami lebih memilih foto sebagai alat untuk membuat “dongeng etnografis” dari pada laporan secara tertulis, dengan pemikiran demikian : Bahwa foto karena ‘kontradiksi-kontradiksi” yang dimilikinya, entah itu masalah “objektif-subjektif”, “ide-praktek”, “studium-punctum”, “metaforik-metonimik”, atau “denotasi-konotasi”, mampu memberikan “ketajaman” pembacaan dan keragaman pemaknaan. Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa “visual” lebih baik dari “verbal”, kami ingin membuat “dongeng etnografis” tentang kebudayaan tidak hanya disimpan di rak-rak buku, dan jarang orang membacanya, mungkin lewat tatapan mata kita bisa menafsir dunia dengan lebih tajam, penuh permainan, dan tanpa menampikkan suara-suara yang lain.
Sebuah etnografi , baik itu berupa teks (verbal) atau image (visual), bisa menjadi sebuah moda (cara) untuk mengetahui atau menunjukan sesuatu yang mengkonstruksi wilayah-wilayah yang tidak kita ketahui. Namun kami menginginkan sesuatu yang "terbalik", (visual) etnografi yang kita harapkan justru bukanlah tentang apa yang kita "ketahui" tentang sesuatu, melainkan tentang apa yang mencegah kita dari apa yang kita "ketahui", dan bagaimana itu dibentuk dalam akses-akses yang terbatas untuk kita ketahui (Mitchell,1994:190).
Dalam konteks penelitian “Minat Baca” implikasi dari pemikiran tersebut adalah : kami justru ingin menunjukan "subversi" dari kondisi "Minat Baca" yang selama ini (mungkin) dikontruksi oleh fihak-fihak yang berkepentingan dengan bacaan (negara, pasar, atau dunia pendidikan). Kami ingin menunjukan bahwa "Minat Baca" bukan hanya sekedar urusan "rating penjualan", “segmentasi”, atau “distribusi” yang terhambat, "Minat Baca" bukan hanya masalah "suka' atau tidak "suka", atau “Minat Baca” bukan hanya masalah menyalahkan masyarakat kita karena masih “bodoh” dan tertinggal oleh bangsa lain. Kami ingin menunjukan bahwa "minat baca" masyarakat harus selalu bergerak berdasarkan pada kebutuhan dan dinamika masyarakat yang beragam, hingga "minat" terhadap bacaan bukan hanya menghasilkan kegiatan yang pasif dan konsumtif. Padahal slogan yang kita kenal selama ini bahwa "minat" terhadap bacaan mampu "mencerdaskan bangsa". Apa iya ? Siapa mencerdaskan siapa? Siapa yang cerdas? Siapa yang (di)bodoh(I)? Apa itu kecerdasan?. Agaknya kita perlu berrefleksi.

(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No.4/III/2000)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyo Dewo, Ertanto B., 1992, Ritus Menjadi Jawa ; Analisis 12 Gambar Foto Malioboro, Skripsi S1, Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Barthes, Roland, 1977, Image, Music, Text, Hill and wang, New York.
_____________,1981, Camera Lucida: Reflection on Photography, Hill And Wang, New York.
Bourdieu, Pierre, 1977, Outline Of A Theory Of Practice, Cambridge University Press.
Evans, Jessica, and, Hall, Stuart, (Ed.), 1999, Visual Culture : The Reader, Sage Publications.
Hall, Stuart (ed.), 1997, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, Sage Publications.
Hawkes, Terence, 1977, Structuralism and Semiotics, Univ. Of Calofornia Press.
Mitchell, WJT, 1994, Picture Theory, The University Of Chichago Press.
Sarup, Madan, 1993, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernisme, The University Of Georgia Press.
Schieffelein, Edward L, 1998, "Problematizing Performance", dalam Ritual, Performance, Media, Felicia Hughes-Freeland (ed.), Routledge.
Selden, Raman, 1996, Panduan Pembaca Teori sastra Masa Kini, Gadjah Mada University Press.
Simatupang, GR Lono Lastoro, "Budaya Sebagai Strategi dan Strategi Budaya", datam Global/Lokal, Jumal MSPI, th.X-2000.

MEMANDANG FOTO, MELIHAT KONSTRUKSI KEBUDAYAAN: dari proses kimia menuju proses kebudayaan

Di tulis oleh:Kirik Ertanto


FOTOGRAFI DAN KEBUDAYAAN
Beberapa waktu yang lalu Rama Surya memamerkan hasil karyanya pada pameran fotografi “BORNEO: AIR MATA API”. Rama Surya menyuguhi kita rentetan foto-foto yang merekam peristiwa yang sedang terjadi di satu wilayah pedalaman Kalimantan Timur yang dihuni (suku) bangsa Benuaq ketika hutan yang menjadi habitatnya sedang dilanda kebakaran dahsyat. Pameran tersebut diselenggarakan dalam rangka Festival Kebudayaan Yogyakarta ke XIII. Bukanlah satu hal yang mengada-ada, bila kemudian saya mengajukan satu pertanyaan apa hubungan antara fotografi dengan kebudayaan? Apa arti memelototi foto-foto yang digantung dalam sebuah ruang pameran dengan praktik-praktik budaya?
Sebelum menjawab pertanyaan itu maka setidak-tidaknya perlu dijelaskan posisi pengertian dua kata kunci yaitu fotografi dan kebudayaan. Bukanlah satu hal yang mudah untuk mengartikan kata kebudayaan, sebab ia tidak memiliki arti yang tunggal, melainkan majemuk. Ashis Nandy (1995) setidaknya menemukan tiga makna kata budaya yang sering digunakan. Yang pertama, adalah kebudayaan sebagai “jati diri”. Menurut penjelasan yang diberikan oleh Ashis Nandy, kebudayaan sebagai jati diri diciptakan melalui mekanisme pemilahan dengan kehidupan sehari-hari. Ia diartikan sebagai ekspresi yang bersifat publik, khas, bisa dikemas serta konkrit. Kebudayaan tidaklah lain daripada tontonan yang menghibur serta sejumlah ekspresi yang dianggap serius. Di Indonesia, kehadiran Taman Mini adalah contoh terbaik dari pengertian kebudayaan sebagai jati diri. Di sana kebudayaan dihadirkan melalui pakaian adat, ekspresi tarian adat, patung-patung, peralatan untuk ritual dan semacamnya. Dengan demikian kebudayaan tidak lebih dari satu benda atau kemasan yang bisa dipertontonkan: beku dan baku.
Kedua, kebudayaan dalam versi antropologi. Kebudayaan disini memiliki arti yang berbeda lagi. Dalam disiplin antropologi sendiri ada ratusan definisi mengenai kebudayaan. Meski demikian konsep kebudayaan yang dominan masih mengacu pada asas-asas cara hidup organis atau tradisi sosialnya. Di Indonesia, konsep kebudayaan versi antropologi yang dominan adalah konsep kebudayaan dengan tujuh unsur universalnya. Cara kerja dalam penggunaannya adalah mendeskripsikan masing-masing unsur lantas dijumlahkan (seperti matematika) dan hasil akhirnya adalah kebudayaan.
Makna yang ketiga adalah kebudayaan sebagai resistensi. Kebudayaan dalam makna ini berkaitan dengan praktik-praktik penandaan. Dengan demikian setidaknya ia merupakan resistensi dari dua makna sebelumnya. Kebudayaan merupakan perlawanan politik sekaligus “bahasa” dimana perlawanan itu diartikulasikan. Belakangan ini dalam wacana antropologi, ia tumbuh di bawah tema kritik kebudayaan, hegemoni tanding atau pola memandang-dipandang.
Dari pemetaan mengenai makna kebudayaan, sekarang kita beralih menuju pengertian fotografi. Dengan melacak pada sejarahnya, fotografi yang kita kenal sekarang ini merupakan hasil dari dua penemuan yang tidak berkaitan satu sama lainnya. Penemuan yang pertama adalah dalam bidang ilmu alam, yaitu penemuan alat “menangkap" bayangan. Hal ini yang nantinya akan berkembang menjadi kamera. Yang kedua, penemuan di bidang kimia yaitu bahan yang peka cahaya. Temuan ini pada gilirannya berkembang menghasilkan film. Gabungan dua temuan inilah yang kemudian melhirkan temuan baru yaitu fotografi.
Untuk mendapatkan sebuah gambar foto, kita tidak akan langsung mendapatkan hasilnya sesudah pemotretan, kecuali dengan kamera polaroid. Film dalam kamera yang telah disinari, harus dicuci terlebih dahulu untuk mendapatkan negatifnya, lantas kita baru bisa mencetak foto dari negatif itu pada selembar kertas foto. Mulai dari penyinaran sampai munculnya gambar diperlukan dua proses yaitu “fotochemis” dan “chemis”. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa munculnya gambar-gambar foto itu sepenuhnya berada dalam proses kimia. Setelah itu kita baru dapat melihat, menikmati dan mengomentari gambar-gambar foto.
Dipandang dari sudut proses fotografi itu sendiri, Roland Barthes memilah menjadi dua bagian: camera obscura dan camera lucida. Yang pertama, sering diartikan sebagai kamar gelap yaitu ketika terjadinya proses kimia yang menghadirkan gambar-gambar. Sedangkan yang kedua berada di seberangnya yaitu kamar terang. Di sana gambar-gambar itu akan diperbincangkan oleh manusia, tidak lagi dengan proses alamiah seperti dalam camera obscura, melainkan berdasarkan konvensi-konvensi sosial. Dengan demikian, fotografi sendiri sesungguhnya mencerminkan adanya suatu gerak dimana proses-proses alamiah (proses kimia) kemudian merangsang terjadinya percakapan-percakapan yang ditentukan oleh konvensi-konvensi sosial atau proses kebudayaan.
Dari uraian mengenai proses fotografi dan pemetaan makna kebudayaan di atas, kiranya cukup jelas bahwa untuk mencari titik temu antara fotografi dan kebudayaan harus berpijak di bagian camera lucida. Oleh karena itu tulisan ini tidak akan membahas camera obscura, persoalan kecepatan, diafragma atau formula obat-obat kimianya. Saya tidak akan mengingkari bahwa kesemuanya merupakan bagian yang sangat penting dalam fotografi, namun tulisan ini tidak akan mencari penjelasan atau menemukan dalil-dalil yang membuat sebuah gambar foto bisa dihadirkan dengan baik. Saya tidak akan mampu melaksanakannya. Kali ini saya secara khusus hanya menyoroti titik temu dengan kebudayaan sebagai resistensi. Titik temu fotografi dengan dua makna budaya yang lain hanya disinggung dengan sambil lalu.

FOTOGRAFI: REPRESENTASI OBJEKTIF DAN TAFSIR OBJEKTIF
Dengan meletakkan fotografi dalam bagian camera lucida, maka langkah awal saya menempatkan fotografi sebagai dokumentasi. Maksudnya adalah foto memiliki isi mengenai informasi-informasi yang bisa dijadikan dokumen. Kalau foto itu merekam orang, barang dan situasi maka ia bisa dianggap sebagai dokumen sosial. Sejauh yang saya ketahui, foto dokumentasi bisa dipilah menjadi dokumentasi sebagai representasi objektif dan dokumentasi sebagai tafsir subjektif (Hamilton, 1997: 81). Yang disebut lebih awal menunjukkan pengertian foto yang ditangkap sebagai representasi objektif dari segala sesuatu yang faktual. Rekaman gambar dari naskah kuno, lukisan, gedung atau wajah-wajah orang untuk pembuatan kartu identitas adalah contoh-contohnya. Ada anggapan bahwa citra merupakan salah satu cara untuk menghadirkan “fakta” mengenai subjek. Citra wajah seorang bernama Agus bila kita kenali tidak akan dikatakan wajahnya Topo. Dalam kata lain nilai informasi menjadi bagian terpentingnya. Di balik semua itu, bisa ditemukan adanya satu keyakinan umum bahwa fotografi secara inheren menjadi media objektif dari representasi. Keyakinan ini masih bisa ditemukan dalam rutinitas kehidupan sehari-hari ketika membuka buku atau majalah, dimana foto-foto yang dimuat memiliki nilai khusus yaitu sebagai bukti. Kita percaya dengannya karena kita mempercayai mata kita.
Keyakinan semacam itu tidaklah hadir begitu saja, ia muncul dalam ruang dan waktu tertentu. Fotografi tumbuh di Eropa bersamaan dengan tumbuhnya filsafat positivisme. Pada esensinya, positivisme mempertahankan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi akan menambah kemampuan manusia untuk mengetahui dunia alam benda dan dunia sosial melalui kemahiran menguasai pengetahuan yang empiris. Fotografi sebagai satu teknologi modern bisa memberikan sebuah alat yang secara mekanik mampu merekam secara persis objeknya. Dengan demikian bisa mengisi secara persis apa yang dikehendaki dalam filsafat positivisme.
Sesudah tahun 1830-an, fotografi tidak lagi sekedar menjadi alat ilmu pengetahuan tatpi juga menjadi satu medium proyek kreatif. Pada awalnya penggunaan fotografi lebih dikonsentrasikan pada pemandangan alam dan gambar orang. Pada waktu itu ia menjadi semacam solusi yang disediakan oleh teknologi dalam mengatasi problem manual untuk menggambar secara “mirip” yang sedang mendominasi dunia seni di barat.
Melalui konsep dokumen (foto) sebagai representasi objektif kita bisa mengenali bahwa mata kamera berfungsi sebagai cermin untuk menangkap kondisis alamiah. Kamera dianggap sebagai alat yang netral untuk merekam peristiwa-peristiwa yang ada di depan mata manusia (mata biologi). Berbagai citra yang dihadirkan digunakan sebagai informasi atau bukti serta imitasi dari peristiwa atau benda-benda.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan, foto sebagai representasi objektif inilah yang memiliki relasi dengan kebudayaan sebagai jati diri atau kebudayaan dalam versi antropologi dominan. Dalam versi antropologi, kita bisa melihatnya dalam berbagai buku atau skripsi para antropologi yang menggunakan foto sebagai bukti bahwa ia “hadir di sana” (being there) atau untuk menampilkan unsur-unsur budaya yang ditulisnya.
Selain itu ia juga banyak digunakan untuk menunjukkan “jati diri” satu (suku) bangsa. Brosur-brosur pariwisata adlah salah satu contoh dimana fotografi memainkan perana penting dalam penciptaan “jati diri”. Dalam brosur pariwisata ke Kalimantan, misalnya, “jati diri” manusia Daya ditampilkan dengan kupingnya yang panjang dengan anting berupa gelang-gelang besi, pakaian adat dengan ciri manik-maniknya, pasar di atas kapal yang terapung di sungai dan semacamnya.
Sementara itu (foto) dokumentasi sebagai tafsir subjektif berada di seberang pengertian dari dokumen sebagai representasi objektif. Ia memiliki relasi dengan dokumen kemanusiaan. Kamera tidak lagi dipandang sebagai satu alat yang netral dalam merekam berbagai peristiwa. Menampilkan citra visual kemudian analog dengan orang menulis. Foto-foto essay yang belakangan ini mulai tampil di majalah bisa dijadikan contoh terbaiknya. Artinya berbagai citra yang dihadirkan tampil melalui perspektif dari person-person pembuatnya, sehingga sesungguhnya tidak lagi murni informasi tetapi juga tercampur dengan perasaan. Representasi yang diproduksi oleh pemotret terjalin erat dengan penafsiran atas peristiwa dan subjek yang dipilihnya ketika berada di depan lensa kameranya. Dengan demikian secara esensial (foto) dokumentasi adalah salah satu penafsiran.
Seorang pemotret terlibat penuh dalam konstruksi -melalui pemilihan foto berwarna atau hitam putih, framing, pemilihan sudut pengambilan gambar- untuk memberitahukan, menegaskan atau membersihkan kesaksian-kesaksian kepada orang lain. Melalui konstruksi yang dibuat oleh pemotret, keberadaan peristiwa yang terjadi pada ruang dan waktu tertentu, subjek yang tidak bisa bersuara secara langsung kepada orang lain (dalam kasus ini kebakaran hutan di pedalaman Kalimantan dan (suku) bangsa Benuaq) mendapatkan kesempatan untuk disaksikan oleh para penontonnya. Implikasi dari proses distribusi dan publikasi dari foto-foto pemotret adalah mempertontonkan peristiwa yang tidak terlihat, tidak diketahui serta dilupakan. Para pemotret yang menjalankan pola kerja seperti para sejarawan, sosiolog atau antropolog. Kamera berfungsi sebagai alat riset karena ia mencipta ulang kenyataan secara mekanik.
Dengan ditampilkannya foto dihadapan penonton, maka kemudian terjadi konstruksi ganda, sebab ia bukannya hanya merupakan konstruksi pemotret tetapi juga akan melibatkan konstruksi pembaca potretnya. Seleksi dari potret yang ditampilkan, ketajaman fokusnya, pilihan film hitam putih atau berwarna, penempatan potret dan framingnya, kaitan dengan isi temanya, caption, kesemuanya akan memiliki implikasi makna yang didapatkan oleh penonton atau pembaca potret. Dengan mempertimbangkan kehadiran penonton, maka perbincangan mengenai fotografi akan bergerak dari karya menuju teks. Dalam hal ini para penonton atau pembaca foto memiliki kemungkinan sebagai peserta aktif dalam melakukan penafsiran. Dengan demikian relasi antara pemotret dan pembaca potret adalah berada dalam lingkaran penafsiran.
Oleh karena itu tulisan yang berisi pembacaan saya terhadap berbagai gambar karya Rama Surya tersebut sesungguhnya mencerminkan adanya konstruksi ganda: konstruksi yang dibuat oleh pemotret dan penafsiran atas konstruksi dari pemotretnya. Dengan kata lain, meski sebagai pembaca, posisi saya tidak sepenuhnya aktif tapi juga pasif, saya juga meresepsi berbagai citra visual yang dihadirkan oleh para pemotret. Seperti kita kenali, para pemotret memiliki peran yang sangat penting dalam memproduksi gambar-gambar. Melalui berbagai gambar itulah mata kita dibiasakan untuk memilah mana yang pantas dilihat dan mana yang tidak boleh dilihat. Dengan demikian dalam praktik kehidupan sehari-hari cara melihat kita sesungguhnya juga ditentukan oleh pihak-pihak lain. Cara melihat tidaklah sebebas yang dibayangkan seseorang, ia berada dalam tatanan tertentu. Sehingga segala sesuatu yang kita lihat menjadi (seolah-olah) “alamiah”. Hal semacam ini pula yang memungkinkan apa yang dilihat seseorang dari kelas/kelompok sosial tertentu memiliki arti yang berbeda dengan kelompok/kelas sosial lainnya. Praktik melihat seseorang ditentukan oleh habitusnya.
Meski demikian, saya juga mempertimbangkan pendapat yang mengatakan bahwa semua representasi yang dikirimkan tidak pernah bisa sepenuhnya sampai ke tujuannya. Anggapan di balik pendapat ini adalah menempatkan manusia bukannya hanya sebagai pelakon yang pasif dalam meresepsi bebrbagai produk citra visual, tetapi juga mengakui kemampuan aktif dalam menafsirkan berbagai citra visual yang dilihatnya. Dengan demikian, ringkas kata, maka pengertian pembacaan yang saya gunakan dalam tulisan ini berada dalam permainan antara cara melihat saya yang juga ditentukan oleh tatanan sosial tertentu dan kemampuan untuk menafsirkan ulang citra visual yang dijejalkan ke dalam mata. Berada dalam dominasi dan melakukan siasat.

BORNEO: AIR MATA API DALAM PERMAINAN TAFSIR
Dari foto-foto yang dipajang di ruang pamer, seluruhnya menampilkan orang dan aktivitasnya dalam lingkungan keseharian. Dalam genre fotografi inilah yang sering dikelompokkan sebagai foto humanis. Kita bisa menyaksikan gambar-gambar keluarga Benuaq dengan latar belakang kebun rotan yang terbakar, berjalan di atas jalan (raya) yang dibangun pengusaha HPH, atau di sawah yang gagal panen. Anak-anak yang menggunakan seragam sekolah dasar melintas di tengah hutan yang terbakar atau anak yang berada di ladang yang terbakar. Bila kita lihat secara teliti, maka dalam kesehariannya, manusia-manusia Daya Benuaq juga menggunakan pakaian seperti yang kita pakai. Hanya ada dua foto yang menampilkan manusia Benuaq dengan pakaian, yang dianggap sebagai ciri “jati diri”. Pakaian adat itu ternyata hanya dipakai untuk kesempatan-kesempatan khusus, seperti ketika rombongan ekspedisi Kapuas-Mahakam 94 melintas atau di Kongres Masyarakat Adat Nusantara.
Rentetan potret ini, dengan demikian, secara tajam menunjukkan bahwa kehidupan (suku) bangsa Benuaq sesungguhnya juga merupakan gambaran kehidupan massa rakyat kebanyakan di dalam Indonesia modern. Ciri modern setidaknya bisa ditangkap melalui anak yang juga dibesarkan dalam sekolah. Sekolah adalah lembaga sosial yang ada dalam gejala masyarakat modern. Ia datang ke Indonesia pada zaman kolonialisme Belanda. Artinya ia baru hadir di Indonesia sekitar seratus tahun lebih sedikit.
Sementara itu dalam masyarakat yang tinggal di perkotaan, (suku) bangsa Daya seringkali masih dibayangkan sebagai masyarakat “primitif”. Catatan harian seorang mahasiswa Antropologi yang melakukan riset di pedalaman Kalimantan Timur bisa dijadikan ilustrasi:

Kami merasa sia-sia membaca banyak buku tentang suku-suku terasing karena yang kami hadapi bukan lagi suku terasing dengan segudang keprimitifannya (Tim Ekspedisi Antropologi 1996: 3).

Sejak usai perang dunia kedua, kebudayaan tribal yang menjadi perhatian kaum antropolog dengan cepat menghilang dari muka bumi ini. Tidak ada lagi budaya “asli” seperti yang dibayangkan oleh seorang mahasiswa antropologi seperti di atas. Perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi yang pesat, perubahan tata ekonomi dan sistem pasar dunia telah membawa perubahan-perubahan hubungan antar (suku) bangsa. Mobilitas lintas wilayah menjadi jauh lebih dimungkinkan dibandingkan sebelumnya.
Jalan-jalan yang dibangun oleh pengusaha HPH atau pertambangan menjadi semacam ujung mata pisau yang menusuk dan menyayat-nyayat pedalaman hutan Kalimantan Timur untuk memberi akses penetrasi bagi kapitalisme. Jalan-jalan tersebut kemudian menjadikan wilayah yang dihuni (suku) bangsa Benuaq di jantung pedalaman Kalimantan menjadi satu titik yang terhubungkan dengan titik-titik lain di berbagai belahan dunia. Ia menjadi terhubungkan dengan Samarinda, Jakarta dan juga kota-kota London, New York atau Amsterdam di belahan benua yang lain.
Para penganut paham ekonomi ketergantungan global seperti Andre Gunder Frank beranggapan bahwa melalui jaringan transportasilah surplus satu daerah dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain berdasarkan sistem ekonomi pasar bebas. Frank mengatakan bahwa daerah metropolitan cenderung memeras serta membuat tergantung ekonomi kota-kota satelit. Pada gilirannya, kota-kota satelit akan merampas surplus di daerah pedesaan atau pedalaman. Bukanlah satu hal yang mengejutkan bila ada pendapat yang mengatakan dari setiap satu dollar modal yang ditanam oleh para pengusaha HPH, akan kembali lebih dari satu dolar dalam bentuk bunga, keuntungan dan semacamnya.
Sementara itu Wallerstein membedakan antar daerah ekonomi pusat dan daerah ekonomi pinggiran. Surplus cenderung mengalir dari pinggiran ke pusat karena di pusatlah terdapat tenaga kerja dengan upah bersaing dan mampu menjual produk secara lebih canggih. Sementara daerah pinggiran hanya memiliki tenaga dan produk dengan kualitas yang rendah. Dengan demikian penetrasi kapital (di Indonesia diterjemahkan sebagai pembangunan) bukanlah dengan sendirinya untuk menghapuskan kemiskinan. Bisa jadi ia hanyalah satu rasionalisasi dari satu pemapanan hirarki pekerja kerah putih dan pekerja kasar, golongan kaya dan miskin, golongan modern dan tradisional.
Berbagai literatur yang ada mengenai pola produksi masyarakat tradisional menunjukkan cara pengelolaan sumber daya dengan penekanan pada hubungan pola pertukaran resiprosikal. Praktik ekonomi tradisional ini anatar lain juga berkaitan dengan sistem keyakinan setempat. Masyarakat Benuaq meyakini bahwa alam semesta ini dikuasai oleh beragam dewa dan dewi serta nenek moyang. Oleh karena itu pengelolaan protes tukar (distribusi) dan jaminan untuk hidup (konsumsi) dari (produksi) sumber daya alamnya berdasarkan keseimbangan tatanan. Dalam arti tertentu, karena penguasaannya terbagi maka barang harus terbagi secara seimbang.
Tatanan ini, tentu saja bertolak belakang dengan tatanan kapitalisme yang menempatkan pertukaran sebagai sarana untuk mendatangkan keuntungan. Artinya ada upaya untuk menumpuk kekayaan di satu tangan. Sementara itu dikalangan masyarakat tradisional, penumpukan kekayaan di satu tangan akan menjadi tanda kehebatan seorang dewa yang tidak pada tempat semestinya yaitu setan. Tidaklah mengherankan bila seorang Kepala Adat Daya Benuaq memiliki kewajiban untuk menenangkan arwah para leluhurnya, karena wilayah yang dihuni oleh arwah para nenek moyang dibabat oleh buldoser. Tentunya Kepala Adat ini tidak ingin menjadi pengikut dewa yang salah tempat alias setan!
Selain benturan pada tata ekonomi, penetrasi kapital ini sekurang-kurangnya akan membawa implikasi pada penguasaan tanah. Pertama-tama, adalah agenda pemerintah yang membagi hutan menjadi wilayah konsensi kayu. Bagi pemerintah kayu hutan hujan merupakan salah satu komoditi penting bagi pemasukan negara. Kedua, pembukaan lokasi-lokasi transmigran dari luar pulau Kalimantan dan yang terakhir adalah program untuk transmigran lokal. Dua yang pertama mengandaikan bahwa daerah-daerah hutan itu tidak berpenduduk. Sedangkan yang ketiga biasanya berkaitan dengan program pemerintah mengenai Pengelolaan Masyarakat Terasing. Mereka di pindah dari dalam hutan karena daerah itu menjadi prioritas nasional. Selain itu, praktek perladangan berpindah dianggap “mengacaukian” pengelolaan hutan, dan karenanya harus dikontrol demi “ketertiban dan pembangunan”. Bukan satu hal yang mengherankan bila kemudian terjadi perbenturan-perbenturan mengenai konsep-konsep batas dan penguasaan tanah.
Di kalangan masyarakat tradisional, tanah memiliki makna yang sangat berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam tata ekonomi modern. Dalam masyarakat tradisional tanah adalah milik komunal. Namun demikian, kelompok memilki arti yang luas. Pemahaman mengenai kelompok tidaklah diartikan hanya yang sekarang ini hidup di muka bumi, melainkan juga dengan yang sudah menjadi arwah maupun yang belum lahir. Artinya tanah memiliki fungsi sebagai jaminan kelangsungan hidup komunal. Secara abadi, ia akan terus berada dalam hak milik komunal yang tidak bisa dipindah-tangankan. Tanah hanya dipinjam untuk sementara oleh mereka yang hidup di muka bumi untuk diolah. Dengan demikian bisa dipastikan bahwa penetrasi kapital telah membuat benturan setidaknya di dua hal yaitu tata ekonomi dan penguasaan tanah. Karena tanah diturunkan derajatnya hanya sebagai barang ekonomis belaka yang bisa dikuasai seseorang. Rama Surya mencatat pertemuannya dengan seorang aktivis organisasi non-pemerintah yang lebetulan warga (suku) bangsa Benuaq:
TRAGEDI SUKU BENUAQ

Dari pertemuan saya dengan seorang pemuda Dayak Benuaq yang bekerja pada satu lembaga swadaya masyarakat, saya mendapatkan informasi tentang keadaan desa pemuda yang daerahnya terjepit di antara beberapa kepentingan kapitalis Orde baru yaitu perusahaab batubara PT Trubaindo dan perkebunan kelapa sawit PT London Sumatra (Lonsum). Perusahaan-perusahaan itu menggunakan cara-cara keji untuk membeli/merampas tanah adat masyarakat Dayak Benuaq melalui intimidasi oleh aparat negara dan militer pada waktu itu. Perusahaan-perusahaan itu juga tak segan mengupah/membayar beberapa orang Dayak Benuaq yang miskin dan bodoh untuk membakar tanah adat masyarakatnya sendiri. Setelah lembo-lembo (hutan kebun) itu terbakar dan pemiliknya menjadi miskin, dalam kesulitan berat dengan terpaksa mereka menjual tanah-tanahnya dengan harga sangat murah yang ditentukan secara sepihak oleh perusahaan-perusahaan tersebut.

Perbenturan semacam ini biasanya tidak hanya berada di dalam tatanan ekonomi saja tetapi dengan mudah luber ke wilayah politik. Ketika hadir di dalam Konggres Masyarakat Adat Nusantara, seorang wakil dari masyarakat Daya dihadang oleh barisan pasukan huru-hara yang berdiri dengan rapat. Tentunya menjadi sebuah pertanyaan mengapa untuk menyuarakan adatnya sendiri dianggap berpotensi melahirkan huru-hara?
Dalam tiga puluh tahun terakhir, tidak bisa disangkal bahwa penguasa militer memainkan peran penting dalam proses pembangunan ekonomi. Anggapan dasarnya adalah pembangunan ekonomi akan berjalan lancar kalau stabilitas sosial politik stabil. Bukanlah satu kebetulan bila daerah di kawasan Timur Indonesia, dimana Kalimantan termasuk di dalamnya, oleh para aparat keamanan dianggap sebagai daerah “rawan”. Berbeda dengan daerah Indonesia bagian Barat dimana kekerasan dianggap sebagai tindakan kriminal, maka di kawasan Timur Indonesia (dan tengah) kekerasan dianggap memilki dimensi politik.
Dalam kaitannya dengan soal keamanan dan ketertiban, pihak aparat memandang penduduk pribumi sebagai kelompok yang belum berdosa atau “belum tahu” pembangunan. Oleh karena itu ada anggapan ia mudah terbujuk ikut atau diperalat oleh aktivis gerakan-gerakan separatis. Penguasa militer kemudian mendudukkan dirinya sebagai pelindung dan “yang lebih tahu”. Bukanlah satu hal yang mengada-ada bila kemudian dibangun lembaga Badan Pengawasan Operasi Teritorial yang selain diberi hak untuk menerapkan kekerasan fisik sekaligus pengawasan serta bimbingan untuk mensukseskan pembangunan dan menstabilkan integrasi sosial. Masuk akal bila kemudian para penjaga keamanan ini kemudian terlibat dalam urusan ekonomi secara langsung.
Dengan kondisi semacam ini, para pengusaha pun tidak memiliki pilihan lain kecuali mendukung dan “bekerja sama” dengan penguasa militer. Para pengusaha tentunya tidak akan berani mengambil resiko bila tidak ada jaminan keamanan atau sebaliknya bila tidak memilki relasi dengan penguasa militer ia tidak akan mendapatkan proyek atau kontrak-kontrak pelaksanaan pembangunan.
Bergabungnya dua kekuatan besar: pengusaha dan penguasa (militer) yang melakukan penetrasi langsung ke wilayah-wilayah pedalaman pada gilirannya akan membuat pilahan tajam antara pribumi dan pendatang. Dengan membawa tolak ukur perekonomian modern antara lain tenaga trampil di bidang manufaktur, konstruksi, telekomunikasi, transportasi, perdagangan modern atau juga jenis jasa lain dengan kemampuan kualitas yang memadai maka warga pribumi hanyalah menempati posisi untuk bekerja sebagai buruh murah pun tidak akan mampu.
Gejala itu semakin mencolok ketika kebakaran dahsyat melanda hutan yang menjadi habitat dari (suku) bangsa Daya Benuaq. Berbagai gambar yang dipajang oleh Rama Surya menyampaikan informasi mengenai perjuangan warga Benuaq menghadapi kobaran api yang menghanguskan hutan dan hutan kebun yang menjadi sumber kehidupannya. Sebagai penonton foto tersebut, kita bisa menjadi saksi dari bagaimana warga Benuaq berupaya memadamkan api meski hanya dengan tongkat atau parang. Mudah diterima akal bila seorang kepala adat desa Lotaq harus mengorbankan nyawanya dalam menghadapi api yang menjalar dan menghanguskan ladangnya. Bagaimana mungkin bencana kebakaran itu dilawan teknologi yang dimiliki warga Benuaq.
Kebakaran hutan itu sendiri menandai sedang terjadinya Global Natural Disaster (bencana alam global). Menurut para pakar lingkungan, hutan hujan tropis di Kalimantan merupakan salah satu tiang penyangga yang mampu menjaga keseimbangan hidrologis serta menyimpan karbon yang bisa mencegah efek pemanasan global. Bila dihitung bencana ini membawa kerugian finansial sampai sekitar US$ 3 Milliar. Dalam bencana ini tak ada satupun pengusaha yang bicara dengan lantang. Bahkan menurut Menteri Lingkungan Hidup saat itu ada indikasi para konglomerat terlibat dalam pembakaran.
Paska terjadinya kebakaran, bisa disaksikan bahwa semua ludas dimakan api, tak ada lagi pohon-pohon yang tersisa, apalagi beragam makhluk hidup yang biasa ada di dalamnya. Manusia-manusia yang menghuni disekitarnya pun, sebagian besar beranjak meninggalkan tempat itu. Bagi warga Benuaq yang kehidupannya terjalin dengan hutan maka hangusnya hutan yang tidak menyisakan pohon dan beragam makhluk hidup lain menunjukkan arah pupusnya masa depan. Sebaliknya, bagi pengusaha hangusnya hutan menunjukkan arah bisa dikuasainya tanah-tanah yang tidak lagi menjanjikan kehidupan bagi warga Benuaq yang selama ini menjadi pemiliknya. Bukankah selama ini cara yang digunakan untuk menguasai tanah adalah dengan cara menyuruh membakar hutan? Lebih dari itu, kesemuanya ini memberikan penjelasan yang lebih gamblang bahwa gerak kemajuan (suku) bangsa Benuaq ditentukan oleh ekspansi kapital, politik, dan kultur dari pihak luar. Situasi yang dimunculkan dengan sangat baik pada foto yang bertajuk “Inilah jerukku yang terakhir.

KATA-KATA AKHIR
Tidak bisa disangkal bahwa dalam dunia modern, citra visual baik melalui medium fotografi atau film memainkan peran yang sangat penting dalam mengkonstruksikan kebudayaan. Foto bukanlah satu kebetulan belaka tetapi sebuah konsep yang mau menciptakan (lewat batas lingkar kamera) dunia (tafsir mengenai) kehidupan dalam sebuah citra tertentu (Sontag, 1987: 117). Sebagai contoh kecil adalah ketika saya menerima undangan pembukaan pameran fotografi BORNEO AIRMATA API ini. Saat pertama kali memelototi gambar yang tercetak di undangan saya sama sekali tidak bisa mengenali bahwa peristiwa itu terjadi di pedalaman Kalimantan Timur. Seluruh perhatian saya tersedot pada gambar salib. Pikiran saya langsung terkait dengan simbol (agama) Kristen. Ternyata hal itu tidak saya alami secara sendirian. Ketika menghadiri acara pembukaan, saya sempat mendengar omongan dari beberapa orang yang mengalami situasi mirip dengan saya. Hal yang ingin saya katakan ternyata sulit sekali memahami bahwa salib kayu itu sesungguhnya hanya tidang untuk menyalurkan kabel listrik. Artinya, ada pusat-pusat kekuasaan yang membuat diri saya ketika melihat salib sama dengan simbol Kristen. Tiddak bisa lain.
Melalui pengalaman semacam ini, bagi saya ada perbedaan yang sangat mendasar antara mata biologi dan mata kamera. Mata biologi kita ternayat sangat selektif dalam memilih subjek untuk dilihat. Ia berada dalam jalinan konstruk kebudayaan pemilik mata. Sementara itu mata kamera berada dalam sisi sebaliknya, ia sangat rakus karena merekam apa saja yang berada dalam batas lingkar kamera. Dengan memelototi sebuah foto kita bisa mengankap berbagai hal yang ada dalam kehidupansehari-hari tetapi tidak bisa dilihat. Pendek kata, berbagai detail dalam foto sesungguhnya menyediakan rangsangan untuk memikirkan ulang mengapa cara kita melihat dibatasi? Hal ini, sama juga artinya dengan foto menyediakan rangsangan untuk melakukan dekonstruksi atau melihat konstruksi kebudayaan lain yang selama ini tersembunyi.

(Tulis ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No. 4/III/2000)

JERit JERAT JERiT

Di tulis oleh Budi Susanto S.J.

Aksi (penerbitan) seperti dilakukan Jerat BUDAYA nampaknya menjadi bukti bahwa betapapun keramatnya (per)ingatan tentang “kraton,” “Malioboro,” dan “UGM” ketiga istilah itu menjadi floating signifiers – sebagaimana dikatakan Barthes (meninggal dunia tahun 1980) – tetap saja tiga hal itu mudah di”babat/d” oleh sebagian warga kota Jogja. Apalagi kalau (per)ingatan itu adalah yang sengaja atau tidak sengaja diabadikan oleh kamera. Dan, betul juga -seperti diperbincangkan “mbak Strassler – bahwa dalam arti tertentu foto dan bahasa tidaklah jauh berbeda. Khususnya kalau hal itu seperti bahasa yang dipergunakan dalam sebuah puisi. Penampakan (representasi) seperti itu menjadikan seni tidaklah semata-mata sebagai suatu romantisme yang menjadi monopoli keunggulan orang sekolahan, para penafsir khususnya. Maka, juga dalam fotografi, yang penting pada sebuah foto atau image lainnya bukanlah perbincangan tentang asli-usul atau otensitasnya; tetapi tujuannya!
Karena, perlu diwaspadai dengan jeli bahwa adalah gaya hidup tipikal kalangan borjuis yaitu bahwa “mereka suka percaya pada “kenyataan” (baca: pertanyataan) yang pernah mereka lihat. Itu sebabnya juga mereka lalu cepat dan mudah melihat apa yang biasanya (sudah) ada dalam kepercayaan mereka. Tidak mengherankan kalau bagi seorang pengamat yang jeli (dengan lima inderanya) akan mudah menemukan penampakan-penampakan gaya “malioboro” dan “keraton” sedang besabung-rasa dengan independensi atau altruisme yang selayaknya ada di sebuah universitas Gama itu. Tentu sebaliknya juga beberapa penampakan yang terjadi di kawasan Malioboro atau di pemukiman para kerabat ratu di Keraton-jogja.
Perbincangan yang ditawarkan oleh Jerat BUDAYA mengungkap bahwa di mata (atau:telinga? Benak?) orang Jogja, foto-foto yang dipamerkan tidak harus selalu membeku dan membakukan. Penampakan dari kenyataan (atau pernyataan) adalah sesuatu yang masih harus bergerak, berubah, berkembang, menyerah, atau apapun juga istilahnya. Menikmati penampakan sebuah karya seni-budaya, termasuk (etno)fotografi bukanlah seperti voyeurism, seperti seorang yang suka ngintip hal-hal yang “mengasyikkan” (lihat, Jean-michel Rabate, Writing the Image After Roland Barthes. Philadelphia: University Of Pennsylvania Press, 1997, h. 182)
Tak ada pilihan lain, kalau ingin “ingat untuk melupakan” Jogja-seperti pernyataan Jerat BUDAYA-perlulah untuk secara konsekwen SERING-SERING mengadakan pameran fotografi, penerbitan buku fotografi, kuliah dan lomba fotografi, dll. Di atas panggung seni (fotografis) itulah nafsu (in)trik politik, sifat-sifat mata duitan, hedonistik dari tubuh manusia, integritas moral, perselingkuhan, dll. dapat diperbincangkan dengan lancar…dan secara cakap juga.

(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No. 4/III/2000

MEANING AND THE IMAGE: an exploration of some theoretical approaches

Ditulis oleh: Karen Strassler

“...the image is felt to be weak with respect of meaning: there are those who think that the image is an extremely rudimentary system in comparison with language and those who think that signification cannot exhaust the image’s ineffable richness. Now even—and above all if—the image is in a certain manner the limit of meaning, it permits the consideration of a veritable ontology of the process of signification. How does meaning get into the image? Where does it end? And if it ends, what is there beyond?” (Barthes 1977: 32)

What are the modes of analysis that have been developed for studying how images signify, and what do these imply about how images are read in everyday life? How is visual representation distinct from verbal texts? What is particular about photographic images?


Barthes’ quotation evokes the elusiveness of a theory of images, and the contradictory and ambivalent evaluations of visual forms as modes of signification. In this essay I will look at attempts to understand how images become meaningful to people. As Barthes suggests, this requires both a study of processes of signfication and a broader cultural and historical examination of context. I will begin by looking at debates about the nature of images in relation to texts, as a way to specify visual modes of representation, and to identify some of the ideologies of representation that a discussion of visual imagery necessarily confronts. I will argue that while there is no absolute or essential divide between visual and linguistic forms, neither should differences in modes of signification and reception be overlooked. Second, I will briefly discuss debates about the nature of photographic signs—do they have intrinsic qualities or is their alleged “essence” historically produced? I will argue that a full account of photographic images has to take into account both their historical and cultural determinations and their intrinsic qualities as particular kinds of signs and material objects. Third, I will look at strategies for analyzing the meaning of the image developed within semiotic, discursive, and social-historical analysis. Finally I will question the dominant model of image reception as a form of “reading” modeled on the reading of texts. I will suggest some possibilities for a fuller account of image-reception.

THE WORD AND THE IMAGE
To ask what images are, and what their relationship to words is, is to ask questions that are not merely theoretical but contested ideological and inevitably historical ones. The problem of defining the term “image” becomes an extraordinarily complex one that brings us to the very heart of “Western” epistemologies (Mitchell 1986: see especially Part One). In his etymological genealogy of the term “image,” Mitchell notes the close linkage between the concepts of “image” and “idea”, and the polysemy of this word which can mean mental representations, material visual images, and figurative language. According to Mitchell, the very idea of the image as it has been elaborated in Western philosophy is tied to representational theories of mind and metaphysical divisions of mind-matter and subject-object (1986: 16). As he argues, “consciousness itself [has been] understood as an activity of pictorial production, reproduction, and representation” (1986: 16). Although the importance of the idea and the mental image has its roots in Platonic and Aristotelian philosophy, the Cartesian model of mental representations has set the terms of the debate for “modern” theories of vision and images (Jay 1993). Not only does the Cartesian mental representation model reduce consciousness and perception to a visual model, but it posits both a one-to-one correspondence and a radical ontological separation between internal mental representations and the external objects they represent.
If the polyvalent term “image” already suggests the difficulty of disentangling linguistic and visual operations, Mitchell points out that attempts to distinguish text and image have to be understood in ideological terms:
“The dialectic of word and image seems to be a constant in the fabric of signs that culture weaves around itself. What varies is the precise nature of the weave, the relation of warp and woof. The history of culture is in part the story of a protracted struggle for dominance between pictorial and linguistic signs, each claiming for itself certain proprietary rights on a ‘nature’ to which only it has access" (Mitchell 1986: 42-3).

He suggests that the attempt to distinguish between words and images has tended to reflect metaphysical distinctions between words and things and, more broadly, between culture and nature (1986: 43). As with any metaphysic, the valuation of the opposed terms may be reversed: at certain historical junctures and in certain institutional settings it is signs allied with “nature” that are privileged, while in others it is the “cultural” that are held in higher esteem. Hence the valuation of photographs as “natural” documentary evidence in certain legal traditions, while in other contexts the human word is accorded greater authority. Stressing the ideological nature of these distinctions, Mitchell argues against positing any essential diffence between verbal and visual representation (49). While I agree that differences in modes of signification are always subject to cultural valuations, I disagree with Mitchell’s radical conventionalism, which seems to eliminate the possiblity of any meaningful exploration of either the human mind or the intrinsic material qualities of symbolic forms.
The question of defining visual as opposed to textual modes of signification has been of central importance within the philosophy of art. In her Philosophy in a New Key, Susanne Langer made an influential effort to distinguish modes of “reading” images and texts (1966). Langer’s dichotomy of “discursive” versus “presentational” forms was an attempt to argue that images and other non-linguistic forms of expression were amenable to semantic analysis. Where they had previously been shunted off to a nebulous realm of feeling and psychological intuition, Langer insisted that images, rituals, music, and other presentational forms could be subjected to “rational” analysis—but on different principles than discursive texts. Language, she argued, was discursive, meaning that it unfolded in a linear progression (over time), while presentational forms were apprehended wholisitically and immediately. Language operated according to the mental processes of logic, while presentational forms were closer to the sensory organs which abstract from the chaos of sensory stimuli to produce symbols. Yet like so many attempts to define the difference between texts and images, Langer’s theory founders on her binary logic and essentialism. Her attempt to find a vocabulary for analyzing presentational forms was crippled by an overly narrow definition of language (dominant at the time of her writing) which viewed language as primarly a logical system of propositions and a conscious, explicit instrument of communication. Thus her definition of “discursive” tended to be excessively narrow and reductive and led her into various corners, such as her argument that poetry is a presentational rather than a discursive form (Langer 1966: 261-2). Langer falls on the side of celebrating, in Barthes’ words, the image’s emotional “richness,” yet her project was designed to render the apparently “ineffable” nature of images articulable.
Langer also suggested that, being closer to the symbolic work of the senses, presentational forms were more “natural” than discursive ones. The Platonic distinction, debated in the Cratylus, between “natural” and “conventional” signs has long informed the effort to distinguish images from texts. In his early, most influential work, Art and Illusion, Gombrich argued against a radical distinction between visual and linguistic forms, and in particular against the idea that images were inherently less conventional than words (Gombrich 1956). He also attacked the art historical assumption that visual perception was precultural and universal, arguing: “the innocent eye is blind” (cited in Mitchell 1986: 38). However, in reaction against semiotics, Gombrich subsequently moved away from this early position, to argue in a neo-Platonistic vein that there were both “natural” signs and “conventional” signs. In Gombrich’s reinscription of the ancient dichotomy, words are thoroughly conventional but visual images tend to be “naturally” recognizable because they iconically imitate the world of visual perception (see Mitchell 1986: 77; 81).
Philosopher Nelson Goodman argued, by contrast, that the distinctions among kinds of symbols were not intrinsic to (or given in) specific media but rather were thoroughly conventional and thus, historically and practically constituted (Goodman 1976; see Mitchell 1986: 69). Thus photographs had no special status as “uncoded mesages” that record the real, because the definition of the “real” on which photography’s claims to authority stood was itself a culturally specific and historically produced matter (Goodman 1976). Goodman argued, for example, that a caricature might be deemed in certain contexts and regimes of value a more “realistic” portrayal than a photograph. Indeed, we will see in the debates specific to photography between Barthes and Tagg, for example, a replay of this question of whether or not photographs are “natural” or “conventional” signs.
Semiotics has provided a powerful framework to undermine the radical distinction between text and image. Semioticians argue that since all visual perception is culturally trained there can be no radical distinction between the “naked” world we observe and the pictorial or mental representations we have of it. Moreover, all visual perception is linguistically mediated so there can be no pure visual perception and no “language” of images (Eco 1982; Burgin 1982; Wartofsky 1980). In arguing that vision is not a precultural perceptual activity but a socially and culturally constituted practice, Barthes’ early semiology elaborated a methodology for reading images based on strategies of reading of texts, borrowing terms from classical rhetoric in order to argue that the image is a symbolic system that can be decoded like language. However, as I examine in more depth below, Barthes has also been accused of reinscribing a distinction between the “real” world and the world of symbolic meanings. Nevertheless, the conventional position of semiotics is well summed up in Victor Burgin’s statement that “the putatively autonomous ‘language of photography’ is never free from the determinations of language itself” (Burgin 1982: 143-4; see also Barthes 1977: 28). In any encounter with an image, argues Burgin, “visual and non-visual codes interpenetrate each other in extensive and complex ways” (Burgin 1982: 83).
It is often difficult to distinguish within semiotic studies, however, whether the relationship between text and image is an analogical one (we “read” images like we “read” texts—both are conventionalized, decoding activities) or a kind of linguistic imperialism (language shapes our perception of the world, thus we can only perceive visually through the filter of the categories our language provides). Barthes himeself argued that semiology was a branch of linguistics (for him defined in Saussurean terms), and that “it appears increasingly more difficult to conceive a system of images and objects whose signified can exist independently of language” (Barthes 1977: 56). Mitchell notes that as a result of this tendency to linguistic imperialism, semiotics has been regarded with suspicion by art historians eager to preserve the essential nature of visual representation: “Insofar as semiotics...treats every graphic images as a text, a coded, intentional, and conventional sign, it threatens to blur the uniqueness of graphic images, and to make them part of the seamless web of interpretable objects” (Mitchell 1986: 156).
Part of the problem, however, has been mainstream semiotic’s adherence to a Saussurean account of linguistic signs as a model for all sign activity. Peirce’s semiotic offers an alternative to Saussurean semiotics, allowing for different types of sign activity. As Daniel notes, as opposed to the hermetic system model of Saussurean semiotics which identifies sign and concept and leaves both the material world and the reader out of the semiotic picture, the Peircian framework includes both the empirical object (material or not) and the empirical subject in the analysis of semeiosis (Daniel 1984: 15; also Colapietro 1989: xix). More profoundly than Saussure-inspired semiotics, Peirce ruptured the mind-matter, thought-world dichotomies on which representational theories of signification rely. His definition of a sign—“something which stands to somebody for something in some respect or capacity”—was broadly inclusive, refusing to extract signs from the world: “every picture, diagram, natural cry, pointing finger, wink, knot in one’s handkerchief, memory, fancy, concept, indication, token, symptom, letter, numeral, word, sentence, chapter, book, library” (Peirce, cited in Colapietro 1989: 3).
Peirce’s triadic definiton of the sign offers a much needed way out of the quandaries I have been outlining. In defining three basic modes of signfication—indexicality, iconicity, and symbolism—and in arguing that there were no “pure” signs, Peirce emphasized the specificity and multiplicity of relations between signs (representamen) and objects, including contiguous and mimetic relationships. Like other branches of semiotics and like Goodman’s conventionalist symbolism, the Peircian system does not posit any essential difference between text and image. However, in identifying different types of sign relationships it does attend to the particular qualities of objects, signs, and interpretants and thus does not simply assimilate images to texts. Signs are always embodied, a fact that bears on relations of signification (Colapietro 1989: 70, 85). As Daniel notes, “an image..is an iconic Second. Its iconicity is more dominant than in the case of the metaphor. Its separation from its object—ergo its contiguity with it (in reality or in the mind) remains apparent, an dhence its indexical function is conspicuous” (Daniel 1984: 51-2). Mitchell rejects Peirce’s model, arguing that it reinscribes a notion of “natural” signs (Mitchell 1986: 56-63); however, Mitchell’s stance misconstrues Peirce, by missing both Peirce’s refusal of “purity” of signification (there are no pure iconic signs) and because he misses the thoroughgoing nature of Peircian semeiotic in which the distinction between “nature” and “convention” iteslf breaks down.
Just as Mitchell argues against opposing text and image on the basis of inherent qualities of signs, he also argues against grounding accounts of visual experience in a theory of human minds (Mitchell 1986: 49). Yet such cautions against essentialism should not turn us away from all investigations of cognitive processes as potentially relevant for an understanding of proceses of signification. In cognitive psychology there has been a longstanding debate parallel to that over text and image in art history and semotiics: whether there are internal, “depictive” mental representations or merely a general form of “propositional” cognitive processing that is the same for language and for imagery (see Kosslyn 1994). Recent studies indicate that people do mentally rotate envisioned objects and scan imagined distances in a kind of “functional [mental] space” and that this mental visual imagery is an integral part of the process of visual perception itself (Kosslyn 1994: see for example 21). Cognitive theories of the modularity of the mind also lend support to the idea that the processing of visual information occurs in different parts of the brain and through different procedures than verbal infomation (Schacter 1996). (Though neither of these approahces suggests that there are “pure” visual processes divorced from linguistic operations). I am in no position to evaluate these claims, however, it seems to me that such studies of the structure of a “universal” human mind should not be treated as antithetical to a productive inquiry into the nature of signification. It should be possible to find a way of analyzing how visual imagery is “processed” differently from verbal information without overly dichotomizing the visual and the verbal and without obviating a critique of the historically contingent ideologies and meanings that have been attached to such differences.

SPECIFYING THE PHOTOGRAPHIC SIGN
Many of the debates about natural and conventional signs have been replayed in attempts to specify photographic modes of representation. Early writings on photography emphasized its qualities as a “natural” sign—“the pencil of nature” in Talbot’s famous phrase—and its radical difference not only from words but from more overtly conventionalized, artificed forms of images exemplified by paintings (Trachtenberg 1980). Wood’s distinction between photography and painting is just one of many oppositions of this kind:
“The painted moment is assembled, not witnessed...The elements of a painting are simultaneous within the continuous present of a spatial art; their co-existence, their relationships are willed, meaningful, purposed. The elements of a photograph are simultaneous out of a frozen time; their coexistence is discovered (possibly...only after the photograph has been taken), snatched, isolated.” (Wood 1984: 151)

It is in part out of this taxonomic confusion over the status of photographs as “natural” images that such a huge amount of photography criticism has been devoted to photography’s ambiguous qualifications as a “fine art” (see Berger 1972, Burgin 1982). Of course, it was Benjamin’s insight that the advent of photography forever transformed the nature of art itself, by turning the orignal work of art into the original of a reproduction (1968).
Barthes also grappled with these questions in his attempts to outline a structural semiotic analysis of the photographic image. In his famous declaration that the photograph was a “message without a code” Barthes seemed to fall into the naturalist position (Barthes, 1977: 36). However, Barthes is usually read far more categorically and reductively than a careful examination of his analysis allows. Barthes argued that there were denotative and connotative levels of signfication in each image—but that in normal reception the two levels were taken in as one. The denotative level is the image’s transparent transcription of real objects placed before the camera, the literal uncoded message of the image (although he does not deny that those objects are themselves culturally and lingusitically constituted, see1977: 28-9). The connotative level is the level of cultural codings which are “connected, actualized, ‘spoken’” through the configuration of signs presented in the denotated scene (1977: 51). The coded level, or connotative level, imbues this configuration of elements with cultural meanings depending “on [the] different kinds of knowledge” to which the reader/viewer has access (Barthes, 1977: 47). Looking at pose, objects, perspective, and other aspects of the structure of the image, such an analysis locates “signifiers” that can be more or less stably attached to a range of culturally-relevant “signifieds.”
Barthes, embracing what he calls a “realist” position, argues that the unique authority of the photograph—indeed its very “essence” (1981: 76)—lies in its power of authentication as a direct transcription of real objects and spaces. The photograph is in fact “literally an emanation of the referent” (1981: 80), a physical trace of the real, and hence no matter how artfully and intentionally composed, the image presents the “stupefying evidence of this is how it was” (1977: 44). Although it reduces three-dimensional space into a two-dimensional image, it does not enact a “transformation” of reality; rather, the photograph is reality’s “perfect analogon” (1977: 17). Barthes’ contention that the real is inscribed onto the image does not deny the culturally constructed nature of the image. Rather, it is this evidence of the real in the photographic image that lends authoritative power to its cultural “message.” Thus in an extraordinarily effective ideological formula, the “cultural” meanings of the image are “naturalized” through being mapped onto the denotative, or literal, representation of the real (1977: 17): “the discontinuous world of symbols plunges into the story of the denoted scene as though into a lustral bath of innocence” (Barthes, 1977: 51).
Tagg, however, argues against Barthes that the photograph represents “the production of a new and specific reality...which becomes meaningful in certain transactions and has real effects, but which cannot refer or be referred to a pre-photographic reality as to a truth” (Tagg 19988: 3). Photographs are merely “paltry paper signs” onto which not reality but “histories are scored” (Tagg 1988: 65). For Tagg and other theorists, there is no reality “out there” that can exist separately from the discourses and practices by which it is made meaningful (Tagg 1988: 23-4; Hall 1993: 95) hence the analytic distinction between “reality” and “image or representation” on which Barthes’ theory of photographic authority rests is itself a false distinction: as Burgin says, “all that constitutes reality for us is, then, impregnated with meanings. These meaning are contingent products of history” (Burgin 1982: 47). Moreover, they argue, the complex processes of selection (choosing when to take the picture and where, choices about framing, angle, lighting, and depth of focus) enact such a distortion in the transition from actual space to image that Barthes’ notion of an “analogon” cannot stand. Finally, there can be no fundamental distinction between that which is real and that which is a representation, since perception of both involves a decoding activity that employs the cultural codes provided by linguisitic classifying systems; the very act of perceiving (“image” or “reality”) filters all that is received through a cultural screen (Eco 1982: 34; Burgin 1982: 63; Tagg 1988: 187; a point that Barthes acknowledges, 1977: 28-9). For Tagg and other anti-realists, the photograph’s authority in myriad practices is not the result of anything intrinsic to the photograph: “what Barthes calls ‘evidential force’ is a complex historical outcome and is exercised by photographs only within certain institutional practices and within historical relations” (Tagg 1988: 4). Tagg argues that in fact photographs are only recognized as “realistic” within certain institutional and cultural constraints (1988: 160). The important thing, then, is to look for the conditions of the production of “truth,” for the institutions and practices by which photographs are accorded the qualities of authentic representations of “reality”.
Tagg argues, moreover, that the search for an essential nature for photography is fundamentally misguided. He insists that an investigation into photographic practices must in fact begin not with “photography” but precisely with the specific institutions which produce images. Any notion of a “medium” of photography is itself flawed in its implication that photography is “a neutral technology or means of representation to which any general and unconditional definition could be given...the so-called medium has no existence outside its historical specifications ...Photography as such has no identity” (1988: 18). Elsewhere he argues that photography’s “history has no unity. It is a flickering across a field of institutional spaces. It is this field we must study, not photography as such” (1988: 175).
The debate between Barthes and Tagg no longer seems as dramatic as it once did. Recent treatments of photography tend to follow Tagg’s general proscription against positing an ahistorical “essence” of photography yet are willing to entertain the specificy of photographic modes of signification (see Lury 1998; Price 1994; Hirsch 1997; Taussig 1993). However, if recent accounts echo Barthes in emphasizing the importance of the indexicality of photographic images, this inherent semiotic quality does not predetermine the “meaning” or interpretation it is given in particular historical and cultural contexts. Thus the indexicality of photographic images has been the basis for cultural evaluations of the image as a form of “objective” scientific documentation (Sekula 1982) and for the seemingly opposite evaluation of photography as a form of sympathetic magic (Taussig 1993).
Pinney’s ethnographic history of photograhic practices in India traces how different qualities of photographic images have been highlighted at different moments. While colonial image-making stressed the indexical nature of photographs as documentary evidence, contemporary practices downplay indexicality and treat photographs as ontologically the same as other iconic representations (Pinney 1998). Pinney himself argues against any kind of essentialist reading of photographic signification, noting that popular photography in India favors photography’s capacity to create rather than duplicate worlds (1998: 191-2). However, I would suggest that perhaps the reason photography is such a privileged medium for this kind of performative fantasy is precisely its indexicality, which gives even the most self-consicously bizarre and playful images a certain edge, an undeniably powerful “as if” quality.

CONTEXT AND MEANING
Barthes suggested there was a “structural autonomy” to the image that could be analyzed independently by the semiotician; analysis of the production and reception of images, meanwhile, was the task of sociology (1977). Yet this statement appears somewhat more drastic than it was. For the semiotician to understand the image required a significant amount of cultural knowledge, however: one had to trace the iconographic history of images, one had to know the cultural codes to which various symbols, poses, framing and lighting referred. The immediate context of the image—its placement in a text for example—was part of the image’s “code”, as was its itntertextuality with other images. Barthes assumed that the reading of an image was an active, interpretive process: the photograph “is not only perceived, received, it is read, connected more or less consciously by the public that consumes it to a traditional stock of signs” (1977: 19). Since “all images are polysemous...they imply, underlying their signifiers, a ‘floating chain’ of signifieds, the reader able to choose some and ignore others” (1977: 38-9). Yet in practice his structural analysis of the image held the reader constant and bracketed the use of the image. Clearly, Barthes’ own work on “reading,” for example in his essays “Death of the Author” and “From Work to Text” suggested attention to the reader as the site of meaning production rather than the image itself as the determiner of meanings (1977; also 1981). Yet in his early treatments of photography, the reader was posited as a chooser among codes whose subjectivity was prior to and separate from the image itself.
Burgin writes: “very crudely characterized, [structuralist semiotics] assumed a coded message and authors/readers who knew how to encode and decode such messages while remaining, so to speak, ‘outside’ the codes” (Burgin 1982: 145). He draws on Lacanian psychoanalytic theory to argue that the subject is coextensive with rather than prior to and separate from the image: “the subject... is not the fixed, innate, entity assumed in classic semiotics but is itself a function of textual operations, an unending process of becoming” (ibid.). This recognition that analyis of the interpretation of images—the making of meaning from them—cannot be divorced from the process of subject formation echoes shifts in lingusitic theory from Saussurean models to more pragmatic models that see speakers and language as mutually constituting. Borrowing also Althusserian notions of interpellation, Burgin argues that “it is precisely in its apparent ingenuousness that the ideological power of photography is rooted—our conviction that we are free to choose what we make of the photograph hides the complicity to which we are recruited in the very act of looking” (Burgin 1982: 148). He points to four diffferent “types of look” which structure the reading of the photographic image (Burgin 1982: 149-150). Each of these “looks” positions the reader and in so doing brings her into being as an ideolgoically interpellated subject..
While Burgin emphasizes subject formation, Tagg’s heavily Foucauldian analysis focuses on the “currency” of the image, delineating the discursive formations and institutional practices which (alone) give it meaning. Arguing against Barthes’ claims for strucutral autonomy of the image, Tagg argues that “we have to make a radical break with the idea of the work as an organic, complete and ordered whole. The very notion of a definable boundary between ‘internal’ and ‘external’ relations is called into question” (Tagg 1988: 176). Meaning is not “contained” in codes within the image, but rather is emergent, generated dialogically within a discursive context. For these theorists, the image is an “incomplete utterance” (Sekula 1982: 85) whose meaning is realized only in the process of its “performance” (Burgin 1982: 146) within a cultural, social, and historical context: “the photograph, as it stands alone, presents merely the possibility of meaning. Only by its embeddedness in a concrete discourse situation can the photograph yield a clear semantic outcome” (Sekula 1982: 91). The ‘photographic message’ is necessarily situationally determined (ibid., 85). Photographic meaning is therefore inherently unstable, but shifts in meaning are not open-ended, rather they are constrained by the specific contexts which shape the image’s intellibility (Sekula 1982: 91). Burgin notes:
“the intelligibility of a photograph is no simple thing: photographs are texts inscribed in terms of what we may call ‘photographic discourses,’ but this discourse, like any other, engages discourses beyond itself, the ‘photographic text,’ like any other, is the site of a complex ‘intertextuality,’ an overlapping series of previous texts ‘taken for granted’ at a particular cultural and historical conjuncture” (Burgin 1982: 144).

Tagg argues that “what we must explain is the formation and disintegration of socially structured ‘ways of seeing’ and the specific genres of image-making in which they are realized” (Tagg 1988: 117). But his historical analyses focus on the production ofimages rathe rhtan their reception and he tends to assume a kind a totalized and singular discursive context that structures meaning. The emphasis on institutinal determinations tended to treat subjects as passive recipients rather htan active readers of hte iamges.
Bourdieu’s examination of photography in France in the mid-sixties also considers photography as a practice associated with class position (Bourdieu 1990). This study is an early attempt at systematic study of practices of “distinction” and the tastes by which social groupz are subtley but surely demarcated from each other. Bourdieu notes that while despite the infinite possiblities of photographic representation, popular photography is highly conventionalized and limited to a narrow range of genres, subjects, and compositions. Bourdieu undertakes a systematic study of the kinds of images people take and the images they like, mapping these highly regular proclivities to class ethos and position. However, he tends to treat the photographs themselves as a cipher, an “exteriorization” of “interiorized” class position, and thus little more than a reflection of a reality that lies outside of the images. He does not consider these images and the social practices that surround them as constitutive of social life and “reality”, except for a rather banal (very Durkheimian and functionalist) observation that family photographs serve to integrate family life (Bourdieu 1990: 19-20; 26, 29-30). On the other hand, a major innovation is the move beyond the intentionality of the photographer to a broader consideration of the implicit meanings encoded and reproduced in phtoography and its rather unselfconsious (as opposed to more high culture arts) but highly regulated aesthetics:
"Adequately understanding a photograph...means not only recovering the meanings which it proclaims, that is, to a certain extent, the explicit intentions of the photographer; it also means deciphering hte surplus of meaning which it betrays by being a part of the symbolism of an age, a class, or an artistic group" (1990: 6-7)

Bourdieu’s methodology, however, which involved interviewing people about their photography and eliciting responses to specific images chosen by the research team, emphasizes the regulariteis of taste over the idiosyncracies of unique and private meanings some images may have for people. It thus highlights the normalizing functions of photography rather than the particularities of history and use (1990: 30-1). Bourdiue thus argues that, Benjamin’s hopes to the contrary, photography as it is practiced popularly seems determined “to strip photography of its power to disconcert” and to subordinate unqiue experience to the formulaic (1990: 76). Despite its structuralist rigidity and tendency to reify class (and overlook other forms of affiliation), Bourdieu’s study has to be credited as an early attempt to attend seriously to the meanings of popular photography as a social practice.
More recent examinations of phtoography as a cultural practice considerably complicate both Tagg’s notion of discursive context and Bourdieu’s insistence on the regularized nature of photographic practice. Some call attention to the movement of images in and out of contexts over time and to performative play with photographic genres. Lyman’s study of Curtis’s photographs of Native Americans, for example, highlights how images originally produced as part of a nostalgic salvage anthropology became recontextualized in the 1970s by Native Americans as powerful symbols for an emerging indigenous rights movement (Lyman 1982). Joanne Scherer’s study of Native American activist Sarah Winnemucca’s attempts to manipulate stereotypic iamges of the “Indian Princess” highlights not only a creative act of appropriation but the social significance of “cartes de visites” in nineteenth century America (Scherer 1988). Ben-Ari examines how photography has been integrated into a Japanese ritual, pointing out how different kinds of photographic practice suggest distinctive involvements of different actors within the ritual. The photographs that family members of participants take, for example, are markedly different from those taken by city tourists watching a rural “tradition” (Ben-Ari 1991). If the discursive and institutional context of these images is the Japanese nostalgic rural idyll called “furusato” (Robertson 1991), it is only in concrete examinations of performances by situated actors that the “meaning” of photographic practices can be understood.

VISUALITY
Yet the contextualization of image-production and reception needs also to account for the broader visual culture in which particular image practices are situated. The term “visuality” is generally used to emphasize that “vision is a skilled cultural practice” and a historical artifact (Jenks 1995: 10; see also Foster 1988). Pinney, for example, contextualizes Indian photographs within a variety of image-related practices and historically within changing valuations of visual representation (1998). He finds personal photographs alluding to and borrowing conventions from Hindi film and from religious posters. He notes, too, that certain kinds of paintings are called “photographs” and painting over photographic images is a common practice, suggesting blurred visual genres and a social defintion of “photography” that is not limited to a technological device (1998: 131). He thus illuminates the social practice of photography through a broader analysis and history of Indian visualities. While the delineation of visualities is an important analytic tool for contextualizing images and image-reception, there is a danger of tracing a history of visual practices in such a way that visual representation becomes isolated from textual and other representational practices.
In specifying the nature of visualities, Jay uses the term “scopic regimes” to suggest that while multiple visualities may operate at any given historical moment, usually one in particular is accorded hegemonic power. He thus points out that culturally trained ways of seeing are inevitably imbricated in power relatoins (Jay 1993). This approach might be contrasted with art historical notions like Baxandall’s “period eye” which point out that vision is trained, but do not imply that the training of the eye is a question of power (Baxandall 1972). Similarly, in anthroplogy, Geertz’s treatment of art attends to culturally learned dispositions as the basis of aesthetic sensibilities but makes no ties to power relations. Indeed, he tends to assume that aesthetic sense is evenly spread throughout a bounded cultural community, and therefore that images “mean” the same thing to each viewer (Geertz 1983): “to study an art form is to explore a sensibility...[and] such a sensibility is essentially a collective formation” (1983: 99).
Bourdieu’s treatment of aesthetics in Distinction (1984), and his specific examination of photography (1990), instead concerns the class-based nature of aesthetic tastes. Yet Bourdieu perhaps goes too far in the opposite direction from Geertz, overstating the improtance of the class habitus in forming aesthetic tastes, carefully delineating “rules” of taste as indices of social position, without attending to the broader sensiblity at work in shaping the field of artistic production. Nevertheless, the idea that different social positions, experiences, and subcultural affiliations may yield different visualities—existing in different relationshps to hegemonic scopic regimes—is crucial for a broad interpretation of reception of images that does not fall into a kind of individualized “resistance” model that implies free choice in the making of meanings (de Certeau 1984; Fiske 1989; see Hall 1993 for a critique of this idea of openness). It also helps us go beyond some of the constraints of the discursive approach described above. The authority of a photographic image to make truth claims, for example, is certainly a question of its historical and institutional positioning, as Tagg argues so forcefully. However, it is also a matter of the positioned viewer; and it is vitally important not to assume that everyone yields to that authority or percieves it in the same way. The examination of “visualities” and their social distributions may be an important way to incorporate images, institutions, and subjects into the same field.

ARE IMAGES “READ”?
I began this essay with attempts to define the relationship between texts and images, and in particular with the vexed question of whether texts and images are “read” differently. We have seen that, despite different answers to this question, the dominant paradigm in semiotic and discursive approaches to images is an interpretive one that relies on a model derived from the reading of texts. So, too, Geertz, paraphrasing Baxandall, argues that “one has to learn to read [pictures], just as one has to learn to read a text from a different culture” (Geertz 1983: 108). But are these methodological prescriptions for would-be cultural analysts or are they meant to be accounts of how people actually approach and live with images? Certainly Barthes’ methodology for analyzing the denotative and connotative codes of the autonomous image was a rarefied scholarly strategy rather than a theory of reception; he argued that these levels were collapsed in the act of reading the image. Yet Barthes did not question or specify the implications of the notion that images are “read.” Burgin, too, suggests that viewing an image is a matter of “decoding”: “the photograph is a place of work, a structured and structuring space within which the reader deploys and is deployed by, what codes he or she is familiar with in order to make sense” (Burgin 1982 152; see also Hall 1993). But does this idea of reading replicate the “natural life” of images as they are engaged with in everday experience?
Rather than essentialize the difference between reading texts and images, we might instead turn to work that seeks to expand and specify our notion of “reading”. For if the reception of images is a complicated matter, so too, there is no single way to read texts. In a recent collection called The Ethnography of Reading, Boyarin and other scholars argued against the presumption of a solitary, silent reader which has governed anthropological treatments of the shift from orality to literacy (Boyarin 1993). They specify a variety of historically and culturally determined modes of reading. A parallel effort might be undertaken for images. The solitary reader tends to be assumed for photography as well (see Metz, cited in Pinney 1998: 124; Barthes 1981: 97-8) and the model of “reading” is rarely specified. Not only are there cultural and historical determinants of the way images in general are valued, but it may also be productive to think about genres of images as not only carrying different conventions of composition, pose, and subject matter, but also different social lives and different reading conventions. Certainly a family photograph is read differently than an advertizing image one sees flash by on a bus.
But it is not just a too narrow notion of reading, but an impoverished notion of vision that needs to be challenged. It may be argued that the reigning paradigm of vision in Western philosophy, which implies a distanced, contemplative observer, has itself crippled theories of image reception (Merleau-Ponty 1962; Foster 1988; Jenks 1995; Jay 1993). Moreover, art history has been the most powerful disciplinary source of theorization about the nature of “reading” images. But paradigms like Panofsky’s “iconography” (1962), which may be helpful for understanding certain kinds of art works that were designed for an audience trained at deciphering hidden symbolic messages from the surface of the image, are of dubious value not only with other genres of painting (see Alpers’ critique 1983: xxiv, 236n), but particularly with photography. More generally, the institution of art in the Western tradition in which most art historians work, is one which constructs visual forms as objects ideally isolated from everyday life and displayed in contexts designed to enhance contemplative observation.
The Peircian attention to different modes of signification, and, in particular, to different kinds of interpretants, may suggest ways of specifying different modes of reception. The dynamical interpretant—the direct effect of a sign—may be “emotional”, “energetic”, or “logical” (see Daniel 1984: pp. 291-4). These relationships are not given in advance; since they arise from particular conjunctures between objects, signs, and interpretants they must be analyzed as they arise. However, there may be conventions that to some degree govern modes of signification and reception. The Peircian model looks at semiosis as event and process; thus the “meaning” of a sign is never contained within it or predetermined by it.
As Daniel points out (1984: 295) there are certain affinities between Peirce’s analysis and Derrida’s notion of “differance” or the play of signs (see Derrida on Peirce, 1974: 48-50). For Derrida, all representatiosn are “sendings” that never finally arrive at their destination (see Jay 1993: 507). The implications for analysing the “reading” of images are profound—the very idea of “reception” is called into question. Derrida represents an extreme insistence on treating the reading of photographs on the model of textual reading. Emphasizing the “graph” in photograph, Derrida suggests that photographs do not present a viewed spectacle but a text that demands “exegesis” (see Jay 1993: 518-19). On the other hand, Derrida rejects the ontological separation of text and image. Derrida notes Plato’s condemnation of writing, based on an analogy with painting, in which meaning moves beyond the intentions of the writer (1978: 8):
“The painter’s products stand before us as though they were alive: but if you question them, they maintain a most majestic silence. It is the same with written words: they seem to talk to you as if they were intelligent, but...they go on telling you just the same thing for ever. And once a thing is put in writing, the composition, whatever it may be, drifts all over the place...” (Plato’s Phaedrus: 158, my emphasis).

For Derrida, this threat posed by both writing and painting is also the promise of the fundamental openness of semiosis. Just as Barthes’ notion of the “text” versus the “work” radically opened the model of reading (1977), so Derrida’s emphasis on dissemination, play, and supplementarity fundamentally transform what it means to “read” beyond a model of deciphering.
But it is not only the openness of meaning but the habituated nature seeing that must be taken into account when considering such pervasive images as photographs. For Benjamin, the notion of habit is crucial to understanding visual perception as it takes place in daily life. He suggests that in conditions of capitalist modernity, most reception takes place in “a state of distraction.” Nevertheless, “the distracted person, too, can form habits” of seeing (Benjamin 1968: 240). As noted in the discussion of “visuality,” visual “habits” need to be tied in to culturally specific ‘ways of seeing’ that structure everyday interactions with images. Habituated ways of seeing—we might say, following Bourdieu, a “visual habitus”— appear “natural” and may be enacted unconsciously yet are the outcome of an interpretive process that is historically constituted and more or less shared. Following Peirce, Daniel argues, “the process of habit taking is an inferential process, albeit one that is tacit or even unconscious, so much so that it is equated with such “natural” immediacy as intuition and instinct” (26; see also Colapietro 1989: 43, 90).
Benjamin’s notion of “tactile appropriation” is also helpful for thinking about habituated, everyday experience with images. Comparing the reading of images to the perception of architectural space, Benjamin argues that the image is received not so much with a conscious visual perception as with a form of tactile knowing:
“tactile appropriation is accomplished not so much by attention as by habit. As regards architecture, habit determines to a large extent even optical reception. The latter, too, occurs much less through rapt attention than by noticing the object in an incidental fashion” (Benjamin, 1968: 240).

Taussig elaborates on Benjamin’s conception (and echoes Bourdieu), arguing that this kind of habituated, tactile knowing is precisely where “radical change is effected, where unconscious strata of culture are built into social routines as bodily dispositions” (Taussig 1993: 25). Taussig’s use of tactility provides a way of reappropriating vision from a paradigm of Cartesian spectatorship, which assumes a detached observer. In “Tactility and Distraction”, Taussig argues that anthropological models still privilege “contemplation” as a model for seeing over the “distraction” whichi s more typical of veryday, “barely conscious perpheral-vision perception” (Taussig 1992: 9). This notion of habituated knowledge and distracted, tactile seeing may provide a more nuanced account of how images are received and more importantly, how images take part in making subjectivities and social relations.
Another issue which challenges the governing model of “reading” as principally a matter of decoding is the materiality of the image. Art historical and semiotic approaches to images tend to focus on representation as the source of meaning. Accounts of the discourses and institutional structures surrounding images locate images within hierarchies of truth claims and nexes power relations, but pay scant attention to the social life of photographs as objects in the world. The attention to how images represent tends to obscure the importance of images as material objects. Morley makes a similar critqiue of cultural studies approaches to television, which examine the texts of television programs but tend to dissolve the physicality of the television as an object which organizes space, structures social interaction, and signifies in its own right (in Jenks 1995: 170-189). Similarly the meaning of photographs and other kinds of images has to be located not only in their modes of symbolic signfication but in the forms of their physical embodiment, their moblity and exchange, and the systems of value in which they are embedded—as Pinney suggests their “social life” (1998).
Ironically, Seremetakis has called the approach to material culture which treats artifacts as texts the “photo-centric” model of cognition; for her, the photograph is an emblem of an optical model that “requires no excavation, no mediating and interruptive textures of the thing or the sense, and no emotional force; only the transparency and facileness of ideology and object as mutually reflecting mirrors” (Seremetakis 1994: 134). She argues that material culture theorists think of artifacts “as if the dense and embodied communication between persons and things were only a quick exchange between surfaces” (1994: 134). Yet I see no reason why this should be an adequate model for photographs either, which after all are material objects with, at least some of the time, emotional force. This is but one final reason why the question of image “reception” (which is ultimately the question of meaning) needs to be examined in a carefully contextualized way that does not treat images as disembodied signs.

CONCLUSION
In this essay I have attempted to trace some of the answers to the questions that Barthes raises about the nature of “meaning” in images. All seem to point to the importance of looking at images ethnographically—so that we will neither rely on essentialized distinctions between images and texts nor assimilate images to texts in an unexamined model of “reading”. I have traced a series of related questions and debates: how or whether to distinguish images and texts, how or whether to specify photographic modes of signification, how to locate and contextualize the meaning of an image, how to situate images in broader “visual cultures”, and finally how to broaden our assumed models of “reception.” Clearly, if there are no simple answers to Barthes’ questions, there is a rich history of inquiry and a variety of powerful conceptual tools from which to draw. These “tools” for analysing the “meaning” of images range from the highly specific, structural analysis of singular images to the much broader delineation of the historical and social shaping of vision itself. It seems best to leave these questions in play rather than trying to resolve them; to be agnostic, eclectic, and flexible in the use of these “tools” and theories so as best to remain sensitive and open to what we find.

(Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Jerat Budaya edisi No. 4/III/2000)

BIBLIOGRAPHY
A. VISUALITY
1. TOWARDS AN ANTHROPOLOGY OF IMAGES
Baxandall, Michael. 1972. Painting and Experience in Fifteenth Century Italy. London: Penguin.
Bourdieu, Pierre. 1984. Distinction. Cambridge MA: Harvard University Press.
Geertz, Clifford. 1983. "Art as a Cultural System" In Local Knowledge. New York: Basic Books.
Gombrich, Ernst. 1956. Art and Illusion. Princeton: Princeton University Press.
Goodman, Nelson. 1976. Languages of Art. Indianapolis: Hackett.
Kosslyn, Stephen M. 1994. Image and Brain. Cambridge MA: MIT Press.
Langer, Susanne K. 1942. Philosophy in a New Key. Cambridge: Harvard Unviersity Press.
Mitchell,W.J.T. 1986. Iconology: Image, Text, Ideology. Chicago: Chicago University Press.
Panofsky, Erwin. 1962[1939] Studies in Iconology. New York: Harper Torchbooks.
Peirce, C.S. 1955. "Logic as Semeiotic: The Theory of Signs." In Philosophical Writings of Peirce, edited by Justus Buchler. New York: Dover Publications.
Plato, "Cratylus" 1997. Plato: Complete Works, ed. by John M Cooper. Indianapolis: Hackett: 101-156.

2. MODERN VISUALITY AND CRITIQUES
Alpers, Svetlana. 1983. The Art of Describing. Chicago:University of Chicago Press.
Buck-Morss, Susan. 1991. The Dialectics of Seeing. Cambridge, MA: MIT Press.
Benjamin, Walter. 1968 [1936]. "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction." In Illuminations, edited by Hannah Arendt, translated by Harry Zohn. New York: Schocken Books.
Bennet, Tony. 1994. "The Exhibitionary Complex" in Culture/Power/History: A Reader in Contemporary Theory. Nicholas Dirks, GeoffEley, Sherry Ortner, eds. Princeton NJ: Princeton University Press.
Derrida, Jacques. 1974. Of Grammatology. Translated by Gayatri Chakravorty Spivak. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Crary, Jonathan. 1990. Techniques of the Observer: On Vision and Modernity in the 19th Century Cambridge, MA:
Foucault, Michel. 1977. Discipline and Punish. Alan Sheridan, Trans. New York: Vintage Books.
Foucault, Michel. 1994 (1966) The Order of Things. NY: Vintage Books.
Jay, Martin. 1993 Downcast Eyes: the Denigration of Vision in Twentieth Century French Thought. Berkely and Los Angeles: University of California Press, (on Plato, Cartesianism, Enlightenment Scopic Regimes)
Jenks, Chris, ed. 1995. Visual Culture. New York and London: Routledge.
(especially Jenks "The Centrality of the Eye in Western Culture: an Introduction"
Morley, David. "Television: Not So Much a Visual Medium, More a Visual Object"
Slater, Don. "Photography and Modern Vision: the Spectacle of 'Natural Magic')
Keller, Evelyn Fox and Christine R. Grontokowski. 1983. "The Mind's Eye" in Discovering Reality: Feminist Perspectives on Epistemology, Metaphysics, Methodology and Philosophy of Science. Sandra Harding and Merrill B. Hintikka, eds. Dordrecht: D. Reidel.
Levin, David Michael, ed. 1993. Modernity and the Hegemony of Vision. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Mitchell, Timothy. 1989. "The World as Exhibition" Comparative Studies in Society and History 31
Snyder, Joel. 1980. "Picturing Vision" Critical Inquiry 5(3)

3. TOWARDS POSTMODERN VISUALITY AND ITS CRITIQUES
Baudrillard, Jean. 1988 [1981] "Simulacra and Simulations" in Jean Baudrillard: Selected Writings. Mark Postered. Stanford:Stanford University Press: 166-184.
Debord, Guy. 1995[1967] The Society of the Spectacle. Trans. by Donal Nicholson-Smith. New York: Zone Books.
Foster, Hal, ed. Vision and Visuality. Dia Art Foundation Discussions in Contemporary Culture, no. 2. Seattle: Bay Press.
Taussig, Michael. 1992. "Tactility and Distraction" in Rereading Cultural Anthropology. George E. Marcus, ed. Durham: Duke University Press.
Taussig, Michael. 1993 Mimesis and Alterity. London and New York: Routledge.
Serres, Michel. 1989 "Panoptic Thoery" in Tomas M. Kavanagh, ed. The Limits of Theory. Stanford:

B. THEORIES OF PHOTOGRAPHY
Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida. Translated by Richard Howard. New York: Hill and Wang.
Benjamin, Walter. 1968 [1936]. "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction." in Illuminations, edited by Hannah Arendt, translated by Harry Zohn. New York: Schocken Books
Benjamin, Walter. 1980 [1934]. "A Short History of Photography" in Classic Essays on Photography, edited by Alan Trachtenberg. New Haven, CT: Leete's Island Books.
Berger, John. 1972. Ways of Seeing. London: British Broadcasting Corporation and Penguin Books
Berger, John. 1991. About Looking. New York: Vintage International
Burgin, Victor, ed. 1982. Thinking Photography. London: Macmillan Publishers.
Haverkamp, Anselm. 1993. "The Memory of Pictures: Roland Barthes and Augustine on Photography." In Comparative Literature 45: 258-79.
Kracauer, Siegried. "Photography." Translated by Thomas Y. Levin. In Critical Inquiry 19(3): 421-434.
Mitchell, William J. 1992. The Reconfigured Eye: Visual Truths in the Post-Photographic Era. Cambridge MA: MIT Press.
Price, Mary. 1994. The Photograph: A Strange Confined Space. Stanford: Stanford University Press.
Sekula, Allan. 1982. "On the Invention of Photographic Meaning" in Thinking Photography. Victor Burgin, ed. London: Macmillan.
Sontag, Susan. 1977. On Photography. New York: Anchor Books, Doubleday.
Tagg, John. 1988. The Burden of Representation. Amherst, MA: University of Massachusetts Press.
Rosier, Martha. 1989. "Image Simulations, Computer Manipulations: Some Considerations" in Afterimage. November: 7-11.
Wartofsky, Marx W. 1980. "Cameras Can't See: Representation, Photography, and Human Vision" in Afterimage 7 (9)

C. READING PHOTOGRAPHS
Barthes, Roland. 1977. Image, Music, Text. Translated by Stephen Heath. New York: Hill and Wang
Eco, Umberto. 1982 [1970]. "Critique of the Image." In Thinking Photography, edited by Victor Burgin, 32-38. London: Macmillan Publishers.
Burgin, Victor. 1982. Thinking Photography. Victor Burgin, ed. London: Macmillan Publishers.
"Introduction": 1-14.
"Photography, Phantasy, Function": 177-216.
"Looking at Photographs": 142-153.
"Photographic Practice and Art Theory": 39-83.
Lutz, Catherine and Collins, Jane. 1993. "The Photograph as the Intersection of Gazes" in Reading National Geographic. Chicago and London: University of Chicago Press.

D. ANTHROPOLOGICAL AND HISTORICAL APPROACHES: PHOTOGRAPHY
AS PRACTICE & PERFORMANCE
Ben-Ari, Eyal. 1991. "Posing, Posturing and Photographic Presences: A Rite of Passage in a Japanese Commuter Village." Man 26: 87-104.
Bourdieu, Pierre. 1990 [1965] Photography: A Middle-brow Art. Translated by Shaun Whiteside. Stanford: Stanford University Press.
Lalvani, Suren. 1996. Photography, Vision, and the Production of Modern Bodies. Albany: SUNY Press.
Ruby, Jay. 1981. "Seeing Through Pictures: the Anthropology of Photography." Camera Lucida, the Journal of Photographic Cricticism. Spring: 19-32.
Sekula, Allan. 1989. "The Body and the Archive." In The Contest of Meaning, edited by Richard Bolton. Cambridge, MA: MIT Press.
Sekula, Allan. 1982 [1975]. "On the Invention of Photographic Meaning" in Thinking Photography. Victor Burgin, ed. London: Macmillan Publishers - 84-109.
Scherer, Joanna Cohan. 1988. "The Public Faces of Sarah Winnemucca" in Cultural Anthropology 3(2). 178-204.
Sprague, Stephen. 1978. "Yoruba Photography: How the Yoruba See Themselves." African Arts 11(1): 52-59.
Tagg, John. 1988. The Burden of Representation. Amherst, MA: University of Massachusetts Press.

E. VISUAL ANTHROPOLOGY AND STUDY OF VISUAL CULTURES
1. PHOTOGRAPHY AND ANTHROPOLOGY
a. Colonial Anthropology: inscribing difference and positivist uses of the camera
(this is also Critique of Anthropology and Anthropology of Colonialism)
Albers, Patricia C. and James, William R. 1990. "Private and Public Images: A Study of Photographic Contrasts in Postcard Pictures of Great Basin Indians, 1898 - 1919" Visual Anthropology 3(2-3). Harwood Academic Publishers: 343 - 366.
Alloula, M. 1987. The Colonial Harem. Manchester: University Press.
Banta, M., and Hinsley, C. 1986. From Site to Sight: Anthropology, Photography, and the Power of Imagery. Cambridge, MA: Peabody Museum Press.
Edwards, Elizabeth, ed. 1992. Anthropology & Photography 1860-1920. New Haven and London: Yale University Press.
Edwards, Elizabeth. 1990. “The Image as Anthropological Document: Photographic "Types" and the Pursuit of Method" in Visual Anthropology 3: 235-258.
Geary, Christaud. 1990. "Impressions of the African Past: Interpreting Ethnographic Photographs from Cameroon." Visual Anthropology 3(2-3): 289-315.
Lyman, C. 1982. The Vanishing Race and Other Illusions: Photographs of Indians by Edward S. Curtis. Washington D.C.: Smithsonion Institute Press.
Pinney, Christopher. 1992. "The Parallel Histories of Anthropology and Photography" in Anthropology and Photography, 1860 -1920. Elizabeth Edwards, ed. New Haven & London: Yale University Press, 74-95.
Pinney, Christopher. 1990. "Classification and Fantasy in the Photographic Construction of Caste and Tribe." Visual Anthroplogy 3(2-3): 259-288.
Pinney, Christopher. 1989. "Other People's Bodies, Lives, Histories? Ethical Issues in the Use of a Photographic Archive," Journal of Museum Ethnography 1: 57-68
Poignant, Roslyn. 1992. "Surveying the Field of View: The Making of the RAI Photographic Collection" in Anthropology and Photography, 1860 - 1920. Elizabeth Edwards, ed. New Haven & London: Yale University Press, 42-73.
Prochaska, David. 1991. "Fantasia of the Phototheque: French Postcard Views of Colonial Senegal." African Arts. 24: 40-7.
Scherer, Joanna C. 1992. "The Photographic Document: Photographs as Primary Data in Anthropological Enquiry." Ln Anthropology and Photography, 1860 -1920, edited by Elizabeth Edwards, 32-41. New Haven & London: Yale University Press.
Street, Brian. 1992. "British Popular Anthropology: Exhibiting and Photographing the Other" in Anthropology & Photography 1860-1920. Elizabeth Edwards, ed. New Haven and London: Yale University Press, 122-131.
Wright, Terence. 1983. "Photography, Realism and 'The Natives.'" In British Journal of Photography 130:340-2.
Wright, Terence. 1992. "Photography: Theories of Realism and Convention" in Anthropology & Photography 1860-1920. Elizabeth Edwards, ed. New Haven and London: Yale University Press, 18-31.

b. Boasian and British Social Anthropology: viewing culture: photography & film
as methodology
Bateson, Gregory, and Mead, Margaret. 1942. The Balinese Character: A Photographic Analysis. New York Academy of Sciences, Special Publications 2.
Geertz, Hildred. 1994. Images of Power: Balinese Paintings Made for Gregory Bateson and Margaret Mead. Honolulu: University of Hawaii Press.
Hutnyk, John. 1990. "Comparative Anthropology and Evans-Pritcarhd's Nuer Photography." In Critique of Anthropology 10(1): 81-102.
Jacknis, Ira. 1989. "Margaret Mead and Gregory Bateson in Bali: Their Use of Photography and Film," Cultural Anthropology 3(2): 160-177.
Jacknis, Ira. 1984. "Franz Boas and Photography." Studies in Visual Communication. 10( I ): 2-60
Lakoff, Andrew. 1996. "Freezing Time: Margaret Mead's Diagnostic Photography" in Visual Anthropology Review 12(1): 1-18.
Wright, Terence. 1991. "Fieldwork Photographs ofJenness and Malinowski and the Beginnings of Modern Anthropology," Journal of the Anthropological Society of Oxford 22(1) 44-58.

c. later elaborations - photography & film as method
Collier, John Jr. and Collier, Malcom. 1986. Visual Anthropology: Photography as a Research Method. Albuquerque: University of New Mexico Press.
Gross, Larry. 1980. "Sol Worth and the Study of Visual Communications." Studies in Visual Communication 6:2-19.
Hockings, Paul, ed. 1995. Principles of Visual Anthropology. Berlin and London: Mouton de Gruyter (second edition).
Especially:
Mead, Margaret. "Visual Anthropology in a Discipline of Words" [1974] pp. 3-12
de Brigard, Emilie. "The History of Ethnographic Film" [1974] pp. 13-44
Rouch, Jean. "The Camera and the Man" [1974] pp. 79-98
MacDougall, David. "Beyond Observational Cinema" [1974 w/ 1995 postcript] pp. 115- 32
Lajoux, Jean Dominique. "Ethnographic Film and History" [1974] pp. 163-80
Scherer, Joanna Cohan. "Ethnographic Photography in Anthropological Research" pp. 201-16
Ginsburg, Faye. "Ethnographies on the Airwaves" pp. 363-98
Carpenter, Edmund. "The Tribal Terror of Self-Awareness" [1974] pp. 481-92.
Johnston, Patricia, ed. 1991. "Ethnographic Photography." Exposure 28:3.
Worth, Sol and Adair, John. 1972. Through Navajo Eyes: An Exploration in Film Communication and Anthropology. Bloomington: Indiana University Press.

2. IMAGES OF CULTURE AND CULTURES OF IMAGES: RECENT APPROACHES TO
VISUALITIES
Devereaux, Leslie, and Hillman, Roger, eds. 1995. Fields of Vision: Essays in Film Studies, Visual Anthropology, and Photography. Berkeley and Los Angeles: University of California Press.
Hastrup, Kristen. 1990. "Anthropological Visions: Some Notes on Visual and Textual Authority" In Authority, Representation, and Anthropological Knowledge.
Jenks, Chris, ed. 1995. Visual Culture. London: Routledge.
Lutz, Catherine and Collins, Jane. 1993. Reading National Geographic. Chicago and London: University of Chicago Press.
Myers, Fred R. 1988. "From Ethnography to Metaphor: Recent Films from David and Judith MacDougall" In Cultural Anthropology 3(2):205-219
Pels, Peter. 1996. "Visions of Anthropology." Comparative Studies in Society and History 38 (2): 376 - 394.
Sapir, David J. 1994 "On Fixing Ethnographic Shadows." American Ethnologist 21(4): 867- 885.
Soussloff, Catherine M. 1996. "The Turn to Visual Culture: On Visual Culture and Techniques of the Observer." Visual Anthropology Review 12(l):77-83.
Crawford, Peter lan, and Turton, David, eds. 1992. Film as Ethnography. Manchester: Manchester University Press.
Taylor, Lucien, ed. 1994. Visualizing Theory: Selected Essays from V.A.R. 1990-1994. London and New York: Routledge.
Tyler, Stephen 1984 "The Vision Quest in the West, or What the Mind's Eye Sees" Journal of Anthropological Research 40(1): 23-39
Howes, David, ed. 1991. The Varieties of Sensory Experience: A Sourcebook in the Anthropology of the Senses. Toronto: University of Toronto Press.

3. CULTURE OBJECTIFIED. DISPLAYED. FETISHIZED: ON MUSEUMS,
COLLECTIONS, EXHIBITIONS. ART. AND MATERIAL CULTURE
Baudrillard, Jean. 1994. "The System of Collecting" in The Cultures of Collecting. John Eisner and Roger Cardinal, eds. pp. 7-24. Cambridge, Ma: Harvard University Press.
Bennett, Tony. 1994. "The Exhibitionary Complex" in Culture/Power/History. Nicholas B. Dirks, GeoffEley, Sherry B. Ortner eds. Princeton, NJ: Princeton University Press.
Clifford, James. 1988. The Predicament of Culture. Cambridge, MA; Harvard University Press.
Douglas, Mary. 1994. "The Genuine Article." In Stephen Harold Riggins, ed. The Socialness of Things: Essys on the Socio-Semiotics of Objects. New York: Mouton de Gruyter. 1994.
Eisner, John and Roger Cardinal, eds. 1994. The Cultures of Collecting. Cambridge, MA: Harvard University Press. (Selections)
Kirshenblatt -Gimblett, Barbara. 1991. "Objects of Ethnography" in Exhibiting Cultures: the Poetics and Politics of Museum Display, edited by Ivan Karp and Steven Lavine, pp. 386-443. Washington D.C.: Smithsonian Institution Press.
Kirshenblatt -Gimblett, Barbara. 1989. "Objects of Memory: Material Culture as Life Review." in Oring, E. ed. Folk Groups and Folk Genres: A Reader. Logan: Utah: Utah State Press.
Kopytoff, lgor. 1986. "The Cultural Biography of Things: Commoditization as a Process." In The Social Life of Things, edited by Arjun Appadurai, 64-91. Cambridge: Cambridge University Press.
Martin, Ann Smart. 1993. "Makers, Buyers, Users: Consumerism as a Material Culture Framework." Winterthur Portfolio 28/2-3(Summer-Autumn): 141-158.
Mitchell, Timothy. 1992. "Orientalism and the Exhibitionary Order." In Colonialism and Culture, edited by Nicholas B. Dirks. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Prown, Jules David. 1982. "Mind in Matter: An Introduction to Material Culture Theory and Method." Winterthur Portfolio 17/1 (Spring): 1-20.
Prown, Jules David. 1980. "Style as Evidence." Winterthur Portfolio 15/3 (Autumn): 197-210.
Riggins, Stephen Harold, ed. 1994. The Socialness of Things: Essays on the Socio-Semiotics of Objects. New York: Mouton de Gruyter.
Sherman, Daniel and Rogoff, Irit. 1994. "Introduction: Frameworks for Critical Analysis" in Museum Culture. Daniel Sherman and Irit Rogoff, eds. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Stewart, Susan. 1993. On Longing: Narratives of the Miniature, the Gigantic, the Souvenir, the Collection. Durham and London: Duke University Press.
Taussig, Michael. 1993. Mimesis and Alterity. London and New York: Routledge.
Tilley, Charles, ed. 1990. Reading Material Culture: Structuralism, Hermeneutics and Post-Structuralism. Oxford: Basil Blackwell.
Thomas, Nicholas. 1991. Entangled Objects: Exchange, Material Culture, and Colonialism in the Pacific. Cambridge, MA: Harvard University Press.