Jumat, 03 Juli 2009

MENUJU ANTROPOLOGI YANG TRANSPARAN

Di tulis oleh: GR Lono Lastoro Simatupang

Ketika menempuh pendidikan di Monash University, Australia, ada sejumlah pertanyaan yang sempat mengganggu benak saya: “Mengapa harus jauh-jauh belajar di negeri orang kalau akhirnya saya meneliti tentang musik dangdut di negeri sendiri sebagai bahan thesis? Bukankah orang-orang di Monash University tidak lebih tahu tentang dangdut daripada Rhoma Irama, atau bahkan Yayuk ‘Parabola’ yang sering ‘manggung’ di Purawisata?” Selain itu, “Kalau William O. Frederick meneliti Rhoma Irama dan dangdutnya ‘kan ‘wajar’ bila disebut sebagai studi antropologis; tetapi kalau saya yang melakukan penelitian atas musik populer bangsa saya sendiri apakah juga dapat disebut sebagai studi antropologis?” Ketika permasalahan seputar pertanyaan terakhir saya ajukan kepada pembimbing thesis, ia menjawab secara sederhana (dan menurut saya agak sembrono): “Mungkin tidak [antropologis] di Indonesia, tetapi ya di sini (Australia). Itu tergantung dari mana anda memandangnya”. Juga timbul pertanyaan lain tentang ‘untung-rugi’: “Apakah kita tidak ‘rugi’ bila setiap ada mahasiswa Indonesia belajar di luar selalu membawa data-data etnografis Indonesia ke luar, sementara kita tidak memperoleh data etnografis tentang mereka?” Pertanyaan-pertanyaan di atas, dan sejumlah pertanyaan lain, membawa saya pada perenungan kembali apa makna studi Antropologi dan manfaat apa yang bisa dipetik dari disiplin ini. Sungguh, paling tidak bagi saya, pencarian semacam ini terasa penting dan tidak akan pernah berakhir. Ia juga tidak akan tuntas terselesaikan dengan berakhirnya tulisan ini.
Tulisan ini tidak akan secara khusus membahas pertanyaan-pertanyaan di atas. Persoalan di atas ditampilkan sebagai pengantar refleksif bagi permasalahan yang lebih luas dalam ilmu Antropologi. Pertanyaan pertama saya kaitkan dengan persoalan Antropologi sebagai sebuah disiplin ilmu tentang kebudayaan. Pertanyaan kedua berhubungan dengan konsep others sebagai lawan dari selves yang menjadi salah satu tiang penyangga Antropologi. Sedangkan pertanyaan ketiga mengacu pada pemikiran tentang implikasi praktis dan akademis dalam kehidupan kita saat ini.

I
Sering dikatakan, dan itu benar, bahwa Antropologi merupakan sebuah disiplin ilmu tentang kebudayaan. Pernyataan seperti di atas mempunyai dua kata kunci yang penting. Yang pertama ialah disiplin, berikutnya ialah ‘kebudayaan’. Kedua kata kunci tersebut akan diulas dengan singkat di bawah ini. Seperti makna yang tersirat dari istilah ‘disiplin’ itu sendiri, Antropologi sebagai sebuah disiplin dibangun di atas sistem ‘tatacara’ yang berlaku. Sistem tersebut merupakan hasil persetujuan bersama para pelaku disiplin tersebut. Peter J. Riggs (1992:25) menyebutkan bahwa “science is noted for a high degree of consensus amongst its practitioners”. Bidang-bidang persetujuan bersama sebuah disiplin secara singkat meliputi obyek studi, tujuan yang hendak dicapai, dan cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Bidang yang terakhir secara garis besar bisa dirinci lebih lanjut ke dalam metode pengumpulan informasi/data dan cara mengartikan informasi yang terhimpun (yang juga dikenal dengan sebutan orientasi teoretik) .
Jelas sudah, bahwa obyek studi Antropologi adalah kebudayaan. Namun, apa yang dimaksud dengan ‘kebudayaan’ itu sendiri dalam Antropologi? Pertanyaan klasik semacam ini relevan untuk diajukan di sini karena menyangkut soal fokus utama studi Antropologi. Terdapat banyak batasan kebudayaan diberikan oleh para ahli Antropologi. Antara yang satu dengan yang lain saling berkaitan, namun seringkali masing-masing tampil dengan penonjolan sebuah atau beberapa aspek tertentu dari kebudayaan. Oleh karenanya, mungkin ada gunanya bila pada tingkat pembahasan awal ini digunakan batasan kebudayaan yang ‘menyeluruh’. Mengutip Ralph Linton, kebudayaan dalam Antropologi diartikan sebagai “seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau yang lebih diinginkan” (Ember,1980b:18). Kebudayaan sebagaimana dimaksudkan oleh Antropologi juga bisa ditilik dari pembidangan yang dilakukan dalam disiplin ilmu itu sendiri. Secara garis besar ada empat lingkup studi Antropologi, yaitu Antropologi Biologi, Arkeologi, Antropologi Budaya (Sosial), dan Linguistik (Clifford, 1986: 4; bdk. Ihromi, 1980: ix). Dalam rentang yang lebar ini berbagai segi kehidupan manusia dapat menjadi bahan studi Antropologi.
Lalu, apa yang ingin diperoleh dalam Antropologi? Secara luas bisa dikatakan bahwa hal yang ingin dicapai oleh disiplin ini ialah pemahaman mengenai kebudayaan umat manusia di muka bumi, dalam kurun waktu maupun ruang yang berbeda. Bagi beberapa ahli Antropologi, ‘tugas’ disiplin ini bahkan tidak hanya berhenti pada pemahaman, namun harus mencapai perumusan proposisi mengenai hal-hal yang berlaku umum dan yang berlaku khusus dalam kehidupan umat manusia di muka bumi ini (Ihromi, 1980: xi).
Berbeda dengan ilmu-ilmu manusia lainnya, dalam Antropologi upaya pemahaman dan perumusan proposisi umum tersebut dicapai lewat pemahaman mengenai manusia-manusia “yang lain” atau “others”. Pentingnya atau bahkan sentralnya posisi others dalam disiplin ini, membuat Antropologi seringkali dikenal sebagai ilmu tentang others. ‘Gelar’ ini terutama disandangkan karena, sebagai sebuah disiplin ilmu yang dikembangkan oleh orang-orang Eropa di benua Eropa dan Amerika, pada awalnya sebagian besar subyek yang diteliti Antropologi adalah masyarakat non-Eropa. Secara lebih khusus, sebutan tersebut pantas dikenakan pada salah satu sub-disiplin Antropologi, yaitu Etnografi.
Dapat dikatakan bahwa Etnografi merupakan salah satu hasil utama ilmu Antropologi. Catatan tentang kehidupan suatu masyarakat yang diperoleh melalui pengamatan di lapangan secara langsung itu menjadi semacam bahan baku bagi analisa antropologis. Etnografi juga mempunyai fungsi lain. Etnografi menjadi semacam bukti keberadaan sebuah masyarakat dan kebudayaannya seperti yang digambarkan di dalamnya, serta (yang tak kalah penting ialah) menjadi bukti kehadiran peneliti dalam masyarakat itu. Clifford Geertz (1988) memakai istilah “being there” (saya pernah berada di sana) untuk menyebut fungsi etnografi yang akhir tersebut.
Karena tujuan akhir yang hendak dicapai Antropologi ialah pemahaman kehidupan umat manusia seluruhnya, maka tak pelak lagi perbandingan (komparasi) merupakan salah satu bagian terpenting dan khas dalam disiplin ini (Barret, 1991:11). Lewat perbandingan dicoba dirumuskan hal-hal yang berlaku umum dan yang khusus dalam kehidupan umat manusia. Dalam kaitannya dengan selves dan others, perbandingan (pengkajian persamaan dan perbedaan) dilakukan baik di antara others maupun antara others dan selves.
Upaya Antropologi memahami kebudayaan umat manusia dengan memperbandingkan kebudayaan-kebudayaan masyarakat di dunia membuahkan sejumlah orientasi teoretik. Walaupun kadangkala batas-batasnya tidak dengan mudah dapat dikenali, dalam Antropologi antara lain dapat dibedakan orientasi teoretik seperti evolusi (unilinier, multilinier, dan universal), kekhususan sejarah (history particularism), difusi, fungsionalisme, pendekatan psikologis, fungsionalisme struktural, strukturalisme Perancis, ekologi kebudayaan, ethnoscience . Dan yang muncul belakangan, pendekatan simbolik atau semiotik diterapkan pula dalam antropologi.
Orientasi teoretik semacam ini berlaku sebagai peralatan (tools) analisa pemahaman seorang peneliti terhadap data yang dikumpulkannya. Bahkan kadangkala lebih dari itu, orientasi teoretik ikut pula menentukan segi-segi kehidupan apa yang seharusnya menjadi fokus atau mendapat penekanan dalam penelitian. Demikianlah, misalnya, E.B. Tylor dalam karya monumentalnya ‘Primitive Culture‘ muncul dengan pendapatnya tentang perkembangan bertahap (evolutive) masyarakat manusia mulai dari tahap liar, biadab, menuju ke tahap beradab; L.H. Morgan mendalilkan adanya enam tahap perkembangan pranata keluarga dalam ‘Ancient Society’. Begitu pula, minat B. Malinowski pada hubungan berfungsi mengarahkan analisanya pada fungsi sistem pertukaran kula masyarakat kepulauan Trobriand; seperti halnya Ruth Benedict, Ralph Linton, Margaret Mead yang tertarik pada masalah-masalah kejiwaan manusia mengemukakan pendapat mereka tentang adanya pola-pola kebudayaan, kepribadian bangsa, serta perbedaan kultural terhadap masalah akil-balik (pubertas). Proposisi umum semacam itu dalam Antropologi didapatkan dari analisa perbandingan (komparasi) atas data-data etnografis yang dikumpulkan dari berbagai masyarakat/subyek penelitian Antropologi.
Kesimpulan ‘besar’, kalau ada, macam apakah yang bisa diperoleh dari beraneka ragam studi antropologis seperti dicontohkan di atas? Pertanyaan ini agak menyesatkan karena tidak semua antropolog meng-generalisasi temuan-temuan lapangannya serta berpretensi hendak mencapai proposisi umum atau teori besar (grand theory). Sejak Frans Boaz mengemukakan pendapatnya tentang ‘teori’ kekhususan sejarah (history particularism), proposisi umum mendapat tantangan berat dalam Antropologi. Kalaupun ada titik-titik simpul yang bisa diambil dari studi-studi antropologis selama ini, maka simpul-simpul itu akan terletak pada tataran anggapan dasar. Di antara anggapan dasar tersebut, antara lain, ialah bahwa kebudayaan dimiliki oleh sekelompok manusia, bersifat relatif (nisbi), dipelajari, adaptive, integrative, dan selalu berubah (Ember: 1980a).
Bergerak ke luar dari anggapan dasar seperti di atas, Antropologi seakan harus puas pada kenyataan kekhususan masyarakat yang ditelitinya. Pertanyaan lebih lanjut dari anggapan dasar itu (seperti: siapa anggota kelompok pemilik sebuah kebudayaan, bagaimana kebudayaan dipelajari, faktor-faktor lingkungan mana saja yang mempengaruhi bentuk sebuah kebudayaan, bagaimana unsur-unsur kebudayaan yang satu berkait dengan yang lain, serta perubahan-perubahan seperti apa yang terjadi pada kebudayaan) rupanya tidak lagi mempunyai jawaban yang berlaku umum. Bisa jadi terdapat sejumlah masyarakat yang memberikan jawaban serupa atas pertanyaaan-pertanyaan semacam itu, tetapi jawaban tersebut tidak berlaku bagi masyarakat yang lain. Dapat dibayangkan bahwa pada tataran yang lebih dekat dengan keseharian akan semakin sulit diperoleh keseragaman jawaban dari kelompok masyarakat yang berbeda. Sebagai akibatnya, muncul berbagai ragam pendekatan dan penjelasan atas kebudayaan umat manusia, seperti diungkapkan oleh James Clifford (1986:4): “Few today can seriously claim that these fields [physical or biological anthropology, archaeology, cultural or social anthropology, and linguistics] share a unified approach or object, though the dream persists ...”.
Keragaman jawaban atas pertanyaan-pertanyaan antropologis tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kelompok masyarakat yang diteliti, namun juga oleh perbedaan orientasi teoretik yang digunakan peneliti. Sekedar sebagai contoh, Frederick (1982) yang mendekati musik dangdut sebagai cermin kondisi sosial-politik di Indonesia (dalam kaitannya dengan perkembangan Islam) menghasilkan ‘jawaban’ yang berbeda dari ‘jawaban’ yang ditawarkan Ceres Pioquinto (1993) yang meneropong musik populer tersebut dari kacamata representasi wanita (woman representation). Frederick menekankan unsur Islami dalam dangdut, sementara Pioquinto menunjukkan eksploitasi tubuh wanita sebagai tontonan erotis dalam dangdut.
Keanekaan ‘jawaban’ seperti dicontohkan di atas membawa kita pada persoalan hubungan antara fakta dan orientasi teoretik. Bagi Riggs (1992:16) adalah mustahil untuk memisahkan secara tegas antara fakta dan orientasi teoretik. Kondisi yang ia sebut sebagai “the theory-ladenness of observation” ini menunjuk pada adanya “some preconceptions that ‘colour’ our outlook of the world around us”. Menurut ia hal ini tak dapat dihindari. Lebih lanjut dikatakannya: “These preconceptions are due to many factors: individual physiology, personal psychology, and the attitudes of one’s society, for example”. Hal yang kurang lebih serupa juga diungkapkan oleh Geertz (1983) ketika menegaskan adanya “the period eyes” dalam kehidupan seni lukis Italia. Kondisi semacam ini juga tidak terelakkan dalam kehidupan ilmiah. Bahkan “the theory-ladenness of observation” akan hadir lebih pekat dalam kehidupan ilmiah, karena kegiatan ilmiah bersandar pada banyak premis dan asumsi (Riggs, 1992:17). Fuad Hassan dan Koentjaraningrat (1980:14), mengambil contoh tentang perbedaan orientasi teoretik dalam penyelidikan kejiwaan manusia, juga menyebutkan bahwa “perbedaan-perbedaan obyek studi (formel maupun materiel) seringkali memaksakan sistematik yang berbeda atau setidak-tidaknya meletakkan aksentuasi yang berbeda”. Keadaan ilmu semacam inilah yang mengantar Thomas S. Kuhn pada pendapat bahwa “scientific research focused too narrowly on particular aspects of science to the exclusion of others”, oleh karenanya “the scientific theories were themselves only part of the larger picture of what constituted scientific research” (Riggs, 1992:24).
Itu pula yang dimaksud dengan pernyataan James Clifford (1986) bahwa kebenaran etnografi merupakan “partial truths”. Ia berpendapat bahwa partiality Etnografi bisa ditandai, paling tidak, lewat enam cara, yaitu contextually (Etnografi dibuat dari dan menciptakan milieu sosial yang berarti), rhetorically (Etnografi menggunakan dan ditentukan oleh kaidah-kaidah pengungkapan), institutionally (etnografer menulis dalam, dan melawan, tradisi, disiplin, maupun sidang pembaca tertentu), generically (sebuah karya Etnografi biasanya dapat dibedakan dari sebuah novel atau laporan perjalanan), politically (otoritas untuk mengemukakan kenyataan-kenyataan kultural tidak terbagi secara seimbang dan kadangkala dipertanyakan), dan historically (seluruh kaidah dan pembatas di atas sedang berubah) (Clifford, 1986:6) . Ini berarti bahwa kebenaran yang ditampilkan oleh Etnografi sebenarnya dilandasi dan dibatasi oleh motivasi dan ketentuan yang tidak mempunyai kaitan langsung dan berada di luar masyarakat dan kebudayaan yang digambarkan. Bahkan bisa jadi kondisi pembatas semacam itu berada di luar jangkauan sang peneliti dan/atau masyarakat yang diteliti. Dengan demikian kebenaran yang ditampilkan oleh Etnografi bisa dikatakan tidak obyektif sepenuhnya. Kebenaran Etnografi bersifat partial; ia benar hanya apabila dipahami berdasarkan motivasi dan pembatas-pembatas yang turut menentukan pendeskripsian tersebut.
Kalau kebenaran Etnografi adalah kebenaran yang tak utuh, bagaimana kita harus bersikap terhadapnya? Apakah ‘kenyataan’ yang dibeberkan mengenai sebuah masyarakat, analisa terhadapnya, serta kesimpulan-kesimpulan yang ditarik darinya (misalnya: deskripsi, analisa dan kesimpulan bahwa orang Jawa memiliki semangat gotong-royong yang tinggi) harus kita tolak mentah-mentah - dan diganti dengan kebenaran etnografi yang baru? Jawaban saya atas pertanyaan di atas adalah tidak, walaupun kebenaran etnografi harus dilihat dalam cahaya yang baru.
Saya melihat ada dua alasan untuk tidak terburu-buru mengklaim bahwa kebenaran etnografi yang sudah ada perlu dirombak oleh kebenaran yang baru. Alasan pertama terkait pada kenyataan bahwa, seperti telah diungkapkan di atas, Etnografi (bahkan mungkin semua disiplin ilmu) hanya mampu menghadirkan sebagian kebenaran, apapun metode penelitian maupun orientasi teoretik yang dipakai. Kita berada dalam lingkaran yang sama dengan para penulis Etnografi pendahulu kita. Walaupun mungkin faktor motivasi dan pembatasnya berbeda dengan yang dialami oleh etnografer pendahulu, akan tetapi faktor-faktor itu tidak akan bisa kita tanggalkan. Bahkan pretensi untuk merombak itu sendiri sudah menempatkan sang perombak dalam posisi institutional tertentu. Akibatnya, penulisan etnografi yang dilandasi semangat dan pretensi untuk merombak kebenaran ‘lama’ hanya akan terjebak dalam kubangan lumpur yang sama.
Alasan penolakan perombakan juga bisa dipahami bila kita meletakkan Etnografi sebagai sebuah bentuk representasi, serta bagaimana ia berhubungan dengan substansi yang direpresentasikan. Pemahaman saya mengenai representasi berikut ini bersumber dari tulisan Edward M. Bruner tentang pengalaman dan ekspresinya (1986). Oleh karenanya, ada baiknya bila beberapa inti pemikiran Bruner dipaparkan terlebih dahulu.
Bruner melihat ada tiga komponen kehidupan manusia yang dapat dibedakan satu dari yang lain. Ketiga komponen tersebut ialah kenyataan (reality), pengalaman (experience), dan pengungkapan (expression), yang dalam sebuah life history masing-masing disebutnya sebagai life as lived, life as experienced, dan life as told (Bruner, 1986:6) . Walaupun ketiganya berhubungan, namun tidak identik. Sebuah realitas/kenyataan yang melibatkan sejunlah orang (contohnya pentas dangdut di Purawisata; ada penyanyi, pemain musik, penjoget, penonton, pengintip, dan peneliti) dapat dialami secara berbeda oleh orang yang berbeda (penyanyi yang kesal atas ulah penonton, pemain musik yang berharap akan mendapat uang, penonton yang putus asa karena kehilangan dompet, pengintip yang bergairah mengumbar fantasi erotis mereka, penjoget yang puas dapat sejenak melupakan kerasnya hidup, peneliti yang bingung memikirkan cara menangkap makna peristiwa itu), dan diungkapkan secara berbeda pula (penyanyi: cemberut, pemain musik: melamun, penonton: menangis, pengintip: meneriakkan kata-kata jorok, peneliti: tak mengamati apa-apa atau mengamati apa saja). Namun karena orang hanya dapat mengalami kehidupannya sendiri dan tidak dapat menangkap pengalaman orang lain secara utuh, maka orang melakukan interpretasi atas ekspresi pengalaman orang lain (peneliti menghubungkan wajah cemberut penyanyi dengan kata-kata kotor yang dilontarkan penonton, lalu menginterpretasikannya sebagai ungkapan kekesalan). Dengan demikian, di antara ketiga komponen tersebut terdapat jarak. Realitas tak dapat sepenuhnya diwakili oleh pengungkapan pengalaman perorangan.
Dilihat dengan cara semacam ini, Etnografi merupakan merupakan hasil interpretasi dalam dua tingkatan. Pada tingkat pertama, subyek yang diteliti menginterpretasi pengalamannya ke dalam bentuk ekspresi (pengungkapan), sedang pada tingkat berikutnya peneliti melakukan interpretasi atas pengungkapan subyek diteliti untuk diekspresikan kepada (calon) pembacanya (Bruner, 1986:10). Walaupun ketika pengungkapan peneliti itu tadi masih berada dalam tataran deskriptif, ungkapan (teks, suara, film, foto) tersebut tidak lagi identik dengan kenyataan . Oleh karena realitas bergerak seiring dengan berjalannya waktu, dan pengalaman hanya bisa ‘dipanggil kembali’ dalam bentuk reinterpretasi, lagipula tak akan pernah ada representasi (ekspresi) yang identik dengan realita, maka sesungguhnya upaya peruntuhan kebenaran Etnografi ‘lama’ dan penegakan kebenaran Etnografi ‘baru’ hanya akan sia-sia.
Dengan diajukannya penolakan diatas tidaklah berarti bahwa kebenaran ‘lama’ harus ditelan mentah-mentah, atau (oleh karenanya) tidak perlu mengeksplorasi kebenaran ‘baru’. Perubahan realita sesuai dengan perubahan waktu itu sendiri sudah mengisyaratkan adanya kebenaran Etnografis ‘baru’. Namun, saya pikir yang tak kalah penting dari masalah kebenaran ‘lama’ versus ‘baru’ adalah perlunya tumbuh dan berkembang sikap kritis terhadap kenyataan kebenaran Etnografi yang partial itu. Jelasnya, ketika membaca karya Etnografi kita perlu lebih waspada terhadap faktor-faktor yang turut mengkondisikan keberadaan karya Etnografi tersebut. To read between the lines adalah ungkapan dalam bahasa Inggris yang tepat untuk menunjuk pada ketrampilan membaca secara waspada semacam itu. Di lain pihak, ketika kita membeberkan, menganalisa dan menarik kesimpulan atas data etnografis yang kita kumpulkan, kita pun perlu menyadari (bahkan sebaiknya memberitahukan kepada pembaca) akan partiality kebenaran yang disajikan. Kesadaran dan keterus-terangan mengenai ketidakutuhan kebenaran yang disajikan dalam Etnografi semacam itulah yang barangkali akan membedakan Etnografi ‘baru’ dari yang ‘lama’. Dengan lain kata, kemampuan ‘membaca’ yang berulang kali dipromosikan sebagai ketrampilan yang mendesak dalam dunia yang semakin bergantung pada citra atau representasi ini, juga harus dimiliki dan diterapkan dalam disiplin Antropologi. Transparansi yang mulai (sudah?) terjadi dalam dunia komunikasi, ekonomi, politik dalam kehidupan keseharian kita, sebaiknya diikuti pula dengan transparansi akademis.
Sebagai catatan tambahan patut pula diperhatikan bahwa hidup keseharian manusia juga ditandai dengan gerak dialektis antara realita, pengalaman dan pengungkapan. Ketika ekspresi diungkapkan ia menjadi bagian dari realita, yang kemudian dialami dan ditanggapi lagi, dan terus menerus berulang kembali . Meminjam kata-kata Paul Rabinow (1986): “representations are social facts”. Mari kita ambil ‘orang Jawa’ (betapapun kaburnya arti istilah ini) sebagai contoh. ‘Orang Jawa” sering direpresentasikan sebagai masyarakat yang menilai tinggi keadaan harmonis, penuh tenggang-rasa, yang bersedia menekan konflik pada tataran ‘dalam’ daripada mengekspresikannya di ‘permukaan’, memiliki semangat gotong-royong tinggi, dan sebagainya. Representasi yang tidak utuh dan sebenarnya dibuat dalam kondisi pembatas dan motif tertentu semacam itu dilakukan dalam pernyatan berbagai orang, dengan berbagai kapasitas otoritas, dalam kurun waktu berbeda, pada bermacam-macam diskursus. Representasi seperti itu bahkan kemudian seakan dipahami sebagai ‘kenyataan’ mengenai ‘orang Jawa’. Ia bahkan dipakai sebagai acuan bagi tingkah laku, pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, penciptaan karya seni, penelitian akademis, dan masih banyak kegiatan praktis manusia yang lain. Secara singkat dapat dikatakan bahwa representasi kebudayaan (etnografi) ‘orang Jawa’ telah menjadi bagian realitas kehidupan, yang dialami dan kemudian diungkapkan kembali.
Namun, di atas telah diungkapkan bahwa sebenarnya representasi tidak pernah identik dengan substansi yang direpresentasikan. ‘Orang Jawa’ juga berkelahi, membunuh, berrebutan, berselingkuh, memelihara thuyul atau sarana natural dan supra-natural lain untuk kepentingan diri pribadi. Tanpa maksud untuk menggugat kebenaran representasi dominan tentang ‘orang Jawa’, kebenaran-kebenaran ‘minor’ di atas menunjukkan partiality penggambaran ‘orang Jawa’. Pertanyaannya, kemudian, ialah: Mengapa kesenjangan yang terdapat antara representasi dan realita tetap dipertahankan, kalau tidak bahkan dikembang-tumbuhkan? Saya kira jawabannya bukan terutama harus dicari lewat penjelas-an tentang pola budaya ideal dan pola kelakuan sebenarnya (Ember, 1982a:27), tetapi lebih pada bentuk-bentuk hubungan berfungsi antara ilmu sosial dan masyarakat, yaitu ilmu sebagai legitimasi sosial, rekayasa sosial, dan kritik sosial (Kleden, 1986:xvi). Saya menduga fungsi legitimasi sosial lebih menonjol di Indonesia daripada kedua fungsi lainnya.

II
Pernah secara bergurau dikatakan bahwa posisi Antropologi di Indonesia tidak menguntungkan karena Antropologi mempelajari tentang perbedaan-perbedaan, sementara negara kita dijalankan berdasar azas persatuan dan kesatuan. Walaupun kebinekaan budaya diakui keberadaannya di negeri yang kita cintai ini, namun kebinekaan itu belum mendapat ruang artikulasi yang proporsional. Sementara itu, sebagai warga dunia, kita diserbu oleh gelombang besar ‘budaya dunia’ yang menampakkan tanda-tanda keseragaman. Antropologi di Indonesia bisa diibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Ada dua topik yang ingin disampaikan dari pengantar pendek di atas. Yang pertama ialah kecenderungan Antropologi untuk ‘mencari’ perbedaan, berikutnya ialah berubahnya tatanan sosio-kultural yang dibawa oleh jaman serta implikasinya bagi Antropologi. Kedua hal tersebut akan diulas secara singkat di bawah ini.
Seperti diungkap pada bagian pertama tulisan ini, Antropologi dibangun di atas konsep others. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa others menempati posisi sentral dalam disiplin ini. Bahkan bisa dipertanyakan: apakah Antropologi akan dapat tetap hidup tanpa adanya others? Hal penting sehubungan dengan itu ialah others cenderung untuk dipahami sebagai ‘berbeda’. Mula-mula ia (pasti) berbeda dengan selves, dan baru kemudian ia (mungkin) berbeda dengan others yang lain. Bagaimana garis batas antara self dan others dibuat? Pada awalnya garis itu berupa gabungan antara asal-usul seseorang menurut benua dan tempat tinggal mereka. Pada tahap ini orang-orang Eropa yang hidup di benua Eropa (dan Amerika) adalah selves yang memiliki perikehidupan yang sama, sedangkan selain itu adalah others dengan peri kehidupan yang berbeda. Dalam perkembangannya garis semacam itu diperluas menjadi civilized selves dan primitive others, colonizer selves dan colonized others, developed selves dan underdeveloped others, first world selves dan third world others, dan seterusnya. Begitulah garis pembeda antara keduanya selalu dicari, dibuat, dan dihidup-hidupkan.
Ketika disiplin ini kemudian ditularkan kepada orang-orang non-Eropa pembagian self - other semacam ini tetap diwariskan (juga kepada saya dan mungkin juga anda). Pada situasi ini terjadi semacam keganjilan ketika para penganut disiplin Antropologi non-Eropa, yang kini sering disebut sebagai native anthropologists (Limón: 1991) , mengadakan penelitian etnografis. Persoalannya ialah siapa yang diteliti oleh native anthropologists? Sejauh ini tampak ada tiga kecenderungan tentang siapa subyek yang diteliti oleh native anthropologists. Mereka meneliti masyarakat non-Eropa selain masyarakatnya sendiri, atau meneliti masyarakatnya sendiri, atau meneliti sub-kelompok masyarakatnya sendiri (biasanya adalah yang marginal secara geografis, sosial, ekonomi, politik, atau kombinasi dari keempat-nya). Pada kemungkinan pertama, mereka menempatkan diri sebagai ‘self’’ menurut tradisi Antropologi, dan memperlakukan masyarakat non-Eropa di luar sendiri sebagai others. Pada skenario kedua, others dan self menjadi sangat artifisial; masyarakatnya sendiri yang sedang ditelitinya didudukkan dalam posisi others. Pilihan ketiga agak lain dari yang kedua: sang native anthropologist memilah masyarakatnya sendiri ke dalam sub-sub kelompok masyarakat dan menempatkan sub kelompok itu sebagai others. Demikianlah others selalu ‘diciptakan’ dalam Antropologi. Sungguh aneh bahwa native anthropologists hampir tidak pernah memperlakukan masyarakat Eropa-Amerika sebagai others.
Mengapa hal seperti itu terjadi dan terus terjadi? Salah satu jawabannya ialah bahwa konsumen utama etnografi bukanlah masyarakat umum atau mereka yang diteliti. Biasanya audience tersebut adalah masyarakat akademis internasional, nasional, atau lebih khusus lagi kalangan pecinta Antropologi, pembuat kebijakan; tetapi hasil penelitian etnografis tidak pernah ditujukan kepada (misalnya) informan penelitian itu sendiri. Dengan demikian, seakan-akan dunia peneliti (yang Eropa-Amerika centered) dan dunia subyek yang diteliti terpisah satu sama lain.
Implikasi dari tradisi Antropologi untuk membedakan self dan other tidak hanya berhenti pada masalah positioning, tetapi juga ikut mewarnai corak ilmu itu sendiri. Karena fokus utama disiplin ini adalah others yang dibayangkan berbeda dari peneliti, maka karya Antropologis cenderung bersifat eksploratif, terperinci, dan sarat dengan muatan istilah lokal. Secara agak negatif hal ini bisa dipandang sebagai upaya pembuktian keberadaan others yang berbeda. Seakan-akan identitas subyek yang diteliti hanya bisa dikenali oleh adanya perbedaan atau ciri yang khas. Diduga keteguhan Antropologi pada metode observasi partisipasi, munculnya pendekatan ethnoscience, emic, serta orientasi teoretik lainnya, sedikit banyak dilatar belakangi oleh ‘keputusan besar’ yang pernah diambil untuk pemilihan others sebagai fokus perhatian serta tumbuhnya anggapan bahwa mereka berbeda.
Masalah yang lebih serius ialah pemberian perhatian yang lebih besar pada perbedaan cenderung mengorbankan persamaan. Tendensi ini terutama tercermin dari relatif sedikitnya karya etnografi yang memperbandingkan antara masyarakat yang ditelitinya dengan masyarakat peneliti itu sendiri . Sekiranya pun self dan other diperbandingkan, biasanya hal itu dilakukan dengan tetap memberi penekanan pada unsur perbedaan, dan (seolah-olah) menganggap unsur persamaan akan dengan mudah ditemukan sendiri oleh sidang pembacanya. Kenyataan bahwa sidang pembaca adalah selves (jamak) bukannya self (tunggal) sepertinya terabaikan. Kecenderungan yang juga diwarisi oleh native anthropologists ini membawa dampak berupa tetap terpeliharanya jarak antara self dan others, centre dan periphery. Dampak tersebut menjadi lebih buruk dengan adanya ketidak-seimbangan distribusi kekuasaan (power distribution) antara self dan other, centre dan periphery. Terlepas dari pertimbangan power relations, tendensi untuk lebih menampilkan unsur perbedaan itu sendiri akan menghasilkan gambaran identitas yang tidak utuh atas masyarakat yang diteliti. Tampaknya mengedepankan unsur perbedaan bukan merupakan satu-satunya jalan menuju pemahaman bersama atas kebudayaan umat manusia. Pendapat terakhir ini relevan untuk direnungkan terutama pada masa sekarang, ketika masyarakat di bagian muka bumi mana pun telah semakin terhubungkan satu dengan yang lain.
Kegelisahan Antropologi mengenai others yang berbeda itu sebenarnya sudah menghantui disiplin ini sejak usainya Perang Dunia kedua. Akan tetapi, kegelisahan pada masa itu tampil dalam bentuk yang lain: kegelisahan akan menghilangnya dengan cepat budaya ‘asli’ di muka bumi ini. Oleh karenanya reaksi yang muncul pada waktu itu berupa ketergopohan Antropologi untuk mendokumentasikan sebanyak mungkin budaya masyarakat non-Eropa-Amerika. Sementara itu, pandangan-pandangan dasar mengenai others belum banyak berubah.
Pada saat ini keadaan telah jauh berbeda. Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi, perubahan tata ekonomi dan sistem pasar dunia telah menghadirkan others di antara selves, others di antara others, serta membawa selves untuk berada di tengah-tengah others dalam suasana yang berbeda dari masa kolonialisme. Pada masa sekarang kewenangan masing-masing manusia, kelompok masyarakat, bangsa, dan negara untuk menentukan dirinya sendiri telah semakin dihargai dunia. Tak pelak lagi, bentuk dan sifat hubungan antar manusia pun menjadi berubah. Mobilitas lintas benua menjadi lebih dimungkinkan, anggota keluarga atau suku bangsa yang terpencar di berbagai belahan bumi semakin banyak terjadi, ikatan-ikatan sosial berdasarkan darah, asal-usul, bahasa mendapat saingan yang tajam dari ikatan-ikatan profesi, ekonomi, almamater; serta banyak contoh lain yang bisa disebut - menandai perubahan sejak paruh kedua dan semakin tampak jelas pada penghujung abad ini.
Perubahan kondisi pergaulan umat manusia seperti digambarkan di atas memaksa Antropologi untuk meninjau ulang konsep other dan self yang ia miliki. Dewasa ini konsep others seperti yang pernah digunakan dalam Antropologi pada masa sebelumnya rupanya sudah tidak lagi sesuai dengan keadaan. Others pada masa sekarang ternyata juga bagian dari selves; atau sebaliknya: dewasa ini dalam diri selves terkandung others. Pengalaman sekelompok mahasiswa Antropologi UGM ketika meneliti sebuah masyarakat di pedalaman Kalimantan dapat menjadi ilustrasi sederhana dari masalah yang tidak sederhana ini. Berikut kesaksian mereka:

“Hari itu Rabo tanggal 13 Juli 1994 sekitar pukul 10.00 WITA ketika hardtop sewaan kami berhenti tepat di depan lamin desa Danum Pieng. Sekektika itu juga otak kami terasa berputar begitu cepat. Apa yang kami jumpai di sana ternyata tidak “se-tragis” yang ada dalam bayangan kami. Ada antene televisi yang menjulang tinggi di atas lamin, ada kios yang menjual minuman kaleng, serta warganya memakai busana seperti yang kami pakai. Padahal kami menduga mereka mengenakan busana khas mereka, bukan t-shirt dan celana pendek. Lalu, bagaimana dengan konsep “keprimitifan” yang kami persiapkan,apakah masih layak untuk mengkaji topik penelitian yang sudah kami tentukan sebelumnya? ... Kami merasa sia-sia membaca banyak-banyak buku tentang suku-suku terasing karena yang kami hadapi bukan lagi suku terasing dengan segudang keprimitifannya” (Tim Ekspedisi Antropologi,1996: 3).

Contoh lain ialah sebuah ironi transnasional ketika seorang antropolog Amerika keturunan India dan istrinya (seorang kulit putih, ahli sejarah) mengunjungi sebuah kuil di Madurai, India Selatan untuk menjumpai seorang pendeta, dan menjumpai kenyataan bahwa sang pendeta sudah pindah ke Houston untuk memimpin umat Hindu di sana (Appadurai,1991: 200-201). Kalau contoh pertama menggambarkan bagaimana dunia self ternyata juga adalah dunia other, maka contoh kedua menyiratkan bahwa other ada di dalam self.
Dalam kondisi masyarakat dunia yang mengalami deterritorialization (Appadurai, 1991) seperti ini, ketika batas-batas konvensional antara self dan other mengalami perubahan yang drastis, maka

“Perbedaan-perbedaan kini tidak lagi, katakanlah, bersifat kategoris; melainkan interaktif dan bengkok-bengkok ... Dengan demikian, budaya berubah dari semacam substansi lokal yang stabil dan lebih menjadi bentuk perbedaan yang gampang berganti” (Appadurai, 1991:205) .

Dengan lain perkataan, perbedaan sekarang menjadi hal yang bisa ditawar (negotiable). Cairnya perbedaan tidak hanya muncul dalam bentuk-bentuk materiel saja, seperti contoh tentang orang Danum Pieng yang memakai t-shirt seperti di atas. Orang Danum Pieng pun juga bisa mempunyai fantasi-fantasi yang sama dengan para mahasiswa penelitinya (antara lain karena hadirnya antene parabola di sana). Bahkan bukan mustahil ada ‘orang Batak’ yang lebih Jawa daripada ‘orang Jawa’ itu sendiri.
Hal-hal yang diungkapkan di atas menghadirkan tantangan bagi Antropologi untuk meninjau keberadaan premis-premis dasarnya, seperti kebudayaan, other, dan perbedaan (difference). Tak pula kalah pentingnya ialah keberanian Antropologi untuk mengarahkan penelitian pada masyarakatnya sendiri, melihat ‘others’ dalam keterhubungan dan perbandingannya dengan ‘selves’ atau sebaliknya, memahami ‘others’ dari sisi persamaannya dengan ‘selves’. Namun perlu pula segera ditambahkan di sini, bahwa menjawab tantangan seperti disebutkan di atas tidak berarti harus menyia-nyiakan karya-karya etnografis yang bertumpu pada pemahaman antropologis konvensional (seperti terungkap dari kesaksian para mahasiswa Antropologi UGM). Ilmu atau teori baru selalu dibangun di atas bangunan teori dan ilmu yang sudah ada, bangunan yang baru tidak pernah muncul dari ketiadaan dan bangunan yang telah ada tidak pernah runtuh sepenuhnya. Teori evolusi masih mengandung kebenaran.
(Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Jerat Budaya edisi No. 1/I/1997)


KEPUSTAKAAN


Appadurai, Arjun
1991 “Global Ethnoscapes: Notes and Queries for a Transnational Anthropology”, dalam Richard G Fox (Ed.) Recapturing Anthropology, New Mexico: School of American Research Press

Barrett, Richard A
1991 Culture and Conduct, California: Wadsworth Publishing Company

Bruner, Edward M
1986 “Experience and Its Expressions”, dalam Victor W. Turner & Edward M. Bruner (Eds.), The Anthropo-logy of Experience, Chicago: University of Illinois Press

Clifford, James
1986 “Introduction: Partial Truths”, dalam James Clifford & George E. Marcus (Eds.), Writing Culture, California: Univesity of California Press

Dumont, Louis
1972 Homo Hierarchicus, London: Paladin

Ember, Carol R & Melvin Ember
1980a “Teori dan Metoda Antropologi Budaya” (terj.), dalam TO Ihromi (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: PT Gramedia

1980b “Konsep Kebudayaan” (terj.), dalam. TO Ihromi (Ed), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: PT Gramedia

Fox, Richard G.
1991 “Introduction: Working in the Present”, dalam Richard G. Fox (Ed.), Recapturing Anthropology, New Mexico: School of American Research Press

Frederick, William H.
1982 “Rhoma Irama and the Dangdut Style”, Indonesia, No.34, Itacha: Modern Indonesia Project, Cornell University

Geertz, Clifford
1976 The Interpretation of Cultures, New York: Basic Books

1983
“Art as a Cultural System”, dalam Clifford Geertz, Local knowledge, New York: Basic Book

1988 Works and Lives: The Anthropologist as Author California: Stanford University Press

Hassan, Fuad & Koentjaraningrat
1980 “Beberapa Azas Metodologi Ilmiah”, dalam Koentjaraningrat (Ed.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: PT Gramedia

Ihromi, TO
1980 “Kata Pengantar”, dalam TO Ihromi (Ed.), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Jakarta: PT Gramedia

Kleden, Ignas
1987 “Relevansi Sosial atau Relevansi Intelektual?”dalam Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES

Limón, Jose E.
1991 “Representation, Ethnicity, and the Precursory Ethnography - Notes of a Native Antrhropologist”, dalam Richard G. Fox (Ed.) Recapturing Antrhopology, New Mexico: School of American Research Press

Pioquinto, Ceres
1993 “Dangdut at Sekaten, Female Representation in a Live Performance”, makalah pada the Fourth Women in Asia Conference, University of Melbourne

Rabinow, Paul
1986 “Representations Are Social Facts”, dalam James Clifford & George E. Marcus (Eds.),Writing Culture, California: University of California Press

Riggs, Peter J.
1992 Whys & Ways of Science, Melbourne: Melbourne University Press

Tim Ekspedisi Antropologi
1996 Rangkaian Peristiwa-Peristiwa Kecil (Pengalaman di Danum Pieng) Yogyakarta: Tim Ekspedisi Antropologi, Keluarga Mahasiswa Antropologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada

Veuger, Drs. J.
t.t “Kebenaran Ontologis, Kebenaran Epistemologis, Kebenaran Semantis”, dalam Epistemologi Kebudayaan dan Pendidikan, Yogyakarta: Kelompok Studi Filsafat Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar