Sabtu, 04 Juli 2009

JALAN RAYA: RUANG YANG TAK PERNAH LENGANG

Ditulis oleh: Gunawan


I. Prolog
Paman-paman
Opo to wartaning dalan
Ing dalan akeh pepati
Dipun aniyaya jaja trusing gligir
Akari raga badan angelinting

(Paman-paman
Apakah berita dari jalan
Di jalan banyak kematian
Dianiaya dada sampai punggung
Tinggalah raga yang mengering)

Berita tentang kematian di jalan raya seperti ilustrasi tembang di atas memang hampir setiap hari kita temui. Kedaulatan Rakyat (19 September 1997) menurunkan berita dengan headline "Sehari 30 Jiwa Melayang di Jalan". Dalam berita tersebut disebutkan bahwa berdasarkan hasil catatan Departemen Perhubungan pada tahun 1996 telah terjadi 15.000 kasus kecelakaan dengan korban meninggal 11.000 orang. Bukan hanya kecelakaan lalulintas saja yang menjadi sebabnya tetapi juga perkelahian, perampokan dan seribu sebab lainnya. Jalan raya merupakan tempat yang penuh dengan ancaman yang dapat mengakibatkan orang menjadi celaka. Ditilang petugas atau matinya seorang demonstran pada peristiwa Gejayan merupakan bentuk lain dari ancaman yang terjadi di jalan. Tulisan ini akan mencoba melihat bagaimana relasi-relasi yang terjadi di jalan raya dan bagaimana orang-orang yang terlibat di dalamnya melakukan aktivitasnya dalam ruang sosial bernama jalan raya ini.

II. Jalan Raya Bagian Dari Ruang Kota
Jalan raya dengan kualitas kota secara visual merupakan dua hal yang sangat lekat. Kualitas sebuah kota sangat tergantung oleh penampilan jaringan jalannya (di samping sarana pemenuhan kebutuhan lain seperti hiburan maupun sarana sosial lainnya) sehingga jalan raya menjadi make-upnya kota. Sarana transportasi yang memadai akan memudahkan untuk menjangkau pusat kota dan memberikan kesan kota yang terbuka dengan daerah sekitarnya. Situasi semacam ini akan menguntungkan kota terutama karena kota akan semakin semarak. Sebuah kota yang menarik bukanlah ditentukan oleh kemegahan gedung dan lengkapnya berbagai fasilitas sosial tetapi justru terletak pada lalu-lalangnya orang dengan berbagai aktivitas sebagai denyut nadi yang menghidupkan kota. Berbagai aktivitas tersebut menjadi etalase kota yang menunjukkan gairah kota, sebab tanpa adanya aktivitas tersebut sebuah kota akan menjadi kota mati yang sepi dan cenderung menyeramkan. Maraknya aktivitas di sekitar jalan raya akan membuat amannya sebuah kota kerena orang-orang tersebut akan senantiasa menjadi penjaga kota sepanjang waktu.
Karena jalan raya menjadi make-upnya sebuah kota maka keberadaan jalan juga menjadi salah satu ukuran kemajuan kota. Salah satunya adalah dengan pemberian piala Adipura bagi kota-kota tertentu yang salah satu kriterianya adalah keberadaan jalan yang mulus. Penghargaan lainnya adalah pemberian piala Wahana Tata Nugraha pada tahun 1997 bagi kota yang dianggap berhasil mewujudkan ketertiban dan kedisiplinan di jalan raya. Namun pada sisi lain maraknya aktivitas sekunder di jalan raya tersebut menyebabkan semakin beratnya beban kota dan mengakibatkan kesemrawutan.
Pada kurun dua dasawarsa terakhir ini peningkatan aktivitas di jalan raya telah menjadi suatu gejala menarik dan menjadi bagian dari "persoalan" serius di perkotaan. Keberadaan jalan raya yang semula menjadi penghubung antara daerah satu dengan daerah-daerah lain dalam suatu sistem distribusi barang dan jasa lambat laun kian menjadi komplek. Keberadaan Kota menjadi pusat yang menyedot modal, sumber daya dan tenaga kerja dari daerah-daerah di sekitarnya. Ketika ruang-ruang yang tersedia tidak lagi mampu menampungnya kemudian jalan raya menjadi ruang-ruang baru untuk menampungnya. Jalan raya tidak lagi sekedar untuk perlintasan dan distribusi namun telah menjadi arena tempat orang berusaha mencapai hasrat dan keinginannya. Harga diri, kesopanan, uang, kekuatan gertak, ancaman, kekerasan, tipu menipu, keramahan serta tolong menolong hadir bersama-sama di jalan raya.

III. Jalan Raya Sebagai Arena Interaksi Sosial
Jalan raya merupakan ruang publik yang dapat dimasuki oleh setiap orang. Ketika orang-orang berada di jalan raya, mereka terlibat dalam proses interaksi . Proses interaksi yang terjadi di jalan raya tidak hanya terjadi antara sesama pemakai jalan tetapi antara pemakai jalan dengan banyak hal di sekitarnya seperti pengemis, pengamen, tukang parkir, pedagang dan Polisi. Pejalan kaki yang ingin menyeberang, pengendara motor dan mobil yang ngebut, sopir angkutan umum yang berebut penumpang, pedagang koran pengamen yang beraksi untuk mendapatkan uang dari pengemudi yang berhenti di lampu merah serta pengemis yang mengiba dan mengharap belas kasih,
Saat berada di jalan raya orang masuk dalam suatu ruang yang memiliki aturan-aturan dan bahasa-bahasa tertentu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bahasa tersebut menjadi alat agar keinginannya dapat dimengerti orang lain. Berger (1966) menyatakan bahwa bahasa merupakan jembatan pengalaman individual untuk dapat bermakna bagi orang lain. Bahasa menjadi media penyampaian pesan antara satu orang dengan yang lain sehingga keinginannya dapat dimengerti. Peristiwa penyampaian dan penerimaan pesan akan terjadi bila proses tukar-menukar simbol-simbol kebahasaan dapat saling dimengerti maknanya. Bahasa menjadi elemen penting dalam proses interaksi.
Dalam interaksi tersebut bahasa dan gerak-gerik menjadi media yang digunakan oleh orang-orang di jalan raya untuk menunjukkan intensinya kepada pengguna jalan lainnya misalnya keinginan untuk belok, menyeberang jalan, mendahului atau menepi. Dalam berinteraksi para pemakai jalan menggunakan bahasa dan aturan-aturan tertentu yang saling dimengerti oleh para pamakai jalan seperti lambaian tangan atau anggukan kepala.
Bahasa yang digunakan di jalan raya dapat dibedakan menjadi dua, pertama berbentuk aturan tertulis yang berujud rambu-rambu lalulintas, lampu merah, marka jalan dan simbol-simbol lalulintas lainnya. Bahasa rambu memiliki memilki kekuatan untuk memaksa pemakai jalan untuk tunduk dalam kaidah-kaidahnya lewat perangkat yang lengkap seperti adanya ancaman denda bagi yang melanggarnya serta adanya polisi sebagai pengawasnya. Hadirnya rambu-rambu di jalan raya menjadi salah satu representasi penguasa di jalan raya untuk memaksa setiap orang tunduk di dalamnya, makanya ketika aksi-aksi demontrasi menentang penguasa kian marak rambu-rambu menjadi sasaran pengrusakan sebagai bentuk penolakan terhadap penguasa.
Namun interaksi para pemakai jalan raya tidak hanya dibangun melalui satu bahasa rambu saja. Ada saat-saat tertentu yang mendorong dipakainya bahasa lain di luar bahasa rambu yaitu bahasa yang berupa gerak tubuh seperti lambaian tangan dan gerakan kepala. Bahasa ini sifatnya sangat terbuka dan dapat dimaknai secara bebas berdasarkan interaksi antara hasrat pribadi dengan cadangan pengetahuan atau pengalaman tertentu untuk dapat menangkap maknanya secara tepat.
Pengamatan Siegel (1986:117) tentang lalulintas di kota Sala menunjukkan ketidakmampuan rambu-rambu mengatur lalulintas. Aturan yang dipakai di jalan bukanlah aturan yang tertulis (berupa rambu-rambu lalulintas). Para pemakai jalan menggunakan gerak tubuh atau gesture tertentu untuk menunjukkan keinginannya. Seorang pejalan kaki yang ingin menyeberang dan pengemudi yang membelokkan arah akan melambai-lambaikan tangan sebagai tanda bagi pemakai jalan lainnya. Seperti yang dilakukan oleh awak angkutan saat akan menepi untuk menaikkan atau menurunkan penumpang, kernet berdiri di pintu tangan kirinya dilambai-lambaikan untuk memberi tanda kepada pemakai jalan yang berada di belakangnya, kalau kebetulan arus lalulintas ramai seringkali mereka lakukan sambil berteriak-teriak atau bersiul.
Gerak tubuh tersebut merupakan bentuk pemaksaan hasrat terhadap pemakai jalan lainnya agar keinginannya diprioritaskan. Dengan menggunakan bahasa semacam ini pemakai jalan dapat menangkap intensi pengendara lain. Di dalam gerak tubuh terkandung bobot emosional yang dalam untuk mewakili hasrat, keinginan pemberi isyarat untuk memaksa orang lain menanggapinya. Ketika seorang pengendara tidak menempatkan bahasa rambu dalam berinteraksi akan dilihat dari satu sisi oleh petugas--berdasarkan bahasa rambu--sebagai ketidaktertiban, semrawut dan tidak disiplin sehingga harus ditertibkan dan dianggap melanggar.
Kesadaran pemakai jalan untuk tunduk dalam bahasa rambu bukan karena kesadaran bahwa bila ia melanggar akan mengakibatkan kecelakaan atau mengganggu sistem perlalulintasan tetapi ketaatan pemakai jalan terhadap rambu kerena takut terhadap orang (polisi). Pengendara berhenti di lampu merah karena bila menerobos dia harus berurusan dengan polisi dan harus membayar denda.

III. Menertibkan Dengan Cara Mengancam
Pertumbuhan jalan raya secara fisik yang ditandai dengan semakin mulusnya dan lebarnya jalan raya, penyediaan trotoar di mana-mana serta pemasangan rambu-rambu pengatur lalulintas. Pertumbuhan secara fisik ini dapat memperlancar arus lalulintas sebagai penghubung antara daerah satu dengan yang lain walaupun kadang harus mengurangi kesan nyamannya dengan penghilangan pohon-pohon perindang seperti di sepanjang jalan laksda Adisucipto. Sejak tahun 1992 jalan itu diperlebar dengan menggabungkan jalur lambat dengan jalur cepat dan menghilangkan pohon-pohon perindang pembatas kedua jalur. Sebagai pengendara sepeda motor saya memang merasa diuntungkan karena saya dapat kian leluasa memacu kendaraan saya, namun ketika suatu saat saya melintasi jalan itu dengan bersepeda, rasa was-was membayangi saya karena harus bersaing dengan mobil dan sepeda motor yang melaju kencang atau dipepet mobil yang ingin menepi. Panas terik sinar matahari terasa menyengat karena pohon perindang tak ada lagi. Pejalan kaki pun semakin tersingkir karena trotoar yang disediakan justru menjadi lahan aktivitas sektor informal.
Saling berebut kepentingan pun terjadi di sana sehingga kekuatan menjadi penting untuk dapat mengaksesnya. Bukan hanya kekuatan secara materi misalnya kemampuan untuk mengendarai kendaraan yang besar dan mampu melaju kencang tetapi juga kekuatan sosial. Lihat saja buruh sirkuler yang akan pergi ke tempat kerja pada pagi hari dan pulang pada sore hari. Dengan bersepeda secara bersama-sama memenuhi jalan menerobos lampu lalulintas--karena merasa rambu-rambu itu bukan ditujukan untuknya --akan membuat para pengendara harus memberikan prioritas kepada mereka. Pejalan kaki pun dapat menjadi penguasa jalan saat aksi demonstrasi merebak belakangan ini, seperti yang terjadi pada 20 Mei lalu. Pengendara mobil dan motor harus mencari-cari jalan lain atau harus mengikuti di belakang para pejalan kaki yang akan ke alun-alun utara.
Kemajuan dari sisi fisik tersebut juga diikuti oleh kian maraknya aktivitas sekunder di jalan raya. Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor lain seperti peninggkatan populasi dan urbanisasi yang dilakukan oleh penduduk di sekitarnya yang ingin mengais rupiah di kota karena kota menjanjikan uang lewat berbagai proyek pembangunan maupun usaha-usaha di sektor informal. Ketika sektor industri maupun jasa tidak mampu lagi menampung, jalan raya menjadi lahan untuk menopang hidup. Hal inilah mendorong orang untuk saling berebut kepentingan sehingga kesan semrawutlah yang seringkali muncul. Orang saling serobot-menyerobot jalur atau ngebut, bahkan tidak jarang mendengar bentakan atau makian kasar di jalan raya. Kesopanan pun bukan lagi menjadi nilai yang menentukan perilaku orang. Umpatan dan makian seringkali muncul sebagai ungkapan kekesalan terhadap pemakai jalan lainnya.
Jalan raya menjadi tempat yang nyaris tak ada aturan kerena semua orang membuat aturan sendiri-sendiri. Hilangnya aturan di jalan raya semakin terasa pada malam hari. Para pengendara dapat leluasa menerobos jalur dan rambu-rambu lalulintas karena di atas pukul delapan malam polisi yang bertugas mengatur lalulintas tidak lagi berada di pos-pos penjagaan dan pos-pos penjagaan justru ditempati oleh orang gila dan gelandangan.
Keberadaan undang-undang lalulintas dan rambu-rambu sebagai pengatur lalulintas nyaris kehilangan otoritas. Kehadiran polisi sebagai penjaga otoritas rambu-rambu justru menjadi ancaman yang harus dihindari. Betapa tidak, melihat polisi saat melintas di jalan raya yang seharusnya memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi para pengemudi tetapi justru sebaliknya. Para pemakai jalan justru merasa takut dan was-was ketika melihat polisi.
Perasaan terancam semakin terasa dengan diadakannya operasi penertiban lalulintas. Ketakutan tersebut didasarkan pada adanya anggapan bahwa ketika pengemudi dihentikan oleh polisi pasti akan ditilang karena polisi pasti akan mencari-cari kesalahan. Keengganan untuk berurusan dengan polisi seringkali menjadi ancaman bagi para pemakai jalan, seperti yang dikatakan Wiro,
“Nek pas ana cegatan ki lengkapa layange nek isa luwung menggok golek dalan liyane timbangane kesuwen po ketilang”.

(Kalau ada operasi lalulintas, walaupun lengkap surat-suratnya kalau bisa lebih baik belok mencari jalan lain dari pada kelamaan atau kena tilang)

Ketakutan selalu dihadirkan dengan memonumenkan polisi dalam bentuk patung di persimpangan-persimpangan jalan. Keberadaan Polisi memang tidak selalu menjadi ancaman kerena seringkali jika terjadi masalah antara sesama pemakai jalan seperti tabrakan, kehadiran polisi memang sangat diperlukan.
Bentuk ancaman dari praktek penertiban lainnya dapat dilihat lewat penetapan undang-undang lalulintas yaitu UU No. 14 Tahun 1992 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1965. Penetapan undang-undang tersebut sempat menimbulkan pendapat pro dan kontra berkaitan dengan besarnya denda yang harus dibayar oleh pelanggar. Pada saat undang-undang tersebut akan ditetapkan seringkali muncul aksi massa yang dilakukan oleh mahasiswa, pengguna jalan pada umumnya maupun para awak angkutan umum.
Awak angkutan adalah salah satu kelompok yang langsung merasakan akibat besarnya denda yang harus dibayar bila melakukan pelanggaran. Merekalah kelompok yang paling sering dituduh melakukan pelangaran lalulintas dan menyebabkan kecelakaan Seperti yang dikatakan Tono, seorang sopir angkutan Prambanan-Terban sesudah UU No 14 tahun 1992 ditetapkan,
"Aku ki kerep dicegat polisi neng Maguwa merga kokean penumpang. saiki tak ke'i duit telungewu we emoh nek ndisik paling rongewu wae gelem".

(Saya itu sering dicegat polisi di Maguwa sebab kelebihan penumpang, sekarang saya beri uang tigaribu saja nggak mau, kalau dulu duaribu saja mau).

Pelaksanaan itu pun hanya diberlakukan di jalan-jalan yang diberi tanda dengan papan bertuliskan "Anda Memasuki Kawasan Tertib Lalulintas Patuhilah UU No. 14/1992 dan Peraturan Pelaksanaannya". Tulisan berwarna putih pada papan kayu bercat biru tersebut menunjukkan bahwa sepanjang jalan itu diatur berdasarkan UU No. 14 tahun 1992, pemakai jalan yang melanggar akan dikenai denda sesuai yang ditetapkan undang-undang.
Namun UU No. 14 tahun 1992 tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemakai jalan yang dihentikan petugas karena melakukan pelanggaran masih dapat menawar besarnya denda yang harus dibayar maupun cara penyelesaiannya. Seperti yang saya alami ketika dihentikan petugas karena menerobos lampu pengatur lalulintas. Besarnya denda yang harus saya bayar tidak sesuai dengan daftar denda yang disodorkan polisi kepada saya. Berdasarkan tabel denda, untuk pelanggaran tersebut seharusnya saya membayar denda sebesar Rp. 25 000,00 tetapi petugas tersebut menentukan denda sebesar Rp. 15 000,00. dan berkata:
" Karena surat-surat dan motor Saudara lengkap dan Anda bersikap sopan kepada petugas, Anda saya anggap melakukan pelanggaran di luar KTL jadi dendanya lebih murah. Kalau Saya masukkan di wilayah KTL Anda harus membayar sesuai dengan daftar ini, daftar ini resmi dari Polda, lihat cap dan tanda tangannya".
Setelah beberapa saat terjadi tawar - menawar saya kemudian diberi beberapa pilihan untuk penyelesaiannya, yaitu diberi surat bukti pelanggaran untuk mendatangi sidang di pengadilan, diberi surat untuk membayar denda ke bank atau "menitipkan" pembayaran denda saat itu juga kepada petugas tanpa diberi surat apapun dan SIM saya langsung dikembalikan.
Besarnya denda yang harus dibayar oleh pelanggar dijadikan alat untuk memaksa pemakai jalan agar jera melanggar rambu-rambu lalulintas dan berperilaku tertib. Peristiwa ini menunjukkan bahwa kepatuhan pemakai jalan terhadap undang-undang dilandasi oleh ketakutan terhadap ancaman denda yang harus dibayar kalau melakukan pelanggaran.
Pada sisi lain, para pelanggar undang-undang lalulintas tersebut juga memberikan pemasukan bagi pendapatan daerah lewat denda yang harus dibayar oleh para pelanggar. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan jumlah kasus pelanggaran lalulintas dan besarnya denda dari Satlantas Polwil Yogyakarta pada tahun 1991 dan tahun 1995 yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta . Pada tahun 1991 Kasus pelanggaran yang terjadi adalah 78.454 kasus dan besarnya denda Rp. 244.357.350,00, sedangkan pada tahun 1995 terjadi 43.132 kasus dan besarnya denda Rp.404.454.200,00. Pada tahun 1995 jumlah pelanggaran menurun tatapi jumlah denda yang diterima pemerintah justru meningkat.
Dari titik pandang ini dapat dilihat bahwa kedisiplinan dan ketertiban di jalan raya menjadi sebuah dongeng yang dijadikan legitimasi pemerintah untuk dapat menarik uang dari pemakai jalan lewat denda yang diberlakukan. Lewat mekanisme operasi lalulintas yang dilakukan sebagai upaya menertibkan pemakai jalan sebetulnya menunjukkan rapuhnya ketertiban di jalan karena dilandasi oleh adanya ketakutan untuk terlibat dalam pertukaran uang bukan berdasarkan kesadaran.
Suatu hari Abud ingin berangkat sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Sesudah melewati lampu pengatur lalulintas di simpang tiga Babarsari ia kemudian manambah kecepatan motornya karena dari jauh melihat lampu pengatur lalulintas di simpang tiga Janti menyala hijau. Ketika sampai di simpang tiga Janti lampu pengatur lalulintas tiba-tiba menyala kuning kemudian merah, karena kendaraan dari arah selatan belum mulai bergerak dan dari kaca spion terlihat mobil yang mengikutinya, Abud terus menerobos lampu merah. Seorang polisi yang berdiri di depan pos penjagaan membunyikan peluit yang maksudnya menghentikan Abud tetapi Abud tidak menghiraukannya karena saat itu ada kendaraan lain yang mengikuti di belakangnya. Seorang pengendara sepeda motor mendahului Abud dan memberi tahu ada Polisi yang mengejar, tetapi Abud tidak mempedulikannya. Setelah sekitar 500 m dari pos Polisi tersebut tiba-tiba Abud dipepet oleh seorang polisi yang memintanya berhenti. Abud kaget kemudian berhenti dan menanyakan mengapa disuruh berhenti? Polisi itu meminta surat-surat dan mengajak Abud ke Pos penjagaan. Polisi itu menjelaskan, bahwa Abud telah melanggar lampu lalulintas. Perdebatan pun terjadi, Abud menyangkal dan mengatakan kalau saat itu lampu masih menyala kuning dan di belakangnya ada kendaraan lain dibelakangnya yang juga menerobos, kalau berhenti justru ditabrak oleh kendaraan yang berada di belakangnya . Namun polisi tersebut tidak bisa menerima alasan Abud dan polisi tetap meminta Abud ikut ke pos penjagaan. Abud pun tidak dapat mengelak lagi dan harus mengikuti kehendak polisi. Di Pos penjagaan tersebut Abud disodori lembaran kertas berisi tabel denda pelanggaran lalulintas dan tawar-menawar denda pun terjadi dan Abud harus "menitipkan" denda kepada petugas sebesar Rp.10.000.
Dari peristiwa tersebut dapat dilihat bahwa ketertiban yang didasarkan pada kepatuhan terhadap bahasa rambu tidak menjamin pemakai jalan untuk selamat. Abud dapat selamat dari ancaman tertabrak kendaraan dari belakangnya tetapi dia harus menjadi celaka karena harus kena denda. Pelanggaran yang dilakukan oleh Abud bukan berarti ia tidak mau berbuat tertib tetapi pengalamanlah yang membuatnya untuk menerobos lampu merah. Berkaitan dengan hal ini Boulding, (1972:41-51) melihat hubungan antara bentuk perilaku yang muncul dengan pengetahuan . Perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh bentuk pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut berasal dari pesan (message) yang berupa informasi yang kemudian dimiliki seseorang sebagai pengalaman.

IV. Semrawut: Saling Sikut Kepentingan dan Kekuasaan
Dalam rubrik Dari Anda yang dimuat oleh harian Bernas tanggal 27 Desember 1994 termuat sebuah surat dari pembaca sebagai berikut.
Jalan Gejayan Semrawut
Sebagai mahasiswa yang sarat dengan aktivitas, melintasi jalan raya santapan saya sehari-hari. Tetapi saya sering kesal bila sedang di jalan raya. Kondisi lalulintas sangat semrawut. Sangat menariknya perhatian saya adalah semrawutnya lalulintas jalan Gejayan. Terutama dari pertigaan IKIP Karangmalang sampai dengan Jalan Solo-Yogyakarta.
Ruas jalan tersebut sangat sempit, apalagi dibagi menjadi dua dengan pot-pot tanaman. Banyaknya toko di sepanjang jalan itu menyebabkan banyak pula mobil yang diparkir. Apalagi di sisi Timur jalan ada pasar Demangan yang cukup ramai. bus kota, colt, dengan seenak hatinya berhenti di sembarang tempat untuk menurun-naikkan penumpang baik mbok-mbok yang akan berjualan atau mereka yang akan belanja. Angkutan umum berhenti berlama-lama.
Itu menjadi pemandangan yang biasa di jalan itu. Padahal sangat tidak mengenakkan bagi pemakai jalan. Saya sangat mengharapkan pihak yang terkait memikirkan masalah ini. Kepada seluruh pemakai jalan, saya menghimbau untuk saling peduli.

Secara jelas pengirim surat menggambarkan situasi Jalan Gejayan yang dianggap semrawut, kata semrawut tersebut mengacu pada perilaku para pemakai jalan yang menjadi penyebab kesemrawutan di Jalan Gejayan. Pernyataan tersebut menunjukkan adanya saling berebut kepentingan di jalan raya
Hampir setiap waktu jalan raya tidak pernah sepi orang dengan berbagai aktivitas seperti penjual bensin, koran, rokok dan jasa tambal ban serta warung-warung makan pada malam hari. Hadirnya pedagang, tukang parkir, pengemis maupun pengamen di jalan raya membuat jalan tidak hanya menjadi tempat untuk melintas namun juga menjadi lahan untuk mendapatkan peluang ekonomi. Maka saling serobot dan saling sikut kepentingan terjadi.
Jalan raya sebagai lahan ekonomis salah satunya muncul dalam bentuk usaha jasa angkutan umum. Salah seorang sopir colt jurusan Prambanan-Terban sebut saja namanya Brengos, dulu adalah pemilik colt angkutan umum sekaligus sebagai sopirnya. Karena alasan tertentu ia terpaksa menjual colt angkutannya dan kemudian menjadi sopir pada seorang pemilik colt angkutan. Suatu saat Brengos berkeluh kesah bahwa sekarang Ia harus pandai-pandai membaca situasi agar mendapatkan penumpang. Ia harus dapat memperkirakan sampai di tempat-tempat tertentu pada jam-jam tertentu saat banyak penumpang. Ia pun harus dapat menghindari berhenti di lampu merah atau menerobos lampu merah di tempat-tempat tertentu agar tidak disusul oleh angkutan di belakangnya, karena jarak waktu antara angkutan satu dengan angkutan berikutnya hanya berkisar antara 2-3 menit. “nek ora pinter-pinter golek penumpang isa ora setoran”, (kalau tidak pandai-pandai mencari penumpang bisa tidak setoran) katanya. Saat masih mengemudikan angkutan miliknya sendiri Brengos tidak memikirkan setoran dan lebih santai dalam mencari penumpang, yang penting mendapat uang kemudian memberikan sebagian perolehannya kepada kernet. Seorang sopir Colt jurusan Prambanan-Terban yang menjalankan angkutan bukan miliknya sendiri setidak-tidaknya harus memperoleh uang Rp. 30.000,00 dalam sehari untuk membayar setoran, membeli solar, retribusi dan untuk makan dengan kernetnya. Sedangkan dalam waktu satu hari rata-rata hanya dapat berjalan 2,5 kali bolak-balik .
Berusaha mendapatkan penumpang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara seperti berebut penumpang dengan awak angkutan lain atau melebihi kapasitas penumpang merupakan bentuk perilaku tertentu sebagai siasat untuk mendapatkan uang. Kadangkala dengan sengaja sopir berhenti agak di tengah jalan saat menurunkan atau menaikkan penumpang agar lalulintas menjadi terhambat sehingga angkutan di belakangnya tidak dapat menyusul.
Alasan “mengejar setoran” menjadi alasan klise para awak angkutan ketika mereka tidak tertib mengemudi dan dianggap mengganggu pemakai jalan lainnya seperti yang ditulis oleh pengirim surat di atas. Kolompok yang terlibat langsung dalam usaha jasa angkutan ini akan berperilaku berdasarkan tuntutan, hasrat dan keinginannya untuk mendapatkan uang. Uang menjadi pertaruhannya dan berkaitan langsung dengan persoalan hidup. Hal tersebut dapat dilihat lewat peristiwa-peristiwa pemogokan awak angkutan akibat adanya penumpukan jalur dengan armada angkutan baru, ataupun perkelahian antara awak angkutan.
Bentuk aktivitas lainnya adalah munculnya pedagang-pedagang koran, pengamen dan pengemis yang memanfaatkan pemakai jalan yang sedang berhenti di lampu merah. Seperti yang terjadi di Jalan Gejayan. DI Ruas jalan sisi timur terdapat pengamen yang mulai beraksi saat lampu pengatur lalulintas menyala merah dan pemakai jalan berhenti seorang pengamen yang semula berdiri di sisi selatan jalan mulai mendekati pengendara mobil. Di dekat jendela mobil bagian depan pengamen tersebut mulai bernyanyi. Setelah diberi uang ia lalu menganggukkan kepalanya kemudian mencari sasaran mobil lain. Bila melihat pengemudi mobil menggelengkan kepala pengamen itu pun mencari sasaran lain. Setelah lampu pengatur lalulintas menyala hijau pengamen tersebut kembali berteduh di sisi selatan jalan atau berdiri tepat di tengah jalan sambil membawa gitarnya untuk menunggu lampu kembali menyala merah.
Di ruas jalan dari arah selatan terdapat seorang pengemis yang duduk di dekat lampu pengatur lalulintas sebelah timur. Saat pemakai jalan berhenti pengemis tersebut menadahkan tangan ke arah pemakai jalan sambil mulutnya berkomat-kamit seperti mengucapkan sesuatu namun tidak sepatah kata pun terdengar. Pemakai jalan yang tidak ingin memberinya uang akan berpura-pura tidak melihatnya dan tidak mempedulikannya. Bila ada seseorang yang melemparkan uang kepada pengemis, si pengemis segera mengambil dan memasukkannya ke dalam gelas plastik bekas tempat air mineral. Orang-orang di sekitarnya yang saat itu sedang menunggu lampu menyala hijau mengalihkan pandangan kepada pengemis tersebut. Bila sedang tidak ada pemakai jalan yang berhenti pengemis tersebut mengumpulkan uang yang diperoleh dan memasukkan ke dalam kantong lusuh yang diletakkan di sampingnya. Sesekali waktu direguknya minuman dari sebuah botol bekas tempat air mineral yang dibawa kemudian memasukkannya kembali botol itu ke dalam kantong lusuhnya. Ia akan kembali beraksi bila ada pemakai jalan yang berhenti.
Dalam memilih tempat untuk beroperasi para pengemis, pengamen atau pedagang koran akan memilih perempatan jalan karena lampu pengatur lalulintasnya lebih lama menyala dan memilih sisi jalan yang lebih ramai arus lalulintasnya. Mereka memilih beroperasi di sekitar lampu lalulintas karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk menghentikan arus lalulintas. Pada saat lampu lalulintas rusak akibat demonstrasi pada Bulan Mei lalu para pengamen dan pengemis di beberapa persimpangan pun kehilangan lahan mencari uang.
Bentuk lain pemaksaan kepentingan dan kekuasaan dapat dilihat dari aktivitas yang dilakukan oleh tukang parkir. Sekitar pukul 17:00 WIB di sepanjang pusat pertokoan Jalan Oerip Sumohardjo mulai ramai terutama pada malam Minggu. Antrean kendaraan seringkali terjadi mulai dari perempatan Gejayan sampai depan Galeria Mall. Ruas jalan ini hanya diperuntukkan bagi arus lalulintas dari arah timur. Sisi selatan jalan tersebut digunakan untuk memarkir sepeda motor sedangkan bagian utara dipakai untuk memarkir mobil pengunjung tempat itu. Setiap tukang parkir memiliki daerah kekuasaan sendiri-sendiri. Tukang parkir seringkali berteriak-teriak sambil melambai-lambaikan tangan hingga ke tengah jalan untuk menghadang pengendara sepeda motor yang datang dari arah timur agar memarkir kendaraan di daerah kekuasaannya. Tukang parkir tersebut menghadang pengendara sepeda motor yang berjalan lambat di sisi selatan walaupun pengendara tersebut tidak ingin memarkir di tempat itu. Setiap kali ada pengendara sepeda motor yang berjalan pelan mereka langsung merentangkan tangannya menunjukkan tempat yang masih tersisa untuk memarkir motornya. Bila pengendara tersebut berhenti dan memarkir kendaraanya tukang parkir akan mengejek temannya di lain tempat tetapi bila pengendara sepeda motor terus berjalan tukang parkir tersebut pura-pura tidak melihat dan mengalihkan pandangannya kepada pengendara lain.
Berbeda dengan tukang parkir di sisi selatan, tukang parkir mobil di sisi utara tidak seagresif tukang parkir si sisi selatan menghadang pengendara untuk menunjukkan tempat parkir yang masih ada. Namun saat ada mobil yang akan keluar, tukang parkir mobil seringkali berdiri hingga di tengah jalan sambil merentangkan tangannya memaksa pengendara dari timur untuk berhenti agar mobil yang ingin keluar dari areal parkir dapat segera berjalan walaupun situasi sedang ramai. Bahkan tidak segan-segan mengeluarkan kata-kata kasar mana kala ada pengendara yang tidak menghiraukannya.
Tempat-tempat strategis di ruas-ruas jalan tertentu menjadi seperti kapling-kapling untuk lahan usaha dan “dimiliki” oleh orang-orang tertentu. Karena merasa bahwa jalan raya merupakan ruang publik dan menjadi wilayah “tidak bertuan” maka kemudian semua orang merasa boleh memanfaatkannya, sehingga yang terjadi kemudian adalah perebutan wilayah untuk dijadikan lahan usaha. Setiap orang kemudian membuat aturan sendiri-sendiri sehingga yang terjadi kemudian adalah tidak adanya aturan karena tidak ada otoritas. Pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk mengaturnya karena aturan yang dibuat pemerintah--salah satu contohnya rambu-rambu lalulintas--seringkali dilanggar oleh para pemakai jalan. Jalan pun menjadi arena yang penuh dengan tipu-menipu, saling gertak, rebutan dan adu kekuatan.
Di samping terdapat orang-orang yang mencari peluang ekonomi juga terdapat orang-orang yang menempatkan jalan raya sebagai sarana perlintasan. Ini dilakukan oleh pemakai jalan pada umumnya yaitu pemilik kendaraan pribadi. Bentuk perilaku sosial kelompok ini tidak didasarkan oleh persoalan yang bermuara pada persoalan hidup tetapi sangat dipengaruhi dalam mengkonsumsi dan berusaha mewujudkanya citra (image) akan kenyamanan, ketertiban maupun kecepatan saat berada di jalan raya. Sehingga pemenuhan akan mulus dan lebarnya jalan, bebas dari teror pengamen dan pengemis, tanpa ada aktivitas sekunder di jalan menjadi tuntutannya.
Pemerintah juga turut ambil bagian dalam proses sosial di jalan raya terutama dalam bentuk praktek pembangunan yang dilakukan lewat jaringan birokrasi dan institusi yang dimiliki. Melalui Pemda dan polisi pemerintah masuk dalam perbincangan mengenai jalan raya mulai dari pemenuhan fasilitas, menarik pajak kendaraan, serta menempatkan jalan raya sebagai parameter keberhasilan pembangunan, bahwa dengan membangun jalan yang lebar dan mulus berarti pembangunan telah berhasil.

V. Semrawut yang Enak Dilihat
Situasi semrawut yang terjadi di jalan raya adakalanya menjadi suatu yang enak dilihat dan dinikmati. Hal ini dapat dilihat pada masa kampanye pemilu 1997 yang dimulai tanggal 27 April 1997 - 23 Mei 1997. Seperti masa kampanye pemilu sebelumnya kampanye pemilu 1997 dimeriahkan dengan tontonan rutin berupa konvoi kendaraan dengan suara knalpot yang gemuruh meledak-ledak.
Selama masa kampanye, jalan raya mampu menyedot perhatian banyak orang. Mulai pukul 14.00 WIB hingar-bingar suara konvoi kendaraan peserta kampanye mulai terdengar. Para warga yang tinggal di sekitar jalan yang dilewati arak-arakan kampanye mulai bergerombol di tepi-tepi jalan untuk menyaksikan konvoi kampanye yang lewat.
Selama masa kampanye saya mencoba mengamati peristiwa tersebut dengan beberapa kali mengikuti kampanye salah satu OPP ataupun dengan melihat saja dari pinggir jalan. Salah satu tempat yang menarik untuk dilihat adalah di pertigaan IAIN terutama saat kampanye PPP. Sebelah utara pertigaan ini terdapat sebuah pos polisi, di sebelah timur terdapat tempat parkir bekas gedung Galael, tempat ini menjadi penuh dengan warga yang ingin menyaksikan arak-arakan kampanye. Sepanjang trotoar ke arah selatan dan ke arah barat penuh dengan penonton, beberapa di antaranya membawa atribut PPP. Di depan pos polisi terdapat 7-10 Polisi yang berjaga-jaga. Tangan kirinya memegang perisai, tangan kanan memegang tongkat rotan dan beberapa di antaranya membawa botol-botol gas air mata di pinggangnya beserta senapan berlaras panjang untuk melontarkan gas air mata. Sesekali petugas tersebut berjalan ke timur dan ke barat sambil mengacungkan tongkatnya agar penonton kampanye tidak maju ke tengah jalan.
Suara deruman knalpot kendaraan para peserta kampanye mulai terdengar dari arah selatan. Beberapa Polisi lalulintas tampak mulai sibuk menghentikan arus lalulintas dari arah barat dan arah timur. Puluhan peserta kampanye datang dari arah selatan. dengan bermacam-macam kostum bergambar bintang. Barisan paling depan adalah kelompok pengendara sepeda motor sambil menari-nari di atas sadel mengikuti irama deru suara knalpot. Di belakangnya diikuti mobil dengan suara meraung-raung bersaut-sautan dengan deruman sepeda motor. Sambil mengibar-ngibarkan bendera bergambar bintang peserta kampanye berteriak-teriak bercampur dengan gemuruhnya suara kenalpot. Peserta konvoi dan penonton yang berada di pinggiran jalan mengacung-acungkan tangan dan bendera mengikuti irama gemuruh dan hingar bingar suara knalpot. Suara knalpot yang bersaut-sautan menimbulkan ritme tertentu yang selalu tetap seperti sebuah iringan marching band. Penonton yang semula hanya di pinggir jalan kemudian menyerbu ke tengah jalan dengan membawa bendera besar bergambar bintang menghentikan iring-iringan konvoi. Peserta konvoi berhenti dan turun dari motornya. Mesin motor tetap dihidupkan sambil digembor-gemborkan bergantian. Para penonton yang menyerbu ke jalan menari-nari mengikuti irama knalpot dengan mengacung-acungkan jari ataupun head bang . Jalan kemudian berubah menjadi sebuah panggung konser musik. Setelah beberapa saat lamanya para penonton kemudian kembali menepi dan peserta kampanye kembali berjalan. Kadangkala sepeda motornya tidak dinaiki. Sambil berjalan kaki mereka menuntun motornya perlahan-lahan sambil terus menggembor-gemborkan suara knalpot, reng-reng-reng….grook-grook…, reng-reng-reng… grook-grook…, begitulah kira-kira suaranya.
Para peserta konvoi kampanye tidak menggunakan helm pengaman, perlengkapan sepeda motor atau mobilnya pun dilepas dan bahasa rambu tidak lagi digunakan. Saat mengikuti kampanye salah satu OPP, saya memboncengkan seorang teman dan kami berdua mengenakan helm. Namun setelah beberapa saat masuk di dalam barisan konvoi saya menjadi aneh dengan helm yang saya pakai karena pengendara lain di sekitar saya tidak ada satu pun yang memakai helm. Saya nampak seperti pemakai jalan yang terjebak dalam konvoi kampanye walaupun saya memakai atribut berlambang OPP seperti peserta yang lain. Menyadari hal itu saya pun kemudian melepas helm saya, demikian juga dengan teman saya. Saat itu sedikit pun tidak terpikirkan oleh saya bahwa apa yang saya lakukan telah melanggar peraturan lalulintas. Saat saya hanya menonton di pinggir jalan saya juga tidak menganggap tindakan para peserta kampanye melanggar aturan karena tidak mengenakan helm atau perlengkapan kendaraannya tidak lengkap. Para peserta konvoi menerobos lampu pengatur lalulintas, berjalan memenuhi jalan sambil menari-nari di atas sepeda motor atau mobil. Semakin keras deruman knalpot maka semakin membuat pengendara puas, semakin aneh kostum yang digunakan akan semakin menjadi pusat perhatian peserta lain maupun penonton di pinggir jalan. Polisi pun seringkali memberikan prioritas kepada mereka untuk terus berjalan walaupun lampu pengatur lalulintas menyala merah. Saat kampanye inilah aturan lalulintas mangkir.
Dengan mengikuti kampanye pemakai jalan dapat keluar dari kungkungan aturan yang pada situasi sehari-hari--di luar masa kampanye--tidak mungkin dilakukan. Seperti yang dikatakan oleh Cungkring usai mengikuti kampanye salah satu OPP
“Aku ki jane melu kampanye ki mung seneng le mubeng-mubeng kutha okeh kancane. Kapan meneh isa numpak motor mubeng kutha nganggo motor prethelan karo ora helman. Nek kon mlebu lapangan ngrungokke pidato we wegah.”

(Aku ikut kampanye itu hanya senang bisa putar-putar kota banyak temannya. Kapan lagi bisa putar-putar kota naik motor prethelan dan tidak memakai helm. Kalau disuruh masuk lapangan mendengarkan pidato saja malas).

Dengan menggunakan atribut OPP pemakai jalan dapat berperilaku yang tidak dapat dilakukan di luar masa kampanye. Saat tidak sedang dalam masa kampanye berkendaraan seperti yang dilakukan oleh peserta kampanye dianggap mengganggu ketertiban, misalnya konvoi yang dilakukan oleh siswa SMU setelah pengumuman kelulusan atau konvoi yang dilakukan oleh salah satu OPP sebelum masa kampanye berlangsung. Atribut berbau OPP tertentu menjadi alat untuk mensiasati agar tidak terlibat dengan mekanisme pertukaran uang
Saat kampanye itulah bahasa rambu sama sekali tidak bermakna. Petugas lalulintas yang pada hari-hari biasa selalu mengawasi pemakai jalan untuk mematuhi bahasa rambu tidak mampu lagi menjalankan tugasnya. Bahkan para petugas lalulintas menyuruh peserta kampanye terus berjalan walaupun lampu pengatur lalulintas sedang menyala merah.
Apa yang dilakukan oleh peserta kampanye bila dilihat dari sisi sehari-hari merupakan suatu bentuk kesemrawutan karena arus lalulintas menjadi terganggu namun pada sisi lain keberadaan mereka justru menjadi hiburan yang enak di tonton terlebih lagi pada menjelang akhir masa kampanye dengan digelarnya kampanye simpatik oleh salah satu OPP. Kampanye menjadi sebuah ajang kreativitas peserta kampanye dan menghilangkan kejenuhan akan situasi sehari-hari di jalan raya. Kesemrawutan peserta kampanye tidak diukur dari kepatuhan terhadap rambu-rambu lalulintas tetapi sejauh mana tindakan mereka mampu merubah kesemrawutan menjadi hiburan yang enak ditonton.

VI. Menjual Citra di Jalan Raya
Saat ini jalan raya telah manjadi mesin pencetak uang dan menjadi layaknya sebuah pasar tempat orang menjual berbagai hal. Tempat-tempat di pinggir jalan menjadi etalase untuk menawarkan sesuatu dengan merekayasa citra. Jalan raya menjadi tempat bagi iklan yang menggoda hati untuk membeli, juga perempuan-perempuan malam dengan pakaian dan make-up menor yang menjajakan diri di bawah temaram cahaya lampu jalan serta pengemis yang menjual citra memelas dengan berpakaian compang-camping untuk menarik rasa belas kasihan orang.
Saat sedang melintas, mata pamakai jalan akan disuguhi gambar-gambar dari space reklame yang terpampang menjulang di tepi-tepi jalan. Berbagai gambar-gambar terpampang dalam papan-papan yang menjulang menawarkan produk yang bersifat komersial maupun yang berisi anjuran atau publikasi. Bentuk visual yang ditampilkan dalam reklame tersebut menjadi salah satu bentuk representasi kapitalis dan pemerintah . Kapitalis yang muncul lewat visualisasi komersial untuk menawarkan suatu barang dan pemerintah yang muncul dalam bentuk reklame non komersial yang sifatnya untuk sosialisasi program seperti Gerakan Gemar Menabung, Keluarga Berencana, Jam Belajar Masyarakat dan Yogyakarta Berhati Nyaman.
Selain menjadi tempat untuk menawarkan suatu dagangan space reklame itu sendiri juga menjadi barang dagangan karena agen (perusahaan) sebagai pemasang produk harus membayar sewa kepada biro iklan tertentu yang mengelola space reklame. Bila ada suatu space reklame yang belum ditempati, pengelola akan mengiklankan tempat beriklan. Agen (perusahaan) yang memasang iklan harus mengajukan ijin dan membayar pajak kepada pemerintah setempat. Besarnya pajak dihitung berdasarkan ukuran dan lokasi papan reklame tersebut berada. Semakin besar ukuran reklame dan semakin strategis tempatnya akan semakin mahal pajak dan sewanya.
Berbagai macam ukuran dan gambar-gambar menghiasi tepi-tepi jalan raya. Gambar-gambar yang terpampang dengan mudah dapat ditangkap mata dan memotong pandangan para pemakai jalan. Pikiran pun dipengaruhi untuk tidak menjadi kosong karena dirangsang untuk berfantasi lewat visualisasi yang dihadirkan sehingga pemakai jalan dibawa untuk sejenak tidak memperhatikan keadaan dan rambu-rambu lalulintas. Papan-papan reklame semakin marak terpampang di tempat-tempat yang ramai dilalui orang dan strategis sudut pandangnya.
Simatupang (1996) melihat papan-papan reklame sebagai sebuah persaingan untuk menaklukkan “wilayah kosong”, “umum”, “ tak bertuan” yang dilakukan oleh agen. Wilayah itu adalah pikiran manusia.
Dalam berbagai bentuknya reklame berusaha secara terus-menerus merangsang indera manusia untuk terbentuknya citra-citra tertentu yang diinginkan oleh agen tertentu. Pikiran dan angan-angan manusia yang pada dasarnya merupakan hak milik pribadi, oleh para agen dianggap sebagai sesuatu yang “umum”. Perbedaan pikiran individual tidak lagi diperhatikan dalam reklame. Pribadi tidak mempunyai arti dalam reklame. Dengan sengaja reklame tidak menghendaki individu membentuk citra-citra tertentu. Dengan penuh kesadaran para agen tidak membiarkan para pengendara kendaraan berlalu begitu saja, melainkan harus disergap oleh image atau pesan tertentu yang terpampang pada reklame raksasa.

Gambar-gambar pada reklame tersebut mampu menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada di tempat itu, inilah yang menjadi kekuatan citra. Sontag (1977:153) menyatakan bahwa suatu masyarakat menjadi modern manakala salah satu aktivitas utamanya adalah mengkonsumsi dan mereproduksi citra. Citra memiliki kekuatan istimewa yang menentukan pola konsumsi orang terhadap sesuatu. Pihak agen (pemasang) menempatkan pemakai jalan sebagai pengkonsumsi citra yang dibangunnya.
Apa yang nampak dalam gambar-gambar reklame hanyalah citra dan untuk mewujudkan atau mendapatkan apa yang ditawarkan tentunya tidak dapat diperoleh di tempat itu namun harus berjalan lagi ke tempat barang tersebut berada (dijual). Saat suatu citra berusaha diwujudkan, gambar-gambar rekaan lainnya telah menawarkan citra lain untuk diwujudkan sehingga akan mengajak orang terus berjalan sementara tujuan satu belum lagi tercapai. Berbagai bentuk reklame menyajikan beragam citra yang memikat orang ke dalam jebakan modernitas.

VII. Penutup
Jalan raya memang telah berubah wajah atau justru muncul dengan banyak wajah. Jalan raya tidak hanya terdapat orang-orang yang ingin melintas namun juga menjadi arena tempat berlakunya kuasa-kuasa tertentu yang dilakukan mulai dari rakyat jelata, pemilik modal sampai pemerintah, sehingga benturan kepentingan pun terjadi karena setiap orang ingin mencapai hasrat dan keinginannya. Berbagai rekayasa, siasat, pemaksaan dan tipu-menipu dilakukan sehingga konflik muncul sebagai salah satu bagian dari interaksi sosial yang terjadi. Dengan mudah orang akan terlibat dengan sistem pertukaran ekonomi, sehingga bisa memperoleh untung dan bisa juga rugi. Bahkan orang berada dalam posisi antara selamat dan celaka. Jalan raya kemudian menjadi sebuah komoditi dan harus “dibeli” dahulu untuk dapat diakses, seperti munculnya jalan tol.
Berdasarkan pemikiran ini maka yang disebut jalan bukanlah yang secara fisik berujud lurus dan beraspal mulus, jalan sebagai tempat melintas hanyalah seluas tubuh yang berkelak-kelok mencari jeda di untuk dilewati. Jalan raya yang nampak secara fisik itu bukanlah untuk perlintasan namun menjadi belantara kepentingan dan rebutan kekuasaan.
Jalan raya sebagai salah satu bagian dari kehidupan kita nampak menjadi sebuah sistem yang terlepas dari tata sosial yang penuh aturan dan kemapanan. Di jalan raya itulah orang dapat melepaskan tekanan-tekanan sosial yang dihadapi. Jalan raya menjadi tempat yang nyaris tidak ada aturan yang mampu mengaturnya karena setiap orang berusaha membuat aturan sendiri-sendiri. Aturan yang berlaku adalah kekuatan. Kekuatan itu bukan hanya secara fisik atau ekonomi saja, kekuatan sosial (People power) juga mampu menjadi kekuatan yang dahsyat. Bukankah kekuasaan Soharto juga harus runtuh oleh aksi turun ke jalan ?.
(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No. 2/VII/1999

Daftar Bacaan


Berger, Piter L. dan Thomas Luckmann
1966 Tafsir Sosial Atas Kenyataan, Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.

Bernas
1994 Rubrik Dari Anda, 27 Desember.

1997 “Proyek Peningkatan Jalan Yogya-Prambanan, Membangun Lebih Manusiawi”, 11 Oktober

1997 “PPP DIY dan DKI Stop Kampanye”, 2 Mei.

1997 “Ditangkapi, Konvoi Tanpa Atribut OPP”, 3 Mei.


Boulding, Kenneth E
1972 “The Image” dalam Culture and Cognition Rules, Map and Plans, James. P. Spreadley (ed). Candler Publishing Company.

Dewi, Shavitri Nurmala

1991 Kehidupan di Balik Terali Besi: Studi Kasus Interaksi sosial Narapidana dalam Lembaga Pemasyarakatan Wanita Kodya Semarang, Jawa Tengah. Skripsi S-1. Yogyakarta: Antropologi Fakultas Sastra, UGM.
Ertanto, C.D
1992 Ritus Untuk Menjadi Jawa, Analisis 12 Gambar Foto malioboro. Skripsi S-1. Yogyakarta: Antropologi Fakultas Sastra, UGM.

Geertz, Clifford
1992 Tafsir Kebudayaan, Diterjemahkan oleh Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius.

Kartodirdjo, Sartono
1993 Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium Sampai Imperium, Jilid I. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kedaulatan Rakyat
1997 “Sehari 30 Jiwa Melayang di Jalan”, 19 September.

1997 “Setiap terjadi Kecelakaan Melibatkan Kendaraan Umum”, 25 Juni.

1996 “Hati-hati Jika Mengantuk di Jalan”, 28 Januari.

1997 “Yogya Itu Cantik Kok Diudal-udal”, 30 Januari.

1997 “Ditangkapi, Konvoi Tanpa Atribut OPP, 3 Mei.

Kompas
1997 “Kualitas Kota Tergantung Jaringan Jalan”, 20 Juli.

1997 “Tiap Hari Rata-rata 30 Tewas Korban Kecelakaan Lalulintas”, 19 September.

1997 “UULLAJ, Macan di Atas Ketas”, 7 September.

Laksono, P. M.
1985 Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa: Kerajaan dan Pedesaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

1988 Everyday Spatial Practices in Yogyakarta. Makalah Seminar tidak diterbitkan.

Pakpahan, M. B. Damaira
1994 Mitos dan Idiologi Pembangunan, Studi kasus Pembangunan Bendungan Kedung Ombo. Skripsi S-1. Yogyakarta: Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.

Semedi, Pujo
1994 “Budaya Jalan Raya Kita”, dalam Bernas, 31 Mei.

Siegel, James T
1986 “Phantasm of Shock: The Street and the House” dalam Solo in the New Order, Language and Hierarchy in an indonesian City. New Jersey: Princeton University Press.

Simatupang, Lono Lastoro

1996 “Umum, Pribadi dan Frontirisme: Sebuah Catatan Tambahan, Makalah Sarasehan Etnofotografi, Frontirisme di Perkotaan: Fenomena Sosial Budaya di Yogyakarta. Yogyakarta: Keluarga Mahasiswa Antropologi, UGM.

______________
1997 “Menuju Antropologi yang Transparan”, dalam Jerat Budaya No 1/I/1997.

Sontag, Susan
1977 “The Image-World, dalam On Photographi. New York: Farrar Straus Giroux.

Susanto, Budi, SJ
1993 Peristiwa Yogya 1992. Yogyakarta: Kanisius.

Susanto, Budi, SJ dan Supriyatma, Made Toni
1995 Abri Siasat Kebudayaan 1945 - 1995. Yogyakarta: Kanisius.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar