Sabtu, 04 Juli 2009

MEMBACA FOTO MEMBACA Sebuah Refleksi Metodologis

Ditulis oleh: Muhammad Zamzam F.

"... Foto? Apakah "minat baca"bisa difoto? ltu kan abstrak ... kayak idelogi. Apa (kah) ideologi bisa difoto? … wah angel (susah) eeee …. “ Kata (teman-teman) Etnoreflika.

“Apalagi ini….suruh baca Foto?” Kata seorang (tua) pengunjung pameran

“Bikin berfantasi” Iis dari Pondok Labu

“Foto-foto yang cerdas melihatkan hal-hal yang ‘biasa’ menjadi ‘tidak biasa’ “ Dessi K.Dewi

“Kesan Ilustrasinya bagus. Anglenya cukup’ngomik’ dan komunikatif. Tapi kurang cahaya..sekali-kali monokrom donk, biar lebih dramatis!” Dewi Hadin (FSRD. Trisakti)

“Foto-fotonya kurang komunikatif” Sopomo

“Untuk Foto Cukup informatif” WS. Koentjoro

“Fotonya Yogya Banget…komentarnya juga” Sodik…

“Mana yang lebih dulu, caption atau fotonya? Apakah ketika sang fotografer mengambil gambar sudah dalam konsep tertentu” Anto (Komunitas Visual Antropologi-UI)

“Foto dan komnetarnya lucu-lucu” No name.

KONTEKS : PERTEMUAN

Pada pertengahan bulan Agustus sampai bulan Oktober 2000, saya bersama teman-teman yang tergabung dalam Yayasan “Etnoreflika” mengadakan penelitian “Minat Baca” bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, salah satu anggota IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Penelitian yang kami lakukan bukan sebuah penelitian seperti “biasanya”, karena kami menggunakan foto sebagai “alat” penelitian, disamping Focus Group Discussion (FGD), Wawancara mendalam, dan studi literatur. Posisi foto dalam penelitian ini menjadi penting, karena laporan utama penelitian ini adalah berupa pameran foto dan seminar tentang “Minat Baca” pada acara “Book Fair” yang diselenggarakan di Jakarta Conventions Center (17-22 Oktober 2000), dalam rangka ulang tahun IKAPI yang ke-50. Misi (pesan sponsor) yang dibebankan pada penelitian dan pemeran foto kali ini, adalah memberikan masukan mengenai “Strategi Meningkatkan Minat Baca”.
Pertanyaan-pertanyaan pertama yang saya kutip diawal tulisan muncul ketika saya dan teman-teman mulai mempersiapkan penelitian tentang "Minat Baca" ini. Sementara, komentar-komentar dan pertanyaan dibawahnya berasal dari para pengunjung dan penonton pameran.
Pertanyaan pertama kurang lebih mempertanyakan “mengapa foto?” bukan laporan tertulis saja yang digunakan untuk “menggambarkan” minat baca masyarakat. Bagi kami (Etnoreflika) yang menyandang nama "Visual Ethnography" dan percaya bahwa segala bentuk dan praktik kebudayaan bisa "didongengkan" lewat penampakan visual, termasuk lewat foto, pertanyaan-pertanyaan tersebut nyaris muncul dalam konteks "bercanda" atau sekedar "mengolok-ngolok" apa yang kita percayai.
Pertanyaan dan komentar selanjutnya yang berasal dari penonton pameran, kurang lebih menunjukan keragaman pendapat atau “penafsiran” terhadap foto-foto yang kami sajikan. Sebagian bernada memuji, sebagian memberikan komentar teknis fotografis, sebagian lagi mengkritik, bahkan sebagian ada yang tertarik untuk membeli salah satu foto. Apa yang sebenarya terjadi ketika foto yang kami buat dengan “pesan-pesan” tertentu itu bertemu dengan penontonnya? Kejelasan? Kekaburan? Keragaman penafsiran?…
Namun, lebih jauh dari sekedar "candaan" atau "olok-olokan" dari kami, dan “pesan dan kesan” dari penonton pertanyaan-pertanyaan dan komentar itu kami anggap sebagai sesuatu yang serius, yang sengaja (atau tidak sengaja) kami gulirkan dan tangkap, sehingga kami bisa selalu merefleksikan apa yang tengah dan telah kami kerjakan. Pertanyaan yang memicu untuk "mempertanggungjawabkan” metode yang kami gunakan dalam penelitian "Minat Baca" tersebut.
Tapi bukan berarti kami hendak melarikan diri dari kontradiksi-kontradiksi dan persolan-persoalan yang muncul dalam pekerjaan kami, mungkin sebagian persoalan bisa kami atasi, namun persoalan yang lain masih tersisa dan tak pernah selesai. Tulisan ini mengambil posisi untuk memacu diri agar tidak pernah puas dan lalu mandeg.

FRAME I
(MASIH) SEPUTAR ‘OBJEKTIFITAS’ DAN ‘SUBJEKTIFITAS’
Apakah foto itu “objektif” atau “subjektif” ?
Adalah Roland Barthes, ahli semiotik dari Perancis dalam bukunya "Camera Lucida" (1981), kurang-lebih mempertanyakan hal serupa tentang sebuah foto. Apakah sebuah foto bisa berbicara tentang sesuatu "yang lain", sesuatu yang berada diluar dirinya (apa yang ditampakannya)? Pertanyaan itu langsung dijawab pada halaman pertama buku itu dengan ketidakyakinan. Barthes tidak yakin bahwa keberadaan sebuah foto mempunyai "kemampuan" dalam dirinya sendiri (1981:1). Sebuah foto memang bisa mengulangi sebuah peristiwa secara mekanikal, suatu yang tidak akan pernah bisa diulangi secara eksisitensial. Namun demikian, peristiwa yang tercetak dalam sebuah foto tidak akan pernah melampaui atas nama sesuatu yang lain. Kita hanya bisa seperti seorang anak kecil yang menunjuk pada sebuah foto: "lihat itu ... lihat ini … lihat itu ibu saya … lihat ini saya waktu kecil!". Barthes menyebut “peristiwa” sebuah foto sebagai “That The thing has been there” (ibid: 76). Bahwa peritiwa yang terekam dalam foto telah terjadi di masa lalu (past) itu tidak pernah bisa dibantah, dan itu hanya hadir sekali, tanpa pernah bisa terulang lagi. Foto yang hadir sekarang (present) adalah sesuatu yang berbeda.
Apabila demikian apakah sebuah foto mampu menunjuk pada ”kenyataan" secara alamiah dan transparan (obyektif) ? Dengan tegas kami menjawab: Foto tidak bisa menunjuk pada kenyataan secara alamiah, murni, transparan atau objektif. Secara mekanis atau kimiawi, foto memang mampu merekam sebuah kejadian (event) secara persis. Pada pengertian ini foto bisa dikatakan sebagai bentuk dokumentasi yang objektif dan bukti kehadiran sang pemotret pada saat peristiwa yang tercetak diatas selembar foto itu terjadi. "Saya sudah pernah ada di sana", dan selembar foto jadi buktinya. Namun dibalik yang nampak (visible) dari sebuah foto, kita perlu menyadari bahwa secara bersamaan ada yang tak nampak (invisible) disana. Yang tak nampak dan tak terlihat itulah yang sebenarnya membuat sesuatu jadi terlihat (Merleu-Ponty, 1968 via Lono Simatupang, 2000:1). Ketika kita mengarahkan kamera kepada sebuah objek, maka objek yang pantulan cahayanya jatuh tepat pada film maka akan nampak tajam ketika dicetak, sebaliknya objek lain yang pantulannya tidak tepat jatuh ke film akan terlihat kabur (Ibid.). Selain itu, ketika kita memotret sesuatu objek, kita mengenal sudut pengambilan (angle). Pada saat kita memotret dengan "low angle” misalnya maka panorama yang nampak akan berbeda dengan ketika memakai "high angle”. Setiap sudut pengambilan mempunyai kemampuan untuk menampakkan sesuatu, sekaligus mengaburkan yang lain. Lebih sederhana, dari sekedar sudut pengambilan, bahwa lubang tempat kita mengintip sesuatu lewat kamera, bagaimanapun juga adalah sebuah lubang yang terbatas. Ada yang bisa masuk ke dalam frame ada yang tidak, meskipun kita dapat menggonta-ganti lensa, keterbatasan tetap akan ada. Pilihan-pilhan atas keterbatasan-keterbatasan itu tentu tidak bisa dihindari, tapi bukan berarti kita abaikan. Setidaknya, kami berbicara jujur bahwa foto (juga bahasa) bukanlah sebuah "copy" dari kenyataan secara persis, alamiah, dan stabil. Namun, dalam foto (juga bahasa) penuh dengan rekayasa, kontruksi, kecenderungan-kecenderungan, dan intensi. Suatu hal yang tidak bisa dihindari namun harus disadari. Apabila uraian sebelumnya,saya ringkas kedalam fase-fase, maka pada fase ketika “objek” belum dipotret, “objektifitas” adalah sesuatu yang mungkin. Lalu pada fase pemotretan, walaupun pada proses pembakaran perakhalida didalam kamera adalah sebuah proses yang “objektif”, namun intensi si fotograper mulai berperan serta (dalam memilih, menonjolkan, dan mengaburkan objek). Maka pada fase pertemuan foto dengan penikmatnya (baik lewat pameran atau pun diluar pameran), foto tidak lagi “objektif” dan tidak pula “subjektif” melainkan “intersubjektif”. Proses pembacaan, pemahaman, dan perdebatan yang melibatkan berbagai macam tafsiran.

FRAME 2
DATA LAPANGAN DAN PEMOTRETAN
Untuk mendapatkan gambaran mengenai peta persoalan "Minat Baca" masyarakat dan riwayat hidup (biografi) membaca dari subjek tertentu, kami mengadakan Focus Group Discussions (FGD) dan Depth Interview (wawancara mendalam) dengan berbagai lapisan masyarakat di tiga kota, Yogyakarta, Jakarta dan Magelang. Dari hasil FGD dan wawancara tersebut kami menemukan persoalan-persoalan seputar citra buku di masyarakat, pandangan terhadap buku dan jenis bacaan yang lain, praktek membaca diantara praktek kebudayaan yang lain (menonton, mendengar), relasi buku dengan media massa lain (Internet, TV, Playstation, dll), dan pandangan masyarakat seputar informasi. Selain itu, untuk mendapatkan gambaran tentang konteks sosial, potitik, dan historis seputar persoalan "Minat Baca" kami melakukan studi literatur. Konteks itu meliputi sejarah permbangan bacaan dan media massa di Indonesia, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal perijinan dan pelarangan buku, program-program pemerintah yang berkaiatan dengan pengelolaan informasi dan pendidikan, dan yang paling aktual adalah penghapusan Departemen Penerangan, yang selama ini mengotrol laju informasi lewat media massa atau bacaan.
Setiap perkataan yang keluar dari mulut peserta FGD dan informan kami rekam. Dari kata-kata yang kami dengar dan rekam ini, kami mencoba meraba kebiasan-kebiasaan atau praktik-praktik membaca yang bisa direkam secara visual. Apa yang harus kami foto? Bagaimana posisi foto dengan data yang berupa kata-kata dan gagasan dari hasil FGD dan wawancara?
Lalu kami mencoba memahami bahwa setiap gagasan atau kata-kata perlu dicari bentuk materialnya dalam tingkah laku. Dalam hal ini "minat" (juga "selera") bagaimanapun selalu muncul dan dimunculkan dalam aktivitas yang dapat dipertunjukan (performative activity). Maka "minat" atau "selera" atau “kebudayaan” akan muncul dalam kecenderungan-kecenderungan (disposisi) dan praktik-praktik yang berhubungan dengan tubuh (bodily hexis) (Bourdieu 1977; Scieffien 1998: 195), posisi tubuh ketika dia membaca, cara duduk, buku yang dibaca, pakaian, di ruang-ruang apa dia membaca, dan lain-lain. Praktik-praktik membaca tersebut tentu mempunyai "logika praktiknya" sendiri. Semuanya terangkum dalam, apa yang disebut oleh Bourdieu (1977) sebagai “habitus”. Dalam pengertian yang sangat disederhanakan berarti meliputi kebiasaan-kebiasaan yang tidak sepenuhnya disadari oleh subjek, sebagai hasil dari sosialisasi.
Berangkat dari pemahaman seperti itu dan dari data (FGD, Wawancara, dan Studi Uteratur) maka pertama kami menempatkan kata Minat Baca pada posisi dengan tanda petik. Karena tidak seperti kata "minat" dalam nalar pasar yang menganggap "minat" hanya berhubungan rating penjualan buku, atau dengan kata lain, sebuah proses linear (pasif) dimana "subjek" berdasarkan kesadarannya berhubungan dengan "objek", dalam hal ini "pembaca" dan "bacaannya", kami memahami "Minat Baca" sebagai hasil dari proses pertemuan antara subjek dengan struktur diluar diri mereka. Atau, seperti yang telah diungkapkan diatas, minat baca ditanamkan lewat proses sosialisasi.
Maka objek yang kami potret yaitu: pertama, adalah gerak-gerik tubuh, mimik muka (gesture) dalam praktik-praktik membaca, dan bahan bacaan yang dibaca di ruang-ruang tertentu. Kedua, adalah “lembaga-lembaga" (aparratus), seperti perpustakaan, sekolah, toko-buku, pusat persebaran buku dan lingkungan sosial dimana "minat" itu dibentuk dan terbentuk untuk kepentingan tertentu. Dan yang ketiga, adalah iklan-iklan buku, kampanye-kampanye minat baca, slogan-slogan, atau propanga lainnya, sebagai salah satu alat sosialisasi dan penanaman ‘minat baca’ kepada masyarakat.
Pemahaman yang berimplikasi pada pemilihan objek foto tersebut tentu tidak seutuh dan serapi seperti ketika dituliskan diatas makalah ini. Pada saat itu, yang kami lakukan adalah perdebatan-perdebatan yang kadang melebar, mengkerut, melabrak kesana-kemari, debat dengan kusir atau tanpa kusir, kadang-kadang bersama-sama kadang-kadang perseorangan, dan disela-sela perbicangan dan perdebatan itu, pemotretan terus berjalan. Hasil FGD, wawancara, dan studi literatur (yang sebagian belum selesai atau tertata rapi) bisa dikatakan lebih bersifat "tentatif", penuntun, atau pengarah saja, bagi sang fotografer yang juga mempunyai pemikiran sendiri. Kondisi yang sedemikian rupa, tanpa alur dan skenario yang tidak terlalu ketat, justru memberi peluang untuk memperoleh apa yang luput kami perhatian.
Berhubungan dengan proses pemotretan tersebut, pada saat pameran muncul pertanyaan dari salah seorang penonton pameran, terutama ketika melihat foto seorang laki-laki gondrong membaca buku sambil tiduran dengan nikmat (sisipkan fotonya!), adalah :“foto ini rekayasa apa bukan, mas?” . Kemudian saya mencoba menegaskan apa yang dia maksudkan dengan kata “rekayasa” karena menurut saya, seluruh foto ini adalah hasil rekayasa mekanis dan kimiawi. Ternyata si penonton itu mempertanyakan, apakah foto itu dibuat dengan cara “mencuri-curi” atau si Gondrong di suruh untuk ber”pose” sedemikian rupa. Kalau itu yang dia maksudkan, maka saya mengatakan bahwa foto itu diambil dengan cara “mencuri-curi”, si objek tidak tahu kalau dirinya difoto. Namun kemudian saya menunjukan foto yang lain, foto seorang laki-laki tengah duduk selonjor diatas sebuah bangku dan membaca buku “Aksi Massa”-nya Tan Malaka dan memakai T-Shirt dengan gambar yang sama dengan buku yang dia baca (“Aksi massa” Tan Malaka) (sisipkan fotonya). Saya katakan bahwa foto itu adalah hasil “rekayasa”, dalam pengertian dia adalah seorang model yang kita minta untuk berpose. Namun, “pose” yang saya maksudkan adalah bukanlah pose yang “pasif” dalam pengertian tingkah laku dari sebuah target pemotretan, atau teknik tertentu dari si operator, melainkan sebuah “inntensi” atau “kehendak” dari sebuah “pembacaan” : melihat pada sebuah foto (Barthes,1981:78). Pada kasus foto pembaca “Aksi Massa” ini, kami ingin memancing “pembacaan” bahwa praktek membaca adalah proses “konsumsi” seperti halnya mengenakan T-shirt dengan gambar serupa. penafsiran (pembacaan) bahwa membaca adalah sebuah kegiatan ‘”konsumtif” ini kami peroleh dari data lapangan, lalu kami mencoba mencari atau membuat “pose” yang sedemikian rupa.
Maka dalam pengertian “pose” ini permasalahan mengenai foto yang “baik” adalah foto yang “alami”, “mencuri-curi”, atau sebuah “snaps shots”, dan foto yang “jelek” adalah hasil “rekayasa” dengan menggunakan model, menjadi tidak lagi relevan. Karena keberhasilan foto bukan pada bagaimana foto itu bisa meniru realitas , tapi bagaimana foto itu berperan dalam realitas, lewat proses “pembacaan”.

FRAME 3
PEMILIHAN FOTO (JUGA) TENTANG STUDIUM DAN PUNCTUM
Setelah berbagai perpustakaan, toko buku, padagang kaki lima, berbagai pose orang yang tengah membaca, berbagai macam iklan dan slogan minat baca, berbagai jenis bacaan dan obyek-obyek lainnya kami foto dan menghasilkan ratusan lembar foto, pertanyaannya kemudian "Mau kami apakah foto-foto itu?" jawabannya sederhana : "kami pilih!"
Untuk lebih memudahkan, kami klasifikasikan foto-foto tersebut berdasarkan "tema" fotonya, setidaknya kami bisa membuat klasifikasi demikian Pertama, foto-foto dengan tema "akses terhadap buku", meliputi foto-foto perpustakaan, toko buku, Taman Bacaan, dan pedagang buku kaki lima. Klasifikasi kedua, kami beri nama: "aktivitas membaca" meliputi berbagai praktek membaca di berbagai ruang dan waktu. Ketiga, "jenis-jenis bacaan", dan yang keempat "bacaan-bacaan alternatif", berupa foto-foto internet, praktek pemfotokopian buku, dan lain-lain. Sedangkan yang terakhir kami beri tema "ideologi", yang terdiri dari foto-foto yang merepresentasikan bentuk-bentuk otoritas dari lembaga-lembaga tertentu (negara dan pasar) dalam mengkontruksi, mengontrol, dan mempengaruhi, minat baca dan bacaan. Foto-fotonya sendiri terdiri dari peta persebaran buku, slogan-slogan dan kampanye minat baca, iklan di toko buku, peraturan-peraturan di perpustakaan dan lain-lain.
Tentu tidak semua foto yang jumlahnya ratusan itu masuk ke dalam kategori dan klasifikasi itu, dan sekali lagi kami harus memilih. Lalu apa yang menjadi dasar pemilihan, pertama tentu "tema" seperti yang telah dipaparkan diatas, selanjutnya tentu kami tidak hanya memilih berdasarkan "suka-tidak suka" atau "indah-tidak indah" ataupun berdasarkan teknik yang "baik" dan “benar", apalagi berdasarkan kategori-kategori yang biasanya diterapkan pada sebuah foto: "profesionaL", "scientific", "seni", "reportase", bla..bla..bla... Namun berdasarkan dualitas yang terdapat dalam sebuah foto, apa yang disebut Barthes (1981:25) sebagai: "studium" dan "punctum".


Sebuah foto tumpukan buku yang terlihat tua dan tak terurus didalam sebuah ruang dengan ram atau teralis besi, dan nampak sebuah gembok mengunci buku-buku itu disana (lihat gambar). Apabila kita amati foto tersebut, maka dia menginformasikan sesuatu yang "umum", ada tumpukan buku didalam ruang yang berteralis besi, dan ada gembok. Informasi yang "umum" itu disebut oleh Barthes sebagai "Studium". Suatu kata dari bahasa latin yang kurang lebih berarti "... sesuatu, selera bagi seseorang, sesuatu yang bersifat urnum, memliki antusias tertentu, tapi tanpa ketajaman yang spesial" (lbid:26).
Namun apabila kita amati dengan lebih teliti dengan melihat detail dari foto, nuansa temaram, tekstur kayu yang kuat dan (terutama) gembok, membuat kami termenung. Pandangan kami seolah keluar dari frame dan membayangkan sebuah "penjara" . Sesuatu yang menyengat, membuat terpaku, sebuah titik kecil dalam foto yang seolah menyengat si pengamat. ltulah yang oleh Barthes, disebut "punctum" (ibid:27). Punctum seringkali seolah keluar begitu saja dari sebuah foto tanpa kita sadari yang membawa bayangan kita keluar dari frame foto itu sendiri, membawa kita pada perasaan dan bayangan ''kengerian", "kesedihan" atau 'hasrat" tertentu . Punctum adalah sesuatu yang kita tambahkan pada foto. Sesuatu yang tidak ada di sana.
Konsekuensi dari pemahaman seperti ini, bahwa setiap orang menemukan punctum yang berbeda-beda dari sebuah foto, sangat tergantung pada pengalaman dan ukuran masing-masing orang yeng menyaksikannya. Atau, tidak setiap foto bagi seseorang mempunyai punctum. Foto bisa hadir hanya sebagai sebuah informasi, tanpa membuat orang tertegun, membayangkan sesuatu, perasaan tertentu.
Seperti kejadian pada saat foto tentang sebuah bangku penuh corat-coret di perpustakaan yang kosong (sisipkan fotonya) di perlihatkan dalam seminar, yang merupakan rangkaian dari acara pemeran buku IKAPI tersebut, seorang peserta seminar mengomentari foto itu, bahwa disana terlihat bahwa “perpustakaan selalu sepi pengunjung”, bagi dia “punctum”nya adalah deretan bangku-bangku yang kosong itu. Sementara bagi kami, justru adalah meja yang penuh dengan corat-coret itu. Kami membayangkan perpustakaan itu sering dikunjungi orang, namun aktifitas yang mereka lakukan bukanlah membaca, tapi mencorat-coret meja dan ngobrol, bahkan pacaran.
Kejadian seperti itu bukanlah sesuatu yang perlu kita “permasalahkan’, karena dualitas “Studium” dan “Punctum’” lebih menyangkut permasalahan “perasaan”, “pengalaman” dan “ukuran” dari orang-orang yang tentu saja berbeda-beda. Justru dualitas “studium-punctum” akan menghadirkan apa yang tidak bisa dihadirkan oleh si operator atau pembuat foto. Maka ketajaman dan keragaman pengalaman akan membuat foto-foto tidak sekedar jadi “informasi” , penghias brosur, majalah atau selesai di ruang pameran. Foto itu sendiri (bukan pemotret atau penonton) kemudian ikut menentukan perbincangan . Dalam hal ini tentang “Minat Baca”.

FRAME 4
FOTO DAN RANGKAIAN FOTO
Pada pembahasan diatas, saya masih berbicara foto tentang “minat baca” dalam konteks foto “tunggal”. Sementara dalam pameran foto yang kami kerjakan, foto-foto yang kami buat, kami rangkai dengan urutan tertentu. Maka saya akan berebiacara dalam kontkes foto “jamak”.
Kami susun foto-foto berdasarkan jalan cerita tertentu. Untuk keperluan menyusun "skenario' cerita tersebut, kami mencoba kembali mendiskusikan dan menginterpretasi data-data dari lapangan, lalu mencoba membuat rangkaian foto yang sesuai dengan interpretasi tersebut.
Kami rangkaikan foto berdasarkan proses “seleksi” dan “kombinasi”. Pada proses “kombinasi “ kami mencoba mengurutkan foto secara horisontal, atau proses ketersambungan antara foto yang satu dengan foto yang berikutnya atau sebelumnya (sintagmatik). Sedangkan pada proses “seleksi” kami mencoba memilih foto yang bisa saling menggantikan. Dalam proses ini foto yang satu dengan foto yang lain ditempatkan secara vertikal, lewat hubungan asosiatif atau keserupaan (paradigmatik). Berdasarkan hubungan ini foto yang tidak ditempatkan dalam (in absentia) dalam urutan, bisa menggantikan posisi foto yang ada dalam urutan, karena hubungan asosiatif tertentu. Maka perlu pemilihan foto mana yang paling dianggap cocok untuk menempati posisi itu.
Pada proses kombinasi, atau sintagmatik, hubungan antara satu foto dengan foto lain biasanya berupa hubungan sebab-akibat, atau sebagian-keseluruhan, sementara moda yang bekerja disebut “metonimik”. Istilah ini mengacu pada dimensi dimana sebuah foto hanyalah menunjukan sebagian untuk keseluruhan, misalkan sebuah foto ingin menunjukan sebuah perpustakaan maka dia cukup memperlihatkan bagian dari perpustakaan itu, misalkan rak-rak buku yang berjajar. Sedangkan pada dimensi paradigmatik, moda yang berjalan adalah “metaforik” atau hubungan-hubungan yang bersifat perumpamaan (tamsil). Misalkan. Seperti pada foto buku yang disimpan dalam kotak kayu besar dengan teralis besi dan gembok. Kotak itu bisa diumpamakan sebagai “penjara”, yang memasung kekebasan buku-buku tersebut untuk di baca.
Rangkaian cerita dalam pameran foto “Minat Baca” ini, secara sederhana demikian : penerbitan dan penerbitan bacaan itu telah dimulai sejak zaman kolonial, dengan didirikannya Balai Pustaka, maka foto pertama adalah foto yang menunjukan sebuah mobil (semacam perpustakaan keliling) yang digunakan oleh Balai Pustaka pada masa itu. Selanjutnya adalah foto di perpustakaan nasional, yang menunjukan peta perseberan buku di Indonesia yang berpusat dari Jakarta, dan sebuah patung seorang anak tengah membaca. Foto ini menunjukan pada zaman setelah kolonial, bacaan (masih) diatur oleh pusat yang bernama Jakarta. Foto-foto berikutnya menunjukan lembaga-lembaga yang mengatur bacaan dan praktek membaca, dari mulai perpustakaan dengan aturan-aturannya yang kadang berlebihan, lalu toko buku, dan bentuk-bentuk pengkomodifikasian bacaan yang lainnya. Foto-foto selanjutnya menceritakan keragaman aktivitas membaca, perlakuan terhadap bacaan dan jenis bacaan di masyarakat. Setelah itu disambung dengan foto-foto yang menunjukan media-media lain diluar buku dan media massa cetak yang menjadi alternatif bacaan atau menggantikan posisi bacaan.
Namun pada saat pameran berlangsung, saya tidak begitu yakin apakah semua skenario, atau jalan cerita itu bisa ditangkap oleh para penonton. Mengingat terbatasnya ruang pameran, sehingga kita tidak lagi mengurutkan foto satu-satu ke arah samping dengan jarak yang cukup enak untuk dinikmati . Akan tetapi, kami harus menempatkan foto-foto tersebut dengan urutan dari atas ke bawah, lalu dimulai urutan baru disampingnya dengan urutan yang sama (dari atas ke bawah) dan dengan jarak yang relatif berdempetan, sehingga tidak nyaman untuk dilihat. Bahkan kita harus merelakan beberapa foto tidak kami pasang.
Para pengunjung cenderung melihat foto sebagian saja, atau meloncat-loncat dari satu foto ke foto yang lain. Pada titik ini kemungkinan besar, pengunjung, masih melihat foto-foto tersebut sebagai foto “tunggal” yang tidak berhubungan antara satu dengan yang lain, kecuali bahwa semua foto menunjukan hal-hal yang berhubungan dengan masalah “bacaan” (praktek, jenis, peraturan,minat, dll).
Selain itu, dalam hal ini kami juga harus menyadari bahwa merangkaikan beberapa foto bukanlah sebuah pekerjaan yang sederhana, karena antara satu foto dengan foto yang lain bisa saling berlawanan, atau terjadi pengulangan. Seperti yang dilontarkan oleh beberapa pengunjung.

FRAME 5
FOTO , PESAN, DAN CAPTION
Apa bedanya sebuah foto dengan sebuah tulisan (teks) ketika digunakan untuk menyampaikan sebuah “pesan” atau kenyataan. Ketika sebuah peristiwa , kejadian, pesan atau “kenyataan” mencoba disampaikan lewat tulisan, maka “kenyataan” itu kemudian dirubah pada bentuk atau units yang berbeda dengan “objek” yang hendak dikomunikasikan, unit ini disebut tanda. Pada tulisan maka dikenal huruf-huruf, kata-kata, kalimat, atau kode-kode tertentu. Maka pada foto, meskipun “image” yang ditampilkan oleh foto tersebut jelas bukanlah “kenyataan” itu sendiri, akan tetapi setidaknya bersifat analogis (untuk tidak dibilang persis). Oleh karena itu, berbeda dengan bahasa, image sebuah foto adalah : “pesan tanpa kode”. Atau, “pesan yang bersifat kontinyu” (continuous massage) (Barthes,1977 :17).
Pada bentuk representasi kenyataan yang bersifat analogis dan imitatif seperti dalam kasus foto ini, maka muncullah “paradoks”. Maka kita kembali pada pembahasan di “Frame 1”, bahwa secara mekanis dan kimiawi foto seolah mampu merepresentasikan secara persis dan objektif , pada titik ini pesan-pesan yang muncul dalam sebuah foto disebut pesan-pesan yang bersifat “denotaif”. Namun ketika kita meneliti kembali tingkat-tingkat produksi foto, dari mulai pemilihan objek, pencahayaan, pembingkaian dan lain-lain, maka pesan-pesan yang denotatif dan objektif itu mendapatkan “perlawanan” dari pesan-pesan yang bersifat “konotatif” dan subjektif . Apalagi ketika foto telah masuk pada proses “pembacaan” dan “tekstualitas” dimana sangat tergantung pada konteks kultural, historis, ideologis, juga politis, maka muncullah pesan-pesan yang bersifat konotatif itu. Pesan konotatif ini akan ditangkap atau dimaknai secara berbeda-beda oleh setiap penonton foto (subjektif) .
Jika demikian, bagaimana kami bisa menyampaikan “pesan” (yang bersifat konotatif) kami bahwa : minat baca bukanlah sebuah proses pasif dan linear, atau masalah tinggi-rendah, dan rating penjualan buku, akan tetapi melibatkan kekuasaan, seperti negara, pasar, institusi pendidikan, dan siasat masyarakat, yang bertempur dalam sebuah medan.
Pada titik ini-lah kami mengunakan bantuan “teks” dalam bentuk caption. Hasil penafsiran kami terhadap foto-foto “minat baca’ yang kami buat, kami “hidupkan” lewat caption tersebut.
Maka, bukan lagi sebagai illustrasi atau realisasi dari kata-kata (data lapangan), tapi sekarang kata-kata yang menjadi parasit terhadap foto. Caption lebih menjadi upaya untuk “menghaluskan” atau merasionalisasikan foto. Konsekuensinya, lebih dekat teks terhadap image foto, maka semakin sulit untuk “mengkonotasikan” image foto itu, alias hanya terjebak pada pesan yang bersifat ikonografik (Barthes, 1977:78).
Namun, apakah pertukaran antara image foto dan teks bisa selancar itu? Lalu bisa ditangkap oleh penonton secara lancar pula?
Pada saat pameran berlangsung, dua orang pengunjung memperhatikan sebuah foto tentang sebuah toko buku yang cukup megah dan baru di Yogyakarta, bernama “Social Agency”. Di depan toko tersebut terpampang sebuah spanduk yang bertuliskan “Pusat Buku Murah”, “Diskon 20-30%”. Kami memberikan caption demikian pada foto ini : “Buku Murah Siapa Yang Untung?”. Dengan caption itu kami ingin membuka pembacaan, bahwa meskipun buku itu di diskon sampai 30% keuntungan tetap masih ditangan toko-buku dan distributor. Selain itu masalah “diskon-mendiskon” harus dimengerti dalam konteks persaingan bisnis dan startegi mencari untung pula. Jadi diskon bukan berarti buku itu benar-benar murah dan dapat dijangkau masyarakat secara luas. Namun bagi dua orang pengunjung tersebut, foto itu kurang lebih hanya memberikan “informasi”, menunjuk pada ketepatan lokasi atau peristiwa (denotatif), salah satu pengunjung berkata : “Di Yogya buku memang murah-murah!” (Sisipkan fotonya)
Atau, kasus foto yang lain…
Sebuah foto yang memperlihatkan jajaran buku pada sebuah rak di toko buku, foto itu terfokus pada buku “Pemikiran Karl-Marx” karya Frans-Magnis Suseno. Buku itu sudah terlihat begitu lecek dan “ikal”, bila dibandingkan buku-buku yang lain. Kami memasang caption demikian : “Laris Manis Gaya Marxis”. Pembuatan caption itu kurang lebih ingin mengundang pembacaan bahwa buku-buku yang selama ini diangggap “kiri” dan “menyesatkan” lalu tiba-tiba menjadi “laris- manis” sebagai bahan dagangan. Buku yang dianggap akan menerbitkan pemberontakan terhadap negara dan kapitalisme, tiba-tiba jadi bagian dari mekanisme kapitalisme tersebut. (sisipkan fotonya)
Seorang pengunjung yang mengaku aktif di FORKOT, salah satu gerakan mahasiswa yang dianggap radikal, berkomentar bahwa dia senang dengan foto itu, dan kalau bisa ingin memilikinya. “Saya jadi inget…sering baca di Gramedia sambil berdiri!” katanya.
Dari kedua kejadian tersebut, maka bisa dikatakan caption yang kita buat tidak selalu mampu menjadi semacam “pelabuhan” (anchorage) tempat menampatkan satu “petanda” (signified) dari lautan “petanda-petanda” yang mungkin dipilih oleh seorang pembaca dari sebuah “penanda” yang dalam hal ini sebuah foto.
Dengan demikian, sekali lagi, hubungan antara image foto dan teks akan lebih baik apabila difahami bukan dalam kerangka "struktural" ,"tingkatan”, "hirarki", atau pertukaran yang lancar dan mulus, tetapi seperti yang diungkapkan oleh Barthes kemudian, dalam bentuk-bentuk "pengingkaran". Namun bukan berarti pertukaran antara kata-kata (bahasa) dan foto menjadi suatu yang mustahil, akan tetapi kita harus memahami bahwa untuk membuat foto sebagai "bahasa yang lain" atau tambahan dan lampiran bagi bahasa, akan tidak masuk akal tanpa memahami pengingkaran-pengingkaran yang hendak mereka atasi. (Mitchell,1994: 285).
Maka hubungan antara foto dan caption ini, kami rancang bukan untuk menutup pembacaan lain terhadap foto. Namun, lebih untuk memancing pembacaan yang lebih luas atau lebih dalam. Hingga teks-teks di caption kami rancang sedemikian rupa untuk menjadi sebuah teks "terbuka", atau malah menjadi semacam "labirin" atau "pintalan benang”. Caption yang kami tulis bukan untuk menguasai foto, akan tetapi untuk menyerahkan diri sebagai pengamat yang tertawan (Ibid:307).

FRAME 6
VISUAL ETHNOGRAPHY; KETAJAMAN DAN KERAGAMAN
Mengapa foto? Tidak laporan tertulis saja (etnografi)?
Kami lebih memilih foto sebagai alat untuk membuat “dongeng etnografis” dari pada laporan secara tertulis, dengan pemikiran demikian : Bahwa foto karena ‘kontradiksi-kontradiksi” yang dimilikinya, entah itu masalah “objektif-subjektif”, “ide-praktek”, “studium-punctum”, “metaforik-metonimik”, atau “denotasi-konotasi”, mampu memberikan “ketajaman” pembacaan dan keragaman pemaknaan. Tanpa bermaksud untuk mengatakan bahwa “visual” lebih baik dari “verbal”, kami ingin membuat “dongeng etnografis” tentang kebudayaan tidak hanya disimpan di rak-rak buku, dan jarang orang membacanya, mungkin lewat tatapan mata kita bisa menafsir dunia dengan lebih tajam, penuh permainan, dan tanpa menampikkan suara-suara yang lain.
Sebuah etnografi , baik itu berupa teks (verbal) atau image (visual), bisa menjadi sebuah moda (cara) untuk mengetahui atau menunjukan sesuatu yang mengkonstruksi wilayah-wilayah yang tidak kita ketahui. Namun kami menginginkan sesuatu yang "terbalik", (visual) etnografi yang kita harapkan justru bukanlah tentang apa yang kita "ketahui" tentang sesuatu, melainkan tentang apa yang mencegah kita dari apa yang kita "ketahui", dan bagaimana itu dibentuk dalam akses-akses yang terbatas untuk kita ketahui (Mitchell,1994:190).
Dalam konteks penelitian “Minat Baca” implikasi dari pemikiran tersebut adalah : kami justru ingin menunjukan "subversi" dari kondisi "Minat Baca" yang selama ini (mungkin) dikontruksi oleh fihak-fihak yang berkepentingan dengan bacaan (negara, pasar, atau dunia pendidikan). Kami ingin menunjukan bahwa "Minat Baca" bukan hanya sekedar urusan "rating penjualan", “segmentasi”, atau “distribusi” yang terhambat, "Minat Baca" bukan hanya masalah "suka' atau tidak "suka", atau “Minat Baca” bukan hanya masalah menyalahkan masyarakat kita karena masih “bodoh” dan tertinggal oleh bangsa lain. Kami ingin menunjukan bahwa "minat baca" masyarakat harus selalu bergerak berdasarkan pada kebutuhan dan dinamika masyarakat yang beragam, hingga "minat" terhadap bacaan bukan hanya menghasilkan kegiatan yang pasif dan konsumtif. Padahal slogan yang kita kenal selama ini bahwa "minat" terhadap bacaan mampu "mencerdaskan bangsa". Apa iya ? Siapa mencerdaskan siapa? Siapa yang cerdas? Siapa yang (di)bodoh(I)? Apa itu kecerdasan?. Agaknya kita perlu berrefleksi.

(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No.4/III/2000)

DAFTAR PUSTAKA

Cahyo Dewo, Ertanto B., 1992, Ritus Menjadi Jawa ; Analisis 12 Gambar Foto Malioboro, Skripsi S1, Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Barthes, Roland, 1977, Image, Music, Text, Hill and wang, New York.
_____________,1981, Camera Lucida: Reflection on Photography, Hill And Wang, New York.
Bourdieu, Pierre, 1977, Outline Of A Theory Of Practice, Cambridge University Press.
Evans, Jessica, and, Hall, Stuart, (Ed.), 1999, Visual Culture : The Reader, Sage Publications.
Hall, Stuart (ed.), 1997, Representation: Cultural Representations and Signifying Practices, Sage Publications.
Hawkes, Terence, 1977, Structuralism and Semiotics, Univ. Of Calofornia Press.
Mitchell, WJT, 1994, Picture Theory, The University Of Chichago Press.
Sarup, Madan, 1993, An Introductory Guide to Post-Structuralism and Postmodernisme, The University Of Georgia Press.
Schieffelein, Edward L, 1998, "Problematizing Performance", dalam Ritual, Performance, Media, Felicia Hughes-Freeland (ed.), Routledge.
Selden, Raman, 1996, Panduan Pembaca Teori sastra Masa Kini, Gadjah Mada University Press.
Simatupang, GR Lono Lastoro, "Budaya Sebagai Strategi dan Strategi Budaya", datam Global/Lokal, Jumal MSPI, th.X-2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar