Jumat, 03 Juli 2009

KEPADA ANTROPOLOG(I)

Kata kebudayaan telah beranak pinak sekaligus berkembang seperti jamur di musim hujan. Sebagai sebuah kata, ia dapat memuat sembarang bentuk sekaligus mengandung sembarang makna, mulai dari paham “adiluhung” hingga paham "pinggiran", mulai status kelas sampai tidak lebih dari sekedar hiburan kampungan.

Namun demikian, dalam mempercakapkan kebudayaan, paling tidak ada dua makna yang sering digunakan (Nandi, 1996:1). Yang pertama, pengertian kebudayaan dihadirkan pada saat mengunjungi museum, berada di dalam tontonan atau berada di dalam pameran-pameran seni. Kebudayaan tidaklah lebih dari sebuah benda, sifat-sifatnya yang publik dan khas bisa dikemas secara konkrit. Makna kedua kebudayaan meminjam dari Antropologi. Makna kebudayaan mengacu pada asas-asas organis suatu cara hidup atau tradisi kehidupan sosial. Untuk melihat asas-asas organis dari suatu masyarakat, Antropologi menggunakan etnografi sebagai alat. Penulisan etnografi sendiri bertujuan agar kebudayaan, adat istiadat atau perilaku masyarakat yang diteliti dapat dipahami; apa yang semula asing, tidak dapat dimengerti kemudian dapat dipahami (Ahimsa Putra, 1994: 41).

Untuk membuat sebuah etnografi, seorang Antropolog, selalu menekankan pada dua item penelitian; pertama, di-diskripsikan dengan bantuan kategori-kategori lokal atau emik, yaitu kategori-kategori yang ada di dalam kebudayaan masyarakat itu sendiri. Pandangan ini berangkat dari asumsi bahwa kebudayaan memiliki justifikasi diri, yang dikenal dengan prinsip relatifisme kebudayaan. Hal ini karena manusia sebagai kreator dan aktor kebudayaan memiliki kapasitas simbolis. Manusia tidak hanya berbuat, namun manusia dapat berpikir --merencanakan, menilai dan mengenali-- karya yang dibuatnya. Dengan menggunakan kategori-kategori lokal, Antropolog merasa apa yang ditulis betul-betul mewakili seluruh "realita" yang ada disana, Clifford (1988: 15) menyebutnya sebagai otoritas etnografi.
Item kedua, etnografi dideskripsikan menurut sudut pandang peneliti atau etik. Penggunaan item etik dalam penulisan etnografi kurang memasyarakat. Hal ini karena adanya pandangan dengan menggunakan pendekatan etik, Antropolog dipandang seperti seorang Biolog yang sedang meneliti satu kawanan kera. Antropolog hanya dapat melihat dan mencatat perilaku kera, tanpa pernah bisa mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran kera tersebut (Lihat, Harris : 19 ). Dengan kecenderungan seperti ini, dalam banyak Antropolog yang menggunakan emik untuk penelitiannya.

Sementara Antropolog masih berkutat dengan persoalan etik dan emik dalam menulis etnografi, namun ada persoalan penting lain yang terabaikan yaitu tidak dilakukannya telaah yang mendalam tentang bagaimana bahan etnografi itu dikumpulkan. Dalam proses penulisan etnografi pun, interaksi emosional dan kultural antara penulis etnografi dengan masyarakat yang diteliti, dimana hal ini mempengaruhi hasil tulisan itu sendiri, sering diterlantarkan dan di dorong ke bawah permukaan.

Berkaitan dengan itu Clifford (1988: 41) berpendapat bahwa etnografi tidak hanya merupakan hasil pengamatan dan interpretasi dari si peneliti sendiri tetapi juga merupakan hasil negosiasi konstruktif antara peneliti dengan masyarakat. Berangkat dari pandangan ini, Marcus & Fischer mengungkapkan bahwa etnografi tidak semata-mata bertujuan agar kebudayaan, adat istiadat atau perilaku masyarakat yang diteliti dapat dipahami, tetapi juga merupakan kritik bagi kebudayaan itu sendiri. Lebih lanjut George Marcus & Michael Fischer (1986: 17-25) mengungkapkan bahwa sumbangan Antropologi --dengan etnografi sebagai produk-- dalam ilmu pengetahuan pada hakekatnya ada dua; Pertama mencoba melihat dan mengakui keanekaragaman dan perbedaan kebudayaan masyarakat manusia dan kedua, melalui pengakuan ini dengan menggunakan pengetahuan tersebut untuk menyoroti masyarakat Barat sendiri dengan tujuan refleksi ke dalam. Dari padangan Marcus & Fischer inilah kami akan membuat terbitan dengan judul “ETNOGRAFI SEBAGAI KRITIK KEBUDAYAAN”.
(Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Jerat Budaya edisi No. 1/I/1997)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar