Sabtu, 04 Juli 2009

PENDEKAR BODOH MENIKAM ANGAN

Di tulis oleh: IKUN ESKA

Ketika ia kemudian memejamkan mata, senja tinggal semilir angin, risik dedaunan dan kercik air pada sungai. Langit yang kemudian berubah warna dari jingga ke ungu, dari ungu ke tua, dari tua ke kelam tak lagi dilihatnya. Bahkan gerit belalang, keriuk jengkerik yang seperti serempak diperintahkan satu tangan untuk secara bersama menciptakan bunyinya, yang sesekali ditikam aum harimau dari tempat yang jauh, diselih desis ular air yang berenang, keletuk burung hantu, atau lolong serigala meraih bulan tak lagi didengarnya. Ia, di atas batu di tengah kali itu, tetap saja bersila. Memejamkan mata. Dengan dua tangannya yang tengadah di pangkuan. Sementara, waktu bagai lembar-lembar catatan dari buku yang ditanggalkan satu-satu dari lipatan ingatannya.
Ia sedikit menggerakkan kepalanya ketika sebuah pentungan melayang, cepat sekali dalam jarak yang dekat, ke arah kepala bocah gundhul yang menyembul dalam ingatan.
"Pletak!"
Keras sekali suara itu didengarnya kembali. Seperti ingin menahankan rasa sakit yang seperti datang lagi ia gigit bibir bawahnya. Angin mulai santer menyelusup pepohonan, menyelusup hutan, menyelusup malam. Menggoyang dedaunan, menggoyang hingga melambai seperti ikal rambutnya yang menjuntai dari balik ikat kepalanya. Sebutir embun terpental dari dahan yang menjurai ke sungai menerpa sisi kiri pipinya tepat ketika tangan laki-laki tua yang bersuara parau dari masa kecilnya itu berteriak marah menyambar wajahnya.
"Murid bodoh!"
Plak!
Bibirnya yang tipis, serupa busur pemanah, bergerak-gerak seperti ingin bicara di bawah kumisnya yang mulai tumbuh.
"Ya.., ya.., Guru. Saya ingat. Saya ingat" desis bocah gundhul itu menahankan sakit. Menahankan tamparan yang berikutnya.
"Apa?" sentak Sang Guru.
"Tahu, tahu. Artinya adalah, di empat penjuru samudera, semua adalah saudara!" jawab bocah itu dengan cahaya matanya yang berpijar gembira.
"Bagus! Tapi, tahukan kau siapa yang dimaksudkan saudara?" geram guru itu seperti tak suka melihat kecerdasan muridnya.
Murid itu bengong sejenak. Wajahnya yang sempat cerah sesaat kembali gerah. Antara cemas di matanya, ingatannya mencoba berlomba dengan hukuman yang bakal segera diterima.
"Siapa Guru?" lirih murid itu pasrah, akhirnya. Wajah dan tubuhnya mengerut siap menerima segala bentuk hukumannya.
"Siapa Guru?" ulangnya setelah hening agak lama.
Guru itu mengusap-usap punggung telapak tangannya seperti menimbang apa yang hendak dilakukan. Wajahnya yang tengadah bergerak-gerak seperti hendak menyapu pojok-pojok langit kelasnya yang tua: Atap yang bocor, sarang laba-laba bersepuh debu, dinding kayu yang berlubang karena rayap, jendela yang katupnya dicopot sejumlah musim.
"Siapa Guru? Tentu bukan kita, karena kau dan aku bukanlah saudara." jelas bocah gundhul itu mengatasi jeda yang lama.
"Bodoh! Yang dimaksud dengan saudara bukanlah pertalian yang berdasar kekeluargaan, tapi adalah persaudaraan berdasarkan peri-kemanusiaan, tahu?"
"Saya tidak mengerti Guru."
"Kau memang tolol. Bodoh. Dungu. Seperti kerbau. Mengajar kau tak bisa hanya dengan mulut saja. Tapi harus dengan tangan!"
Plak... Plak... Plak!
Bocah itu lalu hanya menunduk. Sudut bibirnya terlipat menahankan perih untuk tak pecahkan tangisnya.
"Sekarang sebutkan ujar-ujar yang kemarin telah aku ajarkan!" sentak sang Guru kemudian.
"Ujar-ujar yang mana, Guru? Kemarin banyak sekali Guru mengajarkan ujar-ujar" bingung bocah itu bertanya.
"Ujar-ujar yang ketiga!" perintah Guru.
Sunyi sejenak. Bocah itu mencoba mengingat pelajaran yang diterimanya. Guru itu menunggu. Di luar, siang menampilkan teriknya pada halaman melalui debu yang mengepul, melalui daun-daun kering yang ditanggalkan ranting-ranting. Selembar genting jatuh, rusuknya patah karena angin yang santer.
Tempat itu sebenarnya bukan sekolah. Hanya sebuah kuil dengan beberapa pendeta yang mencoba untuk tetap setia dan bertahan menunggu rumah ibadahnya rata dengan tanah. Bocah-bocah yang datang, yang diharapkan mengerti serba sedikit tentang bahasa dan sastra oleh orang tua yang berduit yang ada di sekitar kuil itu terlalu sedikit. Belum lagi ditambah kemanjaan kanak-kanak yang begitu sering menolak untuk bertahan berlama-lama mendengar suara parau dari pendeta yang mengajarnya. Maka, nyaris setiap hari hanya bocah gundhul itu yang setia bertemu dengan gurunya.
Itu pun lantaran terpaksa.
Bocah yang hanya tinggal memiliki Bibi yang terlalu sayang padanya itu selalu tak pernah bisa menolak perintah Bibinya. Dari pada melihat Bibinya sedih karena ia tak bersedia berangkat sekolah, ia selalu memilih menemui gurunya itu dengan resiko mendapatkan tamparan dan pukulan pentungan pada kepalanya yang plonthos atau pipinya yang tipis. Ia sebenarnya sering ingin bertanya, kenapa gurunya itu hanya kepada kepala dan pipinya saja suka berlaku kejam. Kepada murid-murid yang lain, pukulan pentungan itu, tamparan yang perih itu, selalu tak pernah menghampiri. "Itu tanda agar kau lebih rajin lagi belajar, Nak!" jawab Bibinya ketika sekali ia pernah mengadu. Ia sebenarnya masih ingin bertanya, kenapa hanya pada kepalanya saja dan bukan pada kepala murid yang lain yang juga tak bisa menjawab pertanyaan gurunya pukulan itu diberikan. Tapi pertanyaan itu segera ditahannya. Bibinya yang terlalu sayang padanya, telah terlanjur mengelus kepalanya dan berbisik penuh ketenteraman; "Kau memang harus rajin belajar agar kau tidak menjadi orang yang bodoh!" Dengan perlakuan yang seperti itu, hatinya menjadi tidak peduli pada setiap orang yang selalu menganggapnya bodoh. Ia tidak peduli pada tamparan guru sastra, ia tidak peduli pada hajaran guru silat yang disewa pamannya yang juga hanya berani menghajar dirinya dan bukan sepupu-sepupunya. "Ayo cepat! Dasar bodoh baru kemarin diajarkan sekarang sudah lupa!" bentak sang Guru yang merasa terlalu lama menunggu muridnya itu mempekerjakan ingatannya. "Jangan.... Janganlah kau perbuat kepada orang lain sesuatu yang kau sendiri tak suka orang lain perbuat kepadamu!" pekik bocah itu berkata. "Bodoh! Itu adalah ujar-ujar yang kita pelajari kemarin lusa, bukan yang kemarin. Kau selalu sebut ujar-ujar itu saja. Agaknya hanya ujar-ujar itu yang dapat memasuki batok kepalamu yang keras itu." "Memang aku paling suka pada ujar-ujar itu, Guru!" jawab anak itu tiba-tiba berani. "Mengapa begitu?" "Harap Guru suka terangkan dulu, apakah semua ujar-ujar Nabi Khong Hu Cu baik dan betul?" "Tentu saja, tolol! Kalau tak baik dan tak betul tidak dipelajari orang sedunia." "Kalau begitu, apakah Guru suka kalau kutampar mukanya?" "Apa katamu? Kau... Kau... Bangsat!" (Entah kenapa Guru itu tak menampar kali ini.) "Guru tadi menampar pipiku, tapi tidak suka kalau kutampar. Bukankah itu menyalahi ujar-ujar yang kita pelajari?" Sambil berkata begitu, mata bocah itu bergerak-gerak penuh cahaya yang gembira. Sementara mulutnya yang terbuka bertahan sekuat mungkin untuk tidak meledakkan tawa. Dan gerak mata dan bibir itu menyihir juga bibir dan mata yang telangkup di bawah malam dalam hutan di tengah kali. Bibir dan mata yang bertahan diam semenjak senja. Bibir dan mata yang disangga dada yang bidang, lengan yang tak kekar tapi menyimpan tenaga yang besar. Bibir dan mata yang berada dalam wajah yang telur dan memancarkan cahaya yang bersahaja. Cahaya yang lugu apa adanya. Bibir dan mata yang diam semenjak senja itu pun mencoba untuk tidak melepaskan tawa mengingat peristiwa dari masa kecilnya. Dan ketika bayangan guru sastra yang galak itu punah dari waktu yang berkelebat di kepalanya, ia melihat lagi bocah gundhul yang berlari-lari menghindari lemparan-lemparan batu dari tiga kakek kekar di kaki gunung Kiam. "Bodoh! Kau tidak bisa hanya mengandalkan berlari dan berlari dalam menghindari serangan jarak jauh!" bentak salah satu dari kakek itu. Bocah gundhul itu menghentikan larinya. Matanya yang bening dan suram menampilkan iba. Dari cahayanya ia seperti ingin berkata-kata. "Lihat apa yang harus dilakukan menghadapi serangan jarak jauh!" Lalu kakek itu menyuruh dua kakek lainnya untuk menyerangnya dengan lemparan batu. Dari jarak sepuluh langkah bocah itu memandang terkagum-kagum melihat bagaimana kakek itu menggeliat, mencondongkan tubuh, mengangkat sebelah kaki, memenglengkan kepala dan berpuluh bahkan beratus batu tak ada satu pun yang menyentuhnya. "Nah, kau tahu bagaimana caranya menghindar?" Kepala gundhul itu lalu mengangguk. "Mari kita coba!" Dan bocah gundhul itu mencoba mempraktekkan apa yang baru saja dilihatnya. Tapi baru saja ia akan mengangkat sebelah kaki menghindari lemparan batu yang pertama. Sebuah kerikil tiba-tiba telah melesat cepat sekali menusuk perutnya mendahului batu yang pertama. Maka ketika batu dan kerikil itu bertubi-tubi datangnya dengan cepat sekali, ia pun tak ingin meniru gerakan-gerakan kakek yang tadi mengajari. Cepat ia kemudian berlari menjauh, berputar-putar di tanah lapang itu sambil memegangi kepalanya yang gundhul. "Dasar Goblok!" "Bodoh!" "Tolol!" "Dungu!" Tak dihiraukannya teriakan-teriakan itu. Ia tetap saja berlari menghindari batu yang terus mengejarnya sampai kelelahan dan jatuh. Tiga butir kerikil yang masih melayang ke arahnya ditunggunya dengan memejamkan mata. Sementara tawa ngakak dari tiga kakek yang menjadi gurunya itu terus menggema berputar-putar bagai dilepaskan dari segala penjuru lembah itu. Tawa itu terus menggema, berputar-putar, walau hanya dalam batok kepala yang terus tegak di atas tubuh yang bersila di atas batu di tengah kali itu. Sempat sesaat kemudian kepala itu menunduk sedikit dalam ketika selembar daun yang diterbangkan angin seperti punya mata mengarah ke jidatnya. Dengan gerakan yang kecil itu, ia seperti membebaskan arah daun yang terbang untuk tidak tertahan oleh wajahnya.Desir angin yang didorong gerak daun, yang mengarah ke jidatnya, membuatnya ingat pada laki-laki tua yang menyebut diri sebagai: Tak Berkepandaian. Kakek Tua Tak Berkepandaian itulah yang telah mengajarkan kepadanya gerak-gerak silat, yang selama ini telah menyelamatkan hidupnya. Yang ternyata adalah Paman dari Perempuan Berbaju Merah yang mengambilnya dari tiga kakek Gunung Kiam. "Ketahuilah bahwa segala macam ilmu silat yang ada di dunia ini, pada dasarnya sama dan berpokok satu, yakni, menyerang dan membela diri. Betapapun tinggi ilmu silat seseorang, namun apabila pokok dasarnya tidak kuat, ilmu silatnya itu akan sia-sia belaka. Segala macam ilmu silat yang dipelajari orang hanya ada tigaratus enam puluh gerakan tangan yang dasarnya sama, hanya gaya dan kembangnya saja yang berbeda. Sedangkan gerakan kaki hanya ada seratus delapan puluh. Jika kau bisa mempelajari dasar dan pokok semua gerakan kaki dan tangan itu, maka menghadapi ilmu silat dari cabang manapun, kau akan dapat melawannya dengan mudah. "Kalimat panjang yang diucapkan Orang Tua Tak Berkepandaian itu berdengung lagi di telinganya.
Dan pada matanya yang terkatup, berkelabat kemudian bayangan dirinya yang menghafal dan mempelajari tiga ratus enam puluh gerak tangan dan seratus delapan puluh gerak kaki. Tanpa sadar ketika seluruh gerakan itu selesai diangankan ia melenting berdiri. Sekali tubuhnya berputar di udara. Seterusnya, bagai sebuah kapas yang ringan kakinya telah hinggap tetap pada batu yang tadi didudukinya. Matanya masih terpejam. Tangannya bersedekap. Sekali ia menghela napas. Tangannya dilemparkannya ke depan. Mengembang. Detik berikutnya tubuhnya telah bergerak-gerak mengulang seluruh gerakan yang tadi diangankan. Membungkuk. Memukul. Menendang. Berputar.
Dan setelah seluruh gerak dilakukan, ia kembali melenting lagi, berputar sekali di udara dan tahu-tahu pantatnya telah bersila pada batu yang sama. Keringat kini telah membasahi bajunya, membasahi ujung-ujung rambutnya, membasahi celananya, menutup seluruh pori di kulitnya. Angin yang basah, yang menyusup dari pohon-pohon hutan, dari sulur-sulur rimba dihirupnya sepenuh dada.Ia masih pejamkan mata. Dibiarkannya angan-angan dan ingatan menyeret-nyeret waktu hidupnya: Bocah Gundhul, Guru Sastra, Tiga Kakek Gunung Kiam, Perempuan Baju Merah, Orang Tua Tak Berkepandaian, musuh-musuh yang senantiasa meminta nyawanya, yang jurus serangannya selalu dengan mudah dielakannya, yang.....Tiba-tiba nafasnya tersengal. Dahinya berkerut. Ia seperti tersadar, kenapa dalam setiap pertempuran ia selalu tak pernah bisa menyerang. Bekal dasar pokok gerakan silatnya, yang bisa begitu mudah menebak dan mengetahui gerak serangan yang akan dilancarkan lawan hanya dengan melihat gerak bahu dan pinggul lawannya itu, yang menuntunnya untuk menghindari serangan yang dilancarkan, seperti tak pernah memberinya kesempatan untuk menyerang.Lipatan-lipatan ingatannya segera menggambar perkelahian dan pertempuran yang telah dilaluinya. Akhir yang tidak pernah kalah sekaligus juga tak pernah menang. Musuh hanya akan segera lari meninggalkan pertempuran begitu seluruh jurus dikeluarkan dan tak satupun yang berhasil menundukkan. Akhir yang seperti itukah yang telah menjulukinya sebagai Pendekar Bodoh di dunia persilatan? Gambaran ingatannya segera mengulang kembali pertempuran yang pernah terjadi. Pelan-pelan diingatnya gerak setiap lawan yang menyerangnya. Gerak bahu yang telah dihafalnya, gerak pinggul yang lekat di ingatannya, memberinya petunjuk serangan yang bakal dia terima. Tiba-tiba ia melihat ada sebuah kesempatan untuk melakukan serangan justru ketika ia telah tahu serangan yang akan dilancarkan lawan dengan berbekal pengetahuannya memahami gerak dasar dan gerak pokok jurus persilatan. Tiba-tiba, menyadari itu, ia melenting berdiri. Dengan mata yang tetap terpejam, dengan konsentrasi yang tinggi untuk menangkap getar udara yang dipantulkan segala apa yang ada di sekitarnya, ia seperti melihat segala batu yang berserak di sana. Lalu dengan ingatan yang ada dalam angan-angannya, ia mulai membayangkan diri bertempur melawan musuh-musuh yang pernah dia hadapi. Maka, sekejap kemudian, ia telah melompat dari batu ke batu, dari batu ke pinggir kali, dari pinggir kali ke tengah kali, sambil tangannya berkelabat, memukul, menusuk dengan pedang yang telah dicabutnya dari sebalik punggung.Ia terus berkelebat. Membayangkan diri, menyerang, mendahului setiap gerak dari setiap lawan yang dihadapi. Memukul. Menikam lawan. Memukul. Menikam lawan dalam angan. Memukul. Menikam angan. Pada detik lawan terakhir yang dihadapinya menggerakkan bahu siap membabat lehernya, sedangkan pinggulnya mengisyaratkan hendak melakukan loncatan, ia siap mengakhiri pertempuran. Maka, begitu lawannya itu terbang dengan sebuah ayunan pedang mendatar ke arah lehernya ia justru berdiri seperti menunggu. Menunggu pedang lawannya itu memangkas kepalanya. Tepat ketika pedang itu tinggal beberapa kerjap akan memutuskan kepalanya, ia segera menjura seakan memberi hormat pada lawannya. Seraya membukungkuk badan hampir sembilan puluh derajat, tangan kirinya mengembang bagai sebuah sayap mengimbangi kaki kanannya yang dia tarik ke belakang dan lurus-lurus membuat garis dengan badan yang ia condongkan ke depan. Dengan loncatan yang ia hentak dari kaki kirinya, ia justru menjemput serangan itu. Tangan kanannya yang menggenggam pedang segera berkelebat menjelma paruh seekor burung yang seperti terbang menabrakkan diri pada dada yang datang. "Betapa kejam jurus Menikam Angan yang kau ciptakan!" lirih, desis sebuah suara menelusup di antara getar udara memasuki gendang telinganya.Ia yang masih memejamkan mata, menyilangkan pedang di depan dada dan mengatur kembali pernafasannya segera membuka mata. "Guru!" desisnya sambil memutar kepala ke segenap penjuru. Tak dilihatnya tanda yang menyatakan gurunya ada di sekitar tempat itu. "Haruskah engkau menjadi pembunuh jika nyawamu diancam untuk dibunuh? Tidak cukupkah engkau menyelamatkan diri dari ancaman pembunuhan dengan tanpa mengalahkan lawan?" Tak ada suara lagi. Hanya hutan, jauh di selatan, hujan pagi.


-----------------------------------------------------------------
Cerpen ini dengan sadar mengacukan diri pada cerita silat karya Asmaraman S. Kho Ping Ho yang berjudul Pendekar Bodoh, diterbitkan CV GEMA SOLO 1989. Dengan kesadaran itu, pada beberapa bagian cerpen saya sengaja mengutip dan memasukkan teks-teks aslinya. Dalam cerita yang sesungguhnya Pendekar Bodoh adalah murid dari Bu Pun Su. Dalam cerita itu juga dijelaskan bahwa Bu Pun Su berarti Tak Kepandaian. Adapun jurus yang diciptakan Pendekar Bodoh diberi nama jurus Pedang Daun Bambu.
Kalimat terakhir cerpen ini saya pinjam dari sajak Goenawan Mohamad; Barangkali Telah Kuseka Namamu.

(Tulisan ini pernah dimuat di jurnal Jerat Budaya edisi No. 3/III/2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar