Di tulis oleh: Heddy Shri Ahimsa Putra
I. PENDAHULUAN.
Tema yang disodorkan pada saya oleh pihak redaksi jelas-jelas mengingatkan saya pada judul buku yang ditulis oleh Marcus dan Fischer, Anthropology as Cultural Critique, yang terbit pada pertengahan tahun '80-an. Dalam buku ini Marcus dan Fischer mencoba menelusuri salah satu jalur perkembangan yang ada dalam antropologi budaya , yaitu jalur penulisan etnografi.
Marcus dan Fischer antara lain menunjukkan bahwa para ahli antropologi sudah sejak lama melakukan kritik terhadap kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat mereka, walaupun strategi yang ditempuh berbeda-beda. Ada yang melakukannya secara terang-terangan, sehingga menimbulkan reaksi keras dari ilmuwan yang lain, ada pula yang melakukannya secara tersembunyi, sehingga kritik tersebut agak sulit diketahui jika isi tulisan serta tehnik retorikanya tidak disimak dengan teliti.
Apa yang dikerjakan oleh Marcus dan Fischer memang sudah mungkin untuk dilakukan, mengingat tradisi penulisan etnografi yang menjadi dasar bagi lahirnya disiplin Antropologi Budaya di dunia Barat sudah tumbuh sejak lama. Bahkan dapat diruntut hingga masa peradaban Yunani Kuno, yang menjadi akar peradaban Barat, ketika Herodotus mulai menuliskan apa yang dia lihat, dengar dan alami dalam perjalanannya ke berbagai tempat di dunia (Voget, 1954). Oleh karena lamanya tradisi penulisan etnografi di sana, maka apa yang dilakukan oleh Marcus dan Fischer memang tepat dan penting bagi upaya mengembangkan dan memberdayakan kritik melalui etnografi dalam antropologi (terutama di Barat) , serta sangat relevan dengan kepentingan masyarakat mereka, yang sudah lama mengenal tradisi self-critique untuk mengembangkan dan memajukan dirinya.
Dari telaah mereka atas berbagai etnografi tersebut, Marcus dan Fischer kemudian juga mengusulkan beberapa langkah yang dapat ditempuh oleh para ahli antropologi untuk melakukan kritik kebudayaan yang lebih keras dan kuat terhadap budaya masyarakat masing-masing melalui penulisan etnografi. Usul ini memang sangat menarik, sehingga muncul kemudian pertanyaan dalam diri kita, peminat antropologi di Indonesia: Mungkinkah kita menghadirkan kritik semacam itu di Indonesia ? Dan relevankah tindakan semacam itu ?
Saya akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan itu berdasarkan atas hasil pengamatan dan pengetahuan saya mengenai jenis etnografi yang berkembang di Indonesia, serta aktivitas para ahli antropologinya. Saya berharap, dari tulisan ini akan muncul berbagai tanggapan, yang dapat melahirkan pandangan-pandangan baru, yang moga-moga dapat pula mendorong bangkitnya arah-arah baru dalam analisis dan penulisan etnografi di kalangan kita.
Untuk memudahkan pembaca mengikuti alur pemikiran saya, tulisan ini saya bagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama adalah uraian tentang etnografi sebagai suatu bentuk kritik kebudayaan, sebagaimana yang dipaparkan oleh Marcus dan Fischer. Bagian kedua adalah tentang beberapa ciri etnografi yang ditulis oleh para ahli antropologi di Indonesia, sedang bagian terakhir adalah mengenai kemungkinan lahirnya penulisan etnografi sebagai salah satu strategi untuk melakukan kritik terhadap kebudayaan yang sedang dominan di Indonesia.
II. ETNOGRAFI SEBAGAI KRITIK BUDAYA.
Dalam membahas kritik kebudayaan yang dilakukan oleh para ilmuwan Barat, Marcus dan Fischer mencoba menelusuri tradisi tersebut semenjak munculnya Antropologi Budaya sebagai disiplin baru dalam jagad ilmu pengetahuan pada abad yang lalu. Namun demikian titik pusat perhatian diarahkan terutama pada apa yang dilakukan oleh para ahli antropologi semenjak tahun 1920-an, ketika penulisan etnografi dengan gaya yang baru dan berdasarkan atas penelitian lapangan yang serius dimulai oleh Bronislaw Malinowski, dan kemudian menjadi sebuah tradisi yang bertambah kuat, serta tetap mampu bertahan dalam Antropologi Budaya hingga kini.
Tradisi kritik terhadap kebudayaan sendiri di kalangan ilmuwan Barat muncul tidak hanya di kalangan ahli antropologi saja, tetapi juga di kalangan ilmuwan sosial lainnya. Ada dua kelompok di luar antropologi yang telah banyak melontarkan kritik kebudayaan, yakni Frankfurt School (Aliran Frankfurt) dari Jerman (Barat) dan aliran Surealis dari Perancis. Dua kelompok ini -terutama aliran Frankfurt- sempat mendominasi kritik sosial-budaya yang tumbuh di daratan Eropa, dan kemudian juga banyak mempengaruhi para ilmuwan sosial-budaya di Amerika Serikat, termasuk para ahli antropologinya.
Aliran Frankfurt yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, dan sebagainya, pada dasarnya berupaya menganalisis dan menjelaskan kegagalan-kegagalan sosialisme revolusioner di Eropa Barat, totalitarianisme komunisme di Eropa Timur, krisis ekonomi yang terjadi di tahun 1929, pertumbuhan yang terus-menerus dari berbagai bentuk monopoli di bidang ekonomi, serta pasang naik fasisme di daratan Eropa pada masa itu. Dalam analisis atas berbagai peristiwa tersebut Aliran Frankfurt sempat melontarkan pandangan-pandangan baru yang kritis terhadap masyarakat Eropa Barat di masa itu. Horkheimer dan Adorno misalnya, mempertanyakan kembali proses sosialisasi dalam keluarga di kalangan orang Eropa. Mereka beranggapan bahwa mungkin sekali dinamika kejiwaan dalam pembentukan identitas yang berlangsung dalam masyarakat Eropa tidak atau belum mengalami perubahan, sehingga otoritarianisme yang mereka tolak atau hindari malah menjadi tampak semakin wajar bagi mereka, bukan sebaliknya. Selain itu mereka juga menduga, jangan-jangan “industrial production of culture” telah tidak lagi berfungsi sehingga proses produksi tersebut malah menguatkan kecenderungan-kecenderungan otoritarianisme tersebut (Marcus dan Fischer, 1986: 119-120).
Upaya mempertahankan kembali pranata-pranata sosial-budaya yang telah mapan dalam masyarakat sendiri seperti di atas merupakan salah satu ciri penting dari aliran Frankfurt. Strategi dan kritik yang dilontarkan oleh aliran ini menunjukkan bahwa aliran tersebut telah mempelopori pendekatan-pendekatan yang “politically sensitive” dalam mempelajari keluarga dan industri budaya sebagai suatu sarana untuk memahami budaya massa (mass culture) dalam masyarakat-masyarakat modern.
Masih banyak lagi sebenarnya kritik sosial-budaya lain yang tajam dan mampu membangkitkan pandangan kritis, yang dilancarkan oleh aliran Frankfurt. Namun demikian, apa yang telah mereka kerjakan juga tidak luput dari beberapa cacat. Salah satu kelemahan yang pantas untuk kita catat karena relevansinya dengan antropologi adalah bahwa aliran Frankfurt telah gagal dalam menguji ide-ide yang mereka lontarkan pada kenyataan-kenyataan empiris, sehingga berbagai pandangan mereka yang kritis dan menarik lantas agak kehilangan kesahihannya. Orang pun balik mempertanyakan pandangan-pandangan kritis tersebut. Di sinilah sebenarnya diperlukan penelitian-penelitian yang lebih intensif dan teliti mengenai masyarakat Eropa Barat sendiri, guna membuktikan kebenaran kritik dan pandangan tokoh-tokoh aliran Frankfurt. Dengan kata lain, aliran Frankfurt sebenarnya perlu mendukung kritik-kritik sosial yang mereka lontarkan dengan data etnografis yang kuat atau dengan melakukan penelitian-penelitian etnografis yang serius mengenai masyarakat Eropa Barat sendiri.
Apa yang kita dapati pada aliran Frankfurt tampaknya merupakan kebalikan dari apa yang ada pada aliran Surealis dari Prancis, yang muncul juga pada tahun ‘20-an. Tokoh-tokoh dalam aliran ini antara lain adalah Andre Breton, Michael Leoris dan Georges Bataille. Sebagai suatu “aliran”, Surealisme Prancis tidaklah sesolid dan setenar aliran Frankfurt. Pemikiran-pemikiran teoritisnya tidak sangat menonjol, sehingga di Indonesia juga tidak sangat dikenal, sementara kritik-kritik sosial-budayanya juga tidak sangat eksplisit. Kelebihan kelompok ini dibandingkan dengan aliran Frankfurt adalah pada etnografinya, karena tokoh-tokoh aliran ini memang lebih memperhatikan persoalan-persoalan bagaimana mereka dapat melukiskan kenyataan-kenyataan empiris yang mereka jumpai dengan “baik”. Oleh karena itu pula, menurut sebagian ahli antropologi, aliran Surealis ini pantas untuk mendapat perhatian cukup serius. Aliran Surealis ini sendiri aslinya adalah aliran dalam kesenian, terutama seni lukis, namun di Prancis, aliran ini ternyata sempat berpengaruh pada ilmuwan sosial-budaya, terutama mereka yang berminat untuk menulis etnografi.
Ada dua hal penting yang muncul di kalangan penulis-penulis etnografi di Prancis setelah kontak mereka dengan Surealisme dalam kesenian. Pertama adalah kesadaran akan adanya critical potentials (potensi kritis) dalam penulisan etnografi. Potensi ini akan dapat dimanfaatkan atau ditampilkan bilamana para ahli antropologi bersedia sungguh-sungguh memaknai “realitas modern” sebagai “juxtaposing of alternative cultural viewpoints”. Yang kedua adalah pandangan bahwa “kebudayaan” merupakan bangunan-bangunan yang luwes (flexible constructions) dari berbagai kemampuan kreatif manusia. Pandangan semacam ini, jika diikuti, akan membuat seorang penulis etnografi lantas berani menampilkan, membukakan pada pihak luar berbagai prosedur yang mereka ikuti dalam menggambarkan, melukiskan, suatu kebudayaan. Lebih lanjut, Surealisme ternyata juga telah membuat para penulis etnografi Prancis lebih sadar-diri (self-conscious) bahwa mereka adalah penulis-penulis belaka. Kesadaran semacam ini rupanya telah membuat mereka mampu melihat adanya kemungkinan baru dalam menulis etnografi, yakni memasukkan “other authorial voices” atau suara-suara dari subyek yang mereka teliti ke dalam etnografi.
Di sini semakin tampak perbedaan yang ada antara aliran Frankfurt dengan aliran Surealis dalam etnografi dari Prancis. Kalau aliran Frankfurt banyak melontarkan kritik yang eksplisit terhadap realitas sosial-budaya yang ada dalam masyarakat Eropa Barat, maka aliran Etnografi Surealis dari Prancis melakukannya dengan lebih implisit, dan “kritik” tersebut lebih ditujukan pada cara para penulis etnografi menampilkan, merepresentasikan, kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang mereka teliti. Meskipun demikian, terlepas dari perbedaan di antara ke dua aliran ini, dalam anggapan sebagian ahli antropologi kini (terutama di Amerika Serikat), keduanya telah memberikan pengaruh yang cukup besar pada cara para ahli antropologi di masa kini mengemukakan kritik sosial-budaya mereka melalui etnografi (Marcus dan Fischer, 1986).
Dalam antropologi sendiri tradisi melakukan kritik budaya sebenarnya sudah ada semenjak antropologi lahir sebagai satu cabang ilmu pengetahuan di abad 19, dan bagi kita di Indonesia mungkin akan cukup mengherankan bahwa kritik kebudayaan tersebut ternyata muncul pada awalnya melalui pemikiran-pemikiran yang evolusionistis dalam antropologi. Padahal, sebagaimana sering kita dengar, pemikiran evolusioner awal dalam antropologi sering dikecam karena sifatnya yang etnosentris, yang Eropa-sentris. Dalam hal ini, kita tidak boleh lupa, bahwa berbagai studi perbandingan yang ada di balik berbagai teori evolusi serta teorinya itu sendiri, sebenarnya merupakan serangkaian upaya untuk mengcounter, melawan, pandangan umum yang berlaku dalam masyarakat Eropa Barat di masa itu. Sebuah studi perbandingan yang memanfaatkan berbagai macam etnografi dengan tujuan untuk dapat merumuskan pandangan-pandangan umum yang berlandaskan pada kenyataan empiris adalah upaya yang serius untuk melawan pandangan-pandangan teologis mengenai masyarakat dan manusia di masa itu, seperti misalnya pandangan bahwa masyarakat-masyarakat sederhana di luar Eropa adalah masyarakat-masyarakat yang telah merosot dari kedudukannya yang mulia, dan karena itu sah untuk dijadikan budaya dan dijajah, bahwa ras Eropa memang ditakdirkan untuk menjadi ras yang mulia, dan sebagainya (Marcus dan Fischer, 1986). Memang, kritik-kritik ini umumnya lebih implisit sifatnya, tetapi dampaknya sama sekali tidak kecil terhadap pola-pola pemikiran orang Eropa di masa itu dan di kemudian hari. Dengan menggunakan studi perbandingan yang meluas –walaupun tanpa metode yang sangat jelas dan ketat—maka kesimpulan yang ditarik menjadi lebih kuat pijakannya secara empiris, daripada pandangan teologis, yang lebih didasarkan pada keyakinan saja. Hasilnya adalah kajian para ahli evolusi tersebut kemudian banyak diterima, terutama oleh para ilmuwan di masa itu. Salah satu kelemahan kritik budaya yang dilancarkan secara implisit oleh para ahli antropologi di abad yang lalu –yang membuat dampaknya tidak sangat luas—adalah sifatnya yang masih “ad hoc, fragmentary, and nostalgic” (Marcus dan Fischer, 1986: 129).
Kritik budaya dari para ahli antropologi di kemudian hari menjadi lebih eksplisit dengan munculnya etnografi-etnografi yang ditulis berdasarkan atas penelitian lapangan yang dilakukan dengan lebih serius. Etnografi yang lahir di tahun ’20 - 30-an ini antara lain menyampaikan pesan moral dan praktis pada masyarakat Barat yang telah kehilangan apa yang masih dimiliki oleh masyarakat-masyarakat primitif di luar Eropa. Di kalangan ahli antropologi Inggris kritik kebudayaan banyak disampaikan dengan menggunakan tema rationality , sedang di Amerika Serikat kritik budaya ini lebih banyak memanfaatkan tema cultural relativism (relativisme budaya).
Kritik kebudayaan sebagaimana dilontarkan oleh para ilmuwan sosial-budaya dan para ahli antropologi di atas masih terus berlanjut hingga kini, dan perbincangan mengenai kritik budaya dalam antropologi kontemporer inilah yang saya anggap akan banyak manfaatnya atau relevan bagi kita di Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Marcus dan Fischer, strategi pokok dalam melakukan kritik budaya lewat penulisan etnografi di masa kini adalah defamiliarization, “pengasingan” atau “penganehan”, yang ditujukan untuk menghasilkan “disruption of common sense”. Dalam proses penulisan, strategi ini dapat diwujudkan dengan cara “doing the unexpected”, “placing subjects in unfamiliar, even shocking contexts”, dan sebagainya, sedang dalam etnografi, tehnik yang biasa digunakan oleh para penulis untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan melontarkan epistemological critique (kritik epistemologi) dan cross-cultural juxtapositions (pendampingan kebudayaan) (Marcus dan Fischer, 1986: 137).
Contoh dari strategi penganehan lewat kritik epistemologi adalah apa yang telah dikerjakan oleh ahli-ahli antropologi seperti Clifford Geertz, melalui bukunya Negara: The Theatre State, David Schneider, lewat bukunya American Kinship: A Cultural Account, atau Marshall Sahlins dengan bukunya Culture and Practical Reason. Untuk mengetahui lebih lanjut seperti apa strategi ini, kita pilih saja buku Geertz, karena apa yang dibicarakan Geertz di situ lebih dekat dengan kita. Dalam Negara Geertz mencoba mengritik cara pandang ilmuwan sosial dan politik Barat tentang “politik” melalui deskripsi mengenai apa yang dimaksud sebagai “negara” oleh orang Bali, dengan menggunakan sudut pandang struktural-fungsional dan tafsiriah (interpretive). Selain memaparkan “politik” Bali yang di sana-sini mirip politik di Barat, terutama dalam sistem dan beberapa aktivitasnya, Geertz juga menekankan berbagai status dan upacara yang ada dalam sistem politik Bali, yang membuat sistem tersebut kelihatan berbeda dengan sistem politik di Barat. Dengan menampilkan aspek upacara dan teatrikal dari negara, Geertz mengajak pembaca Barat untuk memandang kembali sistem politik mereka (yakni negara) lewat kacamata tersebut, karena sisi ini banyak diabaikan atau dilupakan dalam analisis politik di Barat, walaupun kehadirannya sangat jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Cara yang kedua, yakni pendampingan kebudayaan (cross-cultural juxtapositions) untuk melancarkan kritik kebudayaan, dapat kita temukan pada etnografi yang ditulis misalnya oleh Margaret Mead, Coming of Age in Samoa. Dalam buku ini Margaret Mead mempertanyakan kembali praktek pengasuhan anak (child rearing practices) yang ada di kalangan keluarga Amerika, dengan mendampingkannya dengan praktek pengasuhan anak di kalangan orang-orang Samoa di lautan Teduh (Pasifik). Lewat etnografi ini orang Amerika diajak untuk menyadari bahwa “natural rebelliousness” yang ada di kalangan anak-anak Amerika yang sedang tumbuh dewasa sebenarnya sama sekali bukan hal yang “natural” sifatnya, tetapi terkait dengan budaya masyarakat, dengan pola pengasuhan anak, dengan cara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat membesarkan anak-anaknya.
Meskipun kritik budaya yang dilontarkan dalam dua contoh etnografi di atas cukup kuat pengaruhnya, namun dalam pandangan Marcus dan Fischer, kritik tersebut masih tergolong dalam versi yang “lemah”, karena kini telah mulai bermunculan kritik budaya dari versi yang dianggap lebih kuat. Sayangnya, kebanyakan kritik ini --yang sebagian besar berasal dari generasi ahli antropologi yang lebih muda-- masih dalam bentuk artikel-artikel (1986: 152).
Beberapa kritik budaya melalui penulisan etnografi dalam Antropologi Barat di atas, mau tidak mau menimbulkan sebuah pertanyaan tentang isi dan tujuan penulisan etnografi di Indonesia. Apakah isi etnografi di Indonesia sama dengan berbagai etnografi yang lahir dari pemikiran orang Barat? Ataukah etnografi di Indonesia memiliki ciri khususnya, yang membedakannya dengan etnografi-etnografi di negeri lain di mana disiplin Antropologi Budaya berkembang? Jawaban atas pertanyaan ini akan turut menentukan jawaban kita atas pertanyaan tentang relevansi serta kemungkinan dilancarkannya kritik budaya melalui penulisan etnografi, sebagaimana yang kita temui dalam etnografi dari Barat.
III. ETNOGRAFI DI INDONESIA : BERBAGAI CIRI.
Tidak mudah sebenarnya untuk menunjukkan ciri-ciri umum etnografi-etnografi yang lahir dari tangan ahli antropologi Indonesia, karena hingga kini belum ada suatu telaahpun tentang etnografi-etnografi tersebut dengan menggunakan perspektif kritik sastra seperti yang dilakukan Marcus, Fischer, Clifford dan teman-temannya, yang kini dikenal sebagai "antropologi post-modern" (Scholte, 1987). Namun demikian, saya akan mencoba memaparkan di sini hasil telaah saya atas berbagai etnografi Indonesia. Fokus perhatian saya adalah pada gaya dan isi penulisan. Perspektif ini tentu saja berbeda dengan perspektif yang digunakan oleh Marcus dan Cushman (1982), atau oleh Marcus dan Fischer (1986) atau oleh Spencer (1989). Saya berharap dengan strategi telaah semacam ini akan dapat saya tampilkan beberapa ciri dari etnografi-etnografi tersebut yang akan relevan dengan tema "Etnografi Sebagai Kritik Kebudayaan".
Berbicara mengenai etnografi di Indonesia, maka mau tidak mau kita harus membicarakan berbagai buku yang diedit terutama oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta buku-buku seperti Minawang dari H.S.Ahimsa Putra, Dunia Orang Sawu dari N.L.Kana, Tradisi Pesantren dari Z.Dhofier, Kinship, Descent and Alliance among the Karo Batak dari M.Singarimbun, Tradisi dan Struktur dalam Masyarakat Jawa dari P.M.Laksono, The Javanese Trah dari S.Sairin, Manusia Jawa dan Merapi dari L.S.Triyoga, Manusia dan Hutan dari H.A.Pranowo, Konflik dan Integrasi dari A.F.Saifuddin, Kebudayaan Petani Desa Trunyan, Bali dari J.Danandjaja, serta berbagai macam artikel yang ditulis oleh para ahli antropologi dan dimuat dalam berbagai macam jurnal.
Jika kita perhatikan isi dari berbagai macam buku dan artikel etnografis tersebut, maka dari perspektif tertentu kita akan dapat mengelompokkan mereka ke dalam tiga kategori, yakni (a) kategori etnografi yang bersifat asal deskripsi, yang saya sebut Etnografi Awam ; kemudian (b) etnografi yang berisi deskripsi, baik yang mendalam maupun yang dangkal, tetapi juga bersifat klasifikatif, yang saya sebut Etnografi Laci , dan yang terakhir adalah (c) etnografi yang berisi deskripsi juga, namun sudah lebih analitis, dan saya sebut saja Etnografi Analitis.
a. Etnografi Awam.
Etnografi Awam adalah etnografi yang umumnya ditulis bukan oleh para ahli antropologi, namun mempunyai beberapa ciri yang tidak jauh berbeda dengan berbagai etnografi dari para ahli antropologi. Kebanyakan tulisan semacam ini berasal dari para wartawan, yang biasanya memang lebih banyak pengalaman lapangannya (bukan pengalaman penelitiannya) daripada ahli antropologi, serta banyak dimuat di berbagai surat kabar dan majalah-majalah populer. Etnografi Awam semacam ini juga banyak memuat informasi yang sering kita temukan dalam Etnografi Antropologis , namun dia berbeda dengan yang ke dua terutama dalam soal penggunaan konsep-konsep antropologis. Dalam Etnografi Awam konsep-konsep antropologis ataupun analitis yang biasa kita temui dalam Etnografi Antropologis jarang kita temui, atau kalau kita temui konsep tersebut seringkali tidak sangat jelas maknanya.
Ciri lain dari Etnografi Awam adalah deskripsinya yang datar. Artinya di situ umumnya tidak terdapat analisa ataupun kesimpulan tertentu dari si penulis mengenai apa yang ditulisnya. Tujuan penulisan biasanya adalah benar-benar sekedar menyampaikan berita. Tidak ada maksud untuk menjelaskan fenomena yang ditulis. Oleh karena itu, judul-judul etnografi semacam ini biasanya dibuat "menarik perhatian" dengan menggunakan kata-kata yang tidak biasa, yang dianggap akan lebih membangkitkan minat pembaca untuk mengetahui isi tulisan tersebut lebih lanjut, bukan hanya membaca judulnya saja. Sebagai contoh adalah uraian mengenai masyarakat Baduy di daerah Banten yang dimuat dalam surat kabar Suara Karya tanggal 9 Mei, 1988. Tulisan ini diberi judul "Mereka Bukan Terasing, Tetapi Mengasingkan Diri". Huruf yang lebih kecil di atasnya menyebutkan "Masyarakat Baduy, Mei 1988 (1)". Judul ini memang menarik perhatian, karena maknanya berlawanan dengan anggapan yang umum berlaku dalam masyarakat bahwa masyarakat Baduy merupakan masyarakat yang terasing. Dengan judul yang melawan pendapat umum ini, penulis artikel tersebut (atau editornya) berharap bahwa orang (awam) akan lantas tertarik untuk membaca artikel tersebut. Bagian kedua tulisan tersebut diberi judul lain lagi yaitu : "Mereka Ternyata Manusia Kerja". Judul ini juga dapat dianggap berlawanan dengan pendapat awam tentang masyarakat petani, termasuk di dalamnya masyarakat Baduy dan masyarakat "Terasing" yang "belum maju", yang mengatakan bahwa warga masyarakat semacam itu biasanya "malas bekerja". dan karena itu pula "tidak dapat maju". Dengan judul semacam itu, tulisan tersebut diharapkan akan lantas banyak dibaca, dan gambaran umum yang dianggap keliru tentang masyarakat Baduy, masyarakat petani, serta masyarakat "Terasing” lainnya, dapat berubah.
Tulisan-tulisan lain dengan judul-judul seperti itu sangat banyak kita temui dalam berbagai surat kabar dan majalah-majalah populer di Indonesia. Judul-judul seperti "Kekuatan Gaib Dari Rimba Sumatera" (Suara Karya, 4 Juni, 1987), "Orang Dani Panen Padi" (Kompas, 15 September, 1986), "Perubahan Nilai di Baduy Jangan Jadi Obyek Tontonan" (Suara Karya, 14 Juli, 1986), "Primitif, Curiga dan Keramat" (Kompas, 3 Januari, 1991), “Suku Bajo: Manusia Laut Bebas” (Intisari, 1991), “Menanti Datangnya Metropolis Kapuknaga” (Kompas, 26 September, 1997), “Pesta Tenun Lempot Umbak, Cermin Kebersamaan” (Kompas, 28 September, 1997) dan sebagainya, merupakan judul-judul yang sering kita jumpai. Pembuatan judul yang menarik perhatian seperti itu sebenarnya bukanlah monopoli penulis non-antropologi, karena para ahli antropologi sendiri -dulu maupun kini- sudah biasa melakukannya. Lihat saja judul buku J.G.Frazer tentang agama, yang merupakan salah satu buku klasik antropologi, The Golden Bough (Ranting Emas). Buku Malinowski -ahli antropologi pelopor penulisan etnografi holistik-, juga menggunakan judul-judul yang menarik, seperti misalnya Argonauts of the Western Pacific, Coral Garden and Their Magic. Juga ada judul-judul menarik lainnya dari ahli-ahli antropologi yang lain seperti misalnya, Son of the Shaking Earth, We Eat The Mines, The Mines Eat Us, In The Realm of The Diomand Queen, Sex and Repression in Savage Society, Day of Shining Red, The Sorrow of the Lonely and the Burning of the Dancers, Celebration of Death, dan masih banyak lagi lainnya.
Selanjutnya Etnografi Awam biasanya juga tidak sangat tajam fokus pembicaraannya. Apa yang terdapat dalam etnografi semacam ini bisa bermacam-macam, namun tidak ada yang sangat mendalam. Walaupun judul selalu diarahkan pada suatu hal tertentu yang dipandang akan menarik perhatian pembaca, tetapi apa yang diuraikan di situ biasanya tidak sangat dalam. Tampaknya hal ini tidak terlepas dari soal kebutuhan untuk menarik pembaca sebanyak-banyaknya, dengan memberikan informasi yang menarik dan penuh variasi, sementara ruang yang tersedia sangat terbatas. Kebanyakan Etnografi Awam bermanfaat untuk merangsang rasa ingin tahu dari pembaca, tetapi tidak untuk memberikan pengetahuan ynag sangat mendalam dan bagus mengenai suatu kebudayaan atau masyarakat. Pembaca yang sudah bangkit minatnya untuk mempelajari lebih lanjut apa yang ada dalam Etnografi Awam harus mencarinya sendiri dalam sumber-sumber tertulis yang lain lagi atau melakukan penelitian lapangan sendiri.
Oleh karena tidak bermaksud memberikan analisis dan penjelasan, maka dalam Etnografi Awam pada umumnya juga tidak terdapat kerangka teori seperti yang biasanya kita temukan dalam berbagai buku dan artikel antropologi yang lebih ilmiah. Kerangka teori memang tidak dibutuhkan di situ. Akibatnya segera terlihat dengan jelas, yaitu uraian yang tidak selalu runtut dan sistematis. Dia bisa meloncat dari satu topik ke topik yang lain dengan urutan logika yang tidak harus jelas. Berbagai keterangan dan argumentasi yang diberikan oleh informan kadang-kadang berdesak-desakan tampil ke permukaan teks.
Jika kita mencoba melihatnya dari perspektif hubungan antara penulis etnografi semacam ini dengan informan-informannya, maka yang dapat kita simpulkan adalah bahwa penulis etnografi di situ masih mengambil jarak dengan para informan dan dengan apa yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Tanpa disadari penulis Etnografi Awam tampak berusaha untuk menampilkan obyek atau subyek yang diuraikannya "sebagaimana adanya", tanpa dibumbui tafsir dan analisis. Oleh karena itu pula, Etnografi Awam ini kadang-kadang dapat dianggap sebagai "data mentah" yang bisa dimanfaatkan oleh para ilmuwan sosial-budaya untuk menjelaskan suatu fenomena tertentu.
Uraian dalam Etnografi Awam umumnya juga tidak memperlihatkan adanya perenungan-perenungan dari pihak penulis atas etnografi yang ditulisnya. Alasan utama tampaknya adalah karena hal semacam itu bukanlah merupakan tugas seorang penulis Etnografi Awam, yang memang tidak bermaksud menulis sebuah etnografi sama sekali. Walaupun perenungan kadang-kadang juga muncul, namun ini biasanya juga tidak sangat dalam. Keterbatasan ruang tampaknya juga merupakan salah satu sebabnya.
Meskipun Etnografi Awam memang tidak dapat memenuhi keinginan seorang ahli antropologi akan informasi kebudayaan yang dalam dan lengkap, akan tetapi hal itu tidak berarti bahwa etnografi semacam ini tidak perlu dibaca. Anggapan semacam ini tentu saja sangat keliru. Etnografi Awam tetap perlu dibaca, karena seringkali isinya sangat informatif. Salah satu hal yang penting dari Etnografi Awam -yang membuatnya tetap pantas dan perlu dibaca oleh para ahli antropologi- adalah bahwa informasi yang diberikannya seringkali sangat rinci, dan disertai dengan kutipan kata-kata yang dikemukakan oleh informan secara langsung, sehingga menimbulkan kesan bahwa etnografi yang ditulis sangat reliable, dapat dipercaya.
b. Etnografi Laci
Predikat ini dapat kita berikan pada berbagai tulisan para ahli antropologi yang terdapat dalam buku-buku yang diedit oleh Koentjaraningrat, seperti misalnya "Kebudayaan Jawa” oleh Kodiran, "Kebudayaan Bugis-Makassar" oleh Mattulada, "Kebudayaan Batak" oleh Payung Bangun, dan sebagainya, yang terdapat dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Juga berbagai tulisan ilmuwan Indonesia yang ada dalam Masyarakat Desa di Indonesia, seperti misalnya artikel dari Budisantosa tentang masyarakat desa Celepar, tulisan Harsya W. Bachtiar tentang masyarakat desa di Sumatera Barat, dan berbagai tulisan lain dalam Penduduk Irian Barat, serta tulisan para ahli antropologi dari generasi yang lebih muda yang dimuat dalam Masyarakat Terasing di Indonesia. Berbagai tulisan dalam buku ini sebagian besar memang "hanya" berisi pelukisan tentang apa yang dimaksud sebagai "kebudayaan" dari suku-suku bangsa yang ditulis di situ.
Etnografi Laci semacam ini berbeda dengan etnografi Awam terutama dalam susunan dan retorikanya. Etnografi Laci pada umumnya sudah lebih sistematis, dalam arti uraian mengenai masyarakat atau kebudayaan diberikan dengan mengikuti urutan tertentu yang telah ditentukan. Umumnya urutan ini didasarkan pada pandangan mengenai unsur-unsur kebudayaan yang universal, seperti bahasa, mata pencaharian, organisasi sosial, kesenian, agama dan sebagainya. Judul-judul unsur kebudayaan ini menjadi semacam laci tempat si penulis memasukkan berbagai informasi etnografi yang didapatnya dari pengalamannya di lapangan. Tulisan-tulisan tentang kebudayaan suku-sukubangsa di Indonesia dalam buku Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Masyarakat Desa di Indonesia, Penduduk Irian Barat, Masyarakat Terasing di Indonesia, serta Kebudayaan Jawa, yang diedit dan ditulis oleh Koentjaraningrat sangat jelas menunjukkan ciri ini.
Etnografi Laci umumnya sudah lebih “ilmiah” atau “antropologis”. Artinya, dalam etnografi semacam ini kita akan menemukan banyak konsep-konsep analitis yang penting dalam antropologi, yang tidak kita temui dalam Etnografi Awam; sesuatu yang memang dituntut oleh tulisan-tulisan yang diinginkan bersifat “ilmiah” dan ditujukan pada publik yang lebih terbatas, yakni mereka yang ingin mengetahui, memahami dan dapat menjelaskan fenomena sosial budaya, serta ingin memahami kehidupan dan dinamika masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Dalam Etnografi Laci ini akan sering kita temui pendefinisian beberapa konsep yang dipandang penting, dengan maksud untuk mencegah simpang-siurnya pendapat yang tidak perlu antara penulis dengan pembaca.
Dalam memaparkan kebudayaan sukubangsa tertentu di situ, si penulis etnografi tampak mengambil jarak dengan subyek etnografinya. Dia tampak sebagai seorang pengamat. Berbagai hal yang dia lihat dan dengar dia uraikan kembali lewat bahasanya sendiri dengan cara sedemikian rupa, sehingga berbagai perasaan dan perenungannya –yang saya kira ada dalam diri mereka-- sebagai peneliti tidak tampil ke permukaan dan masuk ke dalam teks. Pandangan-pandangan subyektif tampak berusaha untuk dihindari. Berbagai pernyataan dari informan yang mungkin pernah mereka dengar dan rekam, tidak ditampilkan. Tampaknya ini dilakukan untuk menghindarkan kesan bahwa tulisan tersebut subyektif, yang akan dapat membuat tulisan tersebut dinilai “tidak ilmiah”, atau “tidak obyektif”. Secara implisit para penulis Etnografi Laci juga beranggapan bahwa apa yang mereka tampilkan di situ adalah pelukisan yang “obyektif”, yang menggambarkan realitas empiris yang ada di sana. Di sini bahasa sebagai medium representasi tidak disangsikan lagi kebenarannya atau ketepatannya. Bagi pemulis Etnografi Laci ini, bahasa dapat dipakai untuk menampilkan dan memaparkan realitas empiris dengan baik.
Kalau dalam Etnografi Awam pernyataan-pernyataan langsung dari informan seringkali ditampilkan, maka dalam Etnografi Laci boleh dikata sebaliknya. Hampir tidak kita temukan di situ dialog antara peneliti dengan mereka yang diteliti. Para informan dan warga pendukung kebudayaan yang ada di lapangan tenggelam di balik teks. Apa yang tampil kemudian adalah abstraksi dari si peneliti atas hal-hal yang telah dia dengar, lihat dan mungkin alami, selama dia tinggal di lapangan, yang kadang-kadang dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep antropologis. Di sini penulis etnografi merasa dirinya berhak mewakili suara para informannya dalam menyampaikan apa yang telah dikemukakan oleh informan pada peneliti. Pembaca tidak lagi diberi kesempatan untuk menilai ketepatan abstraksi dan interpretasi yang diberikannya atas berbagai keterangan yang telah diberikan oleh para informan. Tidak mengherankan jika dalam hal ini Etnografi Awam seringkali menjadi terasa “lebih jujur” karena menampilkan apa yang didengar dan dilihat dengan lebih “sebagaimana adanya”, dan karena itu pula kadang-kadang lebih terasa sentuhan kemanusiaannya karena sosok informan tampil lebih jelas, daripada apa yang ditampilkan oleh Etnografi Laci.
Dalam Etnografi Laci di Indonesia otoritas penulis ini tampaknya tidak hanya didasarkan pada upaya untuk menunjukkan bahwa saya “ada di sana” atau saya “pernah di sana” sebagaimana yang biasa ada dalam etnografi yang ditulis oleh ahli antropologi Barat (Geertz, 1988), tetapi juga pada fakta bahwa “dia adalah orang dari daerah itu”, yang dapat diartikan sebagai (…tak dapat dibaca…) seseorang pada sukubangsa tersebut, sebagaimana tercermin dalam pernyataan editornya bahwa penulisan berbagai etnografi di situ telah diusahakan untuk “sedapat mungkin … ditulis oleh seorang ahli antropologi asal dari daerah yang bersangkutan dan juga tinggal di daerah itu, atau yang belum lama waktu yang lalu mengunjungi dan melakukan penelitian di daerah yang bersangkutan“ (Koentjaraningrat, 1988: viii). Ini tampak terutama pada etnografi-etnografi dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu “Kebudayaan Jawa” kemudian ditulis oleh Kodiran yang orang Jawa, “Kebudayaan Batak” oleh Payung Bangun yang orang Batak, “Kebudayaan Minahasa” oleh N.S.Kalangie yang orang Minahasa (Menado), “Kebudayaan Bugis-Makassar” oleh Mattulada yang orang Bugis, “Kebudayaan Bali” oleh I Gusti Ngurah Bagus yang orang Bali, dan seterusnya. Pada etnografi yang lain otoritas ini berasal dari kenyataan bahwa si penulis pernah “tinggal” atau “mengunjungi” atau “melakukan penelitian di daerah yang bersangkutan”, yang berarti bahwa dia telah “pernah berada di sana” sehingga lebih mengetahui daerah tersebut dibanding kita –para pembaca—yang belum pernah datang ke sana. Dengan demikian otoritas dan reliability dalam Etnografi Laci ini didasarkan pada dua hal yakni: kewargaan suku-bangsa dan keberadaan di tempat.
Kalau dalam Etnografi Awam kerangka teori boleh dikata tidak ada, dalam Etnografi Laci ini kerangka teori tersebut ada tetapi masih belum terlalu eksplisit. Dia masih agak tersembunyi. Hanya dengan telaah yang agak teliti kita dapat menemukan kerangka pemikiran yang ada di balik penulisan etnografi semacam itu. Buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat di atas misalnya secara implisit menunjukkan bahwa selain buku itu disusun mengikuti pandangan tentang tujuh unsur kebudayaan universal, buku tersebut juga dimaksudkan untuk memudahkan para peneliti memanfaatkannya dalam studi perbandingan yang cross-cultural. Melalui studi perbandingan yang semacam ini diharapkan akan dapat dicapai rumusan-rumusan yang sedikit banyak menyerupai “hukum-hukum” atau “dalil” tentang fenomena sosial-budaya. Epistemologi yang ada di balik pemikiran semacam ini adalah epistemologi yang positivistik (Ahimsa-Putra, t.t.).
Kerangka teori ini memang rupanya tidak harus eksplisit dalam Etnografi Laci, sebab etnografi semacam ini biasanya tidak berangkat dari suatu masalah tertentu yang kemudian menuntut adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, akan tetapi berawal dari sebuah keinginan untuk membuat perbandingan, atau kemungkinan akan digunakannya etnografi tersebut untuk studi perbandingan di masa mendatang. Oleh karena itu pula dalam Etnografi Laci biasanya tidak kita temukan kesimpulan tertentu ataupun suatu pandangan baru. Di situ tidak kita temukan analisis dengan perspektif tertentu, yang kemudian mampu membukakan pandangan baru.
Pemaparan kebudayaan di situ juga terasa datar. Artinya tidak ada unsur budaya tertentu yang disoroti atau diuraikan dan ditelaah dengan lebih mendetail. Semua unsur kebudayaan tampak diperlukan dengan sama, sehingga etnografi yang dihasilkan juga terasa dangkal dan kurang tajam. Ini memang sebuah konsekwensi yang harus ditanggung, dari keinginan dilakukannya dan dimanfaatkannya deskripsi kebudayaan tersebut untuk studi perbandingan. Penggunaan konsep-konsep antropologi untuk merangkum dan mengabstraksikan berbagai fenomena sosial-budaya yang dilihat serta berbagai keterangan yang diperoleh dari para informan, yang membuat Etnografi Laci ini menjadi terasa kering, sebenarnya juga merupakan implikasi lebih lanjut dari kerangka pemikiran komparatif yang tersembunyi tersebut.
Kedataran pemaparan kebudayaan tersebut sangat tampak misalnya pada judul dan kerangka isinya, yang tampak mengulang-ulang, tanpa variasi. Semua penulis berbicara tentang kebudayaan dengan tehnik yang nyaris sama dan hanya isinya saja yang berbeda. Kesamaan judul ini sekaligus menyiratkan bahwa berbagai etnografi sukubangsa tersebut ditulis tidak berawal dari suatu masalah tertentu, tetapi dari sebuah kerangka yang sama, yang di dalamnya terdapat laci-laci kebudayaan, dan si penulis etnografi tinggal mengisi laci-laci unsur kebudayaan tersebut dengan data yang diperoleh dari sukubangsa tertentu.
Gaya retorika dan penulisan semacam ini merupakan gaya yang dominan dalam buku-buku etnografi yang diedit oleh Koentjaraningrat. Perhatikan saja judul tulisan para ahli antropologi Indonesia dalam Masyarakat Desa di Indonesia, seperti “Armopa: Sebuah Desa Peramu Sagu di Pantai Utara Irian Jaya” dan “Ciracas dan Cilangkap: Dua Desa di Pasar Rebo, Selatan Jakarta”, “Celapar: Sebuah Desa di Jawa Tengah Bagian Selatan” yang ditulis oleh Koentjaraningrat, “Jagakarsa: Desa Kebun Buah-Buahan Dekat Jakarta” oleh S. Budhisantoso, “Kuta Gamber: Sebuah Kampung Karo” oleh M. Singarimbun, dan “Negeri Taram: Masyarakat Desa Minangkabau” oleh Harsya W. Bachtiar. Judul dan isi berbagai tulisan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan yang ada dalam Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia, Penduduk Irian Barat, dan Masyarakat Terasing di Indonesia.
Di sini apa yang disebut “kebudayaan” suku-sukubangsa dan masyarakat desa betul-betul merupakan sebuah rekonstruksi dari si penulis dan bukan merupakan pelukisan dari “realitas” yang dilihat, didengar dan dialami oleh para penulis etnografi tersebut. Para penulis kebudayaan di situ memang telah menjelma menjadi pencipta-pencipta kebudayaan (cultural creators) (King, 1990). Memang, kita tidak pernah sangsi bahwa mereka telah melakukan penelitian lapangan, namun tampak jelas bahwa mereka tidak menampilkan “kenyataan yang sebenarnya” (kalau ini dianggap memang ada). Apa yang mereka tampilkan di situ merupakan kreasi mereka, rangkuman mereka, yang berpangkal pada pandangan-pandangan tertentu yang sudah ada sebelum mereka menulis etnografi-etnografi tersebut.
c. Etnografi Analitis
Etnografi semacam ini memusatkan perhatian pada satu fenomena sosial-budaya tertentu, entah itu fenomena politik, kekerabatan, organisasi sosial, agama ataupun yang lain. Jadi salah satu ciri penting yang membedakan Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah fokus yang dimilikinya. Buku Singarimbun (1975) misalnya memusatkan perhatian pada sistem kekerabatan orang Batak Karo, sedang buku Sairin (1982) memberikan perhatian khusus pada organisasi kekerabatan orang Jawa. Buku Laksono membahas struktur sosial masyarakat Jawa dan tradisi yang hidup di dalamnya; buku Triyoga (1991) memperhatikan sistem kepercayaan orang Jawa tentang Gunung Merapi, sedang buku Pranowo (1985) lebih memperhatikan adaptasi ekologi masyarakat pedesaan di lereng Merapi. Ini semua berbeda dengan buku Ahimsa-Putra (1986), yang membahas hubungan minawang (patron-klien) di kawasan Sulawesi Selatan, terutama di kalangan orang Bugis-Makasar, dan kondisi yang mendukungnya, ataupun buku Dhofier (1982) yang mengulas tradisi dan jaringan kekerabatan para kyai di dunia pesantren Jawa.
Dalam pemaparannya penulis Etnografi Analitis ternyata tidak berbeda dengan penulis Etnografi Laci, yakni sama-sama mengambil jarak dengan obyek dan subyek penelitian. Penulis etnografi di situ masih menempatkan dirinya sebagai pengamat atau peneliti, yang harus menjaga jarak dengan apa yang ditelitinya, seperti dalam ilmu eksak. Dalam Etnografi Analitis masih belum kita temukan dialog-dialog antara peneliti dengan informan. Oleh karena analisis ditujukan pada gejala sosial-budaya, maka dengan sendirinya yang tampil dalam etnografi adalah berbagai macam abstraksi. Berbagai data hasil pengamatan dan wawancara dengan para informan dirangkum dalam satu uraian, yang merupakan abstraksi dari berbagai hal yang didapat oleh penulis etnografi dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Keterangan-keterangan yang langsung berasal dari informan umumnya tidak tampak, dan kalau toh ditampilkan masih dalam kerangka untuk mendukung argumentasi yang diajukan.
Etnografi Analitis ini biasanya juga ditulis berawal dari sebuah permasalahan tertentu, yang kemudian dicari jawabnya melalui suatu penelitian, baik lapangan maupun kepustakaan. Berbagai informasi etnografis yang diperoleh kemudian disusun sedemikian rupa untuk menjawab masalah yang dikemukakan, sehingga Etnografi Analitis ini juga memiliki karakter sistematis, teratur, dan mempunyai alur pemikiran yang jelas. Data etnografi yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber ditempatkan dalam posisi-posisi tertentu untuk mendukung argumentasi. Pada umumnya etnografi semacam ini berupaya untuk menampilkan keterkaitan antara unsur budaya satu dengan yang lain, dengan permasalahan pokok sebagai pusatnya atau tali pengikatnya.
Adanya masalah yang ingin dijawab dalam Etnografi Analitis ini menuntut pula adanya suatu perspektif tertentu untuk menjawabnya, sehingga etnografi semacam ini pada umumnya juga memiliki kerangka teori yang lebih eksplisit. Kerangka teori ini berfungsi membimbing si penulis etnografi mengorganisir datanya sedemikian rupa, dan menjadi alat pembenaran etnografi tersebut untuk memperoleh status ilmiahnya. Hadirnya kerangka teori di situ berarti pula hadirnya berbagai konsep antropologis dengan definisi-definisi yang eksplisit. Kalau Etnografi Awam dan Etnografi Laci terasa datar dan tidak argumentatif, Etnografi Analitis adalah sebaliknya.
Etnografi Analitis biasanya bersifat argumentatif , karena ditujukan untuk memperluas wawasan pengetahuan dan membuka dimensi-dimensi pemikiran yang baru dan dianggap lebih dalam daripada yang sudah ada. Untuk menguatkan kesan semacam ini, maka Etnografi Analitis seringkali diisi dengan kritik terhadap pandangan-pandangan yang lama. Dengan begitu penulis dapat menempatkan pandangannya dalam konteks tertentu, yang sekaligus juga menunjukkan kelebihan dan perbedaan perspektif yang digunakannya. Etnografi Analitis, sesuai dengan cirinya, juga dimaksudkan untuk melontarkan pandangan-pandangan baru, bukan hanya yang informatif, tetapi juga yang eksplanatif (menjelaskan) dan interpretif (menafsirkan).
Dengan adanya masalah yang jelas dalam penulisan etnografi ini, maka pada akhirnya juga ada jawaban atau tesis yang lebih eksplisit dalam Etnografi-etnografi Analitis ini, yang turut menentukan “nilai ilmiah” etnografi tersebut di mata para ahli antropologi. Tesis ini bisa berupa pandangan baru, yang berbeda dengan pandangan yang telah ada sebelumnya, tetapi tidak berlawanan, sehingga bersifat memperluas cakrawala pemikiran pembaca, bisa pula berupa pandangan baru yang membantah berbagai pendapat yang sebelumnya telah ada. Etnografi Analitis yang berupaya membantah pandangan yang lama misalnya adalah etnografi kekerabatan orang Batak Karo dari Singarimbun (1975), dan etnografi patron-klien di Sulawesi Selatan dari Ahimsa-Putra (1986), sedang Etnografi Analitis yang berupaya membuka cakrawala baru adalah etnografi-etnografi dari Danandjaja (1985), Laksono (1985a), Sairin (1982), Triyoga (1991), dan Pranowo (1985). Etnografi Analitis –sadar atau tidak—ditujukan terutama untuk membangun sebuah “gedung” ilmu pengetahuan yang teratur, sistematis, dan logis.
Suatu perbedaan lain yang penting antara Etnografi Analitis dengan dua jenis etnografi sebelumnya adalah kerangka teorinya. Kalau Etnografi Awam umumnya boleh dikatakan “tidak teoritis” dan “tidak antropologis”; Etnografi Laci berawal dari kerangka berfikir yang komparatif, dengan model kebudayaan yang sistemik dan fungsionalistis, maka Etnografi Analitis lebih bervariasi kerangka teori dan konsep-konsepnya, sehingga tidak ada satu kerangka teori yang diikuti oleh semua atau sebagian besar penulis etnografi. Masing-masing ahli antropologi memusatkan perhatian pada masalah yang berlainan dengan kerangka teori yang berlainan pula, walaupun kadang-kadang ada persamaan di sana-sini. Misalnya saja, meskipun analisis Sjafri Sairin berangkat dari kerangka berfikir yang fungsionalistis, namun pembahasan dan kesimpulannya berbeda dengan Ahimsa-Putra yang juga menggunakan kerangka pemikiran fungsionalistis. Sjafri Sairin lebih memperhatikan fungsi sosial organisasi kekerabatan orang Jawa, sedang Ahimsa-Putra lebih memperhatikan hubungan fungsional antara fenomena patron-klien dengan gejala-gejala lain dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Implikasi lebih lanjut dari perbedaan masalah dan orientasi teoritis tersebut adalah judul dan cara penulisan yang lebih bervariasi.
Selain itu, penulis Etnografi Analitis pada umumnya juga tidak bermaksud untuk melakukan suatu rekonstruksi kebudayaan. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk menulis apa yang disebut sebagai “Kebudayaan Sukubangsa Tertentu”. Oleh karena itu penulis Etnografi Analitis kurang tampak sebagai “pencipta kebudayaan” atau “tukang rekonstruksi kebudayaan”. Mereka lebih tampak sebagai analyst atau interpreter, yang mencoba “memahami” suatu gejala sosial tertentu dengan menempatkannya dalam suatu konteks yang lebih luas. Keberadaan Etnografi Analitis inilah yang membuat warna penulisan etnografi di Indonesia menjadi lebih menarik. Etnografi Analitis tersebut sekaligus juga mencerminkan tingkat kreativitas ahli antropologi di Indonesia serta perkembangan wawasan pemikiran analitis mereka.
Apa yang dapat kita simpulkan dari pembicaraan kita mengenai jenis-jenis etnografi Indonesia di atas dalam kaitannya dengan etnografi sebagai media kritik kebudayaan ? Tidak lain adalah “hampir tidak adanya” kesadaran di kalangan ahli antropologi Indonesia bahwa etnografi yang mereka tulis dapat mereka manfaatkan sebagai media untuk melakukan telaah kritis atau melontarkan kritik terhadap kebudayaan yang telah atau sedang tumbuh dalam masyarakat. Berbagai Etnografi Analitis, yang semestinya dapat menjadi sarana kritik kebudayaan, ternyata sebagian besar berkutat dengan masalah-masalah teoritis antropologis. Berbagai perkembangan dan perubahan kebudayaan yang tengah berlangsung dalam masyarakat Indonesia, memang juga dibahas dalam etnografi tersebut, tetapi tidak dilakukan kritik terhadap kebudayaan yang dominan berlaku, yang seringkali merugikan kehidupan budaya pinggiran. Kebenaran budaya dominan tidak dipertanyakan lagi ataupun dipertentangkan dengan bentuk kebenaran yang lain.
IV. ETNOGRAFI UNTUK MENGRITIK: RELEVANKAH DAN MUNGKIN-
KAH DI INDONESIA ?
Kembali pada pertanyaan kita mengenai relevansi dan kemungkinan mengembangkan kritik budaya lewat Etnografi sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ahli antropologi di Barat, serta dianjurkan oleh Marcus dan Fischer, apa jawaban yang dapat kita berikan setelah melihat beberapa ciri etnografi yang berkembang di Indonesia di atas ?
a. Relevansi Kritik Budaya
Berkenaan dengan relevansinya, saya harus mengatakan bahwa kritik kebudayaan tersebut sangat relevan dan perlu dikerjakan, terutama oleh para ahli antropologi. Mengapa? Oleh karena para ahli antropologilah yang dapat memandang dari luar dominasi pola budaya tertentu dalam suatu masyarakat, terutama jika harus melihat dominasi tersebut dari daerah pinggiran. Para ahli antropologi telah terbiasa hidup dan melakukan penelitian dalam masyarakat-masyarakat yang “sederhana”, yang biasanya juga merupakan masyarakat “pinggiran”, (menurut kacamata ekonomi, politik, budaya dan sebagainya). Selain itu, para ahli antropologi, setelah melakukan penelitian dalam suatu masyarakat yang bukan masyarakatnya sendiri, praktis telah menjadi warga dua kebudayaan, dan di situ dia juga berada dalam posisi “pinggiran”. Meminjam istilah Victor Turner, dia berada dalam dunia liminal. Mereka yang berada dalam kawasan liminal biasanya mampu bersikap lebih kritis.
Sayangnya, ahli antropologi Indonesia rupanya belum melihat potensi yang terdapat dalam kawasan liminal ini. Kebanyakan malah kemudian ingin berada di “pusat”, dalam “struktur”. Ini tercermin jelas dalam Konggres Antropologi II yang berlangsung di Jakarta beberapa waktu yang lalu, yang rumusan terakhirnya menekankan dengan jelas perlunya para ahli antropologi terlibat, dilibatkan atau melibatkan diri dalam “proses pembangunan”. Dari satu sisi, rumusan ini dapat ditafsirkan sebagai keprihatinan para ahli antropologi Indonesia atas dampak negatif dari proses pembangunan terhadap masyarakat-masyarakat tertentu karena tidak dimanfaatkannya pengetahuan sosial-budaya para ahli antropologi, sehingga untuk mencegah meluasnya dampak negatif tersebut para ahli antropologi sangat perlu untuk dilibatkan di dalamnya. Namun dari sisi lain, keinginan untuk dilibatkan tersebut dapat pula ditafsirkan sebagai keinginan dari para ahli antropologi untuk turut “mencicipi” kue proyek pembangunan yang selama ini lebih banyak dinikmati oleh ilmuwan dari disiplin lain, terutama dari bidang ekonomi dan tehnik. Untuk memperoleh secuil kue secara sah inilah sebagian ahli antropologi kemudian merasa perlu dilibatkannya diri mereka dalam perencanaan dan penyuksesan pembangunan. Tentu saja ini semua adalah sah dan sama sekali tidak bermasalah. Masalah baru akan muncul jika dengan keterlibatan tersebut para ahli antropologi lantas kehilangan pemikiran kritisnya dan mereka kemudian melanggar etika profesinya.
Di mana letak relevansi kritik kebudayaan tersebut? dan terhadap budaya mana kritik perlu dilancarkan? Sudah bukan rahasia lagi bagi kalangan ilmuwan di Indonesia bahwa “ideologi pembangunan” dan “ideologi pegawai/birokrat” (apapun makna istilah-istilah ini) kini merupakan ideologi-ideologi yang dominan atau sangat punya kemungkinan untuk menjadi dominan di masa depan. Dampak negatif dua ideologi tersebut sudah mulai kita rasakan sekarang. Terhadap ideologi-ideologi inilah -menurut hemat saya- para ahli antropologi harus melancarkan kritik, melancarkan counter (“perlawanan”), agar para agen pembangunan dan birokrat sadar bahwa apa yang mereka gembar-gemborkan selama ini tidaklah selamanya yang paling “benar” atau paling mendatangkan manfaat pada rakyat banyak. “Counter” semacam ini saya kira akan sangat relevan, karena dengan perlawanan tersebut orang akan dapat disadarkan pada kenyataan akan adanya tafsir lain terhadap konsep “pembangunan”, yang selama ini selalu ditafsirkan sebagai “sesuatu yang baik dan benar”.
b. Kemungkinan Menumbuh-kembangkan Etnografi Kritis.
Berkenaan dengan kemungkinan pengembangan kritik kebudayaan lewat etnografi, saya hanya dapat menjawab bahwa hal itu mungkin saja. Masalahnya kemudian adalah seberapa besar atau kecilnya kemungkinan tersebut? Terhadap pertanyaan ini saya pribadi terpaksa menjawab: “Kecil kemungkinannya”. Ada beberapa alasan yang menjadi dasar pesimisme seperti ini, yakni: (a) alasan intelektual; (b) alasan akademis; (c) alasan praktis; dan (d) alasan institusional.
Alasan intelektual. Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan intelektual para ahli antropologi di Indonesia, bagaimanapun kita harus berani mengatakan bahwa secara umum kemampuan berbahasa Inggris ahli antropologi Indonesia tidak sangat bagus (kecuali yang pernah belajar di luar negeri). Inilah kendala utama bagi mereka untuk mengembangkan diri. Jika modal bahasa Inggris saja sudah minim, apalagi kemampuan untuk mencerna isi etnografi berbahasa Inggris dengan baik. Oleh karena itu kita tentu tidak dapat menaruh harapan yang terlalu besar untuk munculnya pemikiran yang kritis dan tajam di kalangan ahli antropologi Indonesia, mengenai berbagai masalah sosial-budaya ataupun mengenai masalah-masalah teoritis yang berkembang dalam disiplin antropologi.
Seandainyapun kendala di atas teratasi, hal itu belum merupakan jaminan bahwa semuanya kemudian akan beres; bahwa diskusi-diskusi ilmiah dengan pemikiran yang kritis akan tumbuh dikalangan ahli antropologi Indonesia, karena untuk itu masih diperlukan syarat intelektual lainnya, yakni: pengetahuan yang lebih mendalam serta sistematis mengenai berbagai kerangka teori, epistemologi, serta cara mengembangkan kerangka-kerangka teori tersebut. Untuk itu diperlukan pengetahuan ekstra mengenai kedudukan konsep, model dan asumsi dalam pengembangan pemikiran antropologi. Tanpa pengetahuan yang sedikit filosofis dan dalam, akan sulit bagi para ahli antropologi Indonesia untuk dapat melakukan refleksi dengan baik. Kiranya agak sedikit utopis jika kita berharap bahwa berbagai pemikiran kritis (apalagi Etnografi Kritis) akan lahir dari kalangan ahli antropologi Indonesia, tanpa kehadiran syarat fundamental tersebut. Tentu, sah-sah dan boleh-boleh saja kita berharap. Tinggal kemudian, apakah harapan tersebut cukup realistis mengingat kondisi ilmuan dan dunia keilmuwan Indonesia seperti sekarang ini.
Kendala lain yang termasuk dalam kategori intelektual adalah telah terspesialisasinya para ahli antropologi Indonesia sebelum mereka sendiri betul-betul menguasai hal-hal yang paling mendasar dalam antropologi sebagai sebuah disiplin yang terdiri dari empat sub-disiplin. Akibat dari spesialisasi yang terlalu dini ini adalah kematangan dan pengetahuan yang setengah-setengah mengenai berbagai paradigma kebudayaan yang berkembang dalam antropologi serta menjadi dasar dari disiplin tersebut. Paradigma dan analisis yang umum dikuasai adalah paradigma yang positivistik. Setelah itu baru yang agak fenomenologis (tanpa diketahui bahwa itu fenomenologis), kemudian yang agak interpretif (tanpa disertai kemampuan menghasilkan sebuah karya yang interpretif, dan tanpa pengetahuan yang jelas tentang perbedaan pemikiran semacam ini dengan yang lain). Di luar ketiga aliran pemikiran antropologi tersebut, jarang kita dengar yang lain. Jadi, tidak banyak sebenarnya pengetahuan kita mengenai berbagai paradigma yang telah berkembang dalam antropologi.
Berbagai teori besar tentang kebudayaan yang seharusnya diketahui, kini juga sudah banyak dilupakan karena dianggap tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari di Indonesia . Memang, pandangan-pandangan yang lebih pragmatis kini tampak semakin mendominasi pemikiran kaum intelektual Indonesia, dan ahli-ahli antropologi bukanlah orang-orang yang kebal terhadap virus semacam itu. Banyak yang tidak menyadari bahwa pengetahuan mengenai berbagai teori antropologi yang besar dan klasik masih diperlukan bukan untuk supaya kita dapat mengerjakan sebuah penelitian pesanan, atau untuk dapat menggaet dana penelitian puluhan juta rupiah, tetapi untuk lebih dapat mempertajam pemikiran kita, untuk dapat memahami kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh ahli-ahli antropologi sebelum kita serta untuk mempercepat perkembangan pengetahuan antropologi itu sendiri. Dengan memahami teori-teori yang pernah muncul dan berbagai kritik yang dilontarkan terhadapnya kita lantas terbiasa untuk berpikir kritis serta akan dapat terhindar dari mengerjakan pengulangan kajian yang tidak perlu, yang memperlambat akumulasi pengetahuan kita. Dalam hal ini teori-teori antropologi memang bukanlah sesuatu –meminjam istilah kaum strukturalis-- yang “good to eat”, tetapi mereka “good to think”.
Spesialisasi yang terlalu dini rupanya telah membuat para ahli antropologi belum-belum sudah mengurung dirinya dalam dinding spesialisasi, dan tidak mau lagi keluar menengok perkembangan teori-teori kebudayaan yang baru ataupun mempelajari berbagai kritik yang muncul dalam sub-disiplin antropologi. Parahnya lagi, bidang spesialisasi tersebut tersebut seringkali diakui sebagai kaplingnya, dan ahli antropologi yang lain diberi “tanda-tanda” (kalau tidak dimusuhi), agar tidak masuk dalam kapling spesialisasi tersebut. Dalam situasi semacam ini, tentu saja akan sulit terjadi pertumbuhan pemikiran dan diskusi kritis yang sehat.
Jadi, ada tiga kendala intelektual yang membuat saya terpaksa pesimis pada kemungkinan munculnya kritik kebudayaan dari kalangan ahli anropologi di Indonesia (tak kurang dari dalam diri saya sendiri), yakni: rendahnya kemampuan bahasa Inggris, kurangnya pengetahuan mengenai teori dan filsafat ilmu pengetahuan (apalagi filsafat ilmu sosial budaya), dan spesialisasi yang terlalu dini, yang membuat sebagian ahli antropologi menjadi cepat puas dan mengurung diri dalam tempurung spesialisasi tersebut.
Alasan Akademis. Kendala untuk mengembangkan pemikiran ini terasa makin serius manakala kita menyimak ketersediaan buku-buku antropologi dan jurnal-jurnal ilmu sosial-budaya berbahasa asing di negeri kita. Sudah bukan rahasia lagi bahwa perpustakaan perguruan-perguruan tinggi besar di Indonesia (seperti misalnya Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada) masih belum mampu menyediakan jurnal-jurnal antropologi bertaraf internasional, apalagi menyediakan buku-buku antropologi yang mutakhir maupun klasik. Seandainyapun buku-buku itu tersedia, selama kendala bahasa asing masih belum dapat diatasi, maka selama itu pula perkembangan pemikiran kritis, tajam, dan mendalam, tidak dapat terlalu diharapkan.
Selain itu ada pula anggapan implisit, bahwa secara akademis sebenarnya pemikiran kritis seperti yang muncul di kalangan ahli antropologi Barat belum terlalu dibutuhkan. Pendapat ini saya kemukakan berdasarkan atas realitas yang saya temui sehari-hari, yaitu perilaku para ahli antropologi dalam kiprah mereka sebagai ilmuwan. Jika mereka ditanya tentang perlunya pemikiran kritis tersebut bagi dunia akademis, mereka tentu akan menjawab “Sangat perlu”. Namun kenyataan sehari-hari menunjukkan hampir sebaliknya. Jadi saya beranggapan bahwa pandangan semacam itu masih tetap “tinggal pandangan”, belum mewujud dalam praktek kehidupan sehari-hari. Buktinya, dunia akademis Indonesia masih tetap berputar dengan lancar, banyak civitas akademisnya yang bertambah makmur dan tenar, walaupun perkembangan pemikiran boleh dikata tidak sangat mengesankan, dan mereka yang makmur serta tenar juga tidak selalu merupakan individu yang kritis pemikirannya. Ini semua memperlihatkan bahwa dunia akademis Indonesia memang belum menuntut para ilmuwannya untuk meningkatkan prestasi dan mengembangkan pemikiran baru.
Selanjutnya, hampir semua ilmuwan di perguruan tinggi di Indonesia adalah pegawai negeri. Dengan ataupun tanpa prestasi yang menonjol seorang ilmuwan tidak akan dipecat ataupun dihentikan kontraknya, karena memang tidak ada kontrak-kontrakan. Paling-paling kenaikan pangkatnya saja yang lambat, sedang soal mutu pengajaran dan peningkatan pengetahuan, itu bisa dinomor-sekiankan dalam kehidupannya sehari-hari. Gajinya juga tetap akan lancar, dan jika ia merasa cukup dengan gaji tersebut, maka cukuplah baginya hidup sebagai pegawai negeri. Apalagi kalau ini masih ditambah dengan gengsi sebagai “dosen” sebuah perguruan tinggi yang ngetop. Itu mungkin sudah lebih dari cukup. Berbeda dengan di Barat, di mana dikenal semboyan “publish or perish” di kalangan ilmuwannya, sehingga seorang ilmuwan sangat dituntut untuk mengembangkan ide-ide baru agar tetap dapat menerbitkan sesuatu. Kalau tidak, dia harus siap untuk “perish”, atau musnah di tengah persaingan yang ketat.
Jadi ada dua alasan akademis yang membuat saya pesimis terhadap munculnya kritik budaya lewat etnografi, yakni: kurangnya buku dan jurnal antropologi internasional, serta tidak adanya tuntutan yang kuat untuk mengembangkan pemikiran baru (seperti Etnografi Kritis misalnya) dalam dunia akademis Indonesia.
Alasan Praktis. Alasan yang tidak kalah pentingnya dengan berbagai alasan di atas adalah alasan praktis, yaitu bahwa di mata sebagian (mungkin sebagian besar) ahli antropologi, kritik kebudayaan -apalagi yang dikemukakan lewat etnografi- dianggap sama-sekali tidak praktis dan tidak efektif karena sebagian besar masyarakat Indonesia toh belum berminat mambaca buku dengan serius. Berbeda halnya dengan di Barat, yang masyarakatnya memang telah memiliki minat baca yang tinggi, serta mempunyai keinginan besar untuk memperkaya diri mereka dengan berbagai pengetahuan yang baru, lewat kegiatan membaca buku.
Selain itu, tidak banyak ahli antropologi Indonesia beranggapan bahwa menulis etnografi itu perlu. Biasanya setelah selesai dengan pendidikan sarjana atau pascasarjana (S-2) para ahli antropologi ini akan terjun ke dunia kerja yang seringkali sangat jauh dari dunia antropologi. Kalau toh dia meniti karir menjadi seorang ilmuwan yang mengajar di perguruan tinggi, seringkali dia tidak begitu pusing dengan upaya pengembangan pemikiran-pemikiran baru dalam antropologinya. Hidupnya sehari-hari akan dipenuhi kegiatan mengajar, melakukan penelitian sekedar untuk menambah angka kredit untuk kenaikan pangkat, ikut proyek penelitian tertentu untuk menambah penghasilan, atau malah aktif di kampung, dan mempersetankan pengembangan pengetahuan yang dimilikinya, yang penting bagi diri dan para mahasiswanya. Menulis sebuah etnografi -apalagi dengan tujuan untuk melakukan kritik kebudayaan- merupakan suatu hal yang masih terlalu muluk dan kurang terkait dengan kehidupannya sehari-hari.
Alasan institusional. Terakhir adalah alasan institusional, yang lebih sulit di atasi daripada alasan-alasan praktis dan intelektual, karena alasan ini lebih mengacu pada kondisi yang dihadapi para ahli antropologi di Indonesia, terutama yang meniti karir sebagai dosen di perguruan tinggi.
Dalam dunia perguruan tinggi di Indonesia, selain beban mengajar dan belajar yang memang sudah harus ditanggung, seorang dosen juga mendapat beban tambahan yakni “pengabdian pada almamater” dan “pengabdian masyarakat”. Wujud pengabdian pada almamater bisa bermacam-macam, mulai dari menjadi ketua jurusan, dekan, pengurus berbagai lembaga atau badan yang ada di dalam universitas, hingga ikut melakukan penataran P-4, dan menjadi panitia dies natalis, yang semuanya itu tidak selalu berhubungan dengan kegiatan ilmiah sehari-hari. Beban ini tidaklah negatif asal tidak terlalu banyak. Jika terlalu banyak, maka beban tersebut akan mematikan kreativitas seorang dosen, karena dia lantas tidak punya waktu lagi untuk mengikuti kegiatan-kegiatn ilmiah penting seperti seminar, lokakarya, penelitian, dan sebagainya. Akhirnya, pengetahuan yang dimilikinya mengenai bidang keilmuannya semakin lama akan semakin tertinggal, dan dia mungkin akan semakin wegah untuk mengejar ketertinggalan tersebut, karena sudah terlalu jauh.
Beban pengabdian tersebut menjadi bertambah berat ketika seorang dosen juga masih diinginkan untuk melakukan kegiatan “pengabdian masyarakat”, karena ini merupakan salah satu dari tiga dharmanya sebagai seorang dosen di perguruan tinggi. Mereka yang sangat rajin melakukan pengabdian masyarakat biasanya tidak punya banyak waktu lagi untuk memperdalam pengetahuan dalam bidang ilmu yang digelutinya. Waktunya akan banyak tersita untuk mengikuti atau memimpin berbagai macam kegiatan sosial di kampung atau kompleks tempat tinggalnya, yang memang sangat membutuhkan kehadirannya.
c. Etnografi Awam dan Kritik Budaya.
Melihat perlunya kritik budaya tersebut bagi situasi di Indonesia di satu pihak, dan kondisi yang begitu memprihatinkan bagi upaya menumbuh-kembangkannya di pihak lain, muncullah pertanyaan lain: masih adakah kemungkinan yang lebih baik? Bisakah ditempuh jalur lain yang mungkin lebih strategis?
Jawab saya adalah “Ada” dan “Ada jalur lain”, walaupun hal itu mungkin tidak akan terlalu menyenangkan (atau bisa juga malah sebaliknya). Jalur yang dapat kita tempuh untuk membangun Etnografi Kritis di Indonesia, adalah jalur Etnografi Awam. Sebagaimana telah saya tunjukkan, dalam berbagai Etnografi Awam yang pendek, yang dimuat dalam suratkabar dan majalah sering kita temui judul-judul tulisan yang mencoba menarik perhatian pembaca dengan menampilkan pandangan yang kontroversial, yang sebenarnya adalah lawan dari pandangan yang dianut oleh awam pada umumnya. Ini semua pada dasarnya adalah juga sebuah kritik kebudayaan, namun dalam bentuk yang masih terlalu sederhana (walaupun bukan berarti tidak efektif). Penggugatan pikiran lama dengan menggunakan judul yang melawan dan isi yang memang “melawan” (walaupun tidak terasa sangat keras) adalah sebuah kritik kebudayaan seperti yang pernah dilakukan oleh para ahli antropologi Barat.
Lewat penulisan Etnografi Awam inilah sebenarnya kritik budaya dapat dilancarkan oleh para ahli antropologi. Jalur ini relatif lebih strategis dibanding dengan jalur Etnografi Analitis, karena beberapa hal. Pertama, masyarakat kita masih belum banyak yang membaca buku-buku serius, apalagi buku antropologi atau etnografi. Namun, banyak di antara mereka yang telah membaca suratkabar dan majalah. Pembaca suratkabar saya kira masih lebih banyak daripada pembaca majalah. Oleh karena itu jalur kritik budaya yang dapat dipandang paling efektif saat ini adalah jalur suratkabar. Sayangnya, memang tidak banyak ahli antropologi yang memanfaatkan media ini untuk melancarkan kritik budaya (dan saya termasuk salah satu di antaranya). Kritik budaya lewat media ini lebih banyak dilontarkan oleh ahli-ahli sosiologi, agama dan filsafat, disamping wartawan suratkabar itu sendiri.
Kedua, tulisan dalam suratkabar dituntut untuk menggunakan bahasa yang lebih populer, agar mudah dicerna oleh pembaca awam, dan mudah dimengerti isinya. Dengan begitu mereka yang dapat memahami kritik tersebut akan lebih banyak jumlahnya, dibandingkan dengan kalau kritik tersebut ditulis dalam bahasa ilmiah yang seringkali tidak mudah dipahami maksudnya.
Kemudian, jika ada tanggapan muncul terhadap suatu pendapat, tanggapan tersebut dengan segera akan diterbitkan dan diketahui, sehingga pembaca akan dapat mengikuti perdebatan mengenai suatu pendapat dengan cepat pula. Ini akan membuat awam terbiasa dengan olah-pikir, yang kemudian akan mempertajam cara mereka melihat berbagai persoalan dalam kehidupan mereka. Suatu kritik budaya yang mereka anggap masuk akal akan cepat mereka serap dan ikuti, sehingga dampak kritik tersebut juga akan lebih cepat tampak dan dirasakan, daripada kalau perdebatan tersebut berlangsung dalam jurnal ilmiah atau dalam buku yang tidak begitu banyak dibaca orang.
Kelemahan dari Etnografi Awam yang mungkin timbul jika kita harus memanfaatkan jalur ini untuk melakukan kritik kebudayaan adalah bahwa para ilmuwan biasanya tidak sangat percaya dengan argumen-argumen yang dikemukakan didalamnya. Keterbatasan ruang memang membuat bantahan secara mendalam terhadap pandangan lama sulit dilakukan dan bukti-bukti untuk menguatkan pandangan-pandangan baru juga tidak dapat ditampilkan. Ini membuat kritik kebudayaan yang dilontarkan di situ telah kehilangan sebagian kekuatannya.
Jadi meskipun Etnografi Awam dalam suratkabar atau majalah merupakan etnografi yang paling sederhana, dan mungkin juga paling “tidak ilmiah”, namun jalur ini tampaknya masih merupakan jalur yang paling strategis untuk melancarkan kritik budaya karena jalur ini dapat mencapai pembaca dalam jumlah yang paling besar. Selain itu, melalui jalur ini kritik kebudayaan yang disampaikan juga akan relatif lebih mudah dipahami dibandingkan dengan jika kritik tersebut disampaikan lewat jalur yang lain.
V. PENUTUP
Dari uraian mengenai beberapa jenis etnografi yang telah berkembang di Indonesia di atas, kita dapat melihat adanya tiga macam etnografi, yang berbeda dalam gaya penulisan dan isi, yakni (a) Etnografi Awam, (b) Etnografi Laci, dan (c) Etnografi Analitis. Tidak ada yang termasuk dalam Etnografi Kritis. Ini menunjukkan bahwa kritik kebudayaan melalui penulisan etnografi masih merupakan hal yang asing di kalangan ahli antropologi Indonesia. Etnografi Kritis itu sendiri sebenarnya sangat relevan untuk keadaan di Indonesia di masa kini, ketika ideologi tertentu, pola-pola budaya tertentu terasa mulai sangat mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia, sementara kritik terhadap dominasi budaya semacam itu kurang terdengar dari kalangan ilmuwan.
Selanjutnya, jika kita cermati berbagai macam kondisi yang melingkupi para ahli antropologi Indonesia kini, maka pesimisme terhadap kemungkinan akan dapat berkembangnya Etnografi Kritis --etnografi yang mengandung kritik kebudayaan-- di negeri kita merupakan hal yang sangat masuk akal. Keseluruhan kendala intelektual, akademis, praktis, dan institusional, merupakan kendala-kendala yang tampaknya sangat sulit diatasi. Walaupun begitu, saya masih punya harapan sedikit bahwa di masa depan etnografi semacam itu akan muncul juga dari kalangan ahli antropologi Indonesia, meskipun mungkin tidak akan sangat banyak jumlahnya dan dalam jangka waktu yang masih cukup lama pula.
Akhirnya, apakah harapan itu akan terwujud atau tidak semuanya terpulang kembali pada ahli antropologi Indonesia sendiri, apakah mereka ingin melakukan kritik kebudayaan melalui penulisan etnografi atau tidak, dan apakah mereka juga mampu mengatasi kendala-kendala yang telah saya paparkan di atas atau tidak.
(tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Jerat Budaya edisi No.1/I/1997)
DAFTAR BACAAN
Ahimsa-Putra, H.S.
1986 Minawang:Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
1994 “Antropologi Indonesia oleh Ahli Antropologi Indonesia: Perspektif Epistemologis”. Makalah Seminar
1996 “Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan: Kondisi Pada Akhir Abad 19”. Prisma 6. Th.XXV: 29-45.
t.t “Antropologi Koentjaraningrat: Sebuah Telaah Epistemologis”. Tulisan persembahan untuk Koentjaraningrat (Akan terbit).
Clifford, J.
1986 “Introduction: Partial Truths” dalam Writing Culture, James Clifford dan G.E. Marcus (eds). Berkeley: University of California Press.
Crapanzano, V.
1986 “Hermes’ Dilemma: The Masking of Subversion in Ethnographic Description” dalam Writing Culture, Clifford dan G.E. Marcus (eds). Berkeley: University of California Press.
Danandjaya, J.
1985 Kebudayaan Petani Desa Trunyan, Bali. Jakarta : Balai Pustaka.
Dhofier, Z.
1982 Tradisi Pesantren : Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES.
Geertz, C.
1988 Works and Lives: The Anthropologist as Author. California: Stanford University Press.
Honigmann, J.J. (ed)
19(54)? Handbook of Social and Cultural Anthropology. Chicago: Rand McNally.
Jacobson, D.
1991 Reading Ethnography. Albany: State University of New York Press.
Kana, N.L.
1984 Dunia Orang Sawu. Jakarta : Sinar Harapan.
King, A.R.
1990 “The Ethnographer as Cultural Creator” dalam Culture and Anthropological Tradition, R.H. Winthrop (ed). Lahman, Md. : University Press of America.
Koentjaraningrat
1974 Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.
1984 Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat dan H.W.Bachtiar
1967 Penduduk Irian Barat. Jakarta: Penerbit Universitas
Koentjaraningrat (ed)
1964 Masyarakat Desa di Indonesia Masa Kini. Jakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia
1988 Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
1993 Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Laksono, P.M.
1985a Tradisi Dalam Struktur Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press.
1985b “Persepsi Setempat dan Nasional Mengenai Bencana Alam: Sebuah Desa di Gunung Merapi” dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, M.R. Dove (ed), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Marcus, G.E.
1983 “Rethoric and the Ethnographic Genre in Anthropological Research” dalam A Crack in the Mirror: Reflexive Perspectives in Anthropology, J. Ruby (ed). Philadelphia: University of Pennsylvania.
1986 “Afterword: Ethnographic Writing and Anthropological Careers” dalam Writing Culture, J. Clifford dan G.E. Marcus (eds). Berkeley: University of California Press.
Marcus, G.E. dan D. Cushman
1982 “Ethnographies as Texts”. Annual Review of Anthropology 11: 25-69.
Marcus, G.E. dan M.J. Fischer
1986 Anthropology as Cultural Critique: An Experimental Moment in the Human Sciences. Chicago: The University of Chicago Press.
Pranowo, H.A.
1985 Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rabinow, P.
1986 “Representation Are Social Facts: Modernity and Post-Modernity in Anthropology” dalam Writing Culture, J. Clifford dan G.E. Marcus (eds). Berkeley: University of California Press.
Saifuddin, A.F.
1986 Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham Dalam Agama Islam. Jakarta: Rajawali Press
Sairin, S.
1982 The Javanese Trah: Kin Based Organization. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Scholte, B.
1987 “The Literary Turn in Contemporary Anthropology”. Critique of Anthropology 7: 33-47.
Singarimbun, M.
1975 Kinship, Descent, and Alliance Among the Karo Batak. Berkeley: University of California Press.
Spencer, J.
1989 “Anthropology as a Kind of Writing”. Man (N.S) 24: 145-164.
Triyoga, L.S.
1991 Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Persepsi dan Sistem Kepercayaannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Voget, F.W.
19(54)? “The History of Cultural Anthropology” dalam Handbook of Social and Cultural Anthropology, J.J.Honigmann (ed). Chicago: Rand McNally.
Surat Kabar dan Majalah
“Mereka Bukan Terasing Tetapi Mengasingkan Diri”. Suara Karya, 7 Mei 1986.
“Mereka Ternyata Manusia Kerja”. Suara Karya, 9 Mei 1986.
“Kekuatan Gaib Dari Rimba Sumatera”. Suara Karya, 4 Juni 1987.
“Orang Dani Panen Padi”. Kompas, 15 September 1986.
“Primitif”, Curiga dan Keramat”. Kompas, 3 Januari 1991.
“Suku Bajo: Manusia Laut Bebas”. Intisari, Juni 1991.
“Andaikan Kapuknaga Terwujud …”. Kompas, 26 September 1997.
“Menanti Datangnya Metropolis Kapuknaga …”. Kompas, 26 September 1997.
“Pesta Tenun Lempot Umbak, Cermin Kebersamaan”. Kompas, 28 September 1997.
Jumat, 03 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar