Di tulis Oleh: Emmanuel Subangun
Ada sejumlah tulisan: Ramaniya bercerita dari kacamata Weedon, Ahimsa dari buku Marcus dan Fischer, Laksono dari pengalaman penulis ceria dari masa muda tentang jalan raya dengan mengacu pada Redfield, yang juga diinduki oleh Geertz untuk tradisi besar/kecil, dan Simatupang mengenang Monash, sebuah universitas. Jadi ada naskah, lembaga pendidikan tinggi asing, lalu ada Malioboro dan majalah itu sendiri.
Lalu ada permintaan dari pengelola majalah agar saya menulis tentang semua data yang ada di depan itu. Semacam komentar, atau tafsir atau apa saja, dalam arti “saya membaca dan menulis ulang apa yang saya baca”. Padahal mereka, para pengasuh itu amat tahu bahwa saya bukan antropolog/etnolog profesional seperti mereka. Keseharian saya amat jauh dari kejelian antropolog atau peneliti etnografi. Artinya, saya adalah sosok “lain” dari mereka, mereka adalah ahli, dan saya awam.
Pertanyaan pertama, apakah ada kemungkinan seorang awam akan bisa berbicara dengan dan kepada seorang ahli tanpa resiko besar untuk diletakkan oleh ahli itu semata awam adalah sama dengan informan atau malah obyek kajian itu sendiri ?
Pertanyaan kedua, karena setiap ilmu, apapun juga bidangnya, selalu sudah penuh sesak dengan kerangka gagasan, istilah teknis bahkan juga teori, lalu dimana “suara” seorang awam itu akan diselipkan sehingga yang disuarakan itu bakal ada arti dalam proses pembentukan wacana ilmiah mereka ?
Pertanyaan ketiga, karena setiap makhluk sosial, apapun juga pekerjaan dan ketrampilannya, selalu memiliki modal, bakat, dan sumber-daya yang unik pada diri dan karena itu dalam masyarakat-pasar seperti yang sedang terjadi sekarang, satu sama lain, langsung tidak langsung, selalu harus bersaing di pasar tenaga kerja, lalu apakah tafsir atas jati diri itu tidak dianggap sebagai tindakan tak tahu diri, sejenis kekurangajaran, malah ?
Ketiga pertanyaan itu sepenuhnya tidak mengada-ada. Ketiga pertanyaan itu adalah uluk-salam dan pembuka dari sebuah percaturan, yang dikalimatkan secara lebih jelas dan pendek bunyinya: apakah komunikasi di antara berbagai disiplin ilmu itu mungkin ?
Sebuah pertanyaan yang tidak empirik, tetapi dalam batas daerah epistemologi. Artinya, dalam bidang pengetahuan yang sudah terlanjur dipilah-pilah dan dibagi-bagi ke dalam aneka macam “disiplin” itu, dimana gerangan ceruk kecil bagi kemungkinan semua pengetahuan itu secara struktural terbuka ? Dimana kemungkinan “bukaan” itu ?
MASALAH PEMBAGIAN KERJA
Ramaniya sudah menulis tentang feminisme pada permasalahan tentang subyektivitas, sebuah tulisan salinan dari Weedon.
Chris weedon states that subjectivity is the product of society and culture, therefore iti is always reconstructed historically and it can change according to the various discursive fields which constitute it. In opposing the irreducible humanist essence of Subjectivity wihich is generated by humanist discourse. (Jerat Budaya no.1: 3)
Mengenai kekuatan post strikturalis membaca persoalan feminisme:
Weedon Claims that post structuralism becomes a productive theory for feminsim in providing the explanation of the original sources which form individual’s experiences and the reason why they are contradictory and why and how they change. (Jerat Budaya no.1: 5)
Serta mengenai masalah subyek/obyek:
Weedon propose the strategy for change. The important effort to be made is to identify the objectives, “where they overlap and are different”. Since “social locations” have implications for individuals to resist the power relations in society and the power in contirbuted and practised through her as speaking subject, in term of feminism, it is obvious for woman to “speak out” themselves and to dominate “resistant subject position” in the patriachal power relations. (Jerat Budaya no.1: 14)
Ahimsa melalui Marcus/Fischer-nya sudah menelusuri sejarah ilmu antropologi tradisional/kritis hingga sampai pada uraian awam/laci/analitis.
Marcus dan Fischer mencoba menelusuri tradisi tersebut semenjak munculnya Antropologi Budaya sebagai disiplin baru dalam jagad ilmu pengetahuan pada abad yang lalu. Namun demikian titik pusat perhatian diarahkan terutama pada apa yang dilakukan oleh para ahli antropologi semenjak tahun 1920-an, ketika penulisan etnografi dengan gaya yang baru dan berdasarkan atas penelitian lapangan yang serius dimulai oleh Bronislaw Malinowski, dan kemudian menjadi sebuah tradisi yang bertambah kuat, serta tetap mampu bertahan dalam Antropologi Budaya hingga kini. (Jerat Budaya no. 1: 17-18)
Kemudian …
Tradisi kritik terhadap kebudayaan sendiri di kalangan ilmuwan Barat muncul tidak hanya di kalangan ahli antropologi saja, tetapi juga di kalangan ilmuwan sosial lainnya. Ada dua kelompok di luar antropologi yang telah banyak melontarkan kritik kebudayaan, yakni Frankfurt School (Aliran Frankfurt) dari Jerman (Barat) dan aliran Surealis dari Perancis … perbedaan yang ada antara aliran Frankfurt dengan aliran Surealis dalam etnografi dari Prancis. Kalau aliran Frankfurt banyak melontarkan kritik yang eksplisit terhadap realitas sosial-budaya yang ada dalam masyarakat Eropa Barat, maka aliran Etnografi Surealis dari Prancis melakukannya dengan lebih implisit, dan “kritik” tersebut lebih ditujukan pada cara para penulis etnografi menampilkan, merepresentasikan, kebudayaan-kebudayaan masyarakat yang mereka teliti. (Marcus dan Fischer, 1986). (Jerat Budaya no. 1: 18-19)
Kemudian setelah Ahimsa melakukan pembacaan atas beberapa “karya” Antropolog indonesia ia melakukan klasifikasi atas etnografi :
… dari perspektif tertentu kita akan dapat mengelompokkan mereka ke dalam tiga kategori, yakni (a) kategori etnografi yang bersifat asal deskripsi, yang saya sebut Etnografi Awam; kemudian (b) etnografi yang berisi deskripsi, baik yang mendalam maupun yang dangkal, tetapi juga bersifat klasifikatif, yang saya sebut Etnografi Laci, dan yang terakhir adalah (c) etnografi yang berisi deskripsi juga, namun sudah lebih analitis, dan saya sebut saja Etnografi Analitis. (Jerat Budaya no. 1: 22)
Dan diteruskan dengan perlunya bersifat kritis.
Berkenaan dengan relevansinya, saya harus mengatakan bahwa kritik kebudayaan tersebut sangat relevan dan perlu dikerjakan, terutama oleh para ahli antropologi. Mengapa? Oleh karena para ahli antropologilah yang dapat memandang dari luar dominasi pola budaya tertentu dalam suatu masyarakat, terutama jika harus melihat dominasi tersebut dari daerah pinggiran. Para ahli antropologi telah terbiasa hidup dan melakukan penelitian dalam masyarakat-masyarakat yang “sederhana”, yang biasanya juga merupakan masyarakat “pinggiran”, (menurut kacamata ekonomi, politik, budaya dan sebagainya). Selain itu, para ahli antropologi, setelah melakukan penelitian dalam suatu masyarakat yang bukan masyarakatnya sendiri, praktis telah menjadi warga dua kebudayaan, dan di situ dia juga berada dalam posisi “pinggiran”. Meminjam istilah Victor Turner, dia berada dalam dunia liminal. Mereka yang berada dalam kawasan liminal biasanya mampu bersikap lebih kritis. (Jerat Budaya no. 1: 30-31)
Laksono melalui ingatannya pada Redfield dan Siegel menulis tentang tanda hampa makna yang tidak bakal dikenal dalam ilmu ekonomi atau politik, misalnya, tetapi sesuatu yang “berarti” dalam antropologi.
Robert Redfield (1977) ketika memperbincangkan transformasi hidup primitif menjadi berperadaban menganggap bahwa peradaban itu merupakan modifikasi dan transformasi dari hidup primitif. Dalam menjelaskan proses transformasi itu Redfield menekankan faktor-faktor ideologi dan etik untuk memberi keseimbangan pada penjelasan-penjelasan yang berat sebelah karena terlalu melebih-lebihkan faktor teknologi dan ekonomi. Perjalanan panjang sejarah umat manusia dari pra peradaban menuju peradaban digambarkannya sebagai proses berkelanjutan dari patah dan tumbuhnya tata moral. (Jerat Budaya no. 2: 72)
Lalu …
James T. Siegel (1997) mengklaim bahwa sejarah bangsa Indonesia tidak berasal dari sumber-sumber asli dan juga bukan dari pinjaman asing, tetapi justru dari efek-efek yang terjadi akibat hubungan-hubungan yang dimungkinkan oleh kehadiran lingua franca itu. Kita tahu kehadiran bangsa Indonesia ditopang kuat oleh keberadaan bahasa Indonesia yang asal mulanya adalah dari bahasa Melayu Pasar itu. Sebagai lingua franca bahasa Indonesia beroperasi di antara orang-orang yang berbeda-beda bahasa dan budayanya tanpa menjadi milik seseorangpun. Bagi hampir semua penduduk Indonesia Bahasa Indonesia adalah bahasa kedua, malahan masih banyak warga Indonesia yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Untuk menggunakan bahasa Indonesia banyak orang harus menterjemahkan maksud hatinya. Seperti halnya teknologi kata Siegel (1997: 8) yang tersedia bagi sesorang untuk menggunakannya atau, lebih penting lagi bagi kita, tersedia bagi siapa yang mulai berfantasi untuk menggunakannya, lingua franca adalah suatu alat, suatu titik antara. (Jerat Budaya no. 2: 80)
Yang kemudian dilanjutkannya …
Jalanan di Yogya dan mungkin di seluruh Indonesia membuat efek seperti bahasa Indonesia sebagai lingua franca yang memungkinkan sejarah bangsa Indonesia. Jalanan tersedia bagi siapa saja yang mulai berfantasi untuk menggunakannya demi kepentingannya sendiri. Oleh karena itu jalanan seperti yang digambarkan oleh Nugroho Trisnu Brata juga memukau partai-partai politik untuk menggunakannya bagi kampanye mereka. Yang mereka kerjakan adalah pengulangan dari apa yang diamati Gunawan, yaitu menghadirkan sekaligus ancaman/kekerasan dan komoditi politik. Inilah yang khas di Yogyakarta dan mungkin di Indonesia, pemain dan penonton difantasikan hadir bersamaan, sehingga jalan menjadi titik antara atau tanda hampa makna yang punya efek kultural bagi budaya dan komunitas lokal mencari pengakuan dalam lalulintas transaksi masyarakat modern. (Jerat Budaya no. 2: 81-82).
Berawal dari kenangannya di Monash, Simatupang memburai isi hatinya tentang ilmu kabudayan atau Antropologi dengan persoalan-persoalan positioning.
“Mengapa harus jauh-jauh belajar di negeri orang kalau akhirnya saya meneliti tentang musik dangdut di negeri sendiri sebagai bahan thesis? Bukankah orang-orang di Monash University tidak lebih tahu tentang dangdut daripada Rhoma Irama, atau bahkan Yayuk ‘Parabola’ yang sering ‘manggung’ di Purawisata?” Selain itu, “Kalau William O. Frederick meneliti Rhoma Irama dan dangdutnya ‘kan ‘wajar’ bila disebut sebagai studi antropologis; tetapi kalau saya yang melakukan penelitian atas musik populer bangsa saya sendiri apakah juga dapat disebut sebagai studi antropologis?” (Jerat Budaya no.1: 41).
Ada “being there” alias “going native” secara spasial:
Etnografi menjadi semacam bukti keberadaan sebuah masyarakat dan kebudayaannya seperti yang digambarkan di dalamnya, serta (yang tak kalah penting ialah) menjadi bukti kehadiran peneliti dalam masyarakat itu. Clifford Geertz (1988) memakai istilah “being there” (saya pernah berada di sana) untuk menyebut fungsi etnografi yang akhir tersebut. (Jerat Budaya no. 1 : 43)
Kemudian ada persoalan selves dan others di dalam positioning Antropologi:
Antropologi dibangun di atas konsep others. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa others menempati posisi sentral dalam disiplin ini. Bahkan bisa dipertanyakan: apakah Antropologi akan dapat tetap hidup tanpa adanya others? Hal penting sehubungan dengan itu ialah others cenderung untuk dipahami sebagai ‘berbeda’. Mula-mula ia (pasti) berbeda dengan selves, dan baru kemudian ia (mungkin) berbeda dengan others yang lain. …Dalam perkembangannya garis semacam itu diperluas menjadi civilized selves dan primitive others, colonizer selves dan colonized others, developed selves dan underdeveloped others, first world selves dan third world others, dan seterusnya. Begitulah garis pembeda antara keduanya selalu dicari, dibuat, dan dihidup-hidupkan (Jerat Budaya no.1: 48-49).
Implikasi dari tradisi Antropologi untuk membedakan self dan other tidak hanya berhenti pada masalah positioning, tetapi juga ikut mewarnai corak ilmu itu sendiri. Karena fokus utama disiplin ini adalah others yang dibayangkan berbeda dari peneliti, maka karya Antropologis cenderung bersifat eksploratif, terperinci, dan sarat dengan muatan istilah lokal. Secara agak negatif hal ini bisa dipandang sebagai upaya pembuktian keberadaan others yang berbeda. Seakan-akan identitas subyek yang diteliti hanya bisa dikenali oleh adanya perbedaan atau ciri yang khas… (Jerat Budaya no.1: 49-50)
Masalah yang lebih serius ialah pemberian perhatian yang lebih besar pada perbedaan cenderung mengorbankan persamaan. Tendensi ini terutama tercermin dari relatif sedikitnya karya etnografi yang memperbandingkan antara masyarakat yang ditelitinya dengan masyarakat peneliti itu sendiri. … Kenyataan bahwa sidang pembaca adalah selves (jamak) bukannya self (tunggal) sepertinya terabaikan. Kecenderungan yang juga diwarisi oleh native anthropologists ini membawa dampak berupa tetap terpeliharanya jarak antara self dan others, centre dan periphery. Dampak tersebut menjadi lebih buruk dengan adanya ketidak-seimbangan distribusi kekuasaan (power distribution) antara self dan other, centre dan periphery. Terlepas dari pertimbangan power relations, tendensi untuk lebih menampilkan unsur perbedaan itu sendiri akan menghasilkan gambaran identitas yang tidak utuh atas masyarakat yang diteliti. (Jerat Budaya no.1: 50)
Anggaplah pandangan-pandangan di atas dipahami secara spasial dan bukan Heidegerian, yakni “Da-sein” adalah bacaan saya atas naskah yang disampaikan dalam dua terbitan itu. Apakah lalu kita bisa melihat sebetulnya “dimana” letak dan posisi kita berdiri, sebagai dua pihak atau banyak pihak, dan kemudian mulai berkata-kata, artinya menulis tafsir dan komentar ?
Untuk tujuan apa tafsir atau komentar semacam itu, kalaupun ditulis ?
Anggap saja untuk sementara tujuan itu ditulis untuk maksud membuka jalur komunikasi antar mereka yang menulis dari posisi kelimuan yang berbeda. Lalu apakah ada tujuan akhir yang hendak dicapai ? Komunikasi demi komunikasi, atau lebih gagah, komunikasi untuk tujuan mengembangkan ilmu humaniora/sosial yang lokal ? Artinya, seperti kaum agama bisa ramai berbicara dalam forum keagamaan dan kaum politik bisa ramai di forum resmi, atau militer sibuk di medan perang, lalu para humanis ini memang perlu juga wadah untuk saling mencurahkan isi hati.
Atau lebih remeh temeh lagi, karena di Indonesia ini nama Koentjaraningrat atau Geertz itu terlalu memberi warna pada ilmu tertentu, maka sebuah usaha tandingan harus dilakukan sehingga perasaan tertekan atau mungkin tertindas mendapatkan tempatnya dibongkar, dan dengan begitu maka berilmu kembali pada ajaran lama ilmu saka lan kanthi laku ?
Jadi hendak diletakkan dalam cita-cita keilmuan adalah humanis tulen, atau dalam konflik kekuasaan, tokoh adalah sejenis ningrat, ujung dari komunikasi itu juga tidak mendapatkan titik pijaknya.
Atau malah lebih megaloman lagi: harus dipikirkan sumbangan ilmu antropologi untuk pembangunan nasional !
Maka saya (siapa saya ?) hendak menyarankan, untuk bisa keluar dari lingkaran tak bertepi itu, untuk meletakkan dialog yang dilakukan oleh mereka yang ahli dalam bidang masing-masing itu tidak seperti dimaksudkan seperti pembagian kerja secara sosial, dalam pengertian setiap unsur akan menyumbang bagi keutuhan seluruh sistem, tetapi semata meletakkan dialog itu seperti pertautan dalam tanda yang selalu terbelah dalam penanda dan petanda, seperti kaitan struktural antara parole dan langue, tetapi parole bukan tindak individual, tetapi selalu juga sosial atau kemasyarakatan.
Lalu apa arti berikutnya ?
SUDAH DUA TERBITAN “JERAT” BUDAYA
Hendaknya dilihat keadaan yang amat paradoksal semacam ini, yakni bahwa kekuatan yang mendikte dan memberi arah pada mesin pelindas dan pembangun di seluruh jagad ini, termasuk di tanah air sendiri, tidaklah bakal ditemukan dalam wacana tekstual semata. Kekuatan dan gerak nyata dari sistem sosial itu sepenuhnya ditentukan oleh jenis daya dan makna yang lain sama sekali dengan segala rupa wacana humanis yang kita kenali itu dan merupakan kekhususan dari humaniora ! Wacana teknokratis itu tersimpan di dalam rekaman kredit atau arus uang di bank sentral, di rapim ABRI atau di kantor para menteri yang sedang sibuk mempertahankan kekuasaan negeri atau kelompok kepentingan yang lain.
Dan bukan karena mereka itu semua jahat, tak berperi kemanusiaan atau memang jorok sejak lahirnya, kalau mereka akan selalu tuli terhadap segala rupa wacana humanis. Apalagi yang tekstual dan lembut halus seperti yang muncul dari Antropologi. (Paling banter, mereka akan memalingkan pandangan dan melirik jika wacana itu disusun dalam sebuah model ekonometrik dan perencanaan yang eksak (?) berbau kental matematik, atau paling tidak statistik, atau paling tidak angka ratio seperti Golkar akan memenangkan pemilu dengan sasaran 32,14 %).
Jadi mau kritis, feminis atau strukturalis ? Ya silahkan. Anda sibuk berdiskusi dan kita harus terus menerus mengurusi kekuasaan. Artinya bahwa modalitas kekuasaan itu buta pada keributan makna, sepenuhnya adalah wajar dan mungkin tak bisa ditolak.
Kita hanya akan tertipu jika mengira bahwa masyarakat itu terdiri dari individu atau makhluk manusia yang bermoral, bertakwa atau berpengetahuan. Masyarakat adalah sebuah fakta, tak lebih dari sebuah sistem, tanpa nurani, tanpa kesadaran, tanpa nilai. Artinya, masyarakat bukan lah kumpulan individual, atau secara lebih tegas: ada lompatan kualitatip dari individu ke bentuk masyarakat itu.
Dan hal semacam ini memiliki akibat yang amat jauh bagi semua pengetahuan yang disebut kemasyarakatan atau humaniora. Sehingga jika kita kembali membaca dua terbitan majalah itu, dalam titik semacam itulah saya hendak melihatnya. Dari sebuah titik pandang yang melihat usaha menulis, berpikir dan mengembangkan antropologi itu dalam sebuah dinamik yang sepenuhnya kosong makna.
Artinya, ketika feminisme itu ditulis dengan merajut sejumlah gagasan dari sebuah disiplin ilmu tertentu, seperti juga ke jalanan dikomentari dari sebuah titik pandang tertentu, dan sejarah ilmu dilihat dari keinginan mencari bentuk lain, maka usaha itu tidak bakal merujuk pada hal apapun juga diluar kegiatan menulis itu sendiri. Tidak ke fakultas, tidak ke departemen, tidak ke sistem pengajaran dan tidak juga ke kekejaman jalanan, tetapi merujuk pada bentuk simbolik wacana itu sendiri.
Artinya anda sedang membangun sebuah dunia tautologis, dan dalam pengertian sehari-hari, anda sedang membangun sebuah abnormalitas, sebuah kegilaan, yang tidak akan dimengerti oleh nalar utama dalam masyarakat kita atau manapun juga.
Artinya semakin tindak terbitan semacam ini diterus-lanjutkan maka paling sial dia akan habis nafas di tengah jalan dan hilang tanpa bekas. Atau paling mujur dia akan mampu bernapas amat panjang, dan bertahan dalam sebuah dunia imaginer, dimana wacana humanis dianggap akan masih bisa ngomong dengan wacana teknoratik.
Hanya atas nama sebuah keyakinan bahwa kenyataan itu watak dasarnya majemuk dan tidak ada warna tunggalnya (entah humanis atau teknokratik atau lainnya), maka terbitan semacam itu akan bisa menemukan tenaga dalamnya.
Jadi apa gerangan yang bisa menjadi “tenaga dalam” jerat budaya kita ini ?
Lebih mendesak lagi, apakah peralatan konseptual dari feminisme, teori kritik, mazhab strukturalis atau malah fenomenologi Heideger akan bisa menjadi sesuatu yang “baru”, lebih membumi, lebih mengakar di tanah sendiri ?
Bagi antropologi, dimanakah batas-batas sebuah tanah sendiri ? Tanah air ?
Mungkin dengan pertanyaan penutup ini saya menunjuk pada kemungkinan “bukaan” dialog atau komunikasi yang dari awal dimaksudkan untuk menjadi maksud dari tulisan ini dengan tiga ikon utama: tenaga dalam, tanah air dan wacana humanis.
Yogya 9 Agustus 1999
(Tulisan ini pernah di muat di Jurnal Jerat Budaya Edisi No. 3/III/2000)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar